Anda di halaman 1dari 14

1

A. Judul
Tradisi Adat Sebambangan (Larian) dalam Budaya Perkawinan Masyarakat
Lampung Pepadun.
B. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika, yang
berbeda suku, agama, ras, dan antar golongan.1 Beragam suku bangsa ada dari
sabang sampai merauke, keberagaman tersebut salah satunya dimiliki suku
lampung. Suku Lampung terbagi atas dua golongan besar yaitu Lampung Jurai
Saibatin dan Lampung Jurai Pepadun. Dapat dikatakan Jurai Saibatin
dikarenakan

orang

yang

tetap

menjaga

kemurnian

darah

dalam

kepunyimbangannya. Sedangkan ciri orang Lampung Jurai Pepadun yaitu


masyarakatnya menggunakan dialek bahasa Nyo atau berlogat O dan
sebagian masyarakatnya menggunakan dialek bahasa Api atau berlogat A dan
juga orang Lampung Pepadun merupakan suatu kelompok masyarakat yang
ditandai dengan upacara adat naik tahta dengan menggunakan adat upacara yang
disebut Pepadun. Masyarakat Lampung yang beradat Saibatin, umumnya
menempati daerah sepanjang Teluk Betung, Teluk Semangka, Krui, Belalau,
Liwa, Pesisir Raja Basa, Melinting dan Kalianda. Dan untuk masyarakat lampung
yang beradat Pepadun, umumnya mendiami daerah-daerah pedalaman seperti
Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang serta Pubian.2
Pada masyarakat Lampung, terdapat dua macam perkawinan yaitu perkawinan
Semanda dan Bejujogh. Pada masyarat Lampung Saibatin mengenal bentuk
perkawinan Semanda dan Bejujogh sedangkan pada masyarakat Lampung
1

Hadikusuma Hilman, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandar lampung, CV.
Mondar Maju, hal 105.
2

http://coret-kehidupan.blogspot.com/2015/04/sistem-perkawinan-adat-lampung.html, dikases
pada 5 April 2016 pukul 20:13 WIB.

Pepadun hanya mengenal bentuk perkawinan bejujogh. Tentang suatu perkawinan


adat dapat diatur dalam hukum adat perkawinan yang berlaku dimana didalamnya
adanya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan,
cara-cara pelamaran, upacara perkawinan, dan putusnya perkawinan tersebut.3
Tata cara perkawinan pada masyarakat adat Lampung Pepadun pada umumnya
berbentuk perkawinan dengan cara lamaran (rasan tuha) dengan Sebambangan
(Larian). Perkawinan dengan cara lamaran (rasan tuha) adalah dengan memakai
jujur, yang ditandai dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan.
Uang tersebut digunakan untuk menyiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga
(sesan), dan diserahkan kepada mempelai laki-laki pada saat upacara perkawinan
berlangsung. Sedangkan, perkawinan Sebambangan (tanpa acara lamaran)
merupakan perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan di nikahi oleh
bujang dengan persetujuan si gadis, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang
dianggap dapat menghambat pernikahannya seperti tata cara atau persyaratan adat
yang memakan biaya cukup banyak.
Sebambangan (Larian) kerap terjadi dikarenakan :
1. Gadis belum diizinkan oleh orang tuanya untuk menikah;
2. Orang tua atau keluarga si gadis menolak lamaran pihak pria;
3. Gadis telah bertunangan dengan pria yang tidak disukainya;
4. Perekonomian si bujang yang tidak berkecukupan, sehingga dianggap
tidak bisa mencukupi kebutuhan bila menikah;
5. Posisi gadis yang ingin berumah tangga tetapi dia masih memiliki kakak
yang belum menikah.

Hadikusuma Hilman, loc.it, hal 182.

Berdasarkan latar belakang inilah penulis tertarik untuk membahas masalah yang
menyangkut tentang adat kebudayaan masyarakat lampung yang dirasa masih
kurangnya infomasi terhadap perkembangan budaya di Indonesia. Adanya rasa
keingintahuan yang besar dari diri penulis untuk mengkaji adat kebudayaan
masyarakat lampung tentang Sembabangan (Larian), maka penulis tertarik untuk
menyusun penelitian dengan judul:
Tradisi

