Anda di halaman 1dari 24

KEWARISAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM

ISLAM.

MATA KULIAH HUKUM ISLAM.

OLEH :

NAMA : I KOMANG ASTRA BUDIAWAN.


NIM : 202274201098.
KELAS : 2. A2.

UNIVERSITAS NGURAH RAI


FAKULTAS HUKUM
DENPASAR
2023.

1
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah merupakan bagian dari masyarakat. Dimana-mana
manusia itu masing-masing mengadakan hubungan antara satu dengan yang
lainnya. Menurut Aristoteles seorang ahli filsafat Yunani manusia adalah
“Zoon Politicon” yang berarti menusia adalah mahluk sosial. Yang terdiri atas
banyak sekali kelompok-kelompok kecil, dan tiap-tiap kelompok kecil terdiri
dari manusia-manusia yang bermasyarakat, sedangkan ilmu yang mempelajari
masyakarat secara keseluruhan adalah Sosiologi. Masing-masing sebagai
anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang berbeda-beda satu sama
lain. Kepentingan mana ada yang bersamaan dan tidak jarang pula yang
berlainan serta bertentangan.
Agar dalam masyarakat tidak terjadi pertentangan dan kekacauan atau
agar supaya dalam masyarakat terdapat ketertiban, “maka masyarakat
mengadakan petunjuk-petunjuk bagi manusia untuk berbuat sesuatu dan untuk
bertindak dan berbuat sesuatu”. 1
Petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan yang hidup dan ada
mengharuskan manusia untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu
yang bersifat memaksa dan tidak memaksa, yang kita kenal dengan nama
norma dan kaidah. Maka dapatlah kita katakan dimana ada masyarakat disitu
ada hukum. Jadi hukum pun merupakan gejala sosial, hukum itu baru dan ada
apabila ada masyarakat. Dapatlah diambul kesimpulan bahwa hukum itu ada
apabila ada lebih dari satu orang. Karena manusia itu dalam kodratnya tidak

J.B.A.F. Mayor Polak, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Penerbit dan Balai
1

Pustaka “Ikhtisar”, Jakarta, hal. 29

2
3

dapat hidup sendirian, maka dari itu hidup manusia selalu berhubungan satu
sama lainnya untuk hidup bersama atau bermasyarakat, mereka memerlukan
suatu norma atau kaedah membatasi apa yang diperlukan dalam pergaulan
hidup manusia adalah norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Walaupun untuk mengatur pergaulan hidup manusia itu sudah ada tiga
norma atau kaidah yang tersebut di atas, namun masih kurang memadai
kebutuhan hidup bermasyarakat, maka ada salah satu norma lagi yaitu norma
hukum sebagai pegangan umum agar masyarakat itu hidup tertib dan teratur.
Jadi antara kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya itu ada hubungan yang
erat masing-masing melengkapi dan membantu guna memenuhi kebutuhan
dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Mengenai hubungan manusia dalam
pergaulan hidup bermasyarakat. Mengenai hubungan manusia dalam
pergaulan hidup bermasyarakat ada yang berhubungan secara biasa,
maksudnya hubungan manusia dalam ikatan keluarga dan berhubungan secara
hukum. Hubungan dengan masyarakat lain yaitu di luar ikatan keluarga,
dalam hubungan ini manusia bisa mengadakan perbuatan hukum yakni
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum itu sendiri.
Adapun pengertian hukum adat itu sendiri adalah, “hukum Indonesia
asli, yang tidak tertulis dalam Perundang-undangan Republik Indonesia yang
disana sini mengandung unsur agama”. 2
Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
II/MPRS/1966 Lampiran B.S. 402 bahwa Hukum Nasional kita dibina
berdasarkan “Hukum Adat”. Jadi dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara ini dapat ditarik dasar berlakunya “bahwa Hukum Adat
bangsa Indonesia akan menjadi pedoman dan fundamen dalam pembinaan
pembentukan Hukum Nasional”.

2
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Penerbit Bina Cipta, Cetakan ke-empat, hal. 250.

