Anda di halaman 1dari 8

EKSISTENSI SILARIANG (HUKUM ADAT

SUKU BUGIS – MAKASSAR)

ADE PUTRA HENDRAWAN


Fakultas Hukum, Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada
E-mail: adep9380@gmail.com
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas
berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbeda-beda.
Keanekaragaman terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke. Indonesia adalah negara yang melahirkan beragam suku bangsa dan dari
suku-suku itulah yang membuat adanya ciri khas atau keunikan dari setiap suku yang
berada di Indonesia.
Bugis adalah salah satu etnik besar di Sulawesi Selatan. Kebudayaan Bugis-
Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis Makassar yang mendiami
jazirah selatan pulau Sulawesi. Suku Bugis sebagai salah satu suku terbesar di
Sulawesi Selatan memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Ada tiga wujud kebudayaan,
yaitu sistem budaya, sistem sosial dan hasil nyata budaya yang satu sama lain
berhubungan secara timbal balik dan saling berhubungan dengan struktur kebudayaan.
Struktur kebudayaan yang dimaksud antara lain adalah sistem politik yang mengatur
hubungan antara anggota masyarakat terutama yang barkaitan dengan pembagian
tugas dan penyelenggaraan kekuasaan. Kekuasaan kerajaan yang dianut oleh bangsa
Bugis zaman dulu adalah berbentuk monarchi atau kerajaan.1
Keberagaman suku bangsa di Indonesia juga berpengaruh terhadap sistem
perkawinan dalam masyarakat. Pada masyarakat Suku Makassar, menjunjung tinggi
adat- istiadat yang disebut dengan siri’ yang berarti segala sesuatu yang menyangkut
hal yang paling peka dalam diri masyarakat Makassar, seperti martabat atau harga
diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam
kehidupan nyata.
Penyelenggaraan pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang sangat
penting dalam adat istiadat masyarakat Makassar. Bagi masyarakat Makassar
hubungan intim antara laki-laki dan perempuan tanpa didahului oleh penyelenggaraan
1
pesta pernikahan adalah merupakan perbuatan yang sangat memalukan
(mappakasiri’). Perbuatan memalukan dalam konteks ini bagi orang Makassar bukan
hanya dirasakan sebagai beban moral keluarga inti yang bersangkutan, tetapi juga
merupakan aib (siri’) yang ditanggung oleh seluruh anggota kerabat dekat.
Pada Umumnya Dasar Hukum Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 2 Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 2
Sedangkan menurut undang- undang Perkawinan no 1 tahun 1974 pasal 1 Perkawinan
adalah ikatakan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3
Pernikahan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah cukup
umur, yang dapat melakukan perbuatan hukum (dewasa), sehat jasmani maupun
rohani. Keabadian ikatan pernikahan merupakan tujuan dasar aqad nikah dalam Islam.
Janji yang diikrarkan setelah aqad berlaku untuk selamanya, sepanjang hayat manusia.
Supaya suami dan isteri secara bersama-sama dapat mewujudkan sebuah mahligai
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah sedangkan Nikah adalah suatu
akad yang mengandung kebolehan berjima’ (berhubungan intim) dengan lafal nikah,
kawin, atau yang semakna. Nikah merupakan salah satu sunnah Rasul. Sedangkan
yang dimaksud dengan perkawinan lari atau melarikan adalah bentuk perkawinan
yang tidak didasarkan atas persetujuan lamaran orang tua, tetapi berdasarkan kemauan
sepihak atau kemauan kedua pihak yang bersangkutan. Lamaran dan atau persetujuan
untuk perkawinan diantara kedua pihak orang tua terjadi setelah kejadian melarikan,
atau yang bersangkutan telah memiliki keturunan (anak).4
Kasus silariang atau kawin lari di Sulawesi Selatan, sejak dulu hingga kini
masih sering terjadi. Pelaku silariang tidak peduli alias tidak menghiraukan sanksi
yang bakal dihadapi, meskipun harus berhadapan dengan ujung badik (ditikam). Bagi
pelaku silariang, selama cinta bersemi, sanksi maut pun akan tetap dihadapi. Dalam
kasus silariang ini, pelaku tidak jarang dihadang oleh tumasiri’
(dari pihak keluarga perempuan) yang kadang berakhir dengan penganiayaan atau
bahkan pembunuhan. Perempuan yang melakukan kawin lari disebut tumanyala’

