Anda di halaman 1dari 131

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rejang merupakan salah satu suku yang terdapat di Provinsi Bengkulu,

Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar yang mendiami Provinsi

Bengkulu. Masyarakat Rejang dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari

proses interaksi dan akulturasi antara Islam dengan adat tradisi lokal, dengan kata

lain terjadi adaptasi antara Islam sebagai tradisi besar dengan adat sebagai tradisi

kecil, karena Islam telah menjadi ideologi dalam beragama dan tatanan kehidupan

masyarakat suku Rejang.1

Suku Rejang terkenal dengan adat dan hukum adatnya sendiri yang

telah menarik banyak perhatian dunia ilmu pengetahuan, dalam penjelmaan dan

pelaksanaannya, adat Rejang merupakan dasar hukum dan tata tertib kehidupan,

ia mengatur bukan saja hubungan orang perorang dengan keluarga, tetapi juga

mengatur hubungan masyarakat dengan masyarakat hukum adat. Setelah

masuknya para ajai adat dan hukum adat Rejang yang lama mengalami

penyesuaian dengan aturan dan agama yang mereka anut, yaitu agama Islam. Adat

bersendi Syara‟, Syara‟ bersendi kitabullah, adalah adat yang sesuai dengan

hukum Islam, dan hukum Islam bersumber dari kitab Allah, yaitu al-Qur‟an.2

1
Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Perhubungan Kabupaten Lebong, Anok Kutai
Rejang (Sejarah Adat Budaya Bahasa dan Aksara), h. 197.
2
Mabrur Syah, Adat Perkawinan Suku Rejang Dalam Perspektif Islam (Banten: Patju
Kreasi, 2016), h. 32-33.
Salah satu adat yang diatur dalam hukum suku Rejang adalah adat

pernikahan. Pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria

dan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak,

yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah

ditetapkan oleh syara‟ yang menghalalkan percampuran antar keduanya, sehingga

satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam

rumah tangga.3

Dalam pernikahan, hukum Islam mewajibkan pihak laki-laki untuk

memberikan mas kawin atau mahar, baik dilakukan secara tunai atau cicilan yang

berupa uang atau barang. Mahar itu sendiri merupakan pemberian wajib dari

calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk

menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya, atau

pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam

bentuk benda maupun jasa.4 Islam sangat memperhatikan dan menghargai

kedudukan wanita, yaitu dengan memberinya hak untuk memegang urusannya. Di

zaman jahiliah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan.5 Kemudian Islam

datang untuk membersihkan aib kebodohan yang melekat pada diri wanita melalui

pemberian kembali akan hak-haknya untuk menikah serta bercerai, juga

mewajibkan bagi laki-laki membayar mahar kepada mereka.

3
Tedy. S, Armin. “Pernikahan Dalam Prespektif Al-Qur‟an”, (Skripsi, Fakultas
Ushuluddin Adab dan Dakwah Studi Tafsir Hadis Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkulu
2012). Pdf.
4
Adnia yuniska, “Studi Analisis Mahar Hutang (Ta‟jil) Menurut Hukum Islam,” (Skripsi,
Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Progrm Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Universitas Islam
Nahdlatul Ulama‟, 2015), h. 3. pdf
5
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7 (Bandung : Al-Ma‟rif, 1997), h. 52.
Mahar dan uang hantaran (caci hantaran) adalah bagian yang tidak

terpisahkan dari pernikahan itu sendiri, yaitu pemberian calon mempelai laki-laki

kepada calon mempelai perempuan. Banyaknya maskawin itu tidak di batasi oleh

syariat Islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridaan istri.

Sungguhpun demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya,

karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas

suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain.6

Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Karena adanya

perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu tiap

masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Karena itu Islam

menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing

orang, atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan

keterangan tentang mahar tidaklah dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan

pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecilnya jumlah, jadi boleh

memberi mahar misalnya dengan cincin besi atau segantang kurma atau

mengajarkan beberapa ayat al-Qur‟an dan lain sebagainya, asal saja sudah saling

sepakat oleh kedua belah pihak yang melakukan akad.

Namun berbeda halnya dengan proses pemberian mahar dan uang hantaran

(caci hantaran) yang terjadi pada lazimnya masyarakat suku Rejang, dimana ada

perbedaan suatu kelas atau starata tertentu yang dijadikan patakon dalam proses

pemberian mahar dan uang hantaran. Secara umum kelas sosial atau stratifikasi

sosial dalam masyarakat pada umumnya dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: pertama,

6
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), h. 393.
stratifikasi sosial tertutup. Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi dimana tiap-tiap

anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial

yang lebih tinggi atau lebih rendah. Contoh stratifikasi sosial tertutup seperti

sistem kasta di India, Bali, Lombok dan Jawa berupa klasifikasi adanya golongan

bangsawan dan golongan rakyat biasa. Kedua, stratifikasi sosial terbuka.

Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi dimana setiap anggota

masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari suatu strata ke strata yang lain, seperti

tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan, dan sebagainya. Seorang yang

tadinya miskin bodoh bisa mengubah status sosialnya dengan berusaha, bekerja,

kuliah. kursus dan sebagainya, sampai menjadi pintar mendapatkan pekerjaan

yang mapan dan bayaran yang tinggi. Ketiga, stratifikasi sosial campuran.

Stratifikasi sosial yang merupakan kombinasi antara stratifikasi sosial tertutup dan

terbuka.7

Terdapat beberapa indi kasi yang berpengaruh besar dari stratifikasi sosial

ini terhadap perkawinan masyarakat Rejang yang terdapat di Bengkulu Utara,

bahwa lazimnya jumlah atau nilai mahar dan uang hantaran disesuaikan dengan

keluarga, pendidikan dan marga pihak mempelai wanita serta terdapat beberapa

perlengkapan adat yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki, dalam hal

ini banyaknya jumlah uang hantaran menjadi pembahasan yang sangat penting

untuk dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah, penentuan jumlah mahar dan uang hantaran terjadi

tawar menawar antara kedua belah pihak. Karena pada kebiasan suku Rejang
7
Siti Aminah , Stratifikasi Sosial Dalam Perkawinan Masyarakat Islam Sasak (Studi Pada
Perkawinan Masyarakat Desa Sengkerang, Lombok Tengah). Jurnal Universitas Muhammadiyah
Malang.
pihak perempuan mengharapkan mahar dan uang hantaran dalam jumlah yang

besar. Sedangkan bagi pihak laki-laki mengharapkan uang dan barang hantaran

sekecil mungkin. Bagi keluarga Rejang, besarnya jumlah hanataran merupakan

prestise dan memiliki nilai tersendiri. Keluarga perempuan biasanya

mengharapkan mahar dan uang hantaran itu sebesar mungkin, karena bagi

keluarga perempuan menerima mahar dan uang hantaran dalam jumlah yang

besar merupakan suatu kebanggaan. Sebaliknya bila uang hantaran diterima dalam

jumlah yang relatif kecil, ada perasaan malu, seakan-akan tidak dihargai. Tidak

demikian terhadap keluarga pihak laki-laki.

Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti temukan dalam proses

pemberian mahar dan pembayaran uang hantaran, terdapat satu aspek ajaran Islam

yang kurang diperhatikan oleh masyarakat suku Rejang yang berada di Bengkulu

Utara yaitu, persepsi masyarakat bahwa pemberian uang hantaran dan mahar

diberikan dengan melihat status perempuan.

Kemudian penelitian ini mencoba menggali stratifikasi sosial yang terjadi

di tengah masyarakat suku Rejang Bengkulu Utara dan bagaimana pandangan

masyarakat mengenai tradisi pemberian mahar dan uang hantaran (caci hantaran)

serta relevansinya dengan nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam prosesi

pemberian mahar dan uang hantaran (caci hantaran) pada adat pernikahan suku

Rejang. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencari relevansi antara prosesi adat

yang merupakan produk kebudayaan dengan nilai-nilai keislaman yang

merupakan bagian dari produk agama yang menjadi pondasi segala bentuk

penghambaan diri pada Tuhan.


Oleh karena itu, berdasarkan beberapa uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti tesis dengan judul “Pemberian Mahar Dan Uang Hantaran Pada

Pernikahan Adat Suku Rejang Bengkulu Utara (Prespektif Sosiologi Agama)”.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah salah satu proses penelitian yang boleh

dikatakan paling penting diantara proses lain. Masalah penelitian akan

menentukan kualitas suatu penelitian, bahkan itu juga menentukan apakah sebuah

kegiatan bias disebut penelitian atau tidak. Dalam hal ini peneliti bermaksud

untuk meneliti proses dan tata cara Pemberian Mahar Dan Uang Hantaran Pada

Pernikahan Adat Suku Rejang Bengkulu Utara (Prespektif Sosiologi Agama).

C. Batasan Masalah

Agar penelitian tidak melebar, perlu diberi batasan sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan di salah satu desa yang terdapat di Bengkulu Utara

yaitu Desa Perbo Kecamatan Kerkap Kabupaten Bengkulu Utara.

2. Penelitian ini mengangkat fenomena stratifikasi sosial yang terjadi pada

masyarakat suku Rejang Desa Perbo dalam tradisi pemberian mahar dan uang

hantaran dengan menggunakan teori stratifikai sosial atau kelas sosial Marx

Weber Ibnu Khaldun.

3. Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan

sosiologi agama.
D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, agar penelitian ini dapat terfokus dan

terarah, maka dapat ditarik rumusan masalah yaitu: “Pemberian Mahar Dan Uang

Hantaran Pada Pernikahan Adat Suku Rejang Bengkulu Utara (Prespektif

Sosiologi Agama)”.

1. Apa konsep dasar mahar dan uang hantaran pada masyarakat suku Rejang

Desa Perbo Bengkulu Utara?

2. Bagaimana latar belakang terjadinya stratifikasi sosial dalam proses pemberian

mahar dan uang hantaran dalam adat pernikahan suku Rejang di Desa Perbo?

3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap stratifikasi sosial dalam penentuan

pemberian mahar dan uang hantaran?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengungkap bagaimana

konsep dasar pemberian mahar dan uang hantaran pada masyarakat suku Rejang

Desa Perbo Bengkulu Utara Bengkulu Utara ini apa sebenarnya belakang

terjadinya stratifikasi sosial dan bagaimana presepsi masyarakat suku Rejang Desa

Perbo Kabupaten Bengkulu Utara tentang mahar dan uang hantaran (caci

hantaran). Sampai saat ini, pemberian mahar dan uang hantaran (caci hantaran)

(caci hantaran) masih dilakukan oleh masyarakat setempat. Naman secara rinci

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan konsep dasar mahar dan uang hantaran

pamasyarakat suku Rejang Desa Perbo Bengkulu Utara.


2. Mengetahui latar belakang terjadinya stratifikasi sosial dalam proses pemberian

mahar dan uang hantaran dalam adat pernikahan suku Rejang di DesaPerbo.

3. Untuk menganalisa masyarakat terhadap stratikasi sosial dalam penentuan

pemberian mahar dan uang hantaran.

F. KEGUNAAN PENELITIAN

Peneliti mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan

nilai-nilai yang positif dan bermanfaat bagi orang, baik secara teoritis ataupun

praktis.

1. Secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih

terhadap pengembangan penelitian tentang budaya yang dipadukan dalam

unsur-unsur filsafat agama yang terdapat dalam kebudayaan daerah sebagai

bentuk wujud kearifan lokal.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk memberikan masukan kepada tokoh masyarakat, pemuka

agama, tokoh adat dan pemerintah terkait, agar selalu menjaga dan

melestarikan kebudayaan daerah masing-masing terutama kebudayaan suku

Rejang kelurahan Desa Perbo Bengkulu Utara kabupaten bengkulu utara dan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (M. Ag) pada

program studi aqidah filsafat islam pasca sarjana IAIN Bengkulu.

G. PENELITIAN YANG RELEVAN

Sebelum dilakukan penelitian ini dilapangan , terlebih dahulu dilakukan

kegiatan tinjauan pustaka atau penelitian yang relevan, dengan maksud ingin
mencari judul atau pembahasan yang pernah diangkat sebelumnya oleh peneliti

lain, karena untuk menghindari terjadinya kesamaan dalam pembahasan terhadap

penelitian sebelumnya, selain itu untuk mengkaji masalah, peneliti perlu

memnahas teori-teori dan penelitian yang relevan dengan yang diteliti, guna

mendapatkan wawasan yang lebih jelas dan luas tentang suatu penelitian. Dengan

demikian peneliti menemukan batasan atau definisi yang jelas mengenai sesuatu

yang diteliti, adapun hasil kajian pustaka tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tradisi Petik Matai Dalam Perkawinan Suku Rejang Di Kelurahan Tanjung

Agung Kecamatan Pelabai Kabupaten Lebong Menurut Prespektif Hukum

Islam. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan peneliti terhadap Tradisi

Petik Matai Dalam Perkawinan Suku Rejang. Tradisi Petik Matai adalah tradisi

yang dilakukan masyarkat suku Rejang di kabupaten Lebong khususnya di

Kelurahan Tanjung Agung kecamatan Pelabai Kabupaten Lebong. Sebelum

akad nikah berlangsung dimana ritual dilaksanakan saat calon pengantin laki-

laki atau perempuan berada di depan rumah calon pengantin laki-laki atau

perempuan. Prosesi petik matai mempunyai arti dan tujuan yang baik untuk

calom pengantin dalam membina rumah tangga nanti, dimana dalam setiap

bahan dalam prosesi petik matai mempunyai makna dan tujuan yang baik

menurut suku Rejang. Penelitian ini bermaksud untuk menjawab permasalahan

yang terdapat di lapangan. Tujuan dari penelitian ini adalah: pertama, untuk

mengetahui bagaimana prosesi Petik Matai Dalam Perkawinan Suku Rejang Di

Kelurahan Tanjung Agung Kecamatan Pelabai Kabupaten Lebong, kedua

untuk mengetahui bagaimana prespektif hukum Islam dalam tradisi Petik Matai
Dalam Perkawinan Suku Rejang Di Kelurahan Tanjung Agung Kecamatan

Pelabai Kabupaten Lebong.

2. Kemudian penelitian yang ditulis oleh Ira Yani tentang nilai-nilai agama dalam

pernikahan adat suku rejang kecamatan amen kabupaten lebong. Penelitian ini

membahas tentang pernikahan yang merupakan suatu proses yang sakral,

dimana mengikat perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk berumah

tangga dan bergaul secara sah. Begitu pula dengan pernikahan suku Rejang,

dimana untuk bergaul secara sah dan juga untuk menandakan kematangan

hidup mereka. Begitu banyak pola tata cara dalam pernikahan suku Rejang

zaman dahulu dan untuk dewasa ini banyak yang dihindari atau tidak

dilaksanakan, banyak pula masyarakat suku Rejang yang tidak paham akan

adat pernikahan dalam suku Rejang dan makna yang terkandung di dalamnya.

Dari latar belakang tersebut, terdapat tiga persoalan yang dikaji dalam

penelitian ini, yaitu: pertama, bagaimana tata upacara pernikahan adat suku

Rejang di Kecamatan Amen Kabupaten Lebong. Kedua, apa saja makna

symbol pada upacara pernikahan adat suku Rejang di Kecamatan Amen

Kabupaten Lebong. Ketiga, apa nilai-nilai agama yang terkandung pada

pernikahan adat suku Rejang di Kecamatan Amen Kabupaten Lebong.

Masalah-masalah tersebut akan diungkap secara mendalam dan menyeluruh,

dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan

pendekatan deskriptif dengan metode pengumpulan data melalui observasi,

wawancara dan dokumentasi yang bermanfaat untuk memberikan data, fakta

dan informasi.
3. Asri dkk, pada tahun 2010 melakukan penelitian dengan judul “hukum adat dan

adat istiadat Rejang, berfokus pada hokum Rejang mengenai hokum yang

terdapat dalam pergaulan dan juga pada tatanan pernikahan itu sendiri mulai

dari bergaul bujang gadis, berasan hingga pernikahan. Sukarman Syarnubi pada

tahun 1998 dengan judul: Makna Lambang Upacara Adat Perkawinan Rejang

Lebong, focus penelian ini adalah pada makna lambing bagi masyarakat yang

menggunkannya dan makna dari setiap bahan atau tindakana yang dilakukan

dalam upacara, dan juga siapa yang terlibat dalam upacara tersebut.

4. Junal yang ditulis oleh Rizqon Halal Syah Aji dengan judul ”Stratifikasi Sosial

Dan Kesadaran Kelas”. Penelitian ini mengankat tentang fenomena kehidupan

dalam masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari jenjang dan status sosial

yang bertingkat-tingkat. Status tersebutdiakibatkan oleh banyak faktor seperti

karena keturunan, pendidikan, dan agama.

5. Jurnal Ahwal Al-Syakhshiyah yang ditulis oleh Lalu Tambeh Wadi tentang

“Perbedaan Stratifikasi Sosial (Gelar Kebangsawanan ) Sebagai Penyebab

Terjadinya Pencegahan Perkawinan Prespektif Hukum Islam. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui tinjauan hokum istam tentang analisis perbedaan

stratifikasi sosial (gekar kebangsawanan) sebagai penyebab terjadinya

pencegahan perkawinan di desa Tanak Awu Kec.Pujut Lombok Tengah.

6. Penelitian tentang “Stratifikasi Sosial Dalam Perkawinan Masyarakat Islam

Sasak (Studi Perkawinan Masyarakat Desa Sengkerang, Lomok Tengah)” oleh

Siti Aminah Universitas Muhammaddiyah Malang. Penelitian ini membahas

tentang stratifikasi yang terjadi dalam adat masyarakat Sasak, dimana suatu
kelas atau stara tertentu mempunyai hak istimewa yang menempati posisi lebih

tinggi jika dibandingkan dengan posisi-posisi yang ada dibawahnya. Demikian

juga dalam perkawinan, dimana masyarakat Sasak memegang teguh strata

sosial tersebut. Dari strata inilah muncul kelompok-kelompok yang ingin

diharga, dihormati dan disegani.

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Dalam membahas suatu penlitian diperlukan sistemaatikapembahasan

yang bertujuan untuk memudahksn penelitian, langkah-langkah pembahasan

sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan:Antara lain meliputi latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, penelitian yang relevan dan sistematika pembahasan.