Adat

Sebambangan

(Larian)

dalam

Budaya

Perkawinan

Masyarakat Lampung Pepadun

C. Tinjauan Pustaka
1. Kerangka Konsep
Kata dan istilah yang digunakan dikonsepkan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Tradisi adalah suatu kebiasaan, dalam penegertian yang paling sederhana
adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari
kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,
kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
b. Sebambangan (Larian) adalah adat lampung yang mengatur pelarian gadis
oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua
si gadis, melalui musyawarah adat anatara kepala adat kedua orang tua bujang
dan gadis, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang
tua tersebut.
c. Perkawinan adalah Iktan lahir batin antara seorang Pria dan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.

d. Masyarakat Adat Lampung Pepadun adalah masyarakatnya menggunakan


dialek bahasa Nyo atau belogat O dan sebagian masyarakatnya
menggunkan dialek bahasa Api atau berlogat A dan juga suatu kelompok
masyarakatnya yang ditandai dengan upacara adat naik tahta dengan
menggunakan adat upacra yang disebut Pepadun.
2. Kerangka Teori
a. Pengertian Tradisi
Masyarakat Indonesia memiliki berbagai macam tradisi, baik yang masih
dilestarikan dan tradisi yang sudah tidak dilestarikan, contohnya tradisi
Sembarangan (Larian). Tradisi Nindai/Nyumbuk, Ngurukken Majeu/Ngekuruk,
Tabuhan Talo Balak, Tradisi Larian, dan lain-lain. Tradisi yang masih dilestarikan
tersebut mengandung nilai-nilai budaya dan moral yang memiliki tujuan baik
untuk menciptakan masyarakat yang berakhalak baik dan berperadaban. Tradisi
dapat diartikan suatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan
sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang).4
b. Pengertian Sebambangan (Larian)
Sebambangan (Larian) merupakan sebuah tradisi yang sampai sekarang masih
dilestarikan. Umumnya Sembambangan (Larian) dilestarikan masyarakat
lampung. Sebambabangan (Larian) berasal dari bahasa Belanda vlunch of
wedloop huwelijk yang di terjemahkan perkawinan lari, yaitu perkawinan yang
dilakukan untuk menghindari diri dari berbagai keharusan perkawinan dengan
pinangan (Lamaran), serta untuk menghindari diri dari orang tua atau kerabat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Sebambangan

merupakan

perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan dinikahi dengan persetujuan
4

Kamus Besar Bahasa Indonesia

gadis tersebut untuk menghindarkan diri dari tata cara adat yang dianggap terlalu
berlarut-larut dan memakan biaya terlalu mahal.5 Sebambangan adalah suatu
kegiatan yang dilakukan antara seorang bujang (mekhanai) dengan seorang gadis
(muli) baik pada siang atau malam hari, untuk menentukan hidup bersama dengan
cara bekeluarga, dengan cara larian atau pergi dari rumah orang tua muli ke
rumah orang tua mekhanai, dengan meninggalkan surat tengepik, uang tengepik
yang sudah disepakati oleh keluarga dengan cara kekeluargaan.
c. Budaya Hukum
Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu Budhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata budhi, yang berarti budi atau akal. Sehingga kebudayaan
dapat diartikan sebagai hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. 6 Dan
mengenai budaya hukum atau kultur hukum Lawrence Meir Friedman merupakan
sikap manusia terhdap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Budaya hukum adalah suasanan pemikiran sosial dan ketentuan sosial
yang menetukan bagaimana hukm di masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran
hukum di masyarkat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat
merubah pola pikir masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator
akan berfungsinya hukum.7
Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu
terhadap gejala-gejal hukum. Tanggpan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap
nilai-nilai dan perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan
5

Ibid
Kamus Besar Bahasa Indonesia
7
http://rechtslaw.blogspot.com/2012/06/teori-hukum-lwrance-meir-friedman.html, diakses pada 5
April 2016 pukul 21:33 WIB.
6

tanggpan (orietasi) yang sama terhadap kehidupan hukumyang dihayati masyarakat


bersangkutan.
Budaya hukum bukan merupakan pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari
masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh karena dalam
membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan
susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum itu. Misalnya bagaimana
tentang sikap dan perilaku dan pandangan masyarakat yang lain. Tanggapan yang
sama itu dapat bersifat menerima atau bersifat menolak budaya hukum yang lain,
begitu pula halnya terhadap norma-norma hukum sendiri yang dikehendaki berlaku
atau terhadap norma-norma hukum lain.8
d. Tipe Budaya Hukum
Terdapat tiga wujud prilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, yaitu yang
dinamakan budaya parokial (partochial culture), budaya subjek (subject culture),
dan budaya partisipan (participant culture). Pada masyarakat yang parokial, yang
cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, maka tanggapannya
terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri.
Masyarakatnya demikian masih kuat bertahan pada tradisi hukumnya sendiri,
kaidah-kaidah hukum yang telah digariskan dari zaman leluhur merupakan azimat
yang pantang diubah, barangsiapa berprilaku menyimpang dari norma-norma
leluhur itu akan mendapat kutukan yang gaib. Dalam masyarakat demikian ini
belum banyak diadakan pembagian kerja, sehingga pemimpinnya bertindak serba
guna, ia sebagai kepala suku dan sekaligus sebagai kepala adat ataupun juga
8

Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Bandung, Penerbit PT. Alumni,
hlm.51.

sebagai kepala agama. Ia bertindak sebagai kepala polisi dan jaksa penuntut serta
sebagai hakim dan memutus perselisihan warga adat.

Sedangkan dalam

masyarakat budaya partisan (berperan serta) cara berpikir dan berprilaku para
anggota masyarakatnya berbeda-beda, ada yang masih berbudaya takluk, namun
sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta, karena ia
merasa sebagai bagian dari kehidupan hukum yang umum.
Sebagaimana dikemukakan dalam permulaan uraian di atas budaya hukum
tersebut dapat berjalan bergandengan antara yang satu dengan yang lain, sehingga
dalam kenyataan akan nampak budaya hukum yang campuran di antara ketiganya
dalam masyarakat, apalagi jika hal itu dilihat dari segi yang lebih luas, yaitu dari
sudut nasional, maka akan nampak budaya hukum nasional yang merupakan
budaya kewarganegaraan (civic culture). Budaya hukum sebagaimana diuraikan di
atas hanya merupakan sebagian dari sikap dan perilaku yang mempengaruhi
sistem dan konsep hukum dalam masyarakat setempat. Masih ada faktor-faktor
lain yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap budaya hukum, seperti sistem dan
susunan kemasyarakatan, kekerabatan, keagamaan, ekonomi dan politik serta
letak tempat kediaman, lingkungan hidup dan cara hidup (ecologi), di samping
sifat dan watak pribadi seseorang yang kesemuanya saling bertatutan.10
e. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai
Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.11 Sedangkan dalam Adat
Perkawinan dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
9

Ibid
Ibid, hlm. 59.
11
UU No. 1 Tahun 1997 tentang Perkawinan
10

bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan


putusnya perkawinan tersebut.
Tujuan Perkawinan sebuah perkawinan menurut UU Perkawinan adalah untuk
mencapai bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia
sebenarnya bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi
Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang
perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil
adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup
semati. Namun bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara
pasangan suami dan istri. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tujuan perkawinan adalah mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa
rahmah. Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam.12 Dan
menurut hukum adat perkawinan bertujuan untuk terjalinnya hidup bersama
antara seorang laki-laki dengan seorang atau beberapa orang perempuan sebagai
suami istri dengan maksud untuk melanjutkan generasi.
f. Masyarakat Adat Lampung Pepadun
Nama Pepadun berasal dari perangkat adat yang digunakan dalam prosesi
Cakak Pepadun. Pepadun adalah bangku atau singgasana kayu yang merupakan
simbol status sosial tertentu dalam keluarga. Prosesi pemberian gelar adat (Juluk
Adok) dilakukan di atas singgasana ini. Dalam upacara tersebut, anggota
masyarakat yang ingin menaikkan statusnya harus membayarkan sejumlah uang
(Dau) dan memotong sejumlah kerbau. Prosesi Cakak Pepadun ini
diselenggarakan di Rumah Sessat dan dipimpin oleh seorang Penyimbang atau
12

Kompilasi Hukum Islam.

pimpinan adat yang posisinya paling tinggi.13Tradisi tersebut biasa disebut dan
dikenal secara luas yakni upacara adat naik tahta. Pada masyarakat Lampung
Jurai Pepadun menggunakan dialek bahasa Nyo atau berlogat O dan
sebagian masyarakatnya menggunakan dialek bahasa Api atau berlogat A.
D. Metode Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya. Untuk itu, diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.14
Menurut Soejono Soekanto, penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisa, dilakukan secara metodologis, sitematis dan konsisten berarti
berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti berdasarkan tidak adanya
hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Berdasarkan segi fokus
kajiannya, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu penelitian
hukum normatif, penelitian hukum normatif-empiris atau normatif-terapan, dan
penelitian hukum empiris.15