4
sedangkan keluarga perempuan yang malu akibat perbuatan si perempuan, disebut
tumasiri’. Bagi suku Bugis, sejak dari dulu berlaku hukum adat, khususnya
menyangkut masalah siri’ dan di sisi lain berlaku pula hukum positif yang disebut
hukum pidana.
B. Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode kualitatif serta teknik pengamatan,
wawancara dan pustaka.  Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui
eksistensi tradisi silariang atau kawin lari sebagai bentuk penyimpangan aturan dan
adat perkawinan Makassar.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


A. Kajian tentang Hukum Adat
Hukum adat adalah aturan yang tidak tertulis dan merupakan pedoman untuk
sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pegaulan hidup
seharihari baik di kota maupun di desa.5 Hukum adat adalah hukum yang hidup
karena ia menjalankan perasaan hukum masyarakat secara nyata. Hal ini
dimungkinkan karena hukum adat tersebut berurat dan berakar pada kebudayaan
masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat sebagai salah satu sumber
pembentukan hukum nasional tetap memiliki kedudukan yang sangat penting. Dalam
kerangka pembangunan hukum nasional, hukum adat yang merupakan hukum yang
hidup (living law) adalah salah satu unsur yang diakui urgensinya.6

B. Asal Muasal Hukum Adat Bugis


Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara
setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis”
berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada
raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu
La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka
merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-
orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai

6
dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri
adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang
membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman
folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Menurut sejarah perkembangannya, agama Islam pertama kali diterima dan
dijalankan oleh kalangan raja (arung) sehingga dengan keadaan itu memudahkan
penyebarannya kepada rakyat, di mana rakyat menerima perintah rajanya secara patuh
dan pasrah (polo papa polo panni) untuk menjalankan agama Islam. Agama Islam
selain berintikan ajaran ibadah (pakkasiwiyang) juga memuat ajaran-ajaran hukum
yang disebut sarak (syariat), sarak inilah kemudian yang melahirkan adat kebiasaan
dan selanjutnya berwujud menjadi hukum adat.
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis religius) artinya
perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang gaib dan atau berdasarkan pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena apabila manusia akan memutuskan sesuatu atau mau melakukan sesuatu
biasanya berdoa memohon keridhaan tuhan yang ghaib, dengan harapan karya itu
akan berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, dan tidak melanggar pantangan
(pamali) yang dapat berakibat timbulnya kutukan dari yang Maha Kuasa.
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya
ia lebih mengutamakan kepentingan bersama. ”satu untuk semua dan semua untuk
satu” hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan
oleh rasa kebersamaan, tolong menolong, dan gotong-royong.

C. Perkawinan Silariang Dalam Pandangan Hukum Adat Makassar


Pada umumnya Hukum adat merupakan hukum asli Indonesia, kata Adat
sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Kebiasaan tersebut ditiru dan
akhirnya berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Hukum adat tidak tertulis akan tetapi
dipatuhi oleh anggota masyarakat adat. Hukum adat merupakan bentuk dari adat yang
memiliki akibat hukum. Hukum adat berbeda dengan hukum tertulis ditinjau dari bentuk
sanksi yang diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran. Bentuk sanksi hukum adat
menitikberatkan pada bagian moral serta material, hukum adat tidak mengenal penjara
sebagai tempat para pelanggar menjalani hukuman yang telah ditetapkan oleh hakim.
Menurut Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa7 hukum adat merupakan
adat yang disertai dengan sanksi. Apabila ada adat yang tidak memiliki sanksi maka hal
tersebut berupa bentuk aturan perilaku dan secara terus menerus berlaku dalam masyarakat
sehingga disebut sebagai kebiasaan yang normatif. Oleh karena itu, perbedaan antara hukum
adat dengan adat kebiasaan itu sendiri tidak jelas titik batasannya.
Kata hukum adat sendiri adalah hasil terjemahan dari kata adat recht.
Suriyaman Mustari Pide menjelaskan bahwa8 Snouck Hurgronje merupakan orang yang
pertama kali memperkenalkan hukum adat secara ilmiah. Adat recht digunakan untuk
menggambarkan social control atau sistem pengendali sosial yang hidup di masyarakat. Adat
adalah kebiasaan atau perilaku- perilaku yang ditimbulkan oleh manusia yang kemudian
dicontoh oleh orang lain dan lambat laun juga ditiru oleh keturunannya. Pada akhirnya
kebiasaan tersebut menjadi adat dan berlaku untuk anggota masyarakat untuk kemudian
disebut sebagai hukum adat. Adapun orang yang pertama kali mengembangkan hukum adat
secara ilmiah adalah Cornelis Van Vollenhoven yang merupakan pakar hukum adat Hindia
Belanda.9