BAB II Tinjauan Teoritis: Terdiri atas kajian sosiologi agama,

pengertian, sifat, dasar-dasar lapisan-lapisan dalam masyarakat, dan terjadinya

stratifikasi sosial, serta teori stratifikasi sosial Marx Weber dan Ibnu Khaldun.

BAB III Metode Penelitian:Terdiri atas pendekatan dan jenis penelitian,

waktu dan tempat penelitian, subjek atau informan penelitian, jenis dan sumber

data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik keabsahan data.

BAB IV Pembahasan Hasil Penelitian:Terdiri dari deskripsi wilayah

penelitian, mahar dalam prespektif Islam, historis, yuridis dan filosofis. Penyajian

hasil penelitian berupa proses sebelum pernikahan adat suku Rejang, konsep dasar

pemberian mahar dan uanga hantaran

BAB V Penutup :Terdiri dari kesimpulan dan Implikasi Penelitian


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sosiologi Agama

1. Pengertian Sosiologi Agama

Secara umum sosiologi agama merupakan ilmu yang mempelajari

fenomena agama menggunakan perspektif, pendekatan, dan kerangka

penjelasan sosiologis. Studi sosiologi agama menfokuskan pada

kelompokkelompok atau organisasi keagamaan, perilaku individu dalam

kelompokkelompok tersebut, dan bagaimana agama berkaitan dengan institusi

sosial lain. Beberapa pertanyaan yang dikaji dalam sosiologi agama, antara

lain mengapa terjadi perbedaan religiusitas antar masyarakat yang menganut

agama tertentu; faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan

religiusitas, perubahan pilihan agama, dan fundamentalisme dalam beragama;

bagaimana hubungan antara institusi agama dan institusi-institusi lain di

masyarakat.8

Sosiologi agama memperlakukan agama sebagai fakta sosial yang

dapat diobservasi secara empiris. Sosiologi agama menggunakan perspektif

sosiologi dalam mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan berbagai cara

bagaimana agama berlaku di masyarakat. Sosiologi agama tidak berusaha

membuktikan kebenaran keberadaan Tuhan atau menunjukkan kecocokan

antara agama dan ilmu pengetahuan. Fokusnya terutama ialah memahami

8
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Post Modern (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2015), h. 31
kepercayaan-kepercayaan agama dan menjelaskan bagaimana hal tersebut

berhubungan dengan pandangan dunia (world views), praktik-praktik dan

identitas, dan perbedaan bentuk ekspresi keagamaan dan interelasinya dengan

domain lain tindakan individu dan sosial. Sebagai suatu fakta sosial, agama

juga seperti fenomena sosial lain yang dapat dipelajari dalam berbagai level

dan unit analisis berdasarkan berbagai konsep teoretis dan desain penelitian

yang merupakan ciri disiplin sosiologi. Bagi sosiolog agama, posisi agama

sama halnya dengan struktur sosial lain. Sebagai institusional yang formal,

agama menjadi basis orientasi personal. Agama dan sikap religiusitas

berfungsi mempertahankan solidaritas dan integrasi di masyarakat.

Melemahnya peran agama pada masyarakat modern berpotensi

menghilangkan sumber potensial kesatuan moral dan spiritual.9

Agama dalam perspektif sosiologi memiliki dua aspek, yakni agama

sebagai sistem kepercayaan dan agama sebagai salah satu institusi sosial.

Aspek pertama, agama terdiri atas seperangkat kepercayaan, nilai, norma, dan

hukum yang mengonstruksikan kebenaran bagi para penganutnya. Selanjutnya

konstruksi tersebut membentuk pandangan dunia (world views) dan berbagai

persepsi yang menyangkut berbagai persoalan hidup sehari-hari. Agama

sebagai suatu institusi sosial merupakan suatu pola tindakan sosial

terorganisasi dalam kaitannya dengan kepercayaan dan praktik-praktiknya.

Dalam hal ini, orang mencari jawaban atas pertanyaan tentang arti kehadiran

dirinya di dunia. Sebagai suatu institusi, agama tetap bertahan dan mempunyai

9
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Post Modern ,,,, h. 32
stuktur organisasi yang menyosialisasikan anggota-anggotanya. Jadi,

perbedaan antara kedua aspek tersebut terletak pada lokusnya. Aspek pertama

menyangkut lokus mind, artinya agama sebagaimana yang dipahami dalam

alam pikiran manusia. Sementara aspek kedua lokusnya ialah pada action,

yakni ekspresi keagamaan masyarakat yang mencerminkan kepercayaan yang

diyakininya. Antara kedua aspek tersebut saling berkelindan dan pembedaan

hanya dilakukan pada level analitis. Pada level empiris, kedua aspek sulit

dipisahkan satu sama lain.10

2. Objek Kajian Sosiologi Agama

Objek kajian dalam sosiologi agama ada dua, yakni objek material dan

objek formal. Objek material meliputi manusia sebagai mahluk sosial bagian

dari masyarakat dan agama sebagai salah satu unsur penting dalam

membentuk realitas sosial. Sedangkan, objek formalnya berisi epistemologi

sosiologi agama itu sendiri. Objek formal dalam sosiologi agama ditentukan

dari paradigma yang digunakan. Sebenarnya, paragraf-paragraf pada subab

sebelumnya telah membahas mengenai objek formal ini secara sekilas. Objek

formal berhubungan erat dengan pendekatan yang digunakan dalam menelaah

sebuah fenomena. Cara pandang sebuah pendekatan bisa berbeda dengan

pendekatan yang lain. Terutama jika pendekatan tersebut di bawah naungan

paradigma yang berbeda. Paradigma fakta sosial memiliki pendekatan

fungsionalstruktural. Paradigma definisi sosial memiliki pendekatan

fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan pemikiran Weber. Paradigma

10
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama Dari Klasik Hingga Post Modern ,,,, h. 33
perilaku sosial memiliki pendekatan pertukaran sosial. Pendekatan-pendekatan

lain seperti dari penganut materialis dan nihilis juga mempunyai perspektif

yang berbeda. Penganut pendekatan struktural-fungsional percaya bahwa

setiap bagian dari masyarakat memiliki fungsi, termasuk kemiskinan,

peperangan, atau kematian. Sistem dalam masyarakat memiliki norma-norma

yang membuat masyarakat selalu berada dalam keteraturan. Diantaranya

adalah norma agama sebagai kontrol sosial. Contoh sumbangan pemikiran dari

tokoh yang menganut pendekatan ini untuk menganalisis sosiologi agama

adalah Durkheim dengan konsep sekularnya “profan dan sakral‟. Pendekatan

fenomenologi dan interaksionisme simbolik akan berfokus pada pemaknaan

individu. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan interpretatif. Artinya,

individu dalam sebuah kelompok dapat berbeda dalam mengintrepetasi suatu

hal dengan individu dalam kelompok lain karena perbedaan nilai. Pendekatan

ini memandang objek kajian utama sosiologi adalah kesadaran subjektif

individu sebagai aktor dalam memandang sebuah realitas sosial. Satu

pemikiran yang terkenal muncul di bawah paradigma yang sama dari kedua

pendekatan di atas, yakni sebuah analisis Weber mengenai agama Protestan

dan semangat kapitalisme. Pendekatan yang digunakan oleh Weber lebih

berfokus pada tindakan sosial sebagai objek kajiannya. Pendekatan

selanjutnya adalah pertukaran sosial. Objek kajian utama pendekatan ini

adalah tingkah laku manusia yang didasari pertimbangan untung dan rugi.11

11
Agus Machfud Fauzi, Buku Ajar Sosiologi Agama (Universitas Negeri Surabaya
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Program Studi Sosiologi, 2007), h.7.
B. Stratifikasi Sosial

Berdasarkan pengamatan peneliti, dalam pemberian mahar dan uang

hantaran dalam adat pernikahan suku Rejang yang terdapat di Bengkulu Utara,

khususnya pada Desa Perbo, terjadi sistem perbedaan pelapisan kelas atau biasa

disebut dengan stratifikasi sosial, maka dari itu peneliti menggunakan teori

stratifikasi sosial Max Weber dan Ibnu Khaldun dalam penelitian ini, dikarenakan

teori tersebut dirasa mampu membahas fenomena stratifikasi sosial dalam proses

penentuan pemberian mahar dan uang hantaran dalam adat pernikahan suku

Rejang.

1. Pengertian Stratifikasi Sosial

Dalam masyarakat manapun kita bias temui berbagai golongan

masyarakat yanga pada praktiknya terdapat perbedaan tingkat anatara

golongan satu dengan golongan yang lainnya. Adanya golongan yang

berlapis-lapis ini mengakibatkan terjadinya stratifikasi sosial. Oleh karena itu

dalam ilmu sosiologi dibahas mengenai lapisan-lapisan masyarakat atau yang

biasa disebut dengan stratifikasi sosial. Istilah stratifikasi sosial berasal dari

kata starata stratum yang berarti lapisan. Karena itu stratifikasi sosial sering

diterjemahkan dengan pelapisan masyarakat. Sejumlah individu yang

mempunyai kedudukan (status) yang sama menurut ukuran masyarakatnya,

dikatakan berada dalam suatu lapisan. Startifikasi sosial adalah sistem

perbedaan individu atau kelompok dalam masyarakat, yang menempatkannya

pada kelas-kelas sosial yang berbeda-beda secara hieraki dan memberikan


hak serta kewajibannya yang berbeda-beda pula antara individu pada suatu

lapisan dengan lapisan lainnya.12

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial pada dasarnya berbicara

tentang penguasaan sumber-sumber sosial. Sumber sosial adalah segala

sesuatu yang oleh masyarakat dipandang sebagai suatu yang berharga.

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial pada dasarnya berbicara tentang

penguasaan sumber-sumber sosial. Sumber sosial adalah segala sesuatu yang

oleh masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang berharga. Stratifikasi sosial

adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara

hierakis (bertingkat). Pelapisan sosial di atas, tentunya tidak berlaku umum,

sebab setiap desa atau kota masing-masing memiliki karakteristik yang

berbeda. Sistem stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau

masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam

kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas bawah. Dasar dari inti sistem stratifikasi

masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan pembagian hak dan kewajiban,

serta tanggung jawab masing-masing individu atau kelompok dalam suatu

sistem sosial. Penggolongan dalam kelas-kelas tersebut berdasarkan suatu

sistem sosial tertentu ke dalam suatu lapisan-lapisan yang lebih hierarkis

menurut dimensi kekuasaan, privilese, dan prestise. 13

12
Binti Maunah, Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Prespektif Sosilogi
Pendidikan, Jurnal Ta‟allum Vol. 03, No, 01, Juni 2015.
13
Binti Maunah, Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Prespektif Sosilogi
Pendidikan Jurnal Ta‟allum Vol. 03, No, 01, Juni 2015.
2. Sifat Stratifikasi Sosial

Sistem stratifikasi sosial di dalam masyarakat dibagi menjadi dua

jenis:

a. Bersifat tertutup. Sistem ini memungkinkan seseorang untuk sulit

berpindah dari satu lapisan ke lapisan lain, baik yang merupakan gerak

ke atas maupun gerak ke bawah. Di dalam sistem ini satu-satunya jalan

untuk menjadi anggota dari suatu lapisan masyarakat adalah karena

kelahiran. Sistem stratifikasi ini dapat terlihat pada masyarakat berkasta

dan lebih menekankan pada perbedaan rasial.

b. Bersifat terbuka. Pada sistem ini, setiap anggota masyarakat mempunyai

kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik ke

lapisan atas aau sebaliknya.14

3. Dasar-Dasar Lapisan-Lapisan dalam Masyarakat

Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa selama di dalam

suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai oleh masyarakat tersebut maka hal

itu akan merupakan bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-

lapis di dalam masyarakat yang bersangkutan. Untuk mengetahui terjadinya

proses-proses lapisan-lapisan dalam masyarakat, sebagai ukuran atau kriteria

14
Soerjono Soekanto , Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, 1974), 120.
yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial

adalah diantaranya:

a. Ukuran kekayaan

b. Ukuran kekuasaan dan wewenang

c. Ukuran kehormatan

d. Ukuran ilmu pengetahuaan atau pendidikan

4. Sifat-Sifat Pelapisan Sosial

Dilihat dari sifatnya pelapisan dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Pelapisan sosial tertutup (closed social stratification) yaitu pelapisan sosial

yang membatasi kemungkinan seseorang untuk berpindah lapisan baik dari

lapisan rendah ke lapisan yang tinggi maupun sebaliknya

b. Pelapisan sosial (open social stratification) terbuka yaitu pelapisan sosial

dimana setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk naik ke

lapisan sosial yang lebih tinggi karena kemampuan dan kecakapannya

sendiri atau turun (jatuh) ke lapisan yang lebih rendah bagi mereka yang

tidak cakap dan tidak beruntung.

c. Pelapisan sosial campuran yaitu pelapisan sosial di mana masyarkat

menggunakan lapisan sosial secara terbuka pada suatu bidang dan pada

bidang yang lain menggunakan pelapisan sosial secara tertutup.

5. Unsur-Unsur Lapisan-Lapisan Dalam Masyarakat


Unsur-unsur yang membentuk pelapisan-pelapisan dalam masyarakat

ditandai dengan dua hal yaitu; kedudukan (status) dan peranan (role).

Kedudukan dan peranan selain merupakan unsur-unsur yang baku dalam

sistem berlapis-lapis dalam masyarakat juga mempunyai arti bagi sistem sosial

masyarakat. Yang diartikan sebagai sistem sosial adalah; pola-pola yang

mengatur hubungan timbal-balik antar individu dalam masyarakat dan antara

individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut.

Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan lebih rinci sebagaimana

berikut:

a. Kedudukan

Kadang-kadang dibedakan antara pengertian-pengertian “kedudukan”

(status) dan “kedudukan sosial” (social status). Kedudukan diartikan

sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial,

sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok tersebut atau

tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok lain-lainnya di

dalam kelompok yang lebih besar lagi. Kedudukan sosial artinya adalah;

tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan

orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan

hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Masyarakat pada umumnya

memperkembangkan tiga macam kedudukan yaitu: pertama; ascribed

status yaitu; status yang diperoleh secara otomatis melalui kelahiran.

Contoh; kebangsawanan, jenis kelamin, umur, ras. Kedua; achieved status

yaitu status/kedudukan yang diperoleh seseorang dengan usaha yang


disengaja dan merupakan perjuangannya sendiri. Ketiga; assigned status

yaitu; status yang diberikan kepada seseorang karena telah berjasa kepada

masyarakat sehingga masyarakat memberikan penghargaan kepadanya.

Contoh; pejuang atau pahlawan.

b. Peranan

Peranan (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status).

Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya

sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Setiap

orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola

pergulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut

menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-

kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya

peranan adalah bahwa hal itu mengatur perikelakuan seseorang, dan juga

bahwa peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat

meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain, sehingga dengan demikian,

orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perikelakuan sendiri

dengan perikelakuan orang-orang sekelompoknya.15

6. Terjadinya Stratifikasi Sosial

Ada dua hal yang menyebabkan terjadinya stratifikasi, yaitu:

pertama, terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat.

Sebagai contoh karena kepandaian senior, tingkat umur, harta dan lain-lain.

15
Abid Rohman, Stratifikasi Sosial dalam Al-Qur‟an, Jurnal Sosiologi Islam Fakultas
Ilmu Sosial dan Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 3, No.1, April 2013, h. 20-21
Kedua, terjadi dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama.

Contoh: sistem kepangkatan PNS, ABRI, Feodal dan lain-lain. Selain itu

adanya perbedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan

bagian dari sitem sosial setiap masyarakat. Untuk meneliti terjadinya proses

lapisan dalam masyarakat , pokok-pokonya adalah sebagai berikut:

a. Sistem Lapisan

b. Sitem Pertanggaan yang diciptakan oleh warga masyarakat (prestise dan

penghargaan)

Kriteria sistem pertanggan dapat berdasarkan:

a. Kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kekerabatan tertentu, milik,

wewenang atau kekuasaan.

b. Lambing-lambang kedudukan, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian,

perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi.

c. Mudah sukarnya bertukar kedudukan.

d. Solidaritas diantara individu atau kelompok-kelompok sosial yang

enduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat.

e. Pola-pola interaksi (struktur, keanggotaan organisasi, perkawinan dan

sebagainya).

f. Kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap dan nilai-nilai.

g. Aktivitas sebagai organ kolektif.

Adapun unsur-unsur stratifikasi sosial yaitu, adanya kedudukan

(status), yaitu kedudukan sebagai tempat posisi seseorang dalam suatu

kelompok sosial, adanya peran, yaitu peranan merupakan aspek yang dinamis
dari kedudukan. Sedangkan dasar-dasar yang menumbuhkan stratifikasi

sosial adalah uang, harta tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan lain

sebagainya.

Stratifikasi sosial memiliki kedudukan yang bermacam-macam,

sebagaimana hal berikut: Pertama, Ascribed Status yaitu kedudukan

seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan

rohaniah dan kemampuan. Contoh: kedudukan berdasarkan kasta. Pada

umumnya, ascribe status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan

sistem pelapisan yang tertutup, atau masyarakat dimana sistem pelapisannya

tergantung pada perbedaan rasial. Namun demikian, ascribe status juga

ditemukan pada bentuk-bentuk masyarakat dengan sistem pelapisan yang

terbuka, misalnya kedudukan laki-laki dalam satu keluarga, kedudukannya

berbeda dengan kedudukan istri atau anak-anaknya. Ascribe status ini walau

tidak diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi pada umumnya sang ayah

atau suai adalah kepala keluarga. Untuk menjadi kepala keluarga tersebut,

laki-laki tidak perlu mempunyai darah bangsawan atau kasta tertentu, sosok

seorang ayah tetap saja sebagai kepala rumah tangga.

Kedua, Acchieved status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh

seseorang dengan sengaja. Contoh: pendidikan. Kedudukan ini tidak

diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja

tergantung dari kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta

mencapai tujuan-tujuannya. Seseorang yang ingin menjadi pemain bulu

tangkis yang handal, tentunya hrus berlatih bulu tangkis dengan tekun,
seseorang yang ingin menjadi dokter, tentunya harus belajar kedokteran.

Kecendrungan tercapainya Acchieved status ini biasanya ditemukan dalam

bentu-bentuk masyarakat dengan sistem pelapisan yang terbuka, hal ini biasa

terjadi karena nilai-nilai dalam masyarakat memungkinkan untuk berlakunya

tindakan-indakan seperti itu.