1. Jenis dan Tipe Penelitian

13

http://www.indonesiakaya.com/kanal/detail/masyarakat-adat-lampung-pepadun, diakses pada 5


April 2016 pukul 10:42 WIB.
14

Bambang Sunggono, 1997, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 39.
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bnadung, PT. Citra Abadi, hlm.
52.
15

10

Dilihat dari sifatnya, penelitian yang dilakukan bersifat penelitian hukum empiris
karena meneliti dan mengkaji mengenai pemberlakuan atau implementasi
ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang) secara in-action pada
setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam tradisi adat sebambangan
(larian) dalam budaya perkawinan masyarakat Lampung Pepadun.
Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan
dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan
hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam
masyarakat16 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara jelas
dan rinci dalam memaparkan dan menggambarkan mengenai tradisi adat
sebambangan (larian) dalam budaya perkawinan masyarakat Lampung Pepadun.
2. Jenis dan Tipe Penelitian
Pendekatan maslah yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat normatifterapan
yaitu menggunakan pendekatan normatif analitis subtansi hukum (approach of
legal content analysis). Substansi hukum dalam hal ini substansi mengenai tradisi
adat sebambangan (larian) dalam budaya perkawinan masyarakat Lampung
Pepadun.
3. Data dan Sumber Data
Dara yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari lokasi penelitian,
responden yang terkait dengan tradisi adat sebambangan (larian) dalam

16

Ibid, hlm. 50.

11

budaya perkawinan masyarakat Lampung Pepadun. Sumber data yang ada di


lokasi penelitian yaitu berdasarkan wawancara terhadap warga desa Negara
Batin Kecamatan Waykanan Lampung yang masih melestarikan tradisi adat
sebambangan (larian) dalam budaya perkawinan.
b. Data Sekunder
Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan,
dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti.17 Data sekunder terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini
antara lain:
a) Undang- Undang No. 1 tahun 199t tentang Perkawinan.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt)
c) Kompilasi Hukum Islam (HKI)
2) Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa literatur-literatur mengenai
penelitian ini, meliputi buku-buku ilmu hukum, hasil karya dari kalangan
hukum dan lainnya. 18
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, diperoleh dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia, hasil penelitian, insiklopedia of law, dan jurnal ilmiah. 19
4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan
data:

17

H.Zainuddin Ali, 2011. Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 175.
Ibid
19
Ibid
18

12

1) Studi Pustaka, dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara

membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-undangan, bukubuku dan literatur yang berkaitan dengan tradisi adat sebambangan (larian)
dalam budaya perkawinan masyarakat Lampung Pepadun.

5. Metode Pengumpulan Data


Pengolahan data umumnya dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini:
a. Pemeriksaan data (editing)
Pembenaran apakah data yang terkumpul melalui studi pustaka dan dokumen
sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan, tanpa kesalahan;
b. Penandaan data (coding)
Pemberian tanda pada data yang sudah diperoleh, baik berupa penomoran
ataupun pengunaan tanda atau simbol atau kata tertentu yang menunjukkan
golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis dan sumbernya, dengan
tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan rekonstruksi
serta analisis data;
c. Penyusunan/sistematisasi data (constructing/systematizing)
Kegiatan menabulasi secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda
itu dalam bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan presentase bila data
itu kuantitatif, mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit dan
diberi tanda itu menurut klasifikasi data dan urutan masalah bila data itu
kualitatif.20

20

Ibid

13

6.

Analisis Data
Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
kualitatif, yaitu dengan cara menafsirkan atau menginterpretasikan data dalam
bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis sehingga diberikan penafsiran
dan gambaran yang jelas sesuai dengan rumusan masalah untuk kemudian
ditarik kesimpulan-kesimpulan.

E. Daftar Pustaka
1. Buku- buku
Ali, H. Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika.
Hadikusuma Hilman, 2003, Pengantar Ilmu hukum Adat Indonesia, Bandar
Lampung, CV. Mondar Maju.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT.
Citra Abadi.
Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas
Indonesia.
Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.

2. Peraturan Perundang- Undangan


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)

3. Website
http://bloghukumumum.blogspot.com. Perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1997 tentang Perkawinan.
http://coret-kehidupan.blogspot.com. Sistem Perkawinan Adat Lampung.

14

http://id.wikipedia.org. Ulun Lampung.


http://pakarinfo.blogspot.com. Istilah
Masyarakat Adat Lampung.

"Kawin

Sebambangan"

http://www.indonesiakaya.com. Masyarakat Adat Lampung Pepadun.

Dalam

Anda mungkin juga menyukai