ISLAM.
OLEH :
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah merupakan bagian dari masyarakat. Dimana-mana
manusia itu masing-masing mengadakan hubungan antara satu dengan yang
lainnya. Menurut Aristoteles seorang ahli filsafat Yunani manusia adalah
“Zoon Politicon” yang berarti menusia adalah mahluk sosial. Yang terdiri atas
banyak sekali kelompok-kelompok kecil, dan tiap-tiap kelompok kecil terdiri
dari manusia-manusia yang bermasyarakat, sedangkan ilmu yang mempelajari
masyakarat secara keseluruhan adalah Sosiologi. Masing-masing sebagai
anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang berbeda-beda satu sama
lain. Kepentingan mana ada yang bersamaan dan tidak jarang pula yang
berlainan serta bertentangan.
Agar dalam masyarakat tidak terjadi pertentangan dan kekacauan atau
agar supaya dalam masyarakat terdapat ketertiban, “maka masyarakat
mengadakan petunjuk-petunjuk bagi manusia untuk berbuat sesuatu dan untuk
bertindak dan berbuat sesuatu”. 1
Petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan yang hidup dan ada
mengharuskan manusia untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu
yang bersifat memaksa dan tidak memaksa, yang kita kenal dengan nama
norma dan kaidah. Maka dapatlah kita katakan dimana ada masyarakat disitu
ada hukum. Jadi hukum pun merupakan gejala sosial, hukum itu baru dan ada
apabila ada masyarakat. Dapatlah diambul kesimpulan bahwa hukum itu ada
apabila ada lebih dari satu orang. Karena manusia itu dalam kodratnya tidak
J.B.A.F. Mayor Polak, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Penerbit dan Balai
1
2
3
dapat hidup sendirian, maka dari itu hidup manusia selalu berhubungan satu
sama lainnya untuk hidup bersama atau bermasyarakat, mereka memerlukan
suatu norma atau kaedah membatasi apa yang diperlukan dalam pergaulan
hidup manusia adalah norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Walaupun untuk mengatur pergaulan hidup manusia itu sudah ada tiga
norma atau kaidah yang tersebut di atas, namun masih kurang memadai
kebutuhan hidup bermasyarakat, maka ada salah satu norma lagi yaitu norma
hukum sebagai pegangan umum agar masyarakat itu hidup tertib dan teratur.
Jadi antara kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya itu ada hubungan yang
erat masing-masing melengkapi dan membantu guna memenuhi kebutuhan
dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Mengenai hubungan manusia dalam
pergaulan hidup bermasyarakat. Mengenai hubungan manusia dalam
pergaulan hidup bermasyarakat ada yang berhubungan secara biasa,
maksudnya hubungan manusia dalam ikatan keluarga dan berhubungan secara
hukum. Hubungan dengan masyarakat lain yaitu di luar ikatan keluarga,
dalam hubungan ini manusia bisa mengadakan perbuatan hukum yakni
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum itu sendiri.
Adapun pengertian hukum adat itu sendiri adalah, “hukum Indonesia
asli, yang tidak tertulis dalam Perundang-undangan Republik Indonesia yang
disana sini mengandung unsur agama”. 2
Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
II/MPRS/1966 Lampiran B.S. 402 bahwa Hukum Nasional kita dibina
berdasarkan “Hukum Adat”. Jadi dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara ini dapat ditarik dasar berlakunya “bahwa Hukum Adat
bangsa Indonesia akan menjadi pedoman dan fundamen dalam pembinaan
pembentukan Hukum Nasional”.
2
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Penerbit Bina Cipta, Cetakan ke-empat, hal. 250.
3
4
4
5
3
Surojo Wignjodiporo, 1997, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit
Alumni Bandung, hal. 78
4
Soepomo, R, 1999, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Pradnya Paramita,
Jakarta, hal. 111
5
6
diangkat oleh kakak kandungnya atau paman. Namun demikian orang tua
angkat dapat memberikan warisan dengan jalan “wasiat wajibah”, wasiat
wajibah tersebut tidak boleh melebihi 1/3 dari harta warisan dan lagi
apabila boleh melebihi, untuk memperoleh wasiat wajibah tentunya harus
dengan putusan Pengadilan Agama.
Hal ini dipertegas lagi menurut Soepomo, “bahwa menurut
Hukum Islam yang menganut sistem kekeluargaan parental pengangkatan
anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat
dengan orang tuanya sendiri….” 5
6
7
7
8
7
Soepomo, Op. Cit., hal. 83.
