Anda di halaman 1dari 8

PEMBAGIAN WARIS ADAT LAMPUNG PESISIR

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Asshofiah Rosyidah1, Suheriyah2
asshofiyahrosyidah@gmail.com, suheriyahiyah@gmail.com
Universitas Muhammadiyah Pringsewu

Abstract
Indonesia's plurality has led to the diversity of ethnic groups. This causes differences in customs, such as
in the division of inheritance. The purpose of this research is to find out the division of Lampung pesirir
customary inheritance in the perspective of Islamic law. This research method uses literature study by
collecting data from various valid sources. The sources used come from books, journals, and others. Based
on the discussion that has been reviewed, it can be concluded that the Lampung Pesisir customary
community that uses the honest marriage form, uses the male majorate inheritance system, which is a
system of inheritance in which the eldest son is entitled to the entire inheritance and as a successor to their
descendants. So strong is the position of sons in the family that if they do not have sons, it is said to be the
same as not having descendants or breaking off descendants.
Keywords: Ethnicity, Inheritance, Pesisir Lampung
Abstrak
Kemajemukan di Indonesia menyebabkan keberagaman suku bangsa. Hal ini menyebabkan terjadinya
perbedaan adat, seperti dalam pembagian harta waris. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pembagian
waris adat Lampung pesirir dalam perspektif hukum Islam. Metode penelitian ini menggunakan studi
pustaka yakni dengan cara menghimpun/menghimpun data dari berbagai sumber yang valid. Sumber yang
digunakan berasal dari buku, jurnal, dan lain-lain. Berdasarkan pembahasan yang telah dikaji, dapat ditarik
kesimpulkan bahwa masyarakat adat Lampung Pesisir yang menggunakan bentuk perkawinan jujur,
memakai sistem kewarisan mayorat laki-laki, yaitu sistem kewarisan di mana anak laki-laki tertua berhak
atas seluruh harta peninggalan dan sebagai penerus keturunan mereka. Begitu kuatnya kedudukan anak
laki-laki dalam keluarga sehingga jika tidak mempunyai anak laki-laki dikatakan sama dengan tidak
mempunyai keturunan atau putus keturunan.
Kata kunci: Suku bangsa, Harta waris, Lampung Pesisir

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga memiliki beragam budaya, suku, bahasa, etnik,
dan agama. Setiap keberagaman tersebut menjadi ciri khas suatu bangsa. Keberagaman budaya ini
tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pancasila, dan
Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika lahir karena latar belakang negara
Indonesia memiliki keberagaman budaya. Sehingga dijadikan sebagai semboyan bangsa Indonesia
yang tertulis pada lambang negara Indonesia, yakni Garuda Pancasila. Pada hakikatnya, semboyan
Bhinneka Tunggal Ika ini sebagai pernyataan sikap bangsa Indonesia untuk hidup berdampingan
dalam perbedaan.1 Dengan adanya keberagaman tersebut, seperti keberagaman suku menjadikan
tatanan setiap suku memiliki perbedaan cara pandang tersendiri terhadap suatu hal. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti faktor adat istiadat, kebudayaan, kekerabatan, keturunan,
asal-usul, dan sebagainya. Contoh perbedaan tersebut misalnya, pembagian harta waris pada
masyarakat adat Lampung Pesisir.

Islam telah menetapkan konsep warisan yang ideal untuk diikuti. Syarat-syarat pewarisan
tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis bahwa ketentuan qath’i atau yang pasti seperti Ijma’ di
antara yurisprudensi Islam. Dalam perspektif hukum Islam, kewarisan baru terjadi setelah pewaris
meninggal dunia. Pemindahan atau peralihan harta kekayaan pada waktu pewaris masih
hidup bukan merupakan kewarisan menurut hukum Islam melainkan disebut sebagai hibah.2
Hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari hukum Islam, mempunyai sumber hukum yang sama
dengan sumber hukum Islam.