Ketiga, Assigned status kedudukan yang diberikan kepada tokoh

masyarakat atau orang yang berjasa. Kedudukan ini diartikan bahwa suatu

kelompok, golongan atau masyarakat memberikan kedudukan yang lebih

tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan

sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.16

C. Teori Stratifikasi Sosial Marx Weber

Dalam teori karl marx, stratifikasi sosial terjadi karena kesenjangan

dalam relasi atau hubungan kepemilikan alat-alat produksi atau adanya

kesenjangan akses terhadap alat-alat produksi dalam masyarakat. Jadi menurut

pandangan ini, stratifikasi sosial disebabkan oleh relasi individu-individu yang

berbeda terhadap alat produksi, baik sebagai pemilik alat produksi maupun

sebagai tenaga kerja. Marx mengkaji tiga bahan utama mengenai stratifikasi

sosial , yaitu kelas, kepentingan kelas dan perjuangan kelas.17

a. Kelas

16
Rizqon Halal Syah Aji, Stratifikasi Sosial Dan Kesadaran Kelas, Jurnal Fakultas
Syariah dan hokum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
17
Indera Ratna Irawati Pattinasarany, Stratifikasi dan Mobilitas Sosial (Jakarta: Yayasan
Pusta Obor Indonesia, 2016), h.1.
Model stratifikasi sosial teori Marx bersifat unidimensional. Artinya,

penentuan posisi seseorang ditentukan oleh satu dimensi yaitu ekonomi.

Karena itu teori Marx dikatakan bersifat economic deterministic. Kelas di

bangun atas dasar perbedaan posisi atau peran yang diisi oleh para individu

dalam skema produktif dalam masyarakat. Jadi, kondisi yang penting dalam

menentukan kelas adalah pemilikan atas alat-alat produksi.

Pemilik tenaga kerja, pemilik tanah dan tuan tanah merupakan tiga

kelas terbesar dalam masyarakat modern dari sudut pandang pemilikan alat-

alat produksi kapitalas. Kunci pembagian kelas dalam masyarakat kapitalis

adalah pemilik alat berada dalam posisi teratas, dan yang bukan pemilik alat

produksi berada dalam posisi bawah. Kelompok pemilik alat produksi ini

disebut sebagai borjuis, sementara yang bukan pemilik alat produksi disebut

proletar. Konsekuensi dari distribusi pemilikan alat-alat produksi dalam

masyarakat menentukan distribusi kekuasaan politik maupun intelektual dalam

masyarakat bersangkutan. Kelas merupakan kekuatan sosial nyata yang

memiliki kapasitas untuk mentranformasi atau mengubah masyarakat.

Menurut Marx, pelaku-pelaku dalam perubahan sosialbukanlah individu-

individu tertentu melainkan kelas-kelas sosial. Perhatian Marx tidak hanya

seperti apa kelas sosial, tetapi juga pada bagaimana struktur kekuasaan di

antara kelas-kelas sosial.18

b.Perjuangan kelas

18
Indera Ratna Irawati Pattinasarany, Stratifikasi dan Mobilitas Sosial (Jakarta: Yayasan
Pusta Obor Indonesia, 2016), h 2-3.
Teori Marx sangat terpusat pada struktur kapitalisme dan dampak

penindasannya terhadap buruh. Secara politis, perhatiannya tertuju pada

upaya untuk membebaskan manusia dari penindasan struktur kapitalisme.

Masyarakat menurut Weber, terdiri dari keseimbangan kekuatan-kekuatan

dialektis yang mendorong perubahan sosial melalui tekanan dan perjuangan.

Hubungan antar kelas merupakan hubungan produksi, khususnya dalam pola

kepemilikan dan control terhadap alat-alat produksi merupkan cara bagi

kelas borjuis untuk mengeksploitasi kelas proletar dala proses produksi itu

sendiri. Kondisi ini melahirkan pertentangan atau antagonisme antar proletar

dengan brjuis dalam bentuk perjuangan kelas. Menurut Marx, perjuangan itu

sendiri merupakan ekspresi revolusi tertinggi. Kelas dalam pengertian Marx

selalu berhubungan dem=ngan historical struggle, yaitu pertentangan tiada

henti atau terus menerus antara kelas-kelas yang berselish yang sering kali

berselisih yang sering kali berakhir dengan kehancuran kelas-kelas tersebut.

Hubungan antar kelas dengan sendirinya merupakan hubungan kkuasaan di

mana kelas yang satu mengusai kelas lainya.

Marx menyadari bahwa pertentangan dalam masyarakat tidak

bersifat acak, tetapi merupakan produk yang sistematik dari struktur

masyarakat itu sendiri. Jika tidak ada konflik maka tidak ada kemajuan.

Oleh karena itu, perjuangan merupakan mesin kemajuan, sedangkan

pertentangan merupakan awal dari segala hal, dan konflik sosial merupakan

inti dari proses sejarah.

c. Kelompok status
Dimensi strtifikasi sosial kedua dalam teori Weber adalah kelompok

status. Berbeda dengan kelas yang mengacu pada aspek ekonomi, kelompok

status merujuk pada kehormatan status seseorang. Sebagaimana

dikemukakan oleh Weber:

“Status shall mean an effective claim to sosial esteem in terms of

positive or negative privileges, it is typically founded on style of life, formal

education, hereditary or occupational prestige”

Dari definisi di atas, status menunjuk pada pernyataan akan

penghargaan sosial berupa privilese positif maupun negative dan status

umumnya dapat dilihat dalam gaya hidup, pendidikan formal, maupun

prestise keluarga atau pekerjaan. Kelompok status biasanya berbentuk

komunitas yang terkait bersama karena kepemilikan dan gaya hidup yang

sesuai dan penghargaan serta kehormatan sosial yang menyertai mereka.

Weber beragumen bahwa status kehormatan tidak harus

berhubungan dengan situasi kelas. Orang yang memiliki atau tidak memiliki

(barang dan jasa) bisa berada dalam kelompok status yang sama, dan

menunjukkan gaya hidup yang serupa. Salah satu contoh gaya hidup yang

serupa adalah konsumsi terhadap jenis music tertentu.

d. Partai

Dimensi ketiga dari konsep stratifikasi sosial Weber adalah partai.

Menurut Weber, jika kelas terbatas pada area ekomoni dan kelompok status

pada area kehormatan status, maka partai berada pada domain kekuasaan

dan politik. Tindakan dari partai diarahkan pada dua kegiatan. Pertama,
tindakan yang diorientasikan pada perolehan kekuasaan dan kedua tindakan

untuk mempengaruhi orang lain untuk kepentingan politis. Dalam hieraki

sosial pada masyarakat, orang yang memiliki kekuasaan dapat dikatakan

berada dalam posisi yang lebih tinggi dari pada yang tidak memilikinya. Jika

seseorang dapat mempengaruhi proses penyusunan keputusan dalam

pembuatan hukum, berarti orang tersebut memiliki posisi pengaruh yang

kuat, walaupun mungkin ia tidak secara langsung melakukan exercise

kekuasaan tersebut. Proposisi dari teori stratifikasi sosial Weber adalah

bahwa secara empiris terdapat korelasi yang cukup tinggi antara posisi kelas

dan kelompok status, khususnya dalam masyarakat kapitalis. Secara

ekonomi, seseorang yang berada pada posisi kelas yang tinggi juga

memperoleh status yang tinggi. Indikator stratifikasi sosial Weber adalah

ekonomi., kehormatan dan kekuasaan. Indikator ekonomi (kelas) adalah

klasifikasi kelompok atas dasar pemilikan ekonomi. Indikator kehormatan

(kelompok status) merupakan klasifikasi kelompok yang didasarkan kepada

pola konsumsi. Sedangkan kekuasaan (partai) mengacu kepada seberapa

besar pengaruh yang dimiliki seseorang atau kelompok terhadap orang atau
19
kelompok lain.

D. Teori Stratifikasi Ibnu Khaldun

Masyarakat tidak bersifat statis, dan tidak bersifat monolitik, masyarakat

selalu berubah, dinamis dan heterogen, antara satu masyarakat dan masyarakat

19
Indera Ratna Irawati Pattinasarany, Stratifikasi dan Mobilitas Sosial (Jakarta: Yayasan
Pusta Obor Indonesia, 2016), h. 10-11.
lain memiliki akar sejarah yang berbeda, memiliki kerangka norma, nilai dan

aturan yang khas, memiliki identitas dan ideologi yang dianut secara kolektif,

umumnya masyarakat-masyarakat yang telah mengenal peradaban berorientasi

pada kemajuan.

a. Teori Masyarakat Badui Versus Masyarakat Kota

Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu khaldun memandang manusia sebagai

makhluk yang pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk

yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya,

baik dalam hal memperoleh makanan, pekerjaan, sampai dengan kebutuhan

untuk melindungi dirinya dari bahaya, sehingga kehidupannya dengan

masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Dalam

konsepnya, Ibnu Khaldun mengklasifikasi dua jenis kelompok sosial yang

keduanya memiliki karakter yang cukup berbeda. Pertama adalah “badawah”

yakni masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat primitif, atau tinggal

di daerah gurun, kedua “hadharah” yakni masyarakat yang identik dengan

kehidupan kota. Ia menyebut sebagai masyarakat beradab atau memiliki

peradaban atau sering juga disebut masyarakat kota. Kondisi fisik tempat

tinggal mereka turut mempengaruhi kehidupan beragama mereka. Masyarakat

Badui hidup lebih sederhana dibanding masyarakat kota dan hidup dengan

meninggalkan makanan mewah, memiliki tingkat ketaqwaan yang lebih

dibandingkan dengan masyarakat kota. Orang Badui lebih berani, mereka

memiliki ikatan solidaritas (ashabiyah) yang kuat, dan menurut Khaldun inilah

yang menjadi syarat kekuasaan.


Di tempat lain, masyarakat kota lebih hidup dengan berbagai

kemewahan, serba enak, menyebabkan mereka menjadi lebih individualis yang

berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas mereka. Dengan lemahnya

solidaritas ini, maka masyarakat kota lebih mudah dikalahkan oleh masyarakat

badui, dan masyarakat kota mengalami kehancuran dan masyarakat badui

berhasil menduduki kota.20

Teori Ashabiyah dan Siklus Perubahan

Sosial Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang

berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial

budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial.

Selain itu, ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan

menekankan pada kesadaran, kepaduan dan persatuan kelompok. Dapat

dikatakan bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan

keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa

dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan dan eksistensi suatu negara

tersebut akan sulit terwujud, serta sebaliknya, negara tersebut berada dalam

ancaman disintegrasi dan menuju pada kehancuran.

Di sinilah Ibnu Khaldun dengan Konsep ashabiyah nya sangat teliti

dalam menganalisis persoalan politik dan negara. Ashabiyah merupakan kunci

awal lahir dan terbentuknya sebuah negara. Jika unsur ashabiyah suatu negara

sudah melemah, maka negara itu berada dalam ancaman keruntuhan. Oleh

karena itu teori ashabiyah ini tidak bisa disangkal keadaannya, dan bahkan teori
20
Abbas Sofwan Matlail Fajar, “Perspektif Ibnuu Khaldun Tentang Perubahan Sosial
(Ibnu Khaldun's Perspective About Social Change)”, Jurnal Sosial & Budaya Syar-i FSH UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 6 No. 1 (2019), h. 4.
ashabiyah ini menjadi inspirasi bagi pergerakan politik kontemporer. Ibnuu

Khaldun membagi istilah ashabiyah menjadi dua macam pengertian. Pertama,

Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep

persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini

membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama,

mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi

kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya

keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang

kebangkitan dan kemajuan peradaban. Kedua, Pengertian ashabiyah bermakna

negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak

didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang

tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan

mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip

agama.21

Gagasan Ibnu Khaldun tentang bermasyarakat yang dikaji melalui

pendekatan sosiologis diilustrasikan dengan sifat alamiah manusia yang

senantiasa hidup berkelompok, saling menggantungkan diri, dan tidak mampu

hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain (zoon politicon).

Sehingga dari sifat alamiah tersebut serta dibarengi adanya tujuan yang sama

dari masingmasing manusia, kemudian terbentuklah ashabiyah di antara

mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk sejak mulai dari kelompok terkecil

sampai kepada kesatuan kelompok manusia yang paling besar.

21
Abbas Sofwan Matlail Fajar, “Perspektif Ibnuu Khaldun Tentang Perubahan Sosial
(Ibnu Khaldun's Perspective About Social Change)”…, h. 5-6.
Argumentasi mendasar diperlukannya ashabiyah tersebut, karena;

Pertama, teori tentang berdirinya negara berkenaan dengan realitas kesukuan

(klan). Keadaan sebuah suku dilihat dari faktor psikologis bahwa masyarakat

tidak mungkin mendirikan negara tanpa didukung perasaan persatuan dan

solidaritas yang kuat. Kedua, bahwa proses pembentukan negara itu harus

melalui perjuangan yang keras dan berat. Apabila imamah tidak mampu

menundukkan lawan maka dirinya sendiri yang akan kalah dan negara tersebut

akan hancur. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk

mewujudkannya.

Oleh karenanya, kekuatan solidaritas memberikan efek yang dapat

mempengaruhi keeksistensian negara. Selanjutnya Ibnu Khaldun berpendapat

bahwa agama memiliki peran penting dalam membentuk persatuan ashabiyah

tersebut. Semangat persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu

tidak bisa ditandingi oleh semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor

lainnya. Hal tersebut didukung oleh visi agama dalam meredakan pertentangan

dan perbedaan visi rakyat, sehingga mereka mempunyai tujuan sama, untuk

berjuang bersama menegakkan agamanya. Hal ini bisa dibuktikan ketika dalam

perang Yarmuk dan Qadisiyah, di mana pasukan umat Islam hanya berjumlah

30.000 orang, dan tentara Persia di Qadisiyah berjumlah 120.000 orang,

sedangkan tentara Heraklitus, berjumlah 400.000 orang. Meskipun jumlah

pasukan umat Islam sangat kecil, tetapi karena didasari semangat persatuan

yang tinggi dan dibentuk oleh peran agama hasilnya umat Islam mampu

memenangkan peperangan tersebut. Ibnu Khaldun membuat teori tentang


tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi

lima tahap yaitu:

a. Tahap sukses Tahap

Dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (ashabiyyah) yang

berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.

b. Tahap tirani.

Dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Nafsu untuk

menguasai menjadi tidak terkendali.

c. Tahap sejahtera.

Ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah

pada usaha membangun negara.

d. Tahap tentram dan damai

penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para

pendahulunya.

e. Tahap kemewahan.

Dimana penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa

nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu

kehancurannya.

Dari tahapan-tahapan tersebut akhirnya memunculkan tiga generasi,

yaitu: Generasi pertama; generasi pembangun, generasi yang masih memegang

sifat-sifat kenegaraan. Generasi kedua; generasi penikmat, yakni mereka yang

karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan,


menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Generasi

ketiga; ganeresi ketidakpedulian. Mereka tidak lagi memiliki hubungan

emosional dengan negara dan mereka tidak pernah memedulikan nasib negara.

Jika suatu bangsa sudah mencapai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan

negara sudah di ambang pintu. Dari tahapan di atas dapat disederhanakan

ketika sebuah peradaban besar dimulai dari masyarakat yang hidup dengan

kesusahan dan penuh perjuangan. Keinginan untuk hidup makmur dan terbebas

dari kesusahan hidup ditambah dengan ashabiyyah, membuat mereka berusaha

keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras pula.

Ketika Impian tersebut telah tercapai maka akan memunculkan sebuah

peradaban baru. Adanya kemunculan peradaban baru tersebut memberikan

dampak atas mundurnya peradaban tersebut dari peradaban lain. Tahapan-

tahapan tersebut berputar seperti roda yang tidak pernah berhenti. Lebih

sederhana lagi teori siklus ialah; lahir, tumbuh, berkembang dan mati.22

22
Abbas Sofwan Matlail Fajar, “Perspektif Ibnuu Khaldun Tentang Perubahan Sosial
(Ibnu Khaldun's Perspective About Social Change)”…, h. 7.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian tentang analisis stratifikasi sosial dalam pernikahan adat suku

Rejang ini masuk ke dalam jenis penelitian lapangan (field research) dengan

berdasarkan pada data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian

angka. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu

metode dalam meneliti suatu objek, baik berupa nilai-nilai etika, karya seni,

sekelompok manusia peristiwa atau objek budaya lainnya.23 Dan pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi agama dan

pendekatan historis.

Menurut Bogdan dan Biglen dalam buku tulisan Asmadi Alsa, peneliti

dengan pendekatan fenomenologis berusaha memahami makna dari suatu

peristiwa dan pengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu. Sosiologi

fenomenologis di pengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan Alfred Schutz. juga

berada dalam tradisi Weberian yang menekankan pentingnya pemahaman

interpretatif terhadap interaksi sesama manusia.24 Karakteristik pendekatan

fenomenologi, yaitu: menekankan pada aspek subjektif prilaku manusia, dengan

berusaha masuk ke dalam dunia konseptual subyek agar dapat memahami

23
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Pradigma. 2005),
h. 58
24
Asmadi Alsa, Pendekatan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi,
Cetakan V, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010), h. 33
bagaimana dan makna apa yang mereka kontruksikan di sekitar peristiwa dalam

kehidupan sehari-hari.25

Penerapan metode penelitian ini dimulai sejak melakukan persiapan

penelitian, pelaksanaan pengumpulan data, serta analisis data.26 Penelitian

kualitatif biasanya menekankan pada observative partisipatif, wawancara

mendalam dan dokumentasi.27

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Adapun waktu penelitian di mulai dari bulan Oktober 2020 sampai

Desember 2020, jadi lama penelitian kurang lebih satu bulan. Sedangkan untuk

lokasi penelitian meliputi kelurahan Desa Perbo Bengkulu Utara Bengkulu Utara.

Alasan memilih lokasi Desa Perbo Kecamatan Kerkap Bengkulu Utara karena

penduduknya masih memegang kuat adat dan tradisi Rejang. Selanjutnya,

berdasarkan observasi awal prosei pemberian mahar dan uang hantaran dalam

cara ritual pernikahan masih di temukan di daerah tersebut.