8
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Waris Adat, Penerbit Alumni Bandung, hal.
65..
9
Ibid., hal. 99.
8
9
kedudukan bapak angkat dalam pernikahan gadis untuk anak angkat. Sebelum
memperoleh pengaruh Agama Islam bapak angkat biasa dalam pernikahan
gadis anak angkatnya berperan sebagai wali nikah. Sesudah memperoleh
pengaruh Agama Islam, maka bapak angkat tidak dibenarkan lagi menjadi
wali nikah. Hubungan bapak angkat dengan anak angkat tidak lagi
sepenuhnya dapat dianggap sama dengan hubungan bapak dengan anak
kandungnya.
Hal ini tercermin dalam putusan-putusan Pengadilan Negeri Bandung
tanggal 15 Oktober 1968 Nomor 91/1968/Sipil, Pengadilan Tinggi Bandung
tanggal 14 Mei 1970 Nomor 215/1969/Perdt/PTB dan Mahkamah Agung
tanggal 24 Maret 1971 Nomor 60 K/Sip./1970 (69215) yang berbunyi sebagai
berikut : “Seorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari kedua orang tua
angkatnya bila mana ia telah : dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan
(perkawinannya dibiayai), bertempat tinggal bersama dan mendapat hadiah
dari kedua orang tuanya”. 10
Proses kebangkitan individu yang menyebabkan, “bangkitnya rasa
harga diri ternyata secara lambat laun mempengaruhi pula struktur hidup
kekeluargaan dan kemasyarakatan rakyat di daerah Jawa Barat sebagai suatu
masyarakat yang bersifat parental”. 11 Pada Hukum Islam pembagian harta
peninggalan itu dapat segera dilaksanakan dikarenakan bahwa “kebutuhan
akan uang dan keperluan atau keharusan untuk memiliki tanah pertanian
sendiri agar supaya dapat dipakai sebagai jaminan pinjaman pada Bank dan
kebutuhannya yang lain”. 12
Bahwa kedudukan anak angkat itu adalah sebagai anggota rumah
tangga dan bukan sebagai ahli waris. Memang pada dasarnya pengangkatan
10
R. Subekti, 1989, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat,
Gunung Agung, Jakarta, hal. 35.
11
R. Surojo Wignjodipuro, 1992, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat
Setelah Kemerdekaan, PT. Gunung Agung, Jakarta, hal. 113.
12
Bhushar Muhammad, 1991, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,
jakarta, hal. 41.
9
10
anak di Jawa itu tidak memerlukan suatu cara tertentu dan tidak diperlukan
campur tangan Kepala Desa beserta para saksinya untuk membayar uang tunai
juga tidak perlu memakai syarat terang.
13
K.R.M.H Soeripto, 1989, Hukum Adat Waris Jawa dan Madura, Penerbit
Fakultas Hukum UNED, hal. 151.
14
Wirjono Prodjodikoro, 1999, Hukum Waris di Indonesia, Penerbit Sumur
Bandung, hal. 8.
15
Soepomo, R. Op. Cit., hal. 200.
10
11
Soelasti, 2008, Hukum Adat Tentang Kedudukan Janda Terhadap Barang Asal
16
11
12
17
Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, hal. 91.
12
13
13
14
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Pada umumnya di daerah yang menganut sistem kekeluargaan
parental seperti halnya Pulau Jawa termasuk Madura dan Sulawesi
mengangkat anak itu dari kalangan keponakan-keponakannya.
Mengangkat keponakan menjadi anak itu sesungguhnya merupakan
pergeseran hubungan kekeluargaan (Dalam arti yang luas) dalam
lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai
dengan pembayaran-pembayaran uang ataupun penyerahan-penyerahan
sesuatu barang kepada yang lain khususnya orang tua anak yang
bersangkutan. Yang pada hakekatnya masih saudara sendiri dari orang
yang mengangkat itu, tetapi di Bali dalam pengangkatan anak, prosedur
yang ada adalah sebagaimana biasa dalam prosedur di pengadilan. Calon
Bapak Angkat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dalam hal
ini Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera permohonan kemudian
membayar uang pandaftaran, panggilan dan lain-lain yang jumlahnya
sudah ditentukan setelah dicatatkan dalam buku register perkara dan
dibawakan Ketua Pengadilan untuk ditentukan Majelis Hakim dengan
surat penetapan, kemudian Majelis Hakim menentukan hari sidang
Dengan surat penetapan ia memerintahkan juru sita untuk memanggil para
pihak. Setelah waktu yang ditentukan Majelis memeriksa para pihak,
tentunya para pihak dimintakan saksi-saksi dan bukti-bukti, setelah
Majelis Hakim menjatuhkan putusannya apakah dikabulkan atau ditolak.