Masyarakat di Provinsi Lampung sebagai masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai
ragam suku bangsa yang dilatar belakangi oleh bahasa daerah, adat istiadat setempat dan gaya
hidup yang berbeda-beda serta beraneka ragam. Keanekaragaman suku bangsa tersebut melahirkan
kebudayaan yang beraneka ragam pula. Masyarakat adat Lampung terdapat dua kelompok
masyarakat adat yaitu masyarakat adat Lampung Pesisir dan masyarakat adat Lampung Pepadun.
Dua bagian masyarakat adat Lampung yaitu Pepadun dan Pesisir terdapat perbedaan ragam budaya
dan bahasa. Suku Saibatin mendiami daerah pesisir Lampung yang membentang dari timur,
selatan, hingga barat. Kelompok adat Pepadun berbeda dari kelompok adat Saibatin dimana
Saibatin memiliki budaya kebangsaan yang kuat sedangkan Pepadun cenderung berkembang lebih
demokratis. Perbedaan dua adat suku ini juga memperngaruhi pembagian harta waris.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan studi kepustakaan. Studi pustaka atau kepustakaan dapat
diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka,

1
Kurniati, H., & Mukhlishin, A. (2023). Pergeseran Paradigma Masyarakat Adat Lampung Tentang Sistem
Kewarisan Patrilineal (Studi Masyarakat Adat Lampung Di Bandar Lampung). Jurnal Tafkirul Iqtishodiyyah
(JTI), 3(1), 31-44.
2
Wantaka, A., Rosyid, A., & Habibullah, E. S. (2018). Pembagian Warisan dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Hukum Adat Jawa (Studi Komparasi). Prosa AS: Prosiding Al Hidayah Ahwal Asy-
Syakhshiyyah, 1(1), 13-33.
membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Sebagai metode pengumpulan data, studi
kepustakaan memiliki manfaat di antaranya: Menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah
ditemukan oleh para peneliti terdahulu. Mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang yang
akan diteliti. Memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang dipilih. Dengan
melakukan studi kepustakaan maka peneliti atau penulis bisa memperdalam pemahaman atas topik
yang dipilih. Sekaligus membantu memperluas pengetahuan, sehingga di masa mendatang bisa
menemukan topik yang menarik lagi untuk diangkat sebagai topik tulisan maupun penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat
penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam
suatu masyarakat. Hukum kewarisan adalah hukum-hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.3

Harta waris adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau
masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta waris adalah harta pusaka, harta
perkawinan, dan harta bawaan.4 Karena hukum waris adat dipengaruhi sistem kekeluargaan maka
sudah tentu terdapat perbedaan antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat lainnya
di Indonesia. Perbedaan ini terutama terhadap siapa yang menjadi pewaris, siapa yang menjadi
ahli waris terhadap harta yang ditinggalkan.

Dalam hukum waris adat atau dimana saja persoalan hukum waris itu akan dibicarakan, maka ia
akan menyangkut tiga rukun/unsur yaitu:

• Adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan,
• Adanya pewaris. Pewaris adalah orang yang saat meninggalnya beragama Islam,
meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Seseorang yang masih hidup
dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun
pengalihan tersebut dilaksanakan pada saat menjelang kematian.

3
Makki, H. L. P. (2017). Analisis Hukum Islam Terhadap Uang Jujur (Jojokh) Dalam Perkawinan Adat
Lampung Pesisir. Adzkiya: Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, 5(1), 107-132.
4
Oktavia, Y. (2020). Proses Pembagian Warisan Adat Lampung Pesisir Perspektif Hukum Waris Islam
(Studi Kasus di Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus) (Doctoral dissertation, IAIN Metro).
• Adanya waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta
warisan itu yang terdiri dari ahli waris dan mungkin juga bukan ahli waris.

Pada masyarkat suku Lampung sendiri terbagi menjadi dua golongan adat yang dikenal selama ini,
yaitu beradat Lampung Pepadun dan Lampung Pesisir. Masyarakat Lampung Pepadun mendiami
daerah pedalaman atau daerah dataran tinggi Lampung. Berdasarkan sejarah perkembangannya,
masyarakat Lampung Pepadun awalnya berkembang di daerah Abung, Way Kanan, dan Way
Seputih (Pubian). Sementara itu, masyarakat Lampung Pesisir pada umumnya bermukim di
wilayah pantai provinsi Lampung dimulai dari Kabupaten Lampung Selatan (Kalianda),
Kabupaten Peringsewu (Semaka), dan Kabupaten Lampung Barat. Pada dasarnya, bentuk
perkawinan dan sistem kewarisan yang diterapkan adalah sama.

Pada masyarakat adat Lampung Pesisir yang menggunakan bentuk perkawinan jujur dan memakai
sistem kewarisan patrilineal, yaitu sistem kewarisan di mana anak laki-laki tertua berhak atas
seluruh harta peninggalan dan sebagai penerus keturunan mereka. Begitu kuatnya kedudukan anak
laki-laki dalam keluarga sehingga jika tidak mempunyai anak laki-laki dikatakan sama dengan
tidak mempunyai keturunan atau putus keturunan. Hal inilah yang masih mempengaruhi dalam
keluarga suku adat Lampung Pesisir yang mana keberadaan anak laki-laki yang sangat dianggap
penting keberadaannya untuk meneruskan nama keluarga. Dalam suku adat Lampung Pesisir
berlaku kebiasaan yang mana apabila keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka menantu lelaki
tertualah yang dianggap atau dijadikan penerus nama keluarga tersebut.

Apabila keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka keluarga tersebut mengadopsi anak laki-laki
dari kerabatnya yang kurang mampu. Hubungan kekerabatan anak yang telah diangkat tersebut
dengan orang tua kandungnya terputus kecuali hubungan darah. Apabila hanya memiliki anak
perempuan dan tidak ingin keturunannya terputus maka pihak perempuan akan mengambil anak
laki-laki untuk dijadikan suami anak perempuannya. Dalam hal ini pihak keluarga perempuan
melakukan upacara adat pengangkatan anak laki-laki tersebut dengan ditandai oleh pemberian
gelar dalam upacara adat. Setelah perkawinan kedudukan suami dan isteri terhadap penggunaan
harta waris adalah sejajar, sedangkan yang berhak menguasai harta warisan adalah anak laki-laki
dari keturunan mereka. Namun apabila dikemudian hari si isteri meninggal dunia, dan belum
memiliki keturunan, maka putuslah garis keturunan sampai di situ saja, anak laki-laki yang telah
diangkat sebagai anak mentuha ia tidak berhak terhadap harta warisan karena walaupun sudah
diangkat secara adat, akibat meninggalnya si isteri maka suami dianggap sudah keluar dari
kekerabatan keluarga besar isteri.

Pembagian harta warisan sangat diperlukan ketika pasangan, anggota keluarga, atau sanak saudara
yang masih memiliki hubungan dekat dengan kita meninggal dunia. Dalam pembagian warisan,
Menurut adat kebiasaan yang berlaku pada adat ulun Lampung Pesisir/Saibatin, waktu
pembagian warisan dilaksanakan setelah upacara sedekah atau nujuh hari, empat puluh hari atau
saat setelah dilaksanakannya acara nyeratus hari.

Proses pembagian waris masyarakat Lampung adat Pesisir/Saibatin dilakukan dengan tiga cara
yakni:

• Dilakukan sebelum pewaris wafat.


1) Penerusan atau pengalihan
Proses pewarisan dengan cara penerusan atau pengalihan (di jengken) dan
berpesan/berwasiat/beramanat dilakukan saat pewaris masih hidup. Proses pewarisan
dengan cara ini berlaku setelah pewaris berumur lanjut dan anak tertua laki-laki dan
adik-adiknya sudah siap berumah tangga. Proses pengalihan ini bersifat sementara.
Namun, setelah orang tua meninggal maka harta tersebut diperhitungkan Kembali
sebagai harta peninggalan atau harta warisan
2) Penunjukkan
Penunjukan adalah proses pewarisan yang dilakukan dengan menunjuk seseorang
sebagai ahli waris. Proses penunjukkan dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya
atau pewaris kepada ahli waris. Seseorang yang ditunjuk mendapatkan harta warisan
belum dapat berbuat apa-apa sebelum si pewaris wafat.
• Dilakukan sesudah pewaris wafat
Proses pewarisan dapat juga dilakukan setelah si pewaris wafat. Proses pewarisan ini
dilakukan dengan 2 cara. Pertama, diberikan secara langsung kepada ahli waris. Kedua,
pembagian dilakukan melalui proses diskusi (waktu, juru bagi, dan cara pembagiannya).
Selain itu, ada ketentuan yang harus diperhatikan sebelum harta warisan itu menjadi milik
ahli waris. Ketentuan yang paling penting adalah pembagian harta warisan dilakukan
berdasarkan kedudukan ahli waris dalam keluarga.
Dalam hukum Islam sendiri sudah dijelaskan mengenai pembagian warisan dengan prinsip
kekerabatan. Sebagaimana firman Allah SWT Dalam QS. An-Nisa’ (4) 11-12 berikut:

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-
bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa’ (4): 11-12).

Ayat di atas menerangkan konsep bagian waris 2:1 antara laki-laki dengan perempuan. Ketentuan
hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam Qs. an-Nisa’ (4) 11 juga mengatur tentang hak waris
anak dan orangtua yang telah ditentukan besar kecil pembagian masing-masing ahli waris
berdasarkan asas kemanfaatan. Pembagian kewarisan tersebut bersifat rasional, karena ada unsur
kebenaran dan keadilan jika dikaitkan dengan ketentuan tentang hak dan kewajiban suami-istri
dalam hukum perkawinan dan kewajiban seorang anak laki-laki dalam pengurusan dan
pemeliharaan orang tuanya setelah berumah tangga.5

Hukum kewarisan Islam mengenal asas individual bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada
ahli waris untuk di miliki secara perorangan, dalam hal adat masyarakat Lampung Pesisir juga
setiap ahli waris laki-laki mendapat bagiannya masing-masing. Sistem kewarisan individual
menerangkan bahwa setiap waris dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing.

KESIMPULAN
Pada dasarnya semua masyarakat harus tahu tentang konsep hukum waris menurut Islam atau pun
menurut ketentuan adat suku masing-masing. Pentingnya ilmu waris adalah untuk mengendalikan
manusia yang cenderung bersifat serakah, mengantisipasi niat jahat orang untuk memanfaatkan
kematian sebagai salahsatu jalan menjadi kaya secara tiba-tiba dan untuk memperlihatkan keadilan
dalam mendistribusikan harta orang yang meninggal. Pada masyarakat adat Lampung Pesisir yang
menggunakan bentuk perkawinan jujur, memakai sistem kewarisan mayorat laki-laki, yaitu sistem
kewarisan di mana anak laki-laki tertua berhak atas seluruh harta peninggalan dan sebagai penerus
keturunan mereka. Begitu kuatnya kedudukan anak laki-laki dalam keluarga sehingga jika tidak
mempunyai anak laki-laki dikatakan sama dengan tidak mempunyai keturunan atau putus
keturunan.

Kajian hukum waris adat Lampung Pesisir tersebut membutuhkan kajian lebih mendalam
khususnya dalam pandangan hukum Islam. Hukum kewarisan Islam adalah hukum kewarisan yang
diatur dalam al- Qur’an dan Sunnah Rasul SAW serta dalam kitab-kitab fiqh sebagai hasil ijtihad
para fuqaha’ dalam memahami ketentuan al-Quran dan Sunnah Rasul SAW. Dengan demikian
Hukum Waris Islam merupakan bagian dari Agama Islam, karena itu tidaklah salah apabila

5
Pratama, D. (2023). Hak Anak Perempuan Lampung Pepadun Terhadap Waris Menurut Hukum
Islam. Al-Gharra: Jurnal Ilmu Hukum Dan Hukum Islam, 1(1), 50-65.
dikatakan bahwa ketundukan umat Islam terhadap Hukum Waris Islam merupakan bahagian yang
tidak dapat dipisahkan dari keimanannya.

DAFTAR PUSTAKA

Kurniati, H., & Mukhlishin, A. (2023). Pergeseran Paradigma Masyarakat Adat Lampung
Tentang Sistem Kewarisan Patrilineal (Studi Masyarakat Adat Lampung Di Bandar
Lampung). Jurnal Tafkirul Iqtishodiyyah (JTI), 3(1), 31-44.
Kusnadi. (2017). PEMBAGIAN HARTA WARIS ADAT LAMPUNG SAI BATIN KABUPATEN
PESISIR BARAT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, 217-240.
Makki, H. L. P. (2017). Analisis Hukum Islam Terhadap Uang Jujur (Jojokh) Dalam Perkawinan
Adat
Lampung Pesisir. Adzkiya: Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, 5(1), 107-132.
Oktavia, Y. (2020). Proses Pembagian Warisan Adat Lampung Pesisir Perspektif Hukum Waris
Islam
(Studi Kasus di Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus) (Doctoral dissertation,
IAIN Metro).
Pratama, D. (2023). Hak Anak Perempuan Lampung Pepadun Terhadap Waris Menurut Hukum
Islam. Al-
Gharra: Jurnal Ilmu Hukum Dan Hukum Islam, 1(1), 50-65.
Wantaka, A., Rosyid, A., & Habibullah, E. S. (2018). Pembagian Warisan dalam Perspektif Hukum
Islam
Dan Hukum Adat Jawa (Studi Komparasi). Prosa AS: Prosiding Al Hidayah Ahwal Asy-
Syakhshiyyah, 1(1), 13-33.

Anda mungkin juga menyukai