3
4

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum Adat


merupakan Hukum Asli Bangsa Indonesia yang sifatnya religius magis
(kepercayaan) dari bangsa Indonesia, tentu saja berlakunya Hukum Adat
sebagai Hukum Positif disesuaikan dan diselaraskan dengan situasi dan
kondisi kepentingan umum.
Kami terdorong oleh rasa ingin mengetahui isi daripada ketentuan-
ketentuan hukum adat waris dalam tertib kekeluargaan bersifat parental dan
patrilinial, karena hukum adat waris meliputi aturan-aturan hukum yang
bertalian dengan proses dari abad ke abad. Yang menarik perhatian kami ialah
proses penerusan dan peralihan kekayaan baik materiil maupun immateriil
dari pewaris kepada ahli waris demikian selanjutnya.
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu
bangsa merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang
bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu maka tiap bangsa di dunia ini
memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak
sama. Justru ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan bahwa adat itu
merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa
yang mendiami wilayah tertentu. Tingkatan peradaban maupun cara
penghidupan yang modern ternyata tidak mampu menghilangkan adat
kebiasaan yang hidup dalam masyarakat namun terlihat dalam proses
kemajuan zaman, adat itu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak
zaman sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Di dalam negara Indonesia ini terdapat adat yang berbeda-beda. Oleh
karena itu terdapat adat yang dikatakan merupakan “Bhinneka” (berbeda-beda
di daerah suku-suku bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga yaitu
dasar dan sifat ke Indonesiaan-nya). Ini tidak akan mati melainkan selalu
berkembang senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam
keadaan evolusi mengikuti proses perkembangan bangsanya.

4
5

“Bahwa adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan


tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang mengagungkan bagi hukum
adat bangsa Indonesia”. 3
Soepomo menyebutkan : “….tiap-tiap peraturan hukum adat adalah
timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru”. 4
Dilihat dari Hukum Islam bahwa anak yang diangkat sebagai
anak sendiri atas kemauan sendiri (keluarga) dan diangkat dengan terang
menurut tata cara adat setempat itu disebut dengan anak angkat.
Pengangkatan anak menurut hukum Islam hanya dapat dilakukan apabila
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
- tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga
- anak yang diangkat tidak berkedudukan sebagai pewaris
dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang
tua kandungnya, demikian juga orang tua diangkat tidak
berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkat
- anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua
angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda
pengenal/alamat
- orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam
perkawinan terhadap anak angkatnya.
Ternyata bahwa untuk suku-suku yang sistem persekutuan
hukumnya parental (Suku Jawa dan Madura) bahwa anak angkat masuk
dalam keluarga orang tua angkatnya sebagai anggota tidak lebih dari itu.
Mengenai warisan pada Hukum Islam tidak mendapatkan sama sekali,
kecuali anak tersebut masih banyak mempunyai hubungan darah seperti

3
Surojo Wignjodiporo, 1997, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit
Alumni Bandung, hal. 78
4
Soepomo, R, 1999, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Pradnya Paramita,
Jakarta, hal. 111

5
6

diangkat oleh kakak kandungnya atau paman. Namun demikian orang tua
angkat dapat memberikan warisan dengan jalan “wasiat wajibah”, wasiat
wajibah tersebut tidak boleh melebihi 1/3 dari harta warisan dan lagi
apabila boleh melebihi, untuk memperoleh wasiat wajibah tentunya harus
dengan putusan Pengadilan Agama.
Hal ini dipertegas lagi menurut Soepomo, “bahwa menurut
Hukum Islam yang menganut sistem kekeluargaan parental pengangkatan
anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat
dengan orang tuanya sendiri….” 5

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian tersebut di atas timbul beberapa masalah yang penulis
rumuskan sebagai berikut :
b. Bagaimanakah prosedur atau proses pengangkatan anak menurut
hukum Islam ?
c. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dibidang warisan menurut
hukum islam ?
1.3. Kajian Pustaka
1.3.1. Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam bahwa anak yang diambil sebagai anak angkat
itu biasanya anak dari keponakannya sendiri (neefjes of nichtjes-adoptie)
laki-laki atau perempuan adalah sama. Adanya anak angkat ialah seorang
diambil anak oleh orang lain sebagai anaknya. Jumlah anak angkat seseorang
tidak terbatas sesuai dengan kemampuannya untuk mengangkat anak. Tentang
umurnya tidaklah menjadi masalah, mungkin yang masih bayi dan mungkin
pula yang masih dalam kandungan.
Adapun alasan pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah
sebagai berikut :
5
Op. Cit., hal. 101

6
7

- Untuk memperkuat pertalian dengan orang tua anak yang diangkat.


- Kadang-kadang oleh rasa belas kasihan, jadi untuk menolong anak
itu.
- Berhubung dengan kepercayaan bahwa oleh karena mengangkat
anak itu kemudian akan mendapatkan anak sendiri (sebagai
pemingan).
- Mungkin pula untuk mendapatkan bujang di rumah yang dapat
membantu pekerjaan orang tua sendiri
.
1.3.2. Pengertian Kewarisan dan Sistem Kewarisan
Sebelum menguraikan pengertian kewarisan dan sistem kewarisan
terlebih dahulu disamiakan masalah sistem kekerabatan menurut Hukum Adat
Bali adalah sistem patrilineal. Adapun pengertian dan sistem partilineal ini
adalah Sistem keturunan yang ditarik menurut garis Bapak, dimana
kedudukan seorang pria lebih menonjol jika dibandingkan dengan kedudukan
seorang wanita dalam pengaruhnya di dalam hal perkawinan yang berlaku
menurut Hukum Adat Bali, kecuali di Tengenan Pegringsingan menganut
sistem kekerabatan parental. 6
Di lingkungan masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan
patrilineal, yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus
perkawinan karena kematian atau perceraian, maka anak-anak berkedudukan
dalam kerabat suami andai kata karena satu dan lain hal si istri tidak bersdiam
di tempat kerabat asalnya atau ke tempat lain karena perceraian dan anak
yang dibawanya itu tetap mempunyai kewajiban adat serta berkedudukan di
tempat kerabat suami anak-anak itu adalah waris dari ayah kandungnya. Jika
terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak maka penyelesaiannya
dilakukan oleh kerabat kedua pihak dan kerabat yang lebih menentukan
adalah kerabat pihak suami.
6
Ibid., hal. 33.

7
8

Berbeda halnya dengan sistem kekerabatan menurut Hukum Islam


adalah menganut sistem parental. Di mana sistem parental tersebut pada
dasarnya semua anak kandungnya baik yang laki-laki maupun perempuan di
kalangan suku Jawa dan Madura dan suku-suku lain yang menganut sistem
ini, mempunyai hak yang sama terhadap harta peninggalan orang tuanya, baik
anak kandung yang sulung maupun anak yang bungsu, tapi dengan pembagian
yang tidak sama (1:2)
“Susunan keluarga menurut keturunan kedua belah pihak itu yang
berlaku digolongan suku bangsa Sunda, Jawa dan Madura, suku Dayak di
Kalimantan, di Toraja Sulawesi berakibat banyak anak-anak mewarisi dari
kedua orang tuanya”. 7 Yang dimaksud dengan kerabat di sini adalah kesatua
dari beberapa keluarga yang hubungannya berpokok pangkal dan nenek
moyang asal menurut garis keturunan masing-masing. Jika kita mengenal ada
harta pusaka rendah dan pusaka tinggi, maka demikian pula ada kerabat kecil
dan ada kerabat besar, demikian juga dengan adat musyawarah dan mufakat
yang berlaku menurut tingkat kekerabatan itu masing-masing, ada
musyawarah keluarga serumah atau sekerabat besar, dikarenakan bahwa,
“eratnya hubungan kekerabatan ini maka seringkali terjadi adanya pemberian
harta antara anggota kerabat yang satu dengan anggota kerabat yang lain
didalam suatu garis keturunan yang sama”. 8
Faktanya juga membuktikan bahwa “ hukum keluarga pada masyarakat
yang semula sudah bersifat parental memperoleh pengaruh dari agama serta
proses kebangkitan individu.” 9 Apabila kita teropong perkembangan hukum
keluarga masyarakat di daerah Jawa Barat, maka sebagai suatu contoh
pengaruh yang diperoleh dan Agama Islam kiranya dapat dikemukakan

7
Soepomo, Op. Cit., hal. 83.
8
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Waris Adat, Penerbit Alumni Bandung, hal.
65..
9
Ibid., hal. 99.

8
9

kedudukan bapak angkat dalam pernikahan gadis untuk anak angkat. Sebelum
memperoleh pengaruh Agama Islam bapak angkat biasa dalam pernikahan
gadis anak angkatnya berperan sebagai wali nikah. Sesudah memperoleh
pengaruh Agama Islam, maka bapak angkat tidak dibenarkan lagi menjadi
wali nikah. Hubungan bapak angkat dengan anak angkat tidak lagi
sepenuhnya dapat dianggap sama dengan hubungan bapak dengan anak
kandungnya.
Hal ini tercermin dalam putusan-putusan Pengadilan Negeri Bandung
tanggal 15 Oktober 1968 Nomor 91/1968/Sipil, Pengadilan Tinggi Bandung
tanggal 14 Mei 1970 Nomor 215/1969/Perdt/PTB dan Mahkamah Agung
tanggal 24 Maret 1971 Nomor 60 K/Sip./1970 (69215) yang berbunyi sebagai
berikut : “Seorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari kedua orang tua
angkatnya bila mana ia telah : dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan
(perkawinannya dibiayai), bertempat tinggal bersama dan mendapat hadiah
dari kedua orang tuanya”. 10
Proses kebangkitan individu yang menyebabkan, “bangkitnya rasa
harga diri ternyata secara lambat laun mempengaruhi pula struktur hidup
kekeluargaan dan kemasyarakatan rakyat di daerah Jawa Barat sebagai suatu
masyarakat yang bersifat parental”. 11 Pada Hukum Islam pembagian harta
peninggalan itu dapat segera dilaksanakan dikarenakan bahwa “kebutuhan
akan uang dan keperluan atau keharusan untuk memiliki tanah pertanian
sendiri agar supaya dapat dipakai sebagai jaminan pinjaman pada Bank dan
kebutuhannya yang lain”. 12
Bahwa kedudukan anak angkat itu adalah sebagai anggota rumah
tangga dan bukan sebagai ahli waris. Memang pada dasarnya pengangkatan
10
R. Subekti, 1989, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat,
Gunung Agung, Jakarta, hal. 35.
11
R. Surojo Wignjodipuro, 1992, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat
Setelah Kemerdekaan, PT. Gunung Agung, Jakarta, hal. 113.
12
Bhushar Muhammad, 1991, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,
jakarta, hal. 41.

9
10

anak di Jawa itu tidak memerlukan suatu cara tertentu dan tidak diperlukan
campur tangan Kepala Desa beserta para saksinya untuk membayar uang tunai
juga tidak perlu memakai syarat terang.

1.3.3. Pengertian sistem kewarisan


Pengertian hukum adat waris menurut Soeripto,adalah : “Hukum adat
waris mengatur penerusan barang-barang harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada ahli warisnya”. 13
Adapun definisi lain yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, ,
dalam bukunya “Hukum Warisan di Indonesia” memberikan pengertian
sebagai berikut : “Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”. 14
Menurut R. Soepomo, dalam buku balian “Bab-bab tentang Hukum
Adat”, merumuskan definisi tentang hukum adat waris pada umumnya sebagai
berikut : “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses penerusan serta mengoper barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tidak berwujud benda (immateriil goederen) kepada
keturunannya”. 15
Adapun menurut Ny. Soelasti, , dalam bukunya “Hukum Adat Tentang
Kedudukan Janda Terhadap Barang Asal Almarhum Suaminya”, memberikan
pengertian hukum adat waris sebagai berikut : “ Hukum adat waris itu
meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan
pemilikan kekayaan sesorang baik harta kekayaan yang berwujud maupun

13
K.R.M.H Soeripto, 1989, Hukum Adat Waris Jawa dan Madura, Penerbit
Fakultas Hukum UNED, hal. 151.
14
Wirjono Prodjodikoro, 1999, Hukum Waris di Indonesia, Penerbit Sumur
Bandung, hal. 8.
15
Soepomo, R. Op. Cit., hal. 200.

10
11

kekayaan yang tidak berwujud dari suatu generasi kepada keturunan


berikutnya”. 16
Menurut Surojo Wignjodipuro dalam bukunya “Pengantar dan Azas-
azas Hukum Adat” memberi pengertian tentang hukum adat waris adalah :
“meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang
materiil maupun immateriil yang mana dari seseorang dapat diserahkan
kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat dan proses
peralihannya”.
Dari definisi beberapa Sarjana Hukum tadi dapat disimpulkan bahwa :
- Hukum waris adalah merupakan aturan hukum.
- Aturan hukum tersebut mengatur proses penerusan harta warisan.
- Harta warisan yang dioperkan/diteruskan dapat berupa harta yang
berwujud dan pula merupakan harta yang tidak berwujud.
- Pengoperan harta tersebut berlangsung antara satu generasi kepada
generasi berikutnya.
Adapun karakteristik dari hukum adat waris adalah sebagai berikut :
- Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau
pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama
ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi.
- Memberi kepada anak angkat hal nafkah dari harta peninggalan
orang tua angkatnya.
- Dikenal sistem pergantian.
- Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun
dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan
khusus tiap waris.
- Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan
melainkan wajib memperhatikan sifat atau macam asal dan

Soelasti, 2008, Hukum Adat Tentang Kedudukan Janda Terhadap Barang Asal
16

Almarhum Suaminya, Fakultas Hukum UNED, hal. 7.

11
12

kedudukan hukum dari pada barang-barang masing-masing yang


terdapat dalam harta peninggalan itu.
Dalam pengertian sebagai proses, maka pengoperan barang-barang
harta peninggalan tersebut ada kalanya sudah mulai semenjak orang tua masih
hidup. Harta kekayaan yang telah dioperkan sesama orang tua masih hidup,
akan diperhitungkan lagi pada saat pembagian warisan setelah orang tua
meninggal. Meninggalnya orang tua memang merupakan suatu hal yang amat
penting dalam suatu pewarisan, karena untuk berlangsungnya proses
pewarisan perlu adanya tiga unsur yaitu :
1. Adanya pewaris (orang yang meninggalkan harta warisan).
2. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan.
3. Adanya ahli waris yang akan menerima warisan tersebut.”
Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Prinsip garis
keturunan ini dipengaruh terutama terhadap penetapan ahli waris maupun
bagian harta peninggalan yang diwariskan.
Walaupun pada umumnya terdapat persamaan pandangan terhadap
pentingnya keturunan bagi suatu keluarga namun di seluruh Indonesia tidak
ada keseragaman dalam cara melihat garis keturunan. Pada prinsipnya di
seluruh Indonesia terdapat tiga cara dalam melihat garis keturunannya.
1 Keturunan yang semata-mata hanya dilihat menurut garis
laki-laki saja (keturunan patrilineal).
1. Keturunan yang semata-mata hanya dilihat menurut garis wanita saja
(keturunan matrilineal).
2. Keturunan yang dilihat baik menurut garis laki maupun garis wanita
(keturunan yang bersifat parental). 17

17
Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, hal. 91.

12
13

Pada umumya pada masyarakat Jawa dengan sistem kekeluargaan


parental dan sistem kewarisan individual sangat memungkinkan untuk
mengoperkan harta kekayaan sejak orang tua masih hidup. Pembagian harta
peninggalan dapat segera dilaksanakan karena misalnya kebutuhan uang dan
berhubung dengan ini karena adanya keharusan untuk memiliki tanah-tanah
pertanian sendiri agar supaya dapat dipakai jaminan. Di lain pihak adanya
milik bersama atas kekayaan tak dibagi-bagi itu misalnya atas sebidang tanah
adalah sebuah syarat riil untuk mempertahankan keutuhan pertalian kerabat.
Pemakaian dan pengurusan harta peninggalan tak berbagi-bagi itu kadang-
kadang dilaksanakan bergilir dan kadang-kadang pada salah satu ahli waris.
Penyerahan harta kekayaan pada waktu orang tua masih hidup yang di
Jawa disebut “Maris eke” setelah orang tua (bapak/ibu) meninggal akan
diperhitungkan lagi. Penyerahan harta kekayaan pada waktu orang tua masih
hidup yang berupa hibah mempunyai ciri bahwa penyerahan atas harta
kekayaan itu dilakukan seketika. Pada masyarakat dengan sistem parental
seperti di Jawa, anak perempuan sama-sama berhak mewaris dengan anak
laki, tapi dengan pembagian yang tidak sama (1:2).

13
14

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Pada umumnya di daerah yang menganut sistem kekeluargaan
parental seperti halnya Pulau Jawa termasuk Madura dan Sulawesi
mengangkat anak itu dari kalangan keponakan-keponakannya.
Mengangkat keponakan menjadi anak itu sesungguhnya merupakan
pergeseran hubungan kekeluargaan (Dalam arti yang luas) dalam
lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai
dengan pembayaran-pembayaran uang ataupun penyerahan-penyerahan
sesuatu barang kepada yang lain khususnya orang tua anak yang
bersangkutan. Yang pada hakekatnya masih saudara sendiri dari orang
yang mengangkat itu, tetapi di Bali dalam pengangkatan anak, prosedur
yang ada adalah sebagaimana biasa dalam prosedur di pengadilan. Calon
Bapak Angkat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dalam hal
ini Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera permohonan kemudian
membayar uang pandaftaran, panggilan dan lain-lain yang jumlahnya
sudah ditentukan setelah dicatatkan dalam buku register perkara dan
dibawakan Ketua Pengadilan untuk ditentukan Majelis Hakim dengan
surat penetapan, kemudian Majelis Hakim menentukan hari sidang
Dengan surat penetapan ia memerintahkan juru sita untuk memanggil para
pihak. Setelah waktu yang ditentukan Majelis memeriksa para pihak,
tentunya para pihak dimintakan saksi-saksi dan bukti-bukti, setelah
Majelis Hakim menjatuhkan putusannya apakah dikabulkan atau ditolak.
Persidangan ini tentunya bisa dua kali sidang ataupun beberapa kali yang
pada dasarnya perkara itu dianggap sudah jelas.

14
15

3.2. Hubungan Anak Angkat Dengan Orang Tua Menurut Hukum


Islam
Hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya ini pada
hukum Islam, tidak mengalami perubahan, tetapi seperti anak yang tidak
diangkat. Memang demikian keadaan untuk suku-suku yang sistem
persekutuan hukumnya kebapak-ibuan (parental), proses pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan anak ersebut dengan orang tua
kandungnya, sesuai dengan pendapat K.R.M.H. Soeripto, bahwa
pengangkatan anak menurut hukum Islam yang ada pada umumnya
bahwa, “di daerah-daerah yang sifatnya kekeluargaan kebapak-ibuan
(parental) tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya sendiri”. Selanjutnya beliau
menjelaskan bahwa “anak angkat itu masuk ke dalam kehidupan
rumah/somah orang tua yang mengambil anak sebagai anggota rumah
tangga (gezintid) bukan keturunan”. 18
Ternyata bahwa untuk suku-suku yang sistem persekutuan
hukumnya parental (suku yang menganutnya adalah Jawa dan Madura)
bahwa hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak putus
(pedot). Jadi hubungan sebagai keluarga dalam suatu rumah tangga tetap
ada. Anak angkat masuk dalam keluarga orang tua angkatnya sebagai
anggota keluarga tidak lebih dari itu.
Hal itu dipertegas lagi oleh Soepomo, bahwa, “menurut Hukum
Islam yang menganut sistem kekeluargaan parental (kebapak-ibuan)
pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak
yang diangkat dengan orang tuanya sendiri.” 19
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa, “anak yang diambil
sebagai anak angkat khususnya di Pulau Jawa biasanya anak

18
K.R.M.H., Soeripto, Op.Cit., hal. 62.
19
Soepomo, R. II., Op.Cit., hal. 101.

15
16

keponakannya sendiri (neefjes of nichtjes-adoptie) baik laki-laki


ataupun perempuan”.
Bertolak dari hal-hal yang diutarakan di atas dapat disimpulkan
prinsip-prinsip pengangkatan anak menurut Hukum islam ialah :
“mencegah, agar seorang anak tidak sampai terlambat dalam hidupnya
dan bersifat pengarahan yang dapat disertai dengan pemberian bantuan
penghidupan untuk kesejahteraan anak”. 20
Tetapi apabila yang diangkat itu orang luar, dan berlatar belakang
belas kasihan atau berhubung dengan kepercayaan bahwa oleh karena
mengangkat anak itu kemudian akan melahirkan anak sendiri sebagai
pancingan dan atau berlatar belakang lain dan tidak ada hubungan darah,
maka hubungan anak angkat yang demikian dengan orang tua angkatnya
kadang-kadang hanya merupakan hubungan kekeluargaan saja dan bukan
penerus sebagai ahli waris.
Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang
mengambil anak itu sebgai anggota rumah tangga (gezinlid), akan tetapi
ini tidak berkedudukan anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan
keturunannya bapak angkat”, untuk suku Jawa proses pengangkatan anak
hanya merupakan anggota keluarga yang bukan sebagai penerus
keturunannya. Sehingga hubungan anak angkat dengan orang tua
angkatnya hanya merupakan hubungan kekeluargaan bukan hubungan
sebagai penerus ahli waris, anak angkat itu masuk kedalam kehidupan
rumah tangga/somah orang tua yang mengangkat anak sebagai anggota
rumah tangga bukan keturunan. Anak yang diangkat itu dinamakan anak
angkat, anak pungut atau anak bukut (Sunda), anak pungut (Jakarta) akan
tetapi ini sama sekali tidak berkedudukan sebagai anak kandung, dengan
fungsi untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya dalam hal ini ia

20
M. Budiarto, SH., 2008, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akapres,
hal. 19.

16
17

berkewajiban lain dari anak kandung. Perlu kiranya dicatat : anak yang
diambil sebagai anak angkat laki-laki atau perempuan menurut pilihan
dan kebutuhan berdasarkan atas alasan bahwa : “supaya suami istri yang
tidak mempunyai anak (keturunan) itu dapat menikmati perasaan seolah-
olah telah punya anak kandung sendiri”.
Karena hanya seolah-olah telah punya anak kandung sendiri maka
hubungan anak angkat dengan orang tua angkat akan tetapi merupakan
hubungan kekeluargaan saja. Dalam artian ia hanya sebagai anggota
keluarga dengan orang tua angkatnya, jadi untuk seterusnya ia bukan lagi
sebagai hubungan lahir bathin yang berakibat sebagai ahli waris.
Masalah hubungan anak angkat dengan orang tua angkat
selanjutnya K.R.M.H Soeripto, menegaskan bahwa di Jawa dan Madura
mengambil dan memelihara anak itu bertujuan supaya suami istri punya
perasaan seolah-olah punya anak kandung sendiri sebagai anggota rumah
tangga. Akhirnya timbul hubungan erat antara Bapak dan Ibu angkat di
satu pihak dan anak angkat di lain pihak, hubungan rumah tangga yang
erat ini menimbulkan hubungan bathin timbal balik antara kedua belah
pihak yang mempunyai konsekwensi terhadap harta kekayaan keluarga,
tetapi perlu diingat dan ditekankan sekali bahwa ; “disini anak angkat
tidak sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, sebab anak angkat
tersebut bukan berfungsi sebagai penerus keturuan dari orang tua
angkatnya dan anak angkat ini hanya sebagai anggota keluarga biasa dari
orang tua angkatnya”. 21
3.3. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Warisan Orang Tua
Menurut Hukum Islam
Di atas telah dijelaskan bahwa hubungan anak angkat dengan
orang tua angkatnya para Sarjana Hukum Adat telah mempunyai
kesepakatan yaitu anak angkat itu masuk ke dalam kehidupan/rumah
21
K.R.M.H. Soeripto, Op.Cit., hal. 152.

17
18

tangga/somah orang tua yang mengambil anak sebagai anggota rumah


tangga bukan untuk proses keturunan Karena anak angkat bukan berfungsi
sebagai penerus keharmonisan maka sehubungan dengan pengertian
hukum adat waris pada umumnya : adalah mengatur penerusan barang-
barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari
suatu angkatan manusia kepada generasi selanjutnya.
Dari pengertian ini maka anak angkat jelas bukan sebagai ahli
waris dari orang tua angkatnya, dari kesimpulan ini kemudian bagaimana
dalam praktek dan kenyataannya (realita) dari anak angkat yang
menyangkut masalah hak warisnya.
Sebelum membahas menelaah lebih mendalam tentang hak waris
anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkatnya perlu disini
penulis bedakan terlebih dahulu tenang barang-barang yang ada pada
orang tua angkatnya. Pada Suku Jawa yang sistem persekutuan hukumnya
adalah parental dalam keluarga itu lazimnya terdapat 3 (tiga) jenis barang
yaitu :
- Barang asal suami
- Barang asal istri
- Barang gono-gini suami istri.
Barang asal adalah barang yang sebelum perkawian dilangsungkan sudah
dimiliki oleh masing-masing calon suami atau istri, barang mana
kemudian dibawa masuk ke dalam perkawinan. Sedangkan pengertian
barang gono-gini adalah barang yang diperoleh selama perkawinan
sebagai usaha bersama dengan cucuran keringat bersama.
Dengan demikian keluarga pihak suami/keluarga pihak istri tidak
berhak menuntut atau menerima dari barang gono-gini dari suami atau
istri yang masih hidup. Perlu dijelaskan bahwa apabila dalam suatu
perkawinan tidak mendapatkan anak barang gono-gini tidak terletak di
dalam lingkaran hak dari keluarga asal dari masing-masing suami/istri.

18
19

Sehubungan dengan adanya macam-macam barang dalam keluarga


sebagaimana tersebut di atas bagaimanakah hak-hak anak angkat terhadap
peninggalan orang tua angkatnya.
Dari kalangan para Sarjana Hukum Adat seperti K.R.M.H.
Soeripto, sesuai dengan pengertian hukum adat waris Beliau tetap
berpendapat dan menilai bahwa bagaimanapun keadaannya anak angkat
tetap bukan ahli waris terhadap barang asal orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak angkat di Hukum Islam bukan untuk penerus
keturunan yang berarti pula bukan penerus ahli waris dan anak angkat
bukan tetesan darah. Maka anak angkat cukup terjamin untuk keperluan
dan kebutuhan sehari-hari. Jadi pada dasarnya K.R.M.H. Soeripto, tetap
berpendapat baik terhadap barang asal/barang gono-gini anak angkat
bukan ahli waris karena mereka bukan penerus keturunan.
Dari pandangan ini kalau kita lihat pada putusan. Mahkamah
Agung ternyata terjadi kotradiksi, karena Mahkamah Agung selaku
lembaga yudikatif di negara kita berpendapat yang berbeda dengan tokoh-
tokoh hukum adat tersebut. Hal ini terbukti dari kasasinya ternyata anak
angkat diakui sebagai ahli waris, yaitu putusan Mahkamah Agung tanggal
18 Maret 1959, Reg. Nomor : 37 K/Sip/1959. “Menurut hukum adat yang
berlaku di Jawa Tengah anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta
barang gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka
(barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya”. 22 Dari putusan ini
dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung telah berpendapat dan
mengeluarkan keputusan bahwa di Jawa Tengah anak angkat sebagai ahli
waris terhadap harta gono-gini orang tua angkatnya karena dalam
keputusan ini telah disebutkan dengan tegas di Jawa Tengah, jadi pulau
Jawa tidak disebutkan secara tegas untuk suku Jawa secara keseluruhan.

22
R. Soebakti, 1984, hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung, Alumni Bandung, hal.

19
20

Putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Juli 1959 Reg. Nomor


182K/Sip/1959, menyebutkan bahwa : “anak angkat berhak mewarisi
harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang
diwarisi dari orang tua angkat tersebut” Berdasarkan keputusan
Mahkamah Agung tersebut di atas dapat dimengerti bahwa Mahkamah
Agung Republik Indonesia selaku pengontrol dan pengembangan Hukum
Nasional secara tegas telah memutuskan bahwa anak angkat di Hukum
Islam dinyatakan sebagai ahli waris terhadap barang gono-gini (barang
pencaharian dari kedua orang tua angkatnya).
Demikianlah cara yang dapat ditempuh untuk menghindari
kemungkinan bahwa “tumbuhnya masalah kewarisan peninggalan
seseorang orang tua angkat dengan anak angkatnya, terutama dalam
kemungkinan menghadapi ahli waris yang lain di hari kemudian”. 23
Di muka telah dejalaskan bahwa pengangkatan anak pada Hukum
Islam serta pada umumnya di daerah-daerah lain yang sifat
kekeluargaannya adalah kebapak-ibuan (parental tidak metuskan
pertalian keluarga antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya sendiri. Ketentuan ini timbul masalah, kemudian
bagaimanakah hubungan yang sesungguhnya terutama yang menyangkut
masalah waris pada anak angkat kepada orang tua kandungnya, maka
pada hakekatnya anak angkat tetap ahli waris dari orang tua kandungnya.
Dipertegas lagi oleh Soepomo, Menurut Hukum Islam pengangkatan anak
adalah ; “tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat
dan orang tuanya sendiri.
Jelas bahwa anak angkat pada prinsipnya adalah ahli waris dari
orang tua kandungnya. Namun perlu diketahui hakekat mengangkat anak

23
Anwar Sitompul, 1994, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan
Menurut Hukum Waris Islam, CV. ARMICO, Bandung, hal.65.

20
21

pada Hukum Islam pada umumnya yang sering terjadi selain karena tidak
punya keturunan adalah berlatar belakang juga karena rasa belas kasihan.

21
22

BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Dari berbagai uraian di atas maka dapat di tarik beberapa
kesimpulan antara lain :
1. Pengangkatan anak menurut Hukum Islam masih tetap
mempunyai hubungan dengan orang tua kandung dan masuk dalam
keluarga orang tua angkatnya sebagai anggota rumah tangga (anak
piatu dalam istilah Bali disebut ubuh).
2. Kedudukan hak waris menurut Hukum islam tidak
mempunyai hak waris terhadap orang tua angkatnya.

3.2. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diketengahkan antara lain sebagai
berikut :
1. Untuk memperkokoh keberadaan status anak angkat maka
orang tua angkat dalam mengangkat anak agar melalui prosedur
yang telah ditentuakn dengan memperhatikan syarat-syarat yang
ada.
2. Dalam Hukum Islam anak angkat tidak sebagai ahli waris
terhadap orang tua angkatnya, maka sebaiknya orang tua angkat
perlu berwasiat pada anak angkatnya supaya tidak terlantar di
kemudian hari.

22
23

DAFTAR BACAAN

Anwar Sitompul, 1994, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan


Menurut Hukum Waris Islam, CV. ARMICO, Bandung

Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009, Seminar Hukum Adat dan


Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Bina Cipta, Cetakan ke-empat

Bhushar Muhammad, 1991, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita,


Jakarta

Budiarto, SH., 2008, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akapres

Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Waris Adat, Penerbit Alumni Bandung

Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta

J.B.A.F. Mayor Polak, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Penerbit


dan Balai Pustaka “Ikhtisar”, Jakarta

Soebakti, 1984, hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah


Agung, Alumni Bandung

Soelasti, 2008, Hukum Adat Tentang Kedudukan Janda Terhadap Barang


Asal Almarhum Suaminya, Fakultas Hukum UNED

Soepomo, R, 1999, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Pradnya


Paramita, Jakarta

23
24

Soeripto, 1989, Hukum Adat Waris Jawa dan Madura, Penerbit Fakultas
Hukum UNED

Subekti, 1989, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Hukum Adat,


Gunung Agung, Jakarta

Surojo Wignjodiporo, 1997, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit


Alumni Bandung

Surojo Wignjodipuro, 1992, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat


Setelah Kemerdekaan, PT. Gunung Agung, Jakarta

Wirjono Prodjodikoro, 1999, Hukum Waris di Indonesia, Penerbit Sumur


Bandung
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP ORANG TUA ANGKAT
DAN HAK MEWARISI MENURUT HUKUM ISLAM

24

Anda mungkin juga menyukai