Persidangan ini tentunya bisa dua kali sidang ataupun beberapa kali yang
pada dasarnya perkara itu dianggap sudah jelas.
14
15
18
K.R.M.H., Soeripto, Op.Cit., hal. 62.
19
Soepomo, R. II., Op.Cit., hal. 101.
15
16
20
M. Budiarto, SH., 2008, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akapres,
hal. 19.
16
17
berkewajiban lain dari anak kandung. Perlu kiranya dicatat : anak yang
diambil sebagai anak angkat laki-laki atau perempuan menurut pilihan
dan kebutuhan berdasarkan atas alasan bahwa : “supaya suami istri yang
tidak mempunyai anak (keturunan) itu dapat menikmati perasaan seolah-
olah telah punya anak kandung sendiri”.
Karena hanya seolah-olah telah punya anak kandung sendiri maka
hubungan anak angkat dengan orang tua angkat akan tetapi merupakan
hubungan kekeluargaan saja. Dalam artian ia hanya sebagai anggota
keluarga dengan orang tua angkatnya, jadi untuk seterusnya ia bukan lagi
sebagai hubungan lahir bathin yang berakibat sebagai ahli waris.
Masalah hubungan anak angkat dengan orang tua angkat
selanjutnya K.R.M.H Soeripto, menegaskan bahwa di Jawa dan Madura
mengambil dan memelihara anak itu bertujuan supaya suami istri punya
perasaan seolah-olah punya anak kandung sendiri sebagai anggota rumah
tangga. Akhirnya timbul hubungan erat antara Bapak dan Ibu angkat di
satu pihak dan anak angkat di lain pihak, hubungan rumah tangga yang
erat ini menimbulkan hubungan bathin timbal balik antara kedua belah
pihak yang mempunyai konsekwensi terhadap harta kekayaan keluarga,
tetapi perlu diingat dan ditekankan sekali bahwa ; “disini anak angkat
tidak sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, sebab anak angkat
tersebut bukan berfungsi sebagai penerus keturuan dari orang tua
angkatnya dan anak angkat ini hanya sebagai anggota keluarga biasa dari
orang tua angkatnya”. 21
3.3. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua
Menurut Hukum Islam
Di atas telah dijelaskan bahwa hubungan anak angkat dengan
orang tua angkatnya para Sarjana Hukum Adat telah mempunyai
kesepakatan yaitu anak angkat itu masuk ke dalam kehidupan/rumah
21
K.R.M.H. Soeripto, Op.Cit., hal. 152.
17
18
18
19
22
R. Soebakti, 1984, hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung, Alumni Bandung, hal.
19
20
23
Anwar Sitompul, 1994, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan
Menurut Hukum Waris Islam, CV. ARMICO, Bandung, hal.65.
20
21
pada Hukum Islam pada umumnya yang sering terjadi selain karena tidak
punya keturunan adalah berlatar belakang juga karena rasa belas kasihan.
21
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Dari berbagai uraian di atas maka dapat di tarik beberapa
kesimpulan antara lain :
1. Pengangkatan anak menurut Hukum Islam masih tetap
mempunyai hubungan dengan orang tua kandung dan masuk dalam
keluarga orang tua angkatnya sebagai anggota rumah tangga (anak
piatu dalam istilah Bali disebut ubuh).
2. Kedudukan hak waris menurut Hukum islam tidak
mempunyai hak waris terhadap orang tua angkatnya.
3.2. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diketengahkan antara lain sebagai
berikut :
1. Untuk memperkokoh keberadaan status anak angkat maka
orang tua angkat dalam mengangkat anak agar melalui prosedur
yang telah ditentuakn dengan memperhatikan syarat-syarat yang
ada.
2. Dalam Hukum Islam anak angkat tidak sebagai ahli waris
terhadap orang tua angkatnya, maka sebaiknya orang tua angkat
perlu berwasiat pada anak angkatnya supaya tidak terlantar di
kemudian hari.
22
23
DAFTAR BACAAN
Budiarto, SH., 2008, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akapres
23
24
Soeripto, 1989, Hukum Adat Waris Jawa dan Madura, Penerbit Fakultas
Hukum UNED
24