C. Subyek Atau Informan Penelitian

Subjek penelitian ini adalah tokoh agama, tokoh adat, tokoh

masyarakat, dan tokoh pemerintahan setempat. Adapun langkah yang digunakan

dalam menentukan data dan informasi yaitu dengan menggunakan teknik

snowball. Teknik Snowball digunakan apabila peneliti ingin mengumpulkan data

berupa informasi dari informan dalam salah satu lokasi, tetapi peneliti tidak tahu

25
Asmadi Alsa, Pendekatan Kualitatif… h. 33
26
Kaelan, Metode … h. 250
27
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama, Cet. Ke- 2, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), h. 166
siapa yang tepat untuk dipilih, karena tidak mengetahui kondisi dan struktur

warga masyarakat dalam lokasi tersebut sehingga peneliti tidak bisa

merencanakan pengumpulan data secara pasti. Untuk itu, peneliti bisa langsung

datang memasuki lokasi, dan bertanya mengenai informasi yang diperlukan

kepada siapapun yang dijumpai pertama kali. Disini peneliti kemungkinan

mendapatkan informasi yang sangat terbatas, namun peneliti boleh bertanya

kepada informan pertama barangkali informan tersebut mengetahui siapa yang

lebih memahami informasi dan menemui siapa yang bisa peneliti temui

berikutnya. Dari informan pertama peneliti bisa menemukan informan kedua.

Demikian seterusnya, peneliti berjalan tanpa rencana, semakin lama semakin

mendekati informan yang paling mengetahui informasi tersebut, sehingga

peneliti mampu menggali data secara lengkap dan mendalam. Proses kerja

semacam ini diibaratkan seperti halnya bola salju yang diawali dengan sangat

kecil, menggelinding semakin jauh dan semakin besar.28

Adapun subjek penelitian adalah tokoh masyarakat, tokoh agama,

tokoh adat, pemerintahan kelurahan setempat. Adapun langkah yang dilakukan

dalam menentukan data dan informasi di lapangan menggunakan teknik

purposive sampling yakni pemilihan 15 orang informan pada karakteristik

tertentu yang dianggap mempunyai sangkut pautnya dengan hasil penelitian

yang hendak dicapai. Kriterian informan seperti, tokoh adat, tokoh agama,

masyarakat Desa Perbo Bengkulu Utara baik laki-laki maupun perempuan

28
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi… h. 166
yang berusia 30 tahun ke atas yang memahami tradisi pemberian mahar dan

uang hantaran pada masyarakat Desa Perbo Bengkulu Utara.

D. Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini dibagi dalam bentuk kata-kata,

tindakan, serta sumber data yang tertulis29. Adapun data yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung dihimpun langsung dari

sumbernya dan diolah sendiri oleh peneliti untuk dimanfaatkan. Data Primer

dapat berupa opini subjek secara individual atau kelompok, dan observasi

terhadap karakteristik benda, kejadian, kegiatan dan hasil pengujian tertentu.

Ada dua metode untuk mengumpulkan data primer, yaitu survei dan

observasi.30

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tokoh agama, tokoh

adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh pemerintahan. Untuk

mendapatkan sumber data yang akurat peneliti mendatangi pusat kegiatan dan

kediaman tokoh-tokoh setempat guna untuk melakukan wawancara terkait

permasalahan yang akan dibahas.

29
Lexy. J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-13, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), h. 122
30
Rosadi Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan komunikasi, Cet. Ke-V,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 137
2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung

melalui media (dihasilkan oleh pihak lain). Data sekunder pada umumnya

berupa catatan atau laporan data dokumentasi dari tempat yang diteliti yang

telah dipublikasikan.31 Yang digunakan sebagai data sekunder yaitu berupa

dokumentasi, buku-buku, dan jejak-jejak digital yang berkaitan dengan

Stratifikasi Sosial dalam pemberian mahar dan uang hantaran.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan data observasi partisipan, wawancara mendalam (indepth

interview), dan dokumentasi.

1. Observasi Partisipan

Dalam hal ini observer terlibat langsungdan ikut serta dalam kegiatan-

kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diamati. Peneliti seolah-olah

merupakan bagian dari mereka. Selama peneliti terlibat dalam kegiatan-

kegiatan yang dilakukan oleh subjek, peneliti tetap harus waspada untuk teteap

mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.32

Observasi adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang harus

dikumpulkan dalam penelitian.secara langsung adalah turun ke lapangan

terlibat seluruh pancaindra mengenai tradisi pemberian mahar dan uang


31
Rosadi Ruslan, Metode Penelitian… h.137
32
Sukandarrumidi, Metododologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Yigyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), h. 72.
hantaran. Dengan harapan data yang didapatkan lebih lengkap, tajam sampai

mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku atau gejala yang muncul.

Dalam konteks penelitian kualitatif, observasi tidak untuk menguji

kebenaran tetapi untuk mengetahuikebenaran yang berhubungan dengan aspek

atau kategori yang dikembangkan peneliti. Observasi adalah kunjungan

ketempat kegiatan yaitu pada masyarakat Desa Perbo Bengkulu Utara,

sehingga semua kegiatan tradisi pemberian mahar dan uang hantaran tidak

luput dari perhatian dan dapat dilihat secara nyata. Semua kegiatan, objek,

serta kondisi penunjang yang ada dapat diamati dan dicatat.33

Penelitian dalam observasi ini, peneliti berperan aktif dalam kegiatan

mengamati dan mendiskusikan dengan subjek informan mengenai proses

terjadinya pemberian mahar dan uang hantaran serta bagaimana persepsi para

informan mengenai pemberian mahar dan uang hantaran.

2. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan dalam konteks observasi partisipasi.

Peneliti terlibat secara intensif dengan setting penelitian terutama pada

keterlibatanya dalam kehidupan informan. Wawancara dalam penelitian

kualitatif merupakan wawancara yang mendalam. Wawancara yang mendalam

adalah tanya jawab yang terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati

partisipan, bagaimana menggambarkan dunia mereka34. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan wawancara acak atau tidak terstruktur, maksudnya

33
Djam‟an Satori, Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, Alfabeta,
2009), h. 22103-104.
34
Djam‟an Satori, Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, Alfabeta,
2009), h. 129.
adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan wawancara

yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk menggali sebuah data,

karena dalan wawancara tidak terstruktur ini, peneliti belum mengetahui pasti

data apa yang didapatkan dari responden, sehingga peneliti dituntut untuk

banyak mendengar apa yang disampaikan oleh informan. Wawancara

dilakukan dengan memperhatikan tiga unsur, yaitu: Pertama, tujuan yang

eksplisit, maksudnya ketika melakukan proses wawancara, antara peneliti dan

informan harus menyadari arah dan tujuan dari wawancara yang sedang

dilakukan. Kedua, penjelasan etnografis, sejak pertemuan pertama peneliti

harus berulang-ulang memberikan pertanyaan kepada informan, sekaligus

mempelajari budaya informan. Ketiga, pertanyaan yang bersifat etnografis,

tiga tipe utama pertanyaan etnografis adalah pertanyaan deskriptif, pertanyaan

struktural, dan pertanyaan kontras. Pertanyaan deskriptif adalah pertanyaan

yang paling mudah dalam melakukan wawancara. Pertanyaan struktural

adalah pertanyaan mengenai kemampuan informan dalam mengorganisir

kemampuannya, tujuan dari pertanyaan ini untuk menemukan informasi

mengenai domain unsur-unsur dasar dalam pengetahuan kebudayaan yang

dimiliki informan. Pertanyaan kontras adalah menemukan berbagai istilah

yang dimaksud oleh informan dengan berbagai istilah asing yang digunakan

dalam bahasa aslinya.35

35
Nelly Marhayati, Strategi Pelestarian… h. 20
3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, transkrip, batu, surat kabar, majalah, prasasti,

notulensi rapat, legger, agenda dan sebagainya.36 Suprayogo dan Tobroni,37

menegaskan dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan

dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa merupakan rekaman atau

dokumen tertulis seperti arsip data base, surat-surat, rekaman gambar, benda-

benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu peristiwa. Banyak peristiwa

yang telah lama terjadi bisa diteliti dan dipahami atas dasar dokumen atau

arsip.

F. Teknik Keabsahan Data

Keabsahan data adalah berupa pembuktian terhadap apa yang telah di

alami oleh peneliti sesuai dengan realitas yang dijumpai di lapangan. Untuk

membuktikan keabsahan data peneliti menggunakan teknik triangulasi.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan tertentu. Teknik triangulasi yang

paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan sumber lain. Dalam hal ini

peneliti membandingkan pendapat informan satu dengan yang lain supaya

keabsahan data tersebut benar-benar terjamin.38 Triangulasi dibagi menjadi tiga,

yaitu:

36
Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik”, hal. 236.
37
Imam, Suprayogo dan Tobroni, “Metodologi Penelitian Sosial-Agama”, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 164.
38
Lexy. J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif… h. 324
1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber adalah dengan cara membandingkan dan

mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh

melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian.39

2. Triangulasi Metode

Patton berpendapat, dalam melakukan pengecekan derajat

kepercayaan hasil penelitian dapat digunakan metode yang sama dalam

proses konfirmasi terhadap suatu data.40

3. Triangulasi Waktu

Dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan

cara melakukan pengecekan data dengan cara wawancara, observasi, atau

dengan teknik lain dalam waktu dan situasi yang berbeda. Dalam kasus

ini peneliti melakukan wawancara dengan sumber data yang sama dalam

waktu yang berbeda.

G. Teknik Analisa Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai sejak

pengumpulan data, reduksi data, pemusatan perhatian, pengabstrakkan dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Display

data dilakukan dengan menggunakan bentuk teks naratif, penarikan kesimpulan,

dan verifikasi.41

Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan setelah data-data

diperoleh setelah melalui wawancara dan observasi di lapangan, kemudian data


39
Lexy. J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif… h. 330
40
Lexy. J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif… h. 331
41
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode…h. 194
tersebut di analisis untuk mendapatkan asumsi sementara yang dijadikan dasar

untuk menghimpun data berikutnya, lalu dikonfirmasikan secara terus menerus

secara triangulasi.

Dalam menganalisa data tersebut menggunakan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan, dan

penyederhanaan data kasar yang muncul dalam catatan-catatan atau rekaman-

rekaman yang diperoleh dari lapangan. Dalam hal ini data yang dimaksud

adalah data yang diperoleh peneliti di lapangan berdasarkan pengamatan atau

observasi yang telah dilakukan dan data yang diperoleh dari hasil wawancara

dengan informan-informan, terkait informasi yang berhubungan dengan topik

penelitian, yaitu mengenai Stratifikasi sosial dam pembrian mahar dan uang

hantaran pernikahan adat suku Rejang.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah kumpulan informasi yang tersusun dan

kemungkinan memberikan adanya penarikan kesimpulan. Penyajian data ini

diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa yang terjadi dan apa

yang harus dilakukan berdasarkan penyajian data itu sendiri.

3. Penarikan dan Pengujian Kesimpulan

Tujuan dari penarikan kesimpulan ini adalah untuk memverifikasi

penelitian tersebut dengan maksud menguji kebenaran dan kecocokan data,


sehingga penelitian yang dilakukan dapat diketahui kebenarannya dengan

menggunakan penarikan dan pengujian kesimpulan tersebut.42

42
Sudarwan Danim, Menjadi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2002),
h. 326
BAB IV
PEMBERIAN MAHAR DAN UANG HANTARAN ADAT SUKU REJANG
KABUPATEN BENGKULU UTARA

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

1. Gambaran Umum Kabupaten Bengkulu Utara

Kabupaten Bengkulu Utara merupakan salah satu daerah di wilayah

Provinsi Bengkulu dengan ibu kota dan pusat pemerintahan di kota Arga Makmur.

Arga Makmur berjarak 74 km dari Provinsi Bengkulu yang dapat ditempuh hanya

dalam waktu sekitar satu seperempat jam dengan menggunakan angkutan darat.

Aksesibilitas yang sangat baik untuk membangkitkan peluang pasar yang lebih

luas. Luas daratannya sekitar 4.324,60 km persegi yang terbagi dalam 19

kecamatan dan dibatasi dalam koordinat antara 101 derajat 32′ – 102 derajat 8′ BT

dan 2 derajat 15′-4 derajat LS. Luas lautannya kurang lebih 2.088 km persegi, hal
tersebut menjadikan kabupaten terluas dibandingkan dengan luas masing-masing

wilayah kota dan sembilan kabupaten lain di Provinsi Bengkulu.

Kondisi geografisnya sebagian besar berupa dataran yang berada pada

ketinggian antara 10-150 mdpl sepanjang pesisir pantai bagian barat membujur

dari utara ke selatan. Di bagian timur kondisi daerahnya berbukit-bukit dengan

ketinggian hingga 541 mdpl. Bagian utara berbatasan dengan Provinsi Jambi

mencapai ketinggian 2300 m. Kondisi topografi merupakan faktor utama yang

paling besar pengaruhnya terhadap kerusakan lingkungan dibandingkan dengan

faktor-faktor lain.

Batas wilayah Kabupaten Bengkulu Utara adalah sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Mukomuko

 Sebelah Timur : Lebong dan Kab. Rejang Lebong dan Prov. Jambi

 Sebelah Selatan : Bengkulu Tengah

 Sebelah Barat : Samudera Hindia

Seperti halnya masyarakat Indonesia di daerah lainnya yang terdiri dari

berbagai macam suku bangsa yang setiap suku memiliki kebudayaan yang

berbeda pula, begitu juga halnya dengan masyarakat Bengkulu Utara. Masyarakat

Bengkulu Utara dari segi bahasanya dibedakan atas beberapa golongan yaitu suku

Rejang, suku Enggano, suku Pekal, suku Lembak, dan suku pendatang (Jawa,

Sunda, Bali, Batak dan Minang).43

43
https://kejari-bengkuluutara.go.id/profil/ (diakses pada tanggal 12 Januari 2021).
Masyarakat suku Rejang merupakan suku dengan populasi terbesar di

Kabupaten Bengkulu Utara. Masyarakat suku Rejang terdiri atas dua dialek, yaitu

Rejang daratan yang bahasannya sama dengan masyarakat suku Rejang

di Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Tengah, dan Kabupaten

Lebong. Mereka pada umumnya mendiami wilayah kecamatan yang berbatasan

dengan ketiga daerah tersebut. Dialek lainnya adalah suku Rejang pesisir yang

mendiami daerah di pesisir, yaitu Kecamatan Kerkap, Kecamatan

Lais, Kecamatan Batik Nau, Kecamatan Air Napal, Kecamatan Air Besi, dan

sekitarnya. Suku terbesar kedua adalah suku Jawa, mereka mendiami daerah

bekas transmigrasi yang banyak tersebar di setiap kecamatan. Selain itu, ada suku

Enggano yang mendiami di pulau Enggano. Suku Pekal adalah masyarakat yang

mendiami di Kecamatan Ketahun, Kecamatan Putri Hijau, dan Kecamatan Napal

Putih.44

Secara administratif Kabupaten Bengkulu Utara dikepalai oleh seorang

Bupati, dengan luas wilayah 4.424,60 Km2, terdiri dari 19 kecamatan dan jumlah

kelurahan sebanyak 2 serta jumlah desa sebanyak 224 desa. Jumlah

penduduk + sebanyak 293.099 jiwa tersebar di 224 desa dan 2 Kelurahan serta 19

Kecamatan. Penduduk Kab. Bengkulu Utara sebagaian besar bekerja di sektor

pertanian, perkebunan (Kelapa Sawit dan Karet), Pertambangan (khususnya

Batubara), Perikanan, Jasa dan Lain sebagainya.

Pelaksanaan pemerintahan daerah yang dijalankan Bupati bersama-sama

dengan DPRD serta dibantu oleh Kepala Dinas / Instansi dinilai telah berjalan

44
https://kejari-bengkuluutara.go.id/profil/ (diakses pada tanggal 12 Januari 2021).
sangat baik. Forum Musyawarah Pimpinan Daerah ( MUSPIDA ) telah berfungsi

sebagaimana ketentuan. Demikian juga pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pusat

melalui Instansi vertikal dibawah koordinasi Bupati telah berjalan sesuai yang

diharapkan.45

2. Gambaran Desa Perbo

Secara administratif desa perbo berada pada wilayah kecamatan

kerkap kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu dan terletak di

bagian utara. Secara Topografi desa perbo merupakan salah satu desa yang

memiliki dataran sedang ketinggian berada pada 250 M DPL.

3. Sejarah Desa

Sejarah desa Perbo yang merupakan bagian dari wilayah

kecamatan kerkap kabupaten Bengkulu Utara, menurut beberapa tokoh

masyarakat setempat desa perbo telah dikenal pada abad ke 14 SM. Pada

saat itu datanglah dua orang perantau dari kerajaan Majapahit, kedua orang

tersebut merupakan dua bersaudara (adik dan kakak). Kedatangan mereka

berdua bertujuan untuk mencari tempat dengan cara membuka hutan atau

belukar dengan cara “merbo” yang artinya meraba-raba. Adapun setelah

mereka mendapat tempat yang layak di huni, maka setelah itu nama

wilayah tersebut dinamakan “Perbo“.46

45
https://kejari-bengkuluutara.go.id/profil/ (diakses pada tanggal 12 Januari 2021).
46
RPJMDes Tahun 2016-2022 Desa Perbo Kecamatan Kerkap Kabupaten Bengkulu
Utara.
Dengan adanya kisah tersebut maka dapat dikatakanlah desa

perbo mulai terbentuk pada abad ke 14 SM, dimana pada saat itu wilayah

tersebut dihuni oleh beberapa orang muning, kemudian salah satu dari

muning tersebut pindah ke Aur Gading dan yang satu tetap tinggal di

Perbo. Dalam kisah sejarahnya pun terdapat kisah dan konon ceritanya

setelah wafatnya sang muning kemudian datanglah ke wilayah tersebut dua

orang pangeran, disebutkan Pangeran tersebut bernama Pangeran Jalil dan

Pangeran M. Nur. Selanjutnya wilayah tersebut sekitar tahun 1950 desa

perbo dipimpin oleh seorang pangeran dan diteruskan oleh 3 (tiga)

“pesira” pada tahun 1958. Setelah pesira wafat maka desa perbo pada

tahun 1970 mengadakan pemilihan kepala desa pertama dan sampai

sekarang tahun 2016 desa perbo telah dan sudah dipimpin oleh 7 kepala

desa. Berikut dapat dilihat pada tabel berikut :

KEJADIAN YANG
NO TAH KEJADIAN YANG BAIK

UN BURUK

Dipimpin oleh seorang Depati Masyarakat belum mengenal


1 1960
bernama seorang Usman pemerintah desa utuh

Masih banyak warga desa


Dipimpin oleh seorang
2 1968 yang belum mengenal
Depati bernama seorang
birokrasi pemerintahan
Baharman
Pemilihan Kepala Desa yang

kedua, dan Langsung dipilih oleh

4 1992 masyarakat, sehingga terpilih

kepala desa bernama Sudirman

Pemerintahan desa perbo Mulai adanya gejala tidak

5 1998 dipimpin oleh seorang PJs baik dilingkungan birokrasi

dari dalam

kantor Camat bernama Irsan

Terbentuk pengelolaan Kurang lancarnya masyarakat

6 2000 keuangan Desa (UPKD) dari didalam pengembalian

program pinjaman kredit

BRDP

Pemilihan Kepala Desa definive, Tidak ada pembangunan desa


7 2001
terpilih saudara bernama Irsan sama sekali

Pemilihan kepala desa langsung Manajemen penataan

8 2006 (dipilih masyarakat) maka pembangunan desa yang

terpilih saudara Benhar sudah mulai kondusif

Ada pembangunan kantor desa Kurang perawatan untuk


9 2007
yang baru kantor desa oleh aparatur desa

Dibangunnya bangunan Polindes


10 2008
yang baru

Mendapat bantuan dari


Tidak transparansi program
11 2008 PNPM MPD untuk kemasyarakat bawah

membangun balai

pertemuan

Mendapat bantuan dari PNPM


Kurangnya partisipasi
MPD untuk membangun rabat
12 2010 masyarakat untuk
beton jalan lingkungan
membangun.
sepanjang

600 m

Penuukan PJs Kepala Desa di


13 2014
Pimpin Erwan Suhardi

Peunjukan PJs Kepala Desa


14 2015
dipimpin Bapak Tahardi

4. Geografi dan Topografi


Desa Perbo merupakan salah satu desa dari kecamatan kerkap

kabupaten bengkulu utara yang terletak dibagian barat pulau sumatra,

terletak di sebelah Barat dan berbatasan langsung dengan samudra hindia

dengan panjang pantai ± 525 km. Luas wilayah Provinsi Bengkulu

mencapai 32.365,6 KM2. Wilayah provinsi bengkulu memanjang dari

perbatasan provinsi sumatra Barat sampi provinsi lampung dan jaraknya

lebih kurang 567 KM jarak dari pusat pemerintahan kecamatan 1 Km,

jarak dari pusat pemerintahan kota 35 KM, jarak dari Ibukota provinsi 54

Km.
Untuk wilayah desa Perbo dengan Topologi desa perbukitan,

klasifikasi desa kategori desa Normal. Desa Perbo terletak didalam

wilayah kecamatan kerkap kabupaten bengkulu utara provinsi bengkulu

yang berbatasan dengan :

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Lubuk Jale kecamatan kerkap

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Salam Harjo kecamatan kerkap

c. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Serumbung kecamatan Kerkap

d. Sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Desa Perbo Bengkulu Utara

kecamatan Kerkap

Luas Wilayah Desa perbo adalah 360,721 m2 dimana 35%

berupa daratan dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan dan 60%

dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yaitu persawahan. Komoditas

unggulan berdasarkan luas tanam dan lahan adalah sawah, komoditas

unggulan berdasarkan ekonomi adalah tanaman perkebunan sawit dan

karet dan 25% untuk perumahan masyarakat desa. Iklim di desa perbo

sebagaimana desa-desa lain diwilayah indonesia mempunyai musim

kemarau dan penghujan, hal tersebut mempunyai pengaruh langsung

terhadap pola tanam pada lahan pertanian yang ada didesa perbo

kecamatan kerkap.47

47
RPJMDes Tahun 2016-2022 Desa Perbo Kecamatan Kerkap Kabupaten Bengkulu
Utara.
5. Demografi

Penduduk Desa Perbo berasal dari berbagai daerah yang

berbeda-beda, dimana mayoritas penduduknya yang paling dominan

berasal dari penduduk pribumi (suku rejang) dan penduduk pendatang

dari daerah lain seperti Bengkulu Selatan, Jawa, Sumatra Utara, sehingga

tradisi-tradisi musyawarah untuk mufakat, gotong royong dan kearifan

lokal yang lain sudah dilakukan oleh masyrakat sejak adanya desa perbo

terbentuk dan hal tersebut secara efektif dapat menghindarkan adanya

benturan-benturan antar kelompok masyarakat.

No. Klasifikasi Dusun Dusun II Dusun Total


I III

Jumlah Kepala 49 64 105 218


Keluarga (KK)

1 Keluarga Pra 10 28 10 48
Sejahtera

2 Keluarga Sejahtera 16 23 19 58
I

3 Keluarga Sejahtera 4 5 2 11
II
4 Keluarga Sejahtera 5 12 35 52
III

5 Keluarga Sejahtera 3 17 29 49
III Plus

Desa perbo mempunyai jumlah penduduk 896 jiwa, yang terdiri dari laki-laki

sebanyak 443 orang dan perempuan 453 orang dengan jumlah KK sebanyak

218 KK, rincian sebagai berikut

Jumlah Penduduk berdasarkan Jiwa di desa perbo dapat dilihat dilihat pada
tabel berikut:

Tabel 3. Jumlah Penduduk berdasarkan Jiwa

No. Keterangan Dusun I Dusun II Dusun III Total

Jumlah Penduduk (Jiwa) 326 351 219 896

1 Laki-laki 91 163 219 443

2 Perempuan 87 152 214 453

3 Usia 0-17 37 128 123 288

4 Usia 18-56 81 134 152 367

5 Usia 56 ke atas 30 108 103 241


Tingkat pendidikan masyarakat di desa perbo dapat dilihat dilihat pada tabel
berikut :

Tabel 4. Tingkat Pendidikan

SARJANA
No Pra SD SLTP SLTA
Sekolah

1 62 Orang 255 Orang 307 Orang 233 Orang 39 Orang

Desa Perbo merupakan desa pertanian maka sebagian besar


penduduknyabermata pencaharian sebagi petani, selengkapnya sebagai
berikut :
Tabel 5. Pekerjaan atau Mata Pencaharian

No. Pekerjaan / Mata Pencaharian Jumlah


1 Pegawai Negeri Sipil 20
2 TNI/ Polri 3
3 Swasta 10
4 Wiraswasta/ Pedagang 37
5 Petani 367
6 Buruh Tani 108
7 Nelayan -
8 Peternak 75
9 Pengrajin 5
10 Pekerja Seni -
11 Pensiunan 8
12 Tidak Bekerja 263
Penggunaan tanah didesa perbo sebagian besar diperuntukan untuk
tanah pertanian sawah dan perkebunan sedangkan sisanya untuk tanah kering
yang merupakan bangunan dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Tabel 6. Luas Penggunaan Lahan Desa

NO Uraian Luas (Ha) Keterangan

1 Lahan Sawah 50 Produktif

2 Lahan Ladang 2 Produktif

3 Lahan Perkebunan 40 Produktif

4 Lahan Peternakan 0,5 Produktif

5 Hutan - -

6 Tanah Kas Desa 2 Produktif

7 Lahan - -
Jumlah Kepemilikan hewan ternak oleh penduduk desa Perbo kecamatan kerkap
adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Kepemilikan Ternak

No Ayam Kambing Sapi Kerbau Ikan

1 105 55 30 - 8

Kondisi sarana dan prasarana umum desa perbo secara garis besar adalah
sebagai berikut:
Tabel 8. Sarana dan Prasarana Desa

Jumlah /
No Sarana dan Prasarana Keterangan
Volume

1 Balai Pertemuan 1 Unit 2008 / PNPM


2 Kantor Desa 1 Unit 2006/ Sekdakab
3 Polindes 1 Unit 2010/ Dinkes
4 Masjid 1 Unit 1998 / Swadaya
5 Pos Kambling 3 Unit 2015 / DD
6 Tempat Pemakaman Umum 1 Lokasi 1990/ Swadaya
7 Pemancar Telkomsel Umum 1 Lokasi 1990 / Swadaya
8 Jalan Tanah (Buka Badan Jalan) 1 Unit 2006 / Telkom
9 Jalan Tanah (Buka Badan Jalan) 700 M 2014 / PU
10 Jalan Rabat Beton RT II 700 M 2010 / PNPM
11 Jalan Rabat Beton RT III 270 M 2013 / PPIP
12 Jalan Rabat Beton RT III 250 M 2014 / PNPM
13 Jalan Rabat Beton RT III 1300 M 2014 / PNPM
14 Jalan Rabat Beton RT I 330 M 2016 / DD
15 Jalan Rabat Beton RT III 20 M 2016 / DD
16 Jaringan Irigasi Tersier 200 M 2014 / Distanak
17 Jaringan Irigasi Primer 500 M 2012 / PU
18 Jaringan Irigasi Tersier 365 M 2016 /DD
19 Jalan Poros / Hot MIX 1000 M 2014 / APBD
20 Gedung Paud 7x11 M 2015 / DD
21 Loneng 1 Unit 2015 / DD
22 Plat Deuker 1 Unit 2016 / DD
23 Tembok Pagar Lingkungan Desa 1 Unit 2016 / DD
24 Tembok Pagar Desa 1 Unit 2016 / DD
25 Gapura 1 Unit 2016 / DD
26 Pagar TPU 70 M 2015 / DinSos
27 Tenda 1 Unit 2014 / DinSos
28 Kursi 50 buah 2015 / Kec
29 Pembelian alat-alat prasmanan 1 Unit 2015 / ADD
30 Alat-alat pengurusan Jenazah 1 Unit 2015 / ADD
31 Alat-alat Kesenian Rejang 1 Unit 2015 / ADD
32 Alat-alat Adat Rejang 1 Unit 2015 / ADD
33 Kios Pupuk 1 Unit 2014 / Distanak
34 Genset 1 Unit 2016 / DD
35 Tarup/ Tenda 1 Unit 2016 / DD
36 Kursi 105 Unit 2016 / DD
37 Jalan Sentra Produksi 7000 PU

6. Keadaan Ekonomi

Kondisi ekonomi masyarakat desa perbo secara kasat mata terlihat

jelas perbedaan antara rumah tangga yang berkategori miskin, sedang dan

kaya. Hal ini disebabkan karena mata pencahariannya di sektor-sektor yang

berbeda-beda pula, sebagian besar disektor non formal seperti Petani, Usaha

kecil, buruh bangunan. Buruh tani, dan di sektor formal seperti PNS Pemda,
No Tahun Jumlah (Rp) Keterangan

1 2015 231.999.538,86 APBD

2 2016 296.916.000,00 APBD

PNS Guru, Honorer, Tenaga Medis, dan TNI/ Polri.48

7. Pendapatan Desa

Pendapatan desa pada dasarnya adalah merupakan sumber

pendpatan / dana yang bersumber dari APBD, APBN dan swadaya yang

dialokasikan kepada desa untuk mendanai kebutuhan desa dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi. Untuk desa Perbo besarnya pendapatan desa 2

(dua) tahun terakhir (2015-2016) adalah sebagaimana bisa dilihat pada

tabel dibawah ini.

Tabel 9. Besar Alokasi Dana Desa (ADD)

No Tahun Jumlah (Rp) Keterangan

1 2015 4.462.142,84 APBD

2 2016 4.462.142,84 APBD

Tabel 11. Besar Dana Desa (DD)

No Tahun Jumlah (Rp) Keterangan

1 2015 266.344.354,76 APBN

2 2016 599.862.000,00 APBN

48
RPJMDes Tahun 2016-2022 Desa Perbo Kecamatan Kerkap Kabupaten Bengkulu Utara.
.

8. Transportasi dan Perhubungan


Panjang Jalan didesa Perbo pada tahun 2018 sepanjang 1 km
(1000 meter) jalan l Km, jalan sentra produksi 7 km, jalan lingkungan
1600 m, serta jalan lingkungan desa sepanjang 3205 m.

9. Telekomunikasi dan Informasi

Penggunaan jaringan komunikasi di desa perbo khususnya


pengguna telepon gengam sudah hampir seluruh kepala rumah tangga.
Untuk mengakses internet, masyarakat mengalami kesulitan karena
keterbatasan sarana dan prasarana pendukung online, namun demikian
sebagian masyarakat sudah memahami dan mengetahui fungsi kerja dan
nilai manfaat akses internet.

10. Pengairan dan Keirigasian

Penangan keirigasian/ pengairan diarahkan dalam rangka


memenuhi kebutuhan para petani sawah, maupun tanaman palawija lainya.
Kondisi jaringan irigasi di desa perbo pada tahun 2016 ini kondisinya
cukup baik, tetapi pada saat musim kemarau masih terjadi kekurangan air
dan pada musim hujan masih ada saluran irigasi yang tidak bisa menahan
debit air yang terlalu tinggi, hal ini disebabkan pengaturan dan pembagian
air kurang memadai.

11. Air Bersih

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam


memenuhi kebutuhan hidupnya seperti minum, memasak, mencuci dan
sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, saat ini penduduk
desa perbo sebagian besar masih menggunakan sumur (Manual/ tenaga
mesin (sanyo) mengenai masalah jenis sumber air yang digunakan
masyarakat dapat dilihat pada tabel dibawah in
Tabel 12. Sumber Air Bersih

No Jenis Sumber Air Jumlah Rumah Persentase (%)


Bersih yang Di Tangga Pengguna
Gunakan (KK)
Masyarakat
1 Sumur Gali 195 59.45
2 Sumur Pompa Tangan 105 32.012

3 Sumur BOR 2 0.60


4 PAM 11 3.33
5 Kali/ Sungai 15 4.57

12. Energi

Pada umumnya masyarakat desa Perbo 95% tersambung jaringan

listrik sudah sampai ke setiap dusun di desa Perbo hanya masih ada

beberapa rumah tangga yang belum tersambung, karena satu kendala yakni

faktor ekonomi. Mereka umumnya mengambil aliran listrik dengan cara

sambungan dari rumah lain. Pada tahun 2016 sebanyak 207 Rumah

Tangga.

13. Musim

Didesa perbo ada 2 Iklim yaitu musim kemarau dan musim

penghujan.

14. Pola Penggunaan lahan Pertanian

Lahan sawah dimusim penghujan ditanami padi dan musim

kemarau kadang ditanami palawija atau bahkan ada petani yang


memaksakan untuk menanam padi , untuk lahan kebun ditanami tanaman

karet dan sawit.

15. Pembagian Wilayah Desa

Wilayah desa Perbo dibagi menjadi 3(tiga) Dusun, namun

pembagian wilayah ini belum dilakukan secara khusus dan mutlak

sehingga jumlah penduduk dan luas wilayah dusun satu dengan yang lain

tak sama. Sebuah dusun dipimpin oleh seorang Kepala Dusun (KaDun)

yang menjadi mitra penghubung masyarakat dusun setempat dengan

pemerintahan Desa Perbo. Sebagian besar wilayah pemukiman masyarakat

di Desa Perbo dipergunakan untuk bangunan perumahan, bangunan desa

dan sarana prasana umum pendukung kesejahteraan masyarakat. Berikut

Sarana dan prasarana yang ada di Desa Perbo :

Tabel 13. Sarana Dan Prasarana Desa Perbo

1 Sarana Pendidikan -

a. Pendidikan Anak Usia 1 Unit

Dini(PAUD)

b. TPQ - -

c. TK - -

- -
d. Sekolah Dasar
- -
e. Sekolah Menengah Pertama
- -
f. Sekolah Menengah Atas

2 Sarana Transportasi

2000 Meter
a. Jalan Raya
3205 Meter
b. Jalan Rabat Beton
5000 Meter
c. Jalan Aspal
4000 Meter
d. Jalan Tanah
10.000 Meter
e. Sungai Air Buan
6000 Meter
f. Sungai Air Besi
4000 Meter
g. Sungai Air Macang
1 Unit
h. Jembatan Beton

i. Jembatan Papan - -

3 Sarana Kesehatan -

a. Posyandu 1 Unit

1 Unit
b. Puskesdes

4 Sarana Olahraga -

a. Lapangan Bola Kaki - -

1 Unit
b. Lapangan Bola Volly
- Unit
c. Lapangan Tenis Meja
- -
d. Lapangan Badminton
- -
e. Lapangan Takraw

5 Organisasi Kemasyarakatan -

a. Organisasi Pemuda Karang 1 Kelomp

Taruna ok

b. PKK

1 Kelomp
c. Organisasi Club Sepak Bola
ok
d. Organisasi Kelompok Tani
1 Kelomp

ok

5 Kelomp

ok

16. Struktur Organisasi Tata Kerja Usah (SOTK) Desa

Struktur Organisa Desa perbo Kecamatan kerkap kabupaten

bengkulu Utara Provinsi bengkulu menurut sistem kelembagaan

pemerintah desa dengan pola minimal (bagan struktur pemerintahan desa

dapat dilihat pada lampiran). Seorang Kepala Desa Bekerjas sama dengan

badan permusyawaratan desa atau disingkat dengan BPD, BPD terdiri

dari 5 orang yang menduduki jabatan sebagai ketua, wakil ketua

sekretaris dan dua orang anggota. Pemilihan anggota BPD melalui

demokrasi masyarakat melalui perwakilan tokoh-tokoh masyarakat di

desa perbo.
Kepala desa dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh satu orang sekretaris

desa, tiga orang kepala urusan masing-masing yaitu urusan perencanaan,

keuangan, dan umum. Selain itu seorang kepala desa juga dibantu oleh 3 orang

kepala seksi masing-masing yaitu seksi kesejahteraan dan sosial, pelayanan,

dan pemerintahan.

Visi : Menuju Perubahan Yang Lebih Baik, Mendengar Dan Memahami Segala
Aspirasi Masyarakat, Menyatukan Bersamauntuk Mewujudkan Kehidupan
Bermasyarakat Yang Lebih Baik, Jujur, Adil Dan Merata.
Misi 1.: Mewujudkan Keamanan Dan Ketertiban Di Lingkungan
Desa Perbo.
2. Mewujudkan Dan Meningkatkan Serta Meneruskan Tata
Kelola Pemerintahan Desa Yang Baik.
3. Mengedepankan Kejujuran, Keadilan Dan Transparansi..

4. Meningkatkan Pelayanan Yang Maksimal Kepada


Masyarakat Desa Dan Daya Saing Desa.
5. Meningkatkan Sarana Dan Prasarana Dari Segi Fisik,
Ekonomi, Pendidikan, Dan Kesehatan Di Desa.
6 Meningkatkan Kehidupan Berbudaya Dan Beragama Di
Desa Perbo
PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU UTARA
KEPALA DESA PERBO
KECAMATAN KERKAP

PERATURAN DESA PERBO


NOMOR: TAHUN 2020

TENTANG
PERATURAN ADAT ISTIADAT DESA PERBO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA DESA PERBO
Menimbang a. Bahwa untuk mendorong dan partisipasi masyarakat dalam melestarikan

dan memajukan adat,tradisi dan budaya masyarakat memberikan kejelasan

status dan kepastian hukum atas adat Desa guna meningkatkan ketahanan

sosial budaya masyarakat serta menciptakan masyarakat yang aman tentram

dan berbudaya bahwa desa memiliki hak mengurus kepentingan masyarakat

setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI berdasarkan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)

b. Bahwa untuk melaksanakan sebagaimana di maksud dalam huruf a, perlu

ditetapkan Peraturan Desa Perbo Kecamatan Kerkap Kabupaten Bengkulu

Utara tentang Peraturan Adat Desa Perbo.

1. Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 tentang Pembentukan


Mengingat
Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Propinsi

68
Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956

Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1091).

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi

Bengkulu ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 19,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2828 ).

3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5495).

4. Undang-Undang Nomor 23Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan

lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) Sebagaimana Telah

diubah beberapa kali terahir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014

Tentang Pemerintah daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5679 ).

5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi Pmerintahan

(Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 5601).

6. Peraturan pemerintah Nomor 23 Tahun 1976 Tentang Pemindahan Ibu Kota

Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkulu Utara Dari Kota Bengkulu ( Kota

Madya daerah Tingkat II Bengkulu ) Ke arga Makmur di Kabupaten daerah

Tingkat II Bengkulu Utara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1976 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3091 ).

69
7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5717 );

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang

Pembentukan Produk Hukum Daerah ( Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2018 Nomor 157);

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman

Pembangunan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

2094);

10. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

70
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal

Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 158);

11. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme

Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 297);

Dengan Persetujuan Bersama

Badan Permusyawaratan Desa Perbo Dan Kepala Desa Perbo


MEMUTUSKAN DAN MENETAPKAN:

Peraturan Desa Perbo Kecamatan Kerkap


Kabupaten Bengkulu Utara

71
PERATURAN ADAT DESA PERBO

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Desa ini yang dimaksud dengan :

1. Desa adalah Desa Perbo Kecamatan Kerkap

2. Kepala Desa adalah Kepala Desa Perbo Kecamatan Kerkap

3. Badan Permusyawaratan Desa, yang selanjutnya disebut dengan BPD adalah BPD Perbo.

Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggaran

Pemerintah Desa Perbo Kecamatan Kerkap.

4. Badan Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut dengan BUMDesa adalah

BUMDesa Desa perbo Kecamatan Kerkap.

5. Badan Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut dengan BUMDesa adalah badan

usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan

secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa

pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

6. Peraturan Desa adalah peraturan Desa Perbo Kecamatan Kerkap.

7. Peraturan Desa yang selanjunya disebut Perdes adalah Peraturan Perundang-undang yang

ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Pemberdayaan

Masyarakat.

8. Keputusan Kepala Desa adalah Keputusan Kepala Desa Perbo.

9. Musyawarah Desa adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah

Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk

menyepakati hal yang bersifat strategis.

72
10. Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa yang diselanjutnya disingkat APBDes adalah

Keuangan tahunan Pemerintahan Desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah

Desa dan Badan Permusyawaran Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa.

BAB II
PERATURAN ADAT DESA PERBO

Pasal 1

Setiap warga Desa Perbo yang melaksanakan hajatan atau menikahkan wajib melalui berasan

bekulo adat istiadat Desa Perbo

Pasal 2

Setiap warga Desa Perbo yang melaksanakan hajatan membayar nazar dan memotong kambing

wajib melalui berasan adat desa apabila tidak dilaksanakan maka dikenakan sanksi adat berupa

denda satu buah punjung dan sekapur sirih

Pasal 3

Setiap berasan atau berkutai dikenakan biaya:

1. Papes Rp 30.000 (Tiga Puluh Ribu Rupiah)

2. Upah tua Rp 30.000 (Tiga Puluh Ribu Rupiah)

3. Serak kundang Rp 25.000 ( Dua Puluh Lima Ribu Rupiah)

4. Piyun rokok satu pak

5. Pemutus asen Rp 50.000 (Lima Puluh Ribu Rupiah)

Pasal 4

Setiap mutus asen dikenakan uang sirih Rp.50.000,- ( Lima Puluh ribu Rupiah )

73
Pasal 5

Setiap temuai asen dan semakup asen dikenakan uang sirih Rp.30.000,- ( Tiga Puluh Ribu Rupiah

).

Pasal 6

Setiap akad nikah dikenakan uang sirih kepada kepala sarak

1. Kepala sarak Rp.50.000 ( Lima Puluh Ribu Rupiah )

2. Dua orang saksi Rp.100.000 ( Seratus Ribu Rupiah )

3. Rokok enam bungkus

Pasal 7

Jenang pengunjung harus pakai baju lengan panjang dan kain beserta peci/kopiah warna hitam

Pasal 8

Pengantin laki-laki sampai tempat pengantin perempuan disambut dengan pencak silat ( mencak)

Pasal 9

Pengaliak Padang dikenakan sangsi Rp.250.000 (dua Ratus lima Puluh Ribu Rupiah)

BAB III

PENUTUP

Pasal 10

Peraturan ini dibuat dan mulai diberlakukan pada tanggal diundangkan agar setiap masyarakat

mengetahuinya dan mematuhinya.

B. Mahar Dalam Prespektif Islam, Historis, Yuridis dan Filosofis

1. Pengertian Mahar

Kata “Mahar ” berasal dari bahasa Arab dan telah di adopsi ke dalam

bahasa Indonesia. Mahar dalam bahasa Arab adalah Ṣadaq. Asalnya isim

74
mashdar dari kata aṣdaqa, masdarnya iṣdaq diambil dari kata Ṣidqin (benar).

Dinamakan Ṣadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang

pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin. Kamus besar bahasa Indonesia

mendefinisikan maha itu dengan pemberian wajib berupa uang atau barang

dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan

akad nikah. Definisi ini kelihatannya sesuai dengan tradisi yang berlaku di

Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.49

Mahar secara bahasa artinya adalah maskawin. Dalam kamus Al-

Munawwir, kata mahar artinya maskawin.50 Secara istilah mahar adalah

pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sabagai ketulusan cinta

kasih calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri

kepada calon suaminya.51 Atau kewajiban suami yang harus diberikan kepada

istri, tetapi hal tersebut hendaknya diberikan dengan tulus dari lubuk hati sang

suami, karena dia sendiri dan bukan yang selainnya yang mewajibkan

atasnya.52

selain kata mahar terdapat sejumlah istilah yang mempunyai konotasi

yang sama yaitu: shadaq, nihlah, ujr, faridah, hiba‟, uqar, „alaiq, thawl dan

49
Ulfa Zamayanti, “Mahar Bagi Wanita Yang Diperkosa (Studi Perbandingan Maz}hab
Hanafi Dan Maz}Hab Syafi‟i),” (Skripsi, Fakultas Syaria‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh 2017), h. 14. pdf
50
Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 1363.
51
Ahmad Haris Al Phaniar, “Mahar Perkawinan Adat Bugis Ditinjau Dari Prespektif
Fiqih Maz}hab (Telaah Tentang Mahar Dalam Masyarakat Bugis Di Balle-Kahu Kabupaten
Bone),” (Skripsi, Jurusan Al-Akhwal Asy-Syakhsiyah Univrsitas Negeri Islam Malang 2008, h.
27). pdf
52
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta; Lentera Hati, 2002) volume. 2, h. 346.

75
nikah. Keseluruhan istilah tersebut membawa maksud dan pengertian yang

hampir sama, yaitu pemberian secara sukarela tanpa mengharap imbalan.53

2. Pandangan Para Ahli Mengenai Mahar

Kata mahar berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk

abstrak atau masdar yakni “mahran” atau kata kerja , yakni fi‟il dari mahar a-

yamhuru-mahran”. Lalu dibakukan dengan kata benda mufrad yakni, al-mahr

dan kini sudah di Indonesiakan dengan kata yang sama yakni mahar atau

karena kebiasaan pembayaran dengan mas mahar diindentikan dengan mas

kawin.54

Al-Tabari memaknai (wa atu al-nisa shaduqatihinna nihlah) dalam

QS. An-Nisa ayat 4 sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, ditujukan

kepada para wali perempuan bukan kepada suaminya. Muhammad Abduh

mengartikan kata nihlah adalah sebuah pemberian ikhlas tanpa mengharap

balasan. Sementara kata saduqat adalah bentuk jamak dari kata sadaqah adalah

persembahan yang diberikan kepada perempuan dengan cara sukarela sebelum

melakukan hubungan badan. Atas dasar ini, kata nihlah (pemberian) muncul

sebagai bentuk ekspresi kasih sayang dan ikatan kekerabatan yang wajib dan

tidak dapat ditawar-tawar seperti layaknya transaksi jual beli. Seperti hal yang

sering terjadi dalam masyarakat di mana laki-laki hanya semata-mata memberi

53
Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer” Jurnal Al-
Risalah, Volume 15 Nomor: 2 November 2015, h. 161-178.
54
Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer” Jurnal Al-
Risalah, Volume 15 Nomor: 2 November 2015, h. 178-180

76
mahar seperti layaknya hadiah biasa tanpa disertai perasaan kasih sayang dan

rasa kekerabatan.

Pandangan yang senada dijelaskan oleh Khairuddin Nasution, kata

nihlah memberikan pengertian bahwa status dari pemberian dalam perkawinan

adalah suatu pemberian sukarela tanpa pamrih sebagai simbol cinta dan kasih

sayang dari calon suami kepada calon istrinya, dan bukan sebagai uang

pengganti untuk memiliki si perempuan dan untuk mendapatkan layanan

karena pada prinsipnya pasangan suami istri adalah pasangan yang saling

melayani dan dilayani. Sehingga diharapkan dengan adanya status mahar

seperti ini apa yang menjadi tujuan utama sebuah keluarga membentuk

keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah antara suami dan istri dapat

terwujud.55

Muhammad Mutawalli al-Sha„rawi menjelaskan, bahwa maksud

saduqatihinna adalah mahar, sedangkan nihlah adalah pemberian. Apakah

sidaq itu pemberian, jawabnya “tidak”. Sidaq adalah hak dan ongkos pengganti

digunakannya alat kelamin. Tetapi Allah ingin menjelaskan bahwa hendaklah

pemberian mahar kepada perempuan seperti nihlah atau pemberian. Laki-laki

menikah dengan perempuan bagi laki-laki mendapat kenikmatan pada dirinya,

demikian juga perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk

mendapatkan keturunan. Diharapakan seorang laki-laki tidak mengambil

sesuatu dari mahar, karena perempuan itu akan diambil kenikmatannya dan

55
Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer” Jurnal Al-Risalah,
Volume 15 Nomor: 2 November 2015, h. 181.

77
juga terkadang mendapat anak darinya. Dia akan bekerja di rumah dan laki-laki

akan bersusah payah keluar rumah, tetapi pemberian ini ditetapkan oleh Allah

untuk memuliakan perempuan.

Sementara Sayyid Qutb menjelaskan bahwa maskawin dinamai oleh

QS. An-Nisa ayat 4 ialah saduqat bentuk jamak dari saduqah, yang terambil

dari akar kata sadaqa yang berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin itu di

dahului menikahi wanita, tidak berhak menggaulinya sampai ia memberikan

mahar sebagai penganti kehormatan dirinya. Dapat juga dikatakan bahwa

maskawin bukan saja lambang yang membuktikan kebenaran dan ketulusan

hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi, ia

adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia rumah tangga,

khususnya rahasia terdalam. Mahar adalah simbol kejujuran, tanda persetujuan

dan pemberian wajib yang tidak mengharapkan imbalan dan balasan.56

Quraish Shihab memperjelas makna saduqat. Maskawin dinamai

saduqat diperkuat oleh lanjutan ayat, yakni nihlah . Kata ini berarti pemberian

yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan. Ia juga dapat berarti

agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan

bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang diberikannya tanpa

mengharapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntunan

agama atau pandangan hidupnya.

56
Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer” Jurnal Al-Risalah,
Volume 15 Nomor: 2 November 2015, h. 182

78
Di kalangan Fuqaha disamping perkataan mahar , juga digunakan

istilah lainya, yakni shadaqah, nihlah dan faridhah, yang maksudnya adalah

mahar . Dalam fiqih Islam, selain kata mahar, terdapat sejumlah istilah lain

yang mempunyai konotasi yanga sama yaitu: shadaq, nihlah, ujr, faridah,

hiba‟, uqar, „alaiq, tawl dan nikah. Keseluruhan istilah tersebut membawa

maksud dan pengertian yang hampir sama, yaitu pemberian secara sukarela

tanpa mengharapkan imbalan.57 Dengan pengertian etimologis tersebut, istilah

mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada

mempelai perempuan yang hukumnya wajib. Tetapi tidak ditentukan bentuk

dari jenisnya, besar kecilnya dalam al-Qur‟an maupun al-hadis.

Dalam bahasa Arab terma mahar jarang digunakan. Kalangan ahli fiqih

lebih sering menggunakan shidaq dalam kitab-kitab fiqihnya. Sebaliknya di

Indonesia terma yang sering digunakan adalah terma mahar dan maskawin.

Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara terma as-

shidaq dan al-mahr. Ada yang menegaskan bahwa shadaq merupakan

sesuatau yang wajib karena nikah, sedangkan mahar merupakan sesuatu yang

wajib karena selain nikah, seperti wati syubhat, persususan dan menarik

kesaksian. Menurut Ibnu Qayyim istilah mahar dengan shidaq tidak berbeda

fungsi jika yang dimaksudkan merupakan pemberian sesuatu dari mempelai

laki-laki kepada mempelai perempuan dalam sebuah perkawinan. Hanya istilah

57
Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer” Jurnal Al-
Risalah, Volume 15 Nomor: 2 November 2015, h. 183.

79
mahar digunakan untuk perkawinan, sedangkan istilah shadaq dapat

digunakan dalam hal selain perkawinan, kerena istilahnya bersifat umum,

sebagaima shadaq wajib dan shadaq sunnah.

Mahar merupakan pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak

mempelai perempuan yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaq,

nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat di dalam al-Qur‟an, tetapi

istilah mahar lebih dikenal di masyarakat, terutama di Indonesia, sedangkan

istilah selain mahar bukan hanya jarang digunakan, melainkan masih banyak

orang yang belum memahami maknanya. Istilah shadaqah atau shadaq dan

shidaq apalagi nihlah kurang tersosialisasikan dalam masyarakat, sedangkan

istilah mahar atau maskawin telah dipahami maknanya sampai masyarakat

awam.58

Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mahar

adalah pemberian pihak laki-laki kepada pihak wanita berupa harta atau

manfaat karena adanya ikatan perkawinan. Bentuk dan jenis mahar tidak

ditentukan dalam hukum perkawinan Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan

melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan.

Apabila pihak mempelai wanita sepakat dengan mahar yang ditawarkan oleh

pihak mempelai pria, bentuk dan jenisnya dapat ditetapkan oleh kedua belah

pihak.59

58
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat (Cet.1: Bandung; Pustaka Setia, 2001), h. 260.
59
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat (Cet.1: Bandung; Pustaka Setia, 2001), h. 261.

80
Dalam kompilasi Hukum Islam permasalahan tentang mahar terdapat

dalam BAB V pasal 30 sampai dengan pasal 38. Adapun materi-materi dari

pasal tersebut sebagai berikut:

a. Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai

wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

b. Pasal 31

Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang

dianjurkan oleh Islam.

c. Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu

menjadi hak pribadinya

d. Pasal 33

Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai Apabila calon mempelai wanita

menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya

atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi

hutang calon mempelai pria.

e. Pasal 34

Kewajiban menyerahkan mahar bukan menjadi rukun dan syarat dalam

perkawinan. Kelalaian menyebut jumlah dan jenis mahar pada waktu akad

81
nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam

keadaan mahar masih berutang tidak mengurangi sahnya perkawinan.

f. Pasal 35

Suami yang mentalak istrinya qobla ad-dukhul wajib membayar mahar

setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Apabila suami

menginggal dunia qobla ad-dukhlul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi

hak penuh istrinya. Apabila perceraian terjadi qobla ad-dukhul, tetapi besar

mahar nya belum ditetapkan, maka suami berhak membayar mahar mitsil.

g. Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan

barang lain yang sama bentuknya dan jenisnya atau dengan barang lain yang

sama nilainya atau dengan uang yan senilai dengan harga barang mahar

yang hilang.

h. Pasal 37

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang

ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke pengadilan agama.

i. Pasal 38

Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon

mempelai wanita tetap bersedia, menerimanya tanpa syarat, penyerahan

mahar di anggap lunas. Apabila istri menolak untuk menerima mahar

82
karena cacat, selama penggantinya belum diserahkan maka dianggap masih

belum bayar.60

Dari pasal-pasal yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam di atas,

dapat dipahami bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh

calon suami kepada calon istrinya, baik secara kontan atau tidak kontan dengan

cara melalui persetujuan pihak calon istri. Jika calon istri tidak menyetujuinya

dan meminta mahar nya dibayar secara kontan, pihak calon suami harus

membayarnya. Hal itu menjadi pertanda bahwa mahar adalah hak proregratif

calon istri dalam menentukan jumlah dan jenisnya. Meskipun demikian, KHI

menetapkan bahwa mahar dibayar atas dasar keserderhanaan yang sekiranya

calon suami mampu melaksanakanya.61

3. Syarat-syarat mahar

Dalam penetuan mahar KHI menjelaskan pada pasal 31 yaitu:

“Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan

yang dianjurkan oleh Islam”.

Berdasarkan keterangan diatas maka suatu syarat mahar adalah sebagai

berikut:

a. Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamar, babi

atau barang haram lainnya.

60
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Cet ke-1: Jakarta: Akademika Pressindo,
1992), h. 120-121.
61
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat (Cet.1: Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.
262-264.

83
b. Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidak jelasan maka tidak sah

dijadikan mahar , seperti nahar berupa hasil panen kebun yang setahun yang

akan datang atau sesuatu yang tidak jelas, seperti rumah yang tidak

ditentukan.

c. Mahar di miliki dengan pemilikan sempurna, syarat ini mengecualikan

pemilikan yang kurang, seperti mahar sesuatu yang dibeli namun belim

diterima.

d. Mahar harus mampu diserahkan, dengan syarat ini mengecualikan yang

tidak ada kemampuan untuk menyerahkan seperti burung yang berterbangan

atau ikan-ikan yang ada di laut. Hal seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai

mahar .62

4. Ukuran dan benda-benda yang boleh di jadikan mahar

a. Ukuran Mahar

Banyaknya maskawin itu tidak di batasi oleh syariat Islam,

melainkan menurut kemampuan suami beserta keridaan istri. Sungguhpun

demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya, karena

mahar itu apabila tela ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas

suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain.63

Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar . Karena

adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain

itu tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Karena itu

Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan


62
Aulia Mutiah, Hukum Islam Dinamika Perkembangan Seputar Hukum Perkawinan
Dan Hukum Kewarisan (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2017), h. 72.
63
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), h. 393.

84
masing-masing orang, atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash

yang memberikan keterangan tentang mahar tidaklah dimaksudkan

keculai untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa

melihat besar kecilnya jumlah, jadi boleh memberi mahar misalnya

dengan cincin besi atau segaantang kurma atau mengajarkan beberapa ayat

al-Qur‟an dan lain sebagainya, asal saja sudah saling sepakat oleh kedua

belah pihak yang melakukan akad.

Disunnahkan untuk menyebutkan mahar (maskawin) di dalam

akad nikah, sekalipun dalam perkawinan budaknya sayyid (tuan) dengan

amaatnya. Dan cukuplah menyebutkan apa saja yang ada, tetapi

disunahkan tidak kurang dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham

dengan dirham murni.64

Adapun dalil yang memperjelas mengenai ukuran mahar adalah

sebgai berikut:

a. Dari Amir bin Rabi‟ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah

menikah dengan mahar dua buah sandal. Rasulullah lalu bersabda,

“Apakah engkau ridha dirimu dan hartamu hanya dengan dua buah

sandal?”, dia menjawab, “Ya”. Beliau pun membolehkannya. (HR.

Turmuzi).

b. QS An-Nisa ayat 20

َ ُ‫تُى ِإحذَى ٍُٓ ِق‬َٛ‫… َٔ َءات‬


......... ‫طارا‬

64
Imron Abu Amar, Fat-hul qarib (jilid 2 : Kudus: Menara Kudus, 1983), h. 42-43.

85
Artinya: sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara

mereka harta yang banyak.65 (ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada

batasan maksimalnya mahar ).66

Dalil-dalil di atas ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh dalam

jumlah yang sedikit. Dan boleh pula dalam jumlah berupa sesuatu yang

bermanfaat. Di antara yang bermanfaat itu ialah mengajarkan beberapa

ayat al-Qur‟an.67 Dari penjelasan di atas dapat di ketahui bahwasannya

Islamtidak menentukan batasan dan ukuran mahar , bahkan Rasulullah

saw, menjelaskan bahawasanya sebaik-baiknya mahar adalah yang paling

ringan, sebab jika mahar diberikan batasan ukuran maka akan terjadi

banyak perselisihan dan dampak negatif yang akan ditimbulkan, seperti

berikut:

a. Semakin bertambahnya jumlah bujang dan peran tua (karena keberatan

membayar mahar ).

b. Menyebarkan akhlak buruk kepada pemuda dan pemudi, dan ketika

masing-masing putus asa tidak bisa menikah akhirnya mereka

melampiaskannya dengan jalan pintas.

c. Timbulnya penyakit jiwa kepada kedua belah pihak karena tidak kuat

menahan hasrat yang diinginkannya.

65
Departemen Agama, Al-Qur‟a>n dan Terjemah (Semarang: Alwaah, 1989), h.
119.
66
Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam
Madzhab Syafi‟i , terj. D.A Pakihsati (Surakarta: Media Zikir, 2009, h. 363-364.
67
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7 (Bandung: Al-Ma‟rif, 1997), h. 54-56.

86
d. Para pemuda itu menjadi tidak taat kepada orang tuanya serta semakin

menjauh dari kebiasaan baik dan terpuji yang diwariskan oleh bapak

ibunya.

e. Orangtua akan mengelabui anaknya supaya jangan menikah dengan

orang yang shalih tapi kecukupan karena dia tidak akan bisa membayar

dengan mahar yang banyak, orang tua akan mengharapkan datang

seseorang untuk menikahi anaknya dengan mahar yang tinggi meskipun

orang tersebut kurang mengerti agama dan tidak baik bahkan tidak bisa

diharapkan untuk menyenangkan anaknya.

f. Akan membebani suami diatas kemampuannya, dimana hal ini akan

menimbulkan permusuhan didalam hatinya kepada istri dan

keluarganya.68

5. Benda-Benda Yang Boleh Menjadi Mahar

Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot runah tangga, binatang,

jasa, harta perdagangan, atau benda-benda lain yang mempunyai harga.

Disyariatkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya

seratus lire, atau secara global semisal sepotong emas, atau sekarung gandum.

Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh

penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki

berbeda pendapat bahwa akadnya fasid (tidak sah) dan di faskh sebelum terjadi

68
Abu Malik Kamal, Fiqh Lin Nisaa‟ ensiklopedi Fiqih Wanita, terj. Achmad Zaeni
Dahlan dan Sandi Heryana (Jilid 2: Jawa Barat: Pustaka Khazanah Fawa‟id, 2016), h. 236-
237.

87
percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan

menggunakan mahar mitsil.

Adapun hadis-hadis yang membahas mengenai benda-benda yang bleh

dijaikan sebagai mahar adalah sebagai berikut:

َ ِ‫سأَنتُ َعائ‬
‫شحَ سَ ْٔ َج‬ َ :‫أََُّ قَا َل‬، ٍِ ًَ ‫سهَ ًَحَ ت ٍِْ َع ْث ِذ انز ْح‬
َ ٗ‫َٔ َع ٍْ أ َ ِت‬
َ ‫صذَاقُُّ ِل‬ ْ َ‫و قَان‬.‫للاِ ص‬
َ ٌَ‫ َكا‬: ‫ت‬ ّ ‫سٕ ِل‬ ُ َ ‫صذ‬
ُ ‫اق َر‬ َ ٌَ‫و َك ْى َكا‬.‫ ِ ص‬ٙ
ّ ‫انُ ِث‬

.‫ َل‬: ُ‫ش؟ قُ ْهت‬ ْ َ‫ قَان‬.‫ح َََٔشا‬ِٛ‫ْس َٔ ِج ِّ ثُِتَٗ َع ْش َزج َ أُٔق‬


ُّ ُ‫ أَت َ ْذ ِرٖ َيا ان‬:‫ت‬

‫للا‬
ّ ‫سٕ ِل‬
ُ ‫اق َر‬ ُ ًَ‫ فَتِ ْه َك خ‬.‫ح‬ِٛ‫ف أُٔق‬
َ ‫ فَ َٓذَا‬،‫س ًِائ َ ِح دِرَْى‬
ُ َ ‫صذ‬ ُ ‫ص‬ ْ َ‫قَان‬
ْ َِ :‫ت‬

)‫ (رٔاِ يسهى‬.ِّ ‫و ِلَ ْس َٔ ِج‬.‫ص‬

1057. Abu Salamah Bin Abdurrahman Radiyallahu berkata, “Aku

bertanya kepada Aisyah, berapakah maskawin Rasulullah Saw?”., ia

berkata, “Mas kawin beliau kepada istrinya ialah dua belas uqiyyah dan

nasy. Ia bertanya, “Tahukah engkau apa itu nasy?”, aku menjawab,

“Tidak”. Aisyah berkata, “Setengah uqiyyah jadi semuanya lima ratus

dirham. Inilah mas kawin Rasulullah kepada para istrinya”.

َ ْٚ َ ‫ق أ‬
.ُِ‫س ُز‬ ِ ‫ ُْز انصذَا‬ٛ‫س ْٕ للاِ َخ‬ ِ ‫ع ْق َثحَ ت ٍُْ َع‬
ُ ‫قَا َل َر‬:‫ايز قَا َل‬ ُ ٍْ ‫َٔ َع‬

)‫صح َحُّ ان َحا ِك ُى‬


َ َٔ َ‫أد‬ ْ (
ُ َ‫أخ َز َجُّ أتٕ د‬

88
1064. Dari Uqbah bin Amir Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah saw

bersabda, “Sebaik-baik maskawin ialah yang paling mudah”.(HR Abu

Dawud dan dinilai sahih oleh al-Hakim).69

6. Macam-Macam Mahar

a. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki

dan pengantin perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. Para ulama

mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut

karena ada firman Allah yang berbunyi dalam QS. An-Nisa> > ayat 20:

َ ُِ‫تُى إِحذَى ٍُٓ ق‬َٛ‫َٔإٌِ أ َ َردت ُّ ُى ٱستِثذَا َل سَ ٔج ي َكاٌَ سَ ٔج َٔ َءات‬


‫طارا فَ َل‬

‫ُا‬ٛ‫ٔٔا أَتَأ ُخذََُّٔۥُ تُٓت َُا َٔ ِإثًا ُّي ِث‬َٙ‫تَأ ُخذُٔاْ ِيُُّ ش‬
Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain ,

sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang

banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang

sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan

yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.70

Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟i

Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam

69
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugul Maram Dan Dalil-Dalil Hukum, terj.
Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 452-456.
70
Departemen Agama, Al-Qur‟a>n dan Terjemah (Semarang: Alwaah, 1989), h.
119.

89
mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual-beli boleh

dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy.

Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah

sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu,

maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar. Maliki mengatakan jumlah

minimal mahar adalah tiga dirham, kalau akad dilakukan dengan mahar

kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus

membayar tiga dirham. Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih

antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan pernikawinan) atau

menfasakh akad, lalu membayar separuh mahar musamma.

b. Mahar Mitsil

Tentang mahar mitsil ini ada beberapa situasi yang diberlakukan

padanya, yaitu:

Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun

akad, sebagaimana bahwa dalam jual-beli, tetapi merupakan salah satu

konsekuensi adanya akad. Karena itu akad nikah boleh dilakukan tanpa

menyebutkan mahar, dan bila terjadi pencampuran, ditentukanlah mahar

mitsil. Kalau kemudian si istri ditalak sebelum dicampuri, maka dia tidak

berhak atas mahar, teteapi harus diberi mut‟ah, yaitu pemberian sukarela dari

suamibisa dalam bentuk pakaina, cincin, dan sebagainya. Kalau kedua belah

pihak setuju dengan pemberian dalam bentuk barang tersebut, maka barang

itulah yang menjadi mut‟ahnya. Tetapi kalau tidak diperoleh kesepakatan,

maka hakimlah yang menentukannya.

90
Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa manakala salah satu diantara

mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran, maka ditetapkna

bahawa si istri berhak atas mahar mitsil secara penuh sebagaimana ketentuan

yang berlaku bila suami telah mencampuri istrinya.

Sementara itu Maliki dan Imamiyah mengatakan bahwa tidak ada

keharusan membayar mhar manakala salah seorang diantara kedua pasangan

itu meninggal dunia sebelum terjadi percampuran. Apabila akad dilaksanakan

dengan mahar yang tidak sah dimiliki, semisal khamar dan babi, seperti telah

dijelaskan sebelumnya. Percampuran syubhat, secara sepakat mengharuskan

dibayarkanya mahar mitsil. Yang dimaksud mencampuri karena syubhat adalah

mencampuri seorang wanita yang sebenarnya tidak berhak dicampuri karena

ketidaktahuan pelakunya bahwa pasangannya itu tidak berhak dicampuri,

misalnya ada seorang laki-laki yang mengawini seorang wanita yang tidak dia

ketahui bahwa wanita tersebut adalah saudara perempuan sesusuanya, dan baru

diketahui kemudian. Atau mencampurinya hanya karena wanita tersebut

mewakilkan perkawinan kepada orang lain dan silaki-laki pun melakukan hal

yang sama, karena menganggap bahwa perwakilan semata, dapat menghalalkan

percampuran. Dengan kata lain, yang disebut syubhat itu adalah terjadinya

percampuran diluar nikah yang sah, disebabkan oleh sesuatu hal yang

dimaafkan oleh syar‟i yang melepaskannya dari hukuman had. Itu sebabnya,

maka Imamiyah memasukkan persebaran oran gila, orang tidur, dan orang

mabuk, dalam kategori percampuran karena syubhat.

91
Imamiyah Syafi‟i dan Hambali berpendapat bahwa barangsiapa yang

memperkosa seorang wanita, maka dia harus membayar mahar mitsil, tetapi

bila wanita tersebut bersedia melakukanya (dengan rela), maka laki-laki

terssebut tidak harus mebayar mahar apapun.

Apabila seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan syarat

tanpa mahar, maka menurut kesepakatan seluruh mazhab kecuali Maliki, akad

tersebut hukumnya sah. Sementara itu Maliki mengatakan bahwa, akad

tersebut harus dibatalkan sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah

terjadi percampuran, akad tersebut dinyatakan sah dengan mahar mitsil.

Mayoritas ulama mazhab Imamiyah berpendapat bahwa laki-laki tersebut harus

memberikan sesuat (mahar), baik sedikit maupun banyak. Tentang masalah ini,

terdapat berbagai riwayat dari ahlul bait.

Imamiyah dan Hanafi mengatakan bahwa apabila terjadi suatu akad

yang fasid (tidak sah), dan disebutkan bersamanya mahar musamma lalu terjadi

percampuran, maka kalau mahar yang disebutkan tersebut kurang dari mahar

mitsil, maka hak siwanita adalah mahar musamma, sebab wanita tesebut telah

rela dengan itu. Tetapi kalau mahar yang disebutkan itu lebih besar nilainya

dibanding mahar mitsil, maka haknya adalah mahar mitsil. Sebab dia tidak

berhak lebih dari itu.

Menurut Hanafi mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan wanita

yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Maliki

mahar tersebut ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut, baik fisik

maupun moralnya, sedangkan Syafi‟i menganalogikanya dengan istri dari

92
anggota keluarga, yaitu istri saudara dan paman, kemudian dengan saudara

perempuan, dan seterusnya. Bagi Hambali hakim harus menentukan mahar

mitsil dngan menganalogikanya pada wanita-wanita yang menjadi kerabat

wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi.

Sementara itu Imamiyah mengatakan bahwa mahar mitsil tidak

mempunyai ketentuan dalam syara‟. Untuk itu nilainya ditentukan oleh urf

yang paham tentang ihwal wanita, baik dalam hal nasab maupun kedudukan,

yang juga mengetahui keadaan yang dapat menambah atau berkurangnya

mahar , dengan syarat tidak melebihi mahar yang berlaku menurut ketentuan

sunah yaitu, senilai 500 dirham.71

Dari pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme

pembayaran mahar itu dapat digolongkan menjadi Mahar tunai Dan Mahar

kredit. Ketika nilai mahar itu terlalu tinggi maka pihak suami tidak dapat

membayar secara tunai maka dapat di bayar secara kredit, yang mempunyai

akibat hukum berbeda. Pada kajian hukum Isam mahar dipandang sebagai hak

calon istri yang wajib dilaksanakan oleh calon suami, hanya saja dalam

pelakanaanya bisa dilakukan secara langsung (tunai) atau ditangguhkan hal ini

diatur dalam KHI pada paasl 33 yaitu:

Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai Apabila calon mempelai

wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk

71
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab (Cet ke-18: Jakarta; Lentera,

2006), h. 364-368.

93
seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya

menjadi hutang calon mempelai pria.

Sebagian pakar hukum Islam menyatakan bahwa mahar yang dibayar

secara tunai atau ditanggguhkan harus diucapakan oleh calon suami mengenai

mahar yang ditangguhkan dalam tempo yang dekat atau dalam tempo yang

lama, semuanya berdasarkan kesepakatan antara calon istri dengan calon

suami. Hal-hal yang mempengaruhi pengurangan, penambahan dan

pengguguran mahar harus berasarkan kesepakatan suami dan istri. Mahar

yang ditangguhkan harus memenuhi dua syarat sebagai berikut:

a. Hendaklah tempo yang akan dibayarkannya diketahui, jangan sampai

mengakhirkan mahar pada waktu yang tidak pasti seperti akan dibayar

sebelum mati atau apabila diceraikan.

b. Jangan terlalu lama dalam menangguhkan pembayaran mahar , karena hal

itu akan membuat istri menggugurkan haknya.72

Jika disepakati mahar tertentu dan dengan mahar itu menjadi sempurna

akad nikah, calon suami boleh menambah mahar dengan kehendaknya dengan

syarat calon istri menerima tambahan mahar tersebut, begitu pula calon istri

mempunyai hak untuk mengurangi mahar yang telah ditentukan berdasarkan

persetujuan suami.73

Dalam keterangan lain juga dijelaskan bahwa maskawin itu boleh saja

dibayarkan tunai atau sebagian tunai dan sebagian dibayar kelak. Tentang hal

72
Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah Lin Nisaa‟ Ensiklopedia Fiqih Wanita, terj.
Achmad Zaeni Dahlan dan Sandi Heryana (Jilid 2: Jawa Barat: Pustaka Khazanah Fawa‟id,
2016), h. 247.
73
Aulia Mutiah, Hukum Islam Dinamika Perkembangan Seputar Hukum Perkawinan
Dan Hukum Kewarisan (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2017), h. 72-73.

94
ini diserahkan bagaimana kebiasaan di dalam masyarakat. Akan tetapi apabila

telah terjadi hubungan sekssual antara suami dan istri, atau suami meninggal

dan belum terjadi hubungan seksual, maskawin wajib dibayarkan seluruhnya.

Tetapi imam Malik berpendapat apabila suami meninggal sebelum terjadi

hubungan seksual, tidak wajib membayarkan maskawin. Dalam keaadaan ini ,

menurut Malik, istrinya menerima waris saja.

Apabila suami menceraikan istri dan belum terjadi hubungan seksual

antara keduanya, suami wajib membayar maskawin setengah saja dari yang

ditetapkan: hal ini brdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 237:74

ُ ‫ضح فَُِص‬
‫ف‬ ُّ ًَ َ ‫طهقت ُ ًُٕ ٍُْ ِيٍ قَث ِم أٌَ ت‬
َ ٚ‫سٕ ٍُْ َٔقَذ فَ َزضتُى نَ ٍُٓ فَ ِز‬ َ ٌ‫َٔ ِإ‬

ْ‫عقذَج ُ ٱن ُِّ َكاحِ َٔأٌَ تَعفُ إا‬


ُ ِ‫َ ِذ ِۦ‬ِٛ‫عفُ َٕاْ ٱنذِ٘ ت‬َٚ َٔ‫عفٌَُٕ أ‬َٚ ٌَ‫ل أ‬
‫َيا فَ َزضتُى ِإ ا‬

ِ َ‫َُ ُكى إٌِ ٱّللَ تِ ًَا تَع ًَهٌَُٕ ت‬َٛ‫س ُٕاْ ٱنفَض َم ت‬
‫ز‬ٛ‫ص‬ ُ ‫أَق َز‬
َ َُ‫ب ِنهتق َٕٖ َٔ َل ت‬
Artinya: Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur

dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan mahar nya,

maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika

istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan

nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu

melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat

segala apa yang kamu kerjakan.75

74
Departemen Agama, Ilmu Fiqih (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama Atau IAIN, 1984), h, 114.
75
Departemen Agama, Al-Qur‟a>n dan Terjemah (Semarang: Alwaah, 1989), h. 58.

95
Pada ayat ini Quraish Shihab menjelaskan bahwa jikalau perceraian

dijatuhkan sebelum terjadi hubungan seks, tetapi telah disepakati kadar mahar

sebelum perceraian, yang wajib diserahkan oleh suami adalah seperdua jumlah

yang telah ditetapkan itu. Ini karena salah satu tujuan utama perkawinan belum

terlaksana, yakni hubungan seks.76

7. Dampak dan Hikmah Disyariatkan Mahar

Dengan adanya kewajiban memberikan mahar Kepada istri,

terbentanglah tanggung jawab yang besar dari suami untuk memberikan nafkah

di dalam kehidupan rumah tangga secara layak. Sebagaimana Allah swt

berfirman: An-Nisa> > ayat 34:77

‫ض ُٓى َعهَٗ تَعض َٔ ِت ًَا ا‬ َ ُِّ ‫نز َجا ُل قَٕ ُيٌَٕ َعهَٗ ٱن‬
َ ‫سا ا ِء ِت ًَا فَض َم ٱّللُ تَع‬ ِّ ‫ٱ‬

ِ َٛ‫ظت ِنّهغ‬
َ ‫ة ِت ًَا َح ِف‬
ٙ‫ظ ٱّللُ َٔٱن ِت‬ َ ‫أََفَقُٕاْ ِيٍ أَي َٕ ِن ِٓى فَٱنص ِه َحتُ قَ ُِت َت َح ِف‬

ٌِ‫اجعِ َٔٱض ِزتُٕ ٍُْ فَإ‬


ِ ‫ض‬ ُ ‫شٕسَ ٍُْ فَ ِع‬
َ ًَ ‫ ٱن‬ِٙ‫ظٕ ٍُْ َٔٱْ ُج ُزٔ ٍُْ ف‬ ُ َُ ٌَُٕ‫تَخَاف‬

‫زا‬ٛ‫ّا َك ِث‬ٛ‫ع ِه‬ ‫سثِ ا‬


َ ٌَ‫ل ِإٌ ٱّللَ َكا‬ٛ َ َ‫أ‬
َ ٍِٓ َٛ‫طعَُ ُكى فَ َل تَثغُٕاْ َعه‬

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang

lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta

76
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟a>n
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) volume 1, h. 622.
77
Ahmad Haris Al Phaniar, “Mahar Perkawinan Adat Bugis Ditinjau Dari Prespektif
Fiqih Maz}hab (Telaah Tentang Mahar Dalam Masyarakat Bugis Di Balle-Kahu Kabupaten
Bone),” (Skripsi, Jurusan Al-Akhwal Asy-Syakhsiyah Univrsitas Negeri Islam Malang 2008), h.
40. pdf

96
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara

(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah

mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.78

Setelah melihat dari berbagai aspek pembahasan mengenai mahar , dapat

di ketahui bahwa dengan adanya mahar dapat menimbulkan dampak serta

hikmah yang mendalam bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Dari sisi

wanita, dengan disyariatkannya mahar oleh Allah swt dalam pernikahan,

menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan kedudukan wanita, setelah kita

ketahui bersama bahwa posisi wanita pada zaman sebelum datangnya cahaya

Islam adalah sangat direndahkan bahkan dianggap sebagai aib yang memalukan

bagi keluarga. Sementara itu, bagi kaum laki-laki, pemberian mahar kepada

calon istrinya menunjukkan bahwa wanita itu tidakbisa sembarangan dimilikki,

sebab wanita harus diperjuangkan dan dibuktikan melalui mahar sebagai tanda

keseriusan dan kesungguhan laki-laki untuk menikahi calon istrinya.

8. Perspektif Historis

Pada zaman prasejarah, manusia hidup secara buas, hidup dalam

kelompok-kelompok suku, dan bahwa karena suatu sebab yang tidak diketahui,

perkawinan di kalangan orang yang sehubungan dianggap tabu. Orang muda

dari suatu kelompok suku, apabila hendak kawin, haruslah memilih pasangan

78
Departemen Agama, Al-Qur‟a>n dan Terjemah (Semarang: Alwah, 1989), h. 123.

97
dari suku lain. Untuk tujuan itu, pemuda itu harus mengadakan pendekatan

kepada suku lain tersebut supaya dapat memilih jodoh. Pada saat itu, kaum pria

tidak menyadari peranan yang dimainkanya dalam hubungan dengan kelahiran

anak, ia tidak mengetahui bahwa hubungan seksualnya dengan wanita dapat

menyebabkan lahirnya anak. Ia menganggap anak sebagai istri saja dan bukan

anaknya. Garis keturunan ditentukan dengan merujuk kepada ibu, tanpa

rujukan ke ayah. Tak lama kemudian, kaum pria mulai mengetahui perannya

dalam kelahiran anak dan mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang

sesungguhnya kepada siapa anaknya mesti dinisbatkan, sejak itu laki-laki

membawa wanita dalam kekuasaannya.

Pada periode pertama, pria hidup sebagai parasit dan sebagai pelayan

wanita, pada periode berikutnya ketika kekuasaan jatuh ke tangan pria, pria

melarikan wanita dari sukunya, dan pada periode ketiga, untuk dapat

memperoleh gadis pilihannya, pria pergi bekerja pada ayah si gadis selama

beberapa tahun, pada periode keempat, pria membayarkan sejumlah uang

sebagai hadiah kepada ayah si wanita, dan dari sinilah bermulanya “mas

kawin”. Pada zaman Arab jahiliyah sebelum Islam datang, kaum wanita

menurut statusnya yang benar, mereka itu termasuk orang-orang yang merdeka

tapi pada kenyataannya mereka itu seperti budak sahaya, yaitu seperti orang-

orang yang kehilangan status kemerdekaannya, karena bisa diperjualbelikan

oleh kaum pria. Dan telah menjadi tradisi jahiliyah, bilamana mereka

dikaruniai anak perempuan mereka membunuh anaknya itu dengan cara yang

kejam sekali di luar sifat-sifat kemanusiaan, yaitu dengan cara mengubur anak-

98
anak mereka yang masih hidup (dikubur hiduphidup), mereka berbuat demikian

karena menganggap bahwa anak perempuan tidak dapat dibanggakan dalam

pertempuran-pertempuran dan perkelahian antara suku-suku, mereka merasa

malu dan hina jika mempunyai anak perempuan.

Pada zaman itu juga perempuan tidak diberi hak pilih guna

menentukan calon suaminya sendiri, mereka tidak diajak musyawarah siapakah

laki-laki yang mereka pandang pantas guna dijadikan pasangannya, suka atau

tidak, mereka harus menerimanya. Kemudian mengenai mahar juga, para ayah

dan ibu dari anak-anak gadis menganggap mahar sebagai hak mereka, sebagai

imbalan atas susah payah mereka dalam membesarkan dan merawat anaknya.

Dalam kitab Al-Kasysyaf dan kitab-kitab tafsir lainnya disebutkan bahwa

apabila seorang bayi wanita lahir maka orang yang mengucapkan selamat

kepada si bayi itu bisa mengatakan: “Hanni‟an laka‟an nafijah”, artinya:

“selamat semoga ia menjadi sumber kekayaan bagimu”. ini merupakan suatu

alusi atas kenyataan bahwa ayah si gadis akan mengawinkan dia kelak dan

akan menerima mas kawin (mahar).79

9. Perspektif Yuridis

Jika merujuk pada Kompilasi Hukum Islam yang merupakan salah

satu sumber rujukan bagi umat Islam khususnya di Indonesia dalam rangka

memecahkan berbagai macam masalah yang berhubungan dengan hukum

Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam mencakup beberapa hukum, yaitu

hukum perkawinan, hukum perwakafan dan hukum kewarisan. Dalam kajian


79
Muhammad Mutawali, Rahmah Murtadha. “Mahar: Antara Syari`At Dan Tradisi
(Perspektif Historis, Yuridis Dan Filosofis)”, Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Vol. 6 No. 1
(Juni) 2020, h. 78.

99
ini hanya membahas tentang hukum perkawinan, dan lebih dikhususkan lagi

dalam masalah mahar. Tentang kewajiban mahar dan hal-hal yang berkaitan

dengannya diatur dalam beberapa pasal dalam KHI, pasal-pasal tersebut

sebagai berikut: Dalam pasal 1 huruf d, menyatakan bahwa mahar adalah

pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik

berbentuk uang, barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum yang

ditentukan Islam. Kemudian dalam pasal 30 dirumuskan bahwa calon

mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang

jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Serta

penentuan besarnya mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan

yang dianjurkan oleh ajaran Islam (pasal 31 KHI). Tidak ada ketentuan hukum

yang disepakati ulama tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian

juga batas minimalnya. yang jelas, meskipun sedikit, mahar wajib ditunaikan.

Karena itu cukup tepat apa yang dirumuskan dalam pasal 31 KHI yang lebih

menekankan segi-segi kesederhanaan dan kemudahan. Ini menunjukkan pula

bahwa perkawinan dalam Islam, tidaklah sebagai kontrak “jual beli” tapi lebih

mementingkan aspek ibadah, maka disebut sebagai perjanjian kokoh.

Kemudian dalam pasal 32 KHI, berbunyi: mahar diberi langsung kepada calon

mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Penyerahan mahar

dilakukan dengan tunai, namun apabila calon mempelai wanita menyetujui,

penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk

sebagian, hal ini sesuai dengan pasal 33 KHI. Undang-undang perkawinan

100
tidak mengatur tentang mahar. Hal ini karena mahar bukan merupakan rukun

dalam perkawinan.

Oleh karena sifat mahar bukan rukun dalam perkawinan, maka

kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu aqad nikah, tidak

menyebabkan batalnya perkawinan, begitu pula halnya dalam keadaan mahar

masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan ( pasal 34 ayat 2 KHI ).

Pembayaran mahar yang ditangguhkan tersebut tergantung pada persetujuan

istri, apabila mempelai laki-laki belum menyerahkan mahar, mempelai wanita

mempunyai hak untuk menolak berhubungan suami istri, sampai maharnya

dipenuhi.

10. Perspektif Filosofis

Islam adalah agama yang berpegang teguh pada keadilan dan

persamaan, bukan agama yang membeda-bedakan manusia berdasarkan pilih

kasih. Hukum-hukumnya pun bersifat umum, yaitu bukan hanya berlaku bagi

segolongan dan tidak berlaku bagi golongan yang lain. Peribadatannya berkisar

pada soal pembersihan dan penyucian jiwa agar manusia menghiasi hidupnya

dengan keutamaan. Hukum muamalatnya (pergaulan sesama manusia)

bertujuan mencegah keburukan dan menciptakan kemanfaatan. Hukum-hukum

Syar‟iatnya tidak mengistimewakan satu golongan atas golongan yang lain. Di

hadapan syariat Islam, semua kaum muslimin berkedudukan sama, baik laki-

laki maupun perempuan. Allah SWT. mensyari`atkan perkawinan kepada

manusia karena tidak ingin menjadikan manusia seperti binatang yang hidup

bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara

101
anarki, dan tidak ada satu aturan, tapi demi menjaga kehormatan dan martabat

kemuliaan manusia selaku khalifah Allah di muka bumi, maka diadakan hukum

yang sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan

perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha meridhai, dan

upacara ijab qabul sebagai lambang dari rasa ridha. Satu hal yang erat

hubungannya dengan perkawinan adalah mahar. Mahar merupakan pemberian

wajib dari laki-laki kepada perempuan sebagai akibat dari adanya ijab qabul

antara kedua pihak. Mahar tidak boleh hanya disebutkan lewat kata-kata secara

dusta dan tidak ada kenyataannya. Laki-laki harus menyerahkan mahar itu

kepada istri dengan suka rela dari hatinya. Wanita juga harus menerima mahar

itu dengan senang hati sebagai penghormatan terhadap martabatnya, tidak

untuk membelinya dengan sejumlah uang. Jika demikian, maka wanita (calon

istri) mempunyai hak penuh dalam menentukan berapa besar mahar yang

diinginkannya. Mengingat mahar adalah hak prerogatif wanita, maka

kewajibannya tergantung kepada wanita, artinya jika wanita mau saja dikawini

oleh pria tanpa mahar, tidak ada yang mencegahnya. Sebaliknya, jika ia

bertahan tak kawin tanpa mahar, juga tak ada yang memaksanya, itulah yang

dimaksud bahwa mahar adalah hak penuh wanita, tak seorangpun dapat

mengganggu dan mencampurinya. Secara Syariat, mahar harus berupa harta

benda yang harus diberikan laki-laki kepada wanita karena adanya aqad

pernikahan. Andaikata laki-laki diperbolehkan menikahi tanpa mahar, tentu ini

merupakan tindakan pelecehan terhadap wanita dan kedudukannya, lalu

seorang laki-laki akan melihatnya dengan pandangan menghina dan

102
meremehkan, sebab dia tidak merasa kehilangan apa-apa untuk menikahinya,

dia merasa berkuasa untuk melakukan perceraian. Maka diwajibkannya mahar

bisa menumbuhkan perasaan bagi laki-laki bahwa istri tidak seenaknya saja dia

dapatkan, kecuali setelah mengeluarkan harta, dan setelah istri didapatkan,

diapun tidak bisa berbuat semaunya.80

C. Penyajian Hasil Penelitian

1. Proses Sebelum Pernikahan Adat Suku Rejang

1. Mediak

Sebelum memasuki tahap perkawinan, suku Rejang mengenal

kegiatan pacaran atau pergaulan bujang dan gadis. Menurut adat- istiadat

suku Rejang, pemilian jodoh dapat dipilih sendiri oleh bujang dan gadis,

melalui suatu proses pacaran untuk saling mengenal antara satu dengan yang

lain yang disebut dengan istilah mediak. Selain istilah mediak tahapan ini

juga sering disebut dengan belinjang yaitu suatu cara dalam adat Rejang

untuk memilih calon suami atau istri sesuai dengan kehendak calon

pengantin. Akan tetapi menurut pengamatan penulis, masih juga ditemukan

pemilihan Jodoh bujang dan gadis melalui Asen Tuai (Perjodohan oleh

orang tua). 81

80
Muhammad Mutawali, Rahmah Murtadha. “Mahar: Antara Syari`At Dan Tradisi
(Perspektif Historis, Yuridis Dan Filosofis)”, Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Vol. 6 No. 1
(Juni) 2020, h. 80.
81
Ari Wibowo, Pola Komunikasi Masyarakat Adat jurnal Khazanah Sosial,
Vol. 1 No. 1: 15-30 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia.

103
Pelaksanaan mediak dilakukan dengan dua cara yaitu secara

langsung dan tidak langsung. Secara langsung adalah seorang bujang

berpesan kepada seorang gadis pilihannya melalui temannya atau teman si

gadis, pesan tersebut berisi ingin mengecek (omongomong) bila pesan telah

sampai di sebut dengan berambok. Bila pesan telah sampai si gadis

menjawab dengan pesan sindiran yaitu apakah pesan itu tidak nyasar ? Jika

pesan tidak kesasar, maka ditunjuklah tempat dimana mediak atau berambok

dilakukan. Kemudian si bujang mendatangi tempat yang telah disepakati

dengan didampingi temannya. Setelah terjadi kata sepakat maka terjadi

rambok opot Dalam adat mediak atau belinjang terdapat beberapa aturan,

yang harus dipatuhi yaitu : Si bujang tidak boleh menggunakan kata-kata

kotor, atau kata-kata tidak sopan dalam sendaguraunya dengan si gadis. Jika

tata tertip ini tidak dihiraukan oleh si bujang, maka ia akan di hukum karena

melanggar adat yang di sebut dengan cepalo mulut; Si bujang tidak boleh

lancang tangan memegang-megang bahagian badan si gadis dalam

belinjangnya itu. Jika terjadi hal yang dilarang itu, maka si bujang dapat di

hukum karena melanggar adat yang di sebut dengan cepalo tangan;

Mediakatau belinjang tidak diperkenankan ber-khalwat (berduaan saja)

setiap pertemuan mereka mesti menyertakan orang lain satu orang laki-laki

dan satu orang perempuan. Baik dari keluarga masingmasing atau tidak;

Dilarang melakukan pertemuan di tempat yang tidak semestinya, Misalnya

104
pertemuan di pondok sawah, di hutan atau tempat-tempat lain yang secara

etika tidak patut dijadikan tempat pertemuan.82

Setelah berapa kali mediak (pacaran/kenalan) dan ada penyesuaian,

si bujang menawarkan ingin meletakkan uang kepada si gadis, bila ada

persetujuan, keduanya menyampaikan kepada temannya masing-masing dan

kepada orang tuanya, bahwa besok lusa ia akan meletakkan uang atau

menerima uang. Kadirman menyebutkan jika terