Anda di halaman 1dari 30

PROSESI ADAT DAN SANKSI

PELANGGAR ADAT DALAM


PERKAWINAN DI JORONG SUNGAI AUR
NAGARI SALINGKA MUARO
Aria Purnomo
(1418.005)

Abstrak
Masyarakat Indonesia terdiria dari
beberapa suku bangsa sehingga di indonesia
memiliki beberapa hukum yang berlaku di
antaranya hukum adat. Hukum adat sendiri
berlaku dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat di suatu daerah. Hukum adat sendiri
muncul dari kebiasaan masyarakat setempat,
salah satu contohnya adalah hukum adat bagi
pelanggar kesepakatan duduk induak-induak di
jorong sungai aur nagari salingka muaro yang
mana apabila kesepakatan ini dilanggar maka
akan dikenakan denda. Untuk mendapatkan
sebuah penulisan yang baik maka dilakukan
penilitian dengan wawancara dan tinjauan
pustaka.

PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara yang memiliki
kekayaan yang beraneka ragam yang tersebar
mulai dari Sabang sampai dengan Merauke.
Kekayaan yang dimiliki Indonesia tersebut bukan
hanya berupa sumber daya alam saja tetapi juga
memiliki kekayaan lain seperti kekayaan akan
kebudayaan suku bangsa yang tersebar di seluruh
kepulauan Indonesia.
Manusia sebagai makhluk yang
berkebudayaan memiliki aktifitas-aktifitas yang
hasilnya akan dirasakan oleh generasi-generasi
penerus Bangsa. Berkat warisan kebudayaan,
manusia dapat mengatasi masalah-masalah yang
terjadi dalam kehidpan. Pewarisa kebudayaan ini
terjadi lewat bahasa, oleh karena ruang lingkup
kebudayaan itu luas sekali, jadipada dasarnya
kebudayaaan itu merupakan suatu proses belajar-
mengajar yang menghasilkan bentuk-bentuk baru
dengan menimba pengetahuan dan kepandaian
dari kebudayaan sebelumnya.
Kebudayaan adalah keseluruhan system
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang di jadikan
milik dari manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1990:180).
Kebudayaan di Indonesia mengalami
perjalanan yang panjang dan dipenuhi oleh
beberapa kebudayaan yang dikuasai oleh nilai-
nilai agama dan kebudayaan asing yang masuk ke
Indonesia sehingga kebudayaan itumenjelma
menjadi kebudayaan yang sekarang dan
mengakar. Diantara kebudayaan yang
berpengaruh adalah Hindu, Budha, Islam dan
Nasrani serta kebudayaan dari barat.
Kebudayaan terdiri dari banyak hal
diantaranya adalah perkawinan. Perkawinan dari
beberapa daerah beraneka ragam pelaksanaan dan
upacara adatnya tetapi sebenarnya mempunyai
maksud yang sama. Perkawinan banyak yang
menggunakan dari agama Islam karena
masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin anatara
seorang pria dangan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkanKetuhanan Yang Maha Esa, sehingga
kehidupan dialamini dapat berkembang dengan
baik. Dalam perkawinan mempunyai tatacara dan
syarat-syarat tertentu yang berbeda-beda di setiap
daerah serta harus terpenuhi dalam
pelaksanaanya (Bakrie A Rachman dan Ahmad
Sukardja, 1919:7)
Adat istiadat pernikahan Minangkabau
merupakan salah satu dari sekian banyak
pernikahan adat disetiap daerah di Indonesia.
Pepatah adat Minangkabau menjelaskan “adat
basandi syarak,syarak basandi kittabullah”
Berpilin antara adat dan agama Islam membawa
konsekuensi sendiri. Baik ketentuan adat,
maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup
dan kehidupan Minang, tidak dapat diabaikan
khususnya dalam pelasanaan perkawinan. Kedua
aturan itu harus dilaksanakan secara serasi,
seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi
pendobrakan terhadap suatu ketentuan adat
maupun ketentuan agama Islam dalam masalah
perkawinan, akan membawa kosekuensi yang
pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan
dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan
masyarakat adat dan agama walau tak pernah
diundangkan tetapi sangat berat dan kadang kala
jauh lebih berat dari pada hukuman yang
dijatukan oleh Pangadilan Agama maupun
Pengadilan Negara. Hukuman itu diantaranya
dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dalam
pergaulan masyarakat Minang.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi
semua syarat dianggap sebagai
perkawinansumbang atau perkawinan yang tidak
memenuhisyarat menurut adat Minang.Selain itu
masih ada tata krama, upacara adat dan ketentuan
agama Islam yang harus dipenuhiseperti tata
krama jampuik-manjapuik, pinang-maminang,
batuka tando, akad nikah, baralek turun bako,
baralek gadang, jalang-manjalang dan lain
sebagainya.Tata krama dan upacara perkawinan
adat ini pun tak mungkin diremehkan karena
semua masyarakat Minang menganggap bahwa
perkawinanitu merupakan suatu yang agung.
Hukum Adat adalah hukum yang berlaku dan
berkembang dalam lingkungan masyarakat di
suatu daerah. Ada beberapa pengertian mengenai
Hukum Adat. Menurut Hardjito Notopuro
Hukum Adat adalah hukum tak tertulis, hukum
kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan
pedoman kehidupan rakyat dalam
menyelenggarakan tata keadilan dan
kesejahteraan masyarakat dan bersifat
kekeluargaan. Soepomo, Hukum Adat adalah
sinonim dari hukum tidak tertulis didalam
peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai
konvensi di badan-badan negara seperti
parleman, dewan provinsi, dan sebagainya,
hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan
yang dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik
di kota maupun di desa-desa. Menurut Cornelis
van Vollennhoven Hukum Adat adalah himpunan
peraturan tentang perilaku bagi orang pribumi
dan Timur Asing pada sutiap pihak mempunyai
sanksi karena bersifat hukum, dan pada pihak
lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan
karena adat (Dewi C Wulandari, 2010:3-4).
Hukum Adat pada umumnya belum atau
tidak tertulis yaitu kompleks norma-norma yang
bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang
selalu berkembang meliputi peraturan tingkah
laku manusia dalam kehidupan sehari-hari,
senantiasa ditaati dan dihormati karena
mempunyai akibat hukum atau sanksi. Dari
empat definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang
tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun
tetap ditaati dalam masyarakat karena
mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak
ditaati. Dari pengertian Hukum Adat yang
diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat
sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal,
dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas
yaitu asas legalitas. Asas legalitas menyatakan
bahwa tidak ada hukum selain yang dituliskan di
dalam hukum. Hal ini untuk menjamin kepastian
hukum. Namun di suatu sisi bila hakim tidak
dapat menemukan hukumnya dalam hukum
tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan
hukumnya dalam aturan yang hidup dalam
masyarakat. Diakui atau tidak, namun Hukum
Adat juga mempunyai peran dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia.
Dari beberapa pengertian dan istilah,
sebagaimana disebutkan di muka dapat kita
ketahui bahwa istilah Hukum Adat merupa-kan
terjemahan dari istilah bahasa asing/Belanda
yaitu Adat Recht yang diketemukan oleh Snouck
Horgronje dan kemudian dipop-ulerkan oleh C.
Van Vollenhoven. Ternyata istilah Hukum Adat
yang merupakan terjemahan dari Adat Recht itu
tidak dikenal dalam masyarakat, dan masyarakat
hanya mengenal atau memakai dan memahami
pengertian adat dan hukum secara terpisah sendi-
sendiri.
Di dalam masyarakat hanya dikenal kata
“ADAT” saja tetapi istilah ini pun berasal dari
bahasa asing/Arab. Istilah adat dapatlah
dikatakan telah diresepsi ke dalam bahasa
Indonesia dan hampir seluruh daerah Indonesia.
Kemudian adat apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia berarti kebiasaan, jadi secara
sederhana istilah Adat Recht dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dan seyogyanya atau
seharusnya menjadi hukum kebiasaan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Hukum Adat itu
adalah sama dengan hukum kebiasaan. Tegasnya
Hukum Adat merupakan istilah lain dari hukum
kebiasaan.
Oleh karena adat adalah kebiasaan yang
normatif dan dipertahankan oleh masyarakat,
maka walaupun ia tidak terus berulang-ulang,
pada saat-saat tertentu akan berulang dan harus
dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka
masyarakat akan mengadakan reaksi. Dengan
dasar atau alasan di atas dan juga tidak
dipertentangkan kedua konsepsi tersebut di atas,
dapat dikatakan bahwa untuk selanjutnya
dinyatakan bahwa pengertian Hukum Adat adalah
sama dengan Hukum Kebiasaan (Sigit Septo
Nugroho, 2016:20).
Berdasarkan historis, budaya minangkabau
berasal dari luhak nan tigo, yang kemudian
menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur,
utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini
wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera
Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan
Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera
Utara, bagian barat Jambi, bagian utara
Bengkulu, bagian barat daya aceh.
Keberadaan hukum adat, khususnya hukum
adat Minangkau, sangat penting dan diakui, tetapi
dalam perkembangannya ada kecenderungan
pemahaman terhadap hukum adat kian “menipis”
di masyarakat. Bahkan dalam masyarakat dimana
hukum adat itu hidup dan berkembang. Kondisi
yang sama tidak terkecuali di alami adat dan
hukum adat Minangkabau. Adanya banyak faktor
yang menjadi penyebab mengapa hal itu terjadi
dan bahkan tidak jarang masyarakat tidak lagi
bisa membedakan antara adat dan hukum adat.
Terhadap adat itu sendiri banyak pengertian
yang dikemukakan para ahli. Satu antaranya
bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh dan
dalam suatu masyarakat ( sudah , sedang, akan )
diadatkan. Sementara itu adat dipandang juga
sebagai kebiasaan normatif yang dipertahankan
oleh masyarakat, walaupun tidak terus terulang,
pada saat-saat tertentu akan berulang dan harus
dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka
masyarakat akan mengadakan reaksi. Dalam
pandangan yang lain disebutkan, bahwa adat
keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup
didalam masyarakat berupa kesusilaan,
kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai
akibat hukum. Dengan pengertian hukum adat
yang demikian sepertinya belum memberikan
suatu garis tegas perbedaan antara adat dan
hukum adat, sebab adat juga dalam ranah
pengertian adat seperti yang telah dikemukakan.
Bahkan dengan pengertian hukum adat yang
demikian sepertinya tidak ada bedanya antara
adat dan hukum adat.
Dalam kaitannya antara adat dan hukum adat
itu, maka dalam masyarakat Minangkabau
dikenal 3 (tiga) alur (alua), yakni;
1. Alur Adat ialah peraturan-peraturan di
da;am adat Minangkabau yang asalnya
peraturan itu dibuat dengan kata mufakat oleh
penghulu setempat (Adat nan teradat). Sewaktu-
waktu dapat berubah umpamanya dalam
melaksanakan helat perkwinan, cara-cara
meresmikan gelar dll
2. Alur Pusako adalah peraturan-peraturan
yang sudah diterima dari nenek moyang kita
di Minangkabau seumpama gelar pusako, pusako,
nagari, syarat nagari undang duo puluah , cupak
nan dua, kato nan ampek dan sebagainya.
3. Jalan nan pasa. Jalan yang perlu ditempuh
oleh setiap manusia yaitu jalan dunia dan jalan
akhirat.

Selanjutnya dalam Masyarakat Minangkabau


dikenal pula 4 pembagian adat, yakni:
1. Adat Nan Sabana Adat. Adat Nan Sabana
Adat adalah aturan pokok dan falsafah yang
mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku
turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat,
waktu dan keadaan sebagaimana dikiaskan
dalamkata-kata adat. “Nan tidak lakang dek
paneh. Nan indak lapuak dek ujan. Paling-paling
balumuik dek cindawan”.
2. Adat Nan Diadatkan. Adat nan diadatkan
adalah kaidah, peraturan, ajaran, undang-
undang dan hukum yang ditetapkan atas dasar
“bulat mufakat” (kesepakatan) para penghulu
tua-tua adat cerdik pandai dalam Majelis
kerapatan adat atas dasar alur dan patut. Ada
juga yang mengartikan sebagai Peraturan yang
dibuat oleh Dt Perpatih nan Sabatang dan Dt
Ketemangungan yang dicontoh dari adat nan
sabana adat yang dilukiskan peraturan itu
dalam pepatah.
3. Adat Nan Teradat. Adalah peraturan yang
dibikin oleh penghulu-penghulu dalam suatu
nagari atau dalam beberapa nagari peraturan
mana untuk mencapai tujuan yang baik dalam
masyarakat. Dimana adat Teradat ini tidak sama
ditiap-tiap nagari atau bisa berbeda di tiap
negari. " Adat sepanjang jalan. . Bacupak
sepanjang batuang. Lain lubuak lain ikan. Lain
padang lain bilalang. Lain nagari lain adatnyo.
Adat sanagari-nagari".
4. Adat Istiadat Adat istiadat adalah
kebiasaan yang berlaku dalam suatu tempat
yang berhubungan dengan tingkah laku dan
kesenangan masyarakat dalam nagari.

Memahami 4 macam pembagian adat


minangkabau tersebut, maka dapat disimpulkan
menjadi dua pengelompakan yang penting yakni;

1. Adat nan babua mati. Ialah adat dan


sabana adat adat nan teradatkan (berlaku
umum di Minangkabau).
2. Adat nan babuhua sintak. Ialah adat
teradat dan adat istiadat; (adat Salingka
Nagari)

Kedua sifat adat Minangkabau seperti


dikemukakan di atas tentu tidak boleh
dipertukarkan letaknya atau disama ratakan saja.
Hal ini menjadi penting, karena tidak jarang
terjadi sifat adat Minangkabau yang bersifat
“babuhua mati” dikalahkan oleh adat
Minangkabau “nan babuhua sintak”, dengan dalil
adat salingka nagari. Padahal jika sesuatu itu
terkait dengan persoalan yang masuk dalam adat
“nan babuhua mati”, maka adat “nan salingka
nagari” atau “adat nan babuhua sintak” tentu
dikemudiankan dan mendahulukan adat “nan
babuhua mati”. Sikap ini menjadi sangat penting
peranannya terutama dalam konteks penegakan
hukum adat dan disisi lain sebagai upaya
menghindari terjadinya silang-sengketa dalam
masyarakat.

Dengan mengemukakan alur adat dan


pembagian serta sifat adat Minangkabau seperti
dikemukakan di atas, maka kita kembali pada
persoalan antara adat dan hukum adat
Minangkabau. Dalam konteks ini yang dimaksud
dengan adat di Minangkabau adalah adat yang
tidak “lekang dipanas, tidak Iapuk dihujan” yaitu
adat ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Di
kalangan masyarakat istilah “hukum adat” jarang
digunakan, yang lazim digunakan adalah “adat”
saja, tetapi jika istilah tersebut digunakan secara
secara campur aduk akan menimbulkan masalah.
Sebab secara prinsip dan teknis ada perbedaan
antara adat dan hukum adat. Hukum adat adalah
bagian tertentu dari adat yang memiliki atau
mempunyai akibat hukum. Pada tatatan ini, tentu
dengan pemahaman, bahwa tidak semua adat
menimbulkan atau mempunyai akibat hukum.
Meskipun di sisi lain masih memerlukan
pemikiran yang mendalam apakah bisa dikatakan
hukum adat Minangkabau sebagai bagian dari
adat Minangkabau.

Perbedaan pandangan tentu bisa terjadi,


namun setidaknya sebagai upaya pencarian garis
tegas dalam setiap tindakan dalam masyarakat
adat Minangkabau yang memiliki akibat hukum
dengan yang tidak memiliki akibat hukum. Di
sisi lain, dalam setiap pengambilan keputusan
atau melakukan suatu tindakan dalam konteks
adat, maka haruslah dilihat terlebih dahulu
apakah persoalannya menyangkut sesuatu yang
sudah diatur dalam adat yang bersifat “babua
mati” dan bila “ya”, maka adat nan babua sintak
tentu tidak seharusnya berada dibelakang.
Mungkin ada pendapat lain, dan hal itu sejatinya
akan memperkaya pemahaman kita terhadap adat
dan hukum adat Minangkabau (Catatan Hukum
Boy Yendra Tamin Dt Suri Dirajo).

Dalam budaya Minangkabau, perkawinan


merupakan salah satu peristiwa penting dalam
siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan
yang sangat berarti dalam membentuk kelompok
kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi
masyarakat Minangkabau yang beragama Islam,
perkawinan dilakukan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Ragam perkawinan masyarakat adat
Minangkabau ada 2 (dua), yaitu:
1. Perkawinan ideal yaitu perkawinan antara
keluarga dekat seperti anak dari kemenakan;
2. Kawin pantang yaitu perkawinan yang
tidak dapat dilakukan seperti anak se-ibu atau
se-ayah. Tata cara perkawinan masyarakat adat
Minangkabau ada 2 (dua), yaitu:
a. Perkawinan menurut kerabat perempuan
yaitu pihak perempuan yang menjadi
pemrakarsa dalam perkawinan dan dalam
kehidupan rumah tangga, dari mulai mencari
jodoh hingga pelaksanaan perkawinan;
b. Perkawinan menurut kerabat laki-laki,
yaitu pihak laki-laki yang menjadi pemrakarsa
dalam pernikahan dan rumah tangga, dari mulai
mencari jodoh hingga pelaksanaan
perkawinan dan biaya hidup sehari-hari. Bentuk
perkawinan di Minangkabau telah mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebelumnya, seorang suami tidak berarti
apa-apa dalam keluarga istri, kini suamilah yang
bertanggungjawab dalam keluarganya
(Asmaniar)
Bentuk perkawinan di Minangkabau telah
mengalami perubahan. Menurut adat
Minangkabau, perkawinan berlaku secara
eksogami ditinjau dari segi lingkungan suku dan
endogami ditinjau dari lingkungan
nagarieksogami suku berarti bahwa seseorang
tidak boleh mengambil jodoh dari kelompok
sesukunya. Alasannya karena orang yang sesuku
adalah bersaudara, sebab masih dapat ditarik
garis hubungan kekerabatannya secara
matrilineal dan menurut asalnya mereka sama-
sama serumah gadang. Perkawinan endogami
nagariberarti bahwa seseorang dalam mencari
jodoh harus di antara orang sesama nagaridan
tidak boleh kawin ke luar dari nagari. Alasan
keharusan endogami nagariitu ialah karena
seorang suami bertempat pada dua rumah.
Sebagai urang sumandoia tinggal dan bermalam
di rumah istri. Ia juga mamakrumah di rumah
ibunya dan mempergunakan waktu siangnya
bekerja di rumah ibunya untuk membantu
kemenakannya dalam mengolah harta pusaka.
Adanya tempat yang ganda ini hanya mungkin
berjalan baik bila rumah istrinya tidak berjauhan
dari rumah ibunya. Inilah di antara yang
menyebabkan larangan kawin ke luar nagari.
Seorang suami yang selama ini hanya
sebagai seseorang yang tidak berarti apa-apa
dalam keluarga istri kemudian berubah menjadi
seorang suami yang penuh tanggung jawab
terhadap kehidupan anak dan istrinya. Apabila
tanggung jawab terhadap anak dan istri sudah
penuh, maka yang demikian berarti bahwa waktu
yang dipergunakan di rumah istrinya bukan
hanya pada malam hari saja, tetapi sudah
menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah
istrinya atau bahkan semua waktunya berada di
rumah sendiri bersama anak dan istrinya.
Masalah yang dihadapi dalam perkawinan
dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini pada
masyarakat Minangkabau apalagi yang berada di
kota, hanya tinggal bekas-bekasnya dalam arti
kata tidak ada lagi murni menurut hukum adat.
Sebagai ciri pokok dalam perkawinan
masyarakat Minangkabau adalah dimana dalam
perkembangan kedua suami istri sudah hidup
bersama secara tetap dalam suatu rumah yaitu
dalam rumah istrinya dan adanya kehidupan
bersama antara suami istri sudah merupakan
suatu kesatuan rumah tangga yang berdiri sendiri.
Oleh karena itu, pada masa sekarang ini peranan
yang menonjol dari seorang laki-laki dewasa
adalah sebagai ayah, bila ia telah menikah.
Falsafah Adat Minangkabau memandang
bahwa suami merupakan orang datang. Dengan
sistem matrilokalnya, hukum adat memposisikan
suami sebagai tamu di rumah istrinya. Sebagai
tamu atau orang datang, maka berlaku nilai moral
datang karano dipanggia, tibo karano
dijapuik(datang karena dipanggil, tiba karena
dijemput). Dalam prosesi pernikahan, selalu laki-
laki yang diantar ke rumah istrinya, sebagai
ketulusan hati menerima, maka dijemput oleh
keluarga istri secara adat. Begitupula sebaliknya,
sebagai wujud keikhlasan melepas anak
kemenakan maka laki-laki diantar secara adat
oleh kerabat laki-laki. Karenanya laki-laki
disebut juga sebagai “orang jemputan”
(Welhendri 2001: 56).\
Dalam prosesi adat Minang juga akan terbagi
dua, tradisi sebelum akad nikah dan tradisi
sesudah akad nikah. Di daerah Sungai Aur
Nagari Salingka Muaro, saat menjemput berbeda
dengan daerah lainnya. Bajapuik (japuik atau
Jemput) adalah tradisi perkawinan yang menjadi
ciri khas di daerah Sungai Aur. Bajapuik
dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga
laki-laki memberi sejumlah uang atau benda
kepada pihak perempuan (calon istri) sebelum
akad nikah dilangsungkan. Uang japuik adalah
pemberian dari keluarga pihak laki-laki kepada
pihak perempuan yang diberikan pihak laki pada
saat cara manjapuik anak daro. Jadi uang
jemputan (uang japuik) adalah sejumlah
pemberian berupa uang atau benda yang bernilai
ekonomis yang diberikan pihak keluarga calon
pengantin laki-laki (marapulai) kepada pihak
calon pengantin perempuan (anak daro) pada saat
acara penjemputan calon pengantin perempuan
(manjapuik anak daro).
Penetapan uang japuik biasanya ditetapkan
dalam acara sebelum perkawinan, biasanya
mamak (paman dari pihak ibu) akan bertanya
pada calon marapulai, apakah benar-benar siap
akan menikah, karena biaya baralek (resepsi)
beserta isinya termasuk uang japuik akan
disiapkan oleh keluarga laki-laki. Bila
keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga
akan mempertimbangkan menjual harta pusako
(hartapusaka/warisan) untuk membiayai
pernikahan.
Uang japuik mengandung makna yang
sangat dalam yaitu saling menghargai antara
pihak laki-laki dengan perempuan. Ketika pihak
laki-laki tidak hanya mengembalikan dalam
bentuk uang japuik, maka pihak laki-laki merasa
lebih dihargai. Begitu pula pihak perempuan juga
merasa lebih dihargai dengan uang dan emas
yang dilebihkan nilainya dari uang japuik, saat
pengembalian inilah disebut dengan uang agiah
jalang.
Pernikahan sendiri di jorong sungai aur
nagari salingka muaro sistem japuik “jemput”
dimana pihak laki-laki akan membayar mahar
sebesar yang di minta pihak perempuan. Di saat
lamaran berlangsung atau “malataan tando” calon
suami sendiri tidak boleh hadir hanya diwakili
umak “ibu” dan ayah sang calon mempelai laki-
laki, mamak sang calon mempelai laki-laki serta
ninik mamak. Pada saat inilah yang terlibat
dalam acara “malataan tando” akan menentukan
tanggal nikah dan tanggal baralek “resepsi”.
Setelah menikah tepatnya 3 (tiga) hari sebelum
baralek “resepsi” ada serangkaian acara yang
biasa dilakukan yaitu duduk induak-induak,
dimana acara ini dilakukan di rumah anak daro
“pengantin perempuan” yang dihadiri tetangga
dan ninik mamak. Pada acara berlangsung pihak
anak daro “pengantin perempuan” akan
menyampaikan rangkaian acara yang akan di
adakan sampai acara baralek berlangsung seperti
Ronggeng, Talempong, Kuda Kepang atau Reog,
manyambuang umah, Orgen, Boarak. Apabila ada
salah satu rangkaian kegiatan dilaksanakan tapi
dilakukan maka mereka harus membayar denda
saikua kambiang (satu ekor kambing) atau uang
sebesar Rp 1.500.000. Denda ini akan digunakan
untuk kepentingan adat atau dipergunakan untuk
membangun mesjid. Namun di sini apabila pihak
keluarga menyampaikan semua rangkaian acara
baralek namun tidak dilaksanakan maka tidak ada
hukum adat yang mengikat sehingga tidak ada
denda yang akan di bayarkan (Mongku Adat
Bosa Menjunjung Bilang).
Dalam acara baralek sendiri ada juga
rangkaian kegiatan yang dilakukan, seperti
Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai
laki-laki di rumah calon mempelai perempuan
(penyambutan di rumah anak daro) merupakan
momen meriah dan besar. Dilatari bunyi musik
tradisional yang berasal dari talempong, keluarga
mempelai perempuan menyambut kedatangan
mempelai laki-laki. Berikutnya, barisan dari
menyambut rombongan dengan persembahan
sirih lengkap. Para sesepuh perempuan menaburi
calon pengantin laki-laki dengan beras kuning.
Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon
mempelai laki-laki diperciki air sebagai lambang
mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih
menuju ke tempat berlangsungnya resepsi. makan
ninik mamak atau dikenaal juga dengan sebutan
manutuik alek “menutup pesta”. Sebelum acara
makan ninik mamak dilakukan sambut kata
antara ninik mamak semabari dari itu makanan
akan masuk ditengah acara berlangsung yang
mana makanan itu telah ditentukan setiap isinya
oleh puti. Disaat ini juga sering terjadi kesalahan
saat memasukkan makanan sehingga pihak
keluarga juga harus membayar denda “sanksi
adat” sebanyak 2 sak semen.
Setelah acara baralek selesai, kedua
mempelai tetap di rumah pengantin perumpuan
paling lama 3 (tiga) hari. Setelah itu keluarga
laki-laki akan menjemput kedua mempelai untuk
dibawa kerumah laki-laki. Dalam penjemputan
pihak laki-laki membawa gulai ayam, ayam
kampung jantan 1 (satu) ekor dan kelapa 4 buah.
KESIMPULAN
Bentuk perkawinan di Minangkabau telah
mengalami perubahan. Menurut adat
Minangkabau, perkawinan berlaku secara
eksogami ditinjau dari segi lingkungan suku dan
endogami ditinjau dari lingkungan nagari
eksogami suku berarti bahwa seseorang tidak
boleh mengambil jodoh dari kelompok
sesukunya. Alasannya karena orang yang sesuku
adalah bersaudara, sebab masih dapat ditarik
garis hubungan kekerabatannya secara
matrilineal dan menurut asalnya mereka sama-
sama serumah gadang. Perkawinan endogami
nagari berarti bahwa seseorang dalam mencari
jodoh harus di antara orang sesama nagari dan
tidak boleh kawin ke luar dari nagari. Alasan
keharusan endogami nagari itu ialah karena
seorang suami bertempat pada dua rumah.
Sebagai urang sumando ia tinggal dan bermalam
di rumah istri. Ia juga mamak rumah di rumah
ibunya dan mempergunakan waktu siangnya
bekerja di rumah ibunya untuk membantu
kemenakannya dalam mengolah harta pusaka.
Adanya tempat yang ganda ini hanya mungkin
berjalan baik bila rumah istrinya tidak berjauhan
dari rumah ibunya. Inilah di antara yang
menyebabkan larangan kawin ke luar nagari.
Seorang suami yang selama ini hanya
sebagai seseorang yang tidak berarti apa-apa
dalam keluarga istri kemudian berubah menjadi
seorang suami yang penuh tanggung jawab
terhadap kehidupan anak dan istrinya. Apabila
tanggung jawab terhadap anak dan istri sudah
penuh, maka yang demikian berarti bahwa waktu
yang dipergunakan di rumah istrinya bukan
hanya pada malam hari saja, tetapi sudah
menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah
istrinya atau bahkan semua waktunya berada di
rumah sendiri bersama anak dan istrinya.
Sebagai ciri pokok dalam perkawinan
masyarakat Minangkabau adalah dimana dalam
perkembangan kedua suami istri sudah hidup
bersama secara tetap dalam suatu rumah yaitu
dalam rumah istrinya dan adanya kehidupan
bersama antara suami istri sudah merupakan
suatu kesatuan rumah tangga yang berdiri sendiri.
Oleh karena itu, pada masa sekarang ini peranan
yang menonjol dari seorang laki-laki dewasa
adalah sebagai ayah, bila ia telah menikah.
Dari adat yang berlaku ini maka masyarakat
harus mentaatinya sehingga adat yang ada saat ini
tetap lestari dimasa depan, sehingga dapat
diwariskan kepada anak cucu kamanakan. Dan
para ninik mamak harus selalu mengajarkan atau
mengenalkan adat yang ada kepada anak cucu
kamanakan sehingga mereka paham akan ada dan
pentingnya suatu adat dan tidak terjadi
pelanggaran sehingga anak cucu kamanakan
tidak terkena sanksi adat yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, Sigit Sapto. 2016. Pengantar Hukum
Adat Indonesia. Solo:Pustaka Iltizam
Wulansari, Dewi C. 2010. Hukum Adat Indonesia
Suatu Pengantar. Bandung:PT Refika
Aditama
https://WWW.boyyendratamin.com
https://fh-unkris.com
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta:PT Rineka Cipta
Rachman, Bakrie A dan Ahmad Sukardja. 1919.
Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, UU
Perkawinan dan BW. Jakarta:PT Hida Karya
Agung

Anda mungkin juga menyukai