Masyarakat makassar dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh adat istiadat serta
menegakkan hukum adat yang berlaku di daerah tersebut. Di kawasan makassar terdapat
berbagai macam pelanggaran adat yang hingga kini masih terus terjadi seperti silariang.
Sanksi atas pelanggaran adat tersebut juga dijunjung tinggi oleh masyarakat adat tanpa ada
perbedaan antara satu dengan yang lain. Silariang sering juga disebut dengan kawin lari.
Khusus untuk daerah Sulawesi Selatan, silariang dianggap sebagai hal yang
sangat memalukan bahkan sanksinya bisa sampai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga
dari pihak perempuan yang merasa sebagai pihak yang dirugikan dan dibuat malu oleh laki
laki yang membawa anak perempuannya. Dalam berbagai kasus orang yang melakukan
silariang menyadari bahwa hal tersebut salah dan akan mendapat sanksi akan tetapi pilihan
silariang ini juga banyak dipilih oleh pasangan yang tidak direstui. Efek dari silariang tidak
hanya melekat pada yang melakukan pelanggaran terhadap pelanggaran adat silariang
melainkan juga pada keluarga pihak laki-laki dan perempuan seperti adanya rasa malu. Oleh
karena itu diberlakukan sanksi adat baik itu dikeluarkan dari anggota keluarga ataupun
dibunuh tergantung dari kasus silariang yang terjadi.

9
Menurut masyarakat adat Makassar hal ini merupakan suatu pelanggaran adat.
Kasus silariang di daerah ini terjadi dengan beragam motif dan jenis kasus. Terdapat jenis
silariang yang dikehendaki oleh laki- laki yang kemudian membujuk perempuan atau
sebaliknya dan ada juga jenis silariang yang dikehendaki oleh kedua belah pihak baik laki-
laki maupun perempuan. penting untuk mengetahui penerapan sanksi dari silariang juga
penting untuk mengetahui dasar dari penerapan sanksi atas pelanggaran adat tersebut dan
bagaimana tata cara penerapan yang dilakukan oleh pemangku adat dan masyarakat adat
makassar dalam memberi ganjaran terhadap orang yang melakukan silariang.
Silariang berarti berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat
perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari. Dengan peristiwa ini maka timbullah
ketegangan dalam masyarakat, terutama keluarga gadis yang lari atau dibawa lari. Pihak
keluarga gadis menderita siri sehingga to masiri berkewajiban appaenteng siri keluarganya
dengan membunuh lelaki yang melarikan gadisnya, kecuali bila lelaki tadi telah berada dalam
rumah atau pekarangan anggota adat atau pemuka masyarakat atau setidak - tidaknya telah
sempat membuang penutup kepalanya ke dalam pekarangan rumah anggota adat tersebut
yang berarti ia sudah ada dalam perlindungan, maka ia tak dapat diganggu lagi, begitu pula
kalau ia sedang bekerja di kebun, di ladang atau di sawahnya.
Sebab umum dari pada peristiwa silariang ialah karena yang bersangkutan
tidak dapat melakukan syarat-syarat terlaksananya perkawinan adat. Dan adapun jalan
keluarnya ialah berusaha melakukan perkawinan di luar tata cara perkawinan adat dengan
jalan silariang. Oleh kerena itu silariang dalam masyarakat suku Makassar merupakan
perkawinan yang tidak sewajarnya karena tidak sesuai norma adat yang berlaku dalam
masyarakat, menimbulkan siri’ bagi keluarga pelaku silariang utamanya bagi keluarga
perempuan.

D. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Silariang


Terlepas dari historis silariang atau (kawin lari) dimana silariang akan selalu
bersinggungan dengan budaya dan adat istiadat setiap suku. Nilai-nilai budaya pada
suku manapun di negara ini akan selalu menukik kedalam identitas pernikahan kapan
dan dimanapun dilangsungkan.
Pada suku makassar tradisi uang panai telah menjadi bagian integral untuk
melangsungkan pernikahan kedua insan yang saling mencintai, namun akibat uang
panai terkadang berunjung pada jalan pintas yakni silariang.
Faktor yang paling banyak menyebabkan perkawinan silariang pada suku
Makassar adalah :
a. Menentang perjodohan (kawin paksa)
Kebiasaan sebagian orang tua, dalam mencarikan jodoh anaknya selalu
mencari dari keluarga, baik yang dekat maupun sepupu satu kali, dua kali
tujuannya agar harta warisan itu tidak jatuh keluar. Bagi golongan masyarakat
keturunan raja dan bangsawan pada umumnya mereka mencarikan jodoh
anaknya dari golongan sederajat, turunan bangsawan, anak karaeng.
b. Faktor ekonomi
Menurut adat perkawinan suku Makassar, sebelum melakukan suatu
perkawinan, terlebih dahulu pihak laki-laki melamar yang disertai dengan
persyaratan…berupa…uang…belanja (doi’ panai) berikut mahar dan mas
kawinnya serta beberapa persyaratan lainnya. Bilamana persyaratan yang
ditetapkan oleh pihak perempuan tidak dapat dipenuhi oleh pihak laki- laki,
karena kondisi ekonominya memang tidak memungkinkan, yang bisa
menyebabkan perkawinannya batal. Sedang disisi lain, keduanya sudah saling
mencintai, maka mereka menempuh jalan dengan cara kawin lari (silariang)
agar bisa selalu bersama.
c. Lamaran ditolak
Orang tua dari pihak perempuan menolak lamaran dari laki-laki yang mau
melamar anak gadisnya, bukanlah di tolak tanpa alasan. Dari beberapa hasil
penelitian, seperti ditulis oleh Salemuddin yang menyebabkan sehingga
lamaran dari pihak laki-laki itu ditolak oleh pihak keluarga perempuan, yaitu;
perbedaan strata sosial/status sosial dalam masyarakat.

KESIMPULAN
Hukum Adat yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Bugis banyak
didasari oleh agama yang dianut yaitu agama Islam. Namun demikian, norma-norma
adat tetap memiliki peranan penting pula dalam menyelaraskan kehidupan
masyarakatnya. Adat bagi orang Bugis Makasar tidaklah berarti hanya sekedar
kebiasaan-kebiasaan, melainkan merupakan konsep kunci dalam memahami manusia
Bugis Makasar.
Konsep silariang dalam masyarakat suku Makassar merupakan perkawinan
yang tidak sewajarnya karena tidak sesuai norma adat yang berlaku dalam
masyarakat, menimbulkan siri’ bagi keluarga pelaku silariang utamanya bagi keluarga
perempuan, dan adapun sanksi yang diterapkan tetua adat baik sanksi ringan maupun
sanksi berat harus diterima oleh pelaku silariang kerena sudah menjadi tradisi.
Perasaan siri’ yang tinggi hanya timbul pada saat adanya berita anaknya melakukan
silariang tetapi setelah pelaku silariang datang maabbaji (diterima kembali oleh
keluarga perempuan), maka perasaan siri’ keluarga lambat laun semakin berkurang
bahkan akan dilupakan.

REFERENSI
Ahmad Ubbe. Laporan AkhirPenelitian Hukum Tentang Perkembangan Hukum
Adat Di Propinsi Sulawesi Selatan. Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional 2005.

Adji Usman Sution, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Penerbit, Liberty, Yogyakarta,
1989.
Muhammad Bushar, Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.

Bewa Ragawino, S.H., M.SI. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia.
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Volume
17, Nomor 2, Juli-Desember 2018.

Hadikusuma Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit, Mandaar Maju,
Bandung, 2003.
Soekanto Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Penerbit, Rajawali, Jakarta, 1986.

Anda mungkin juga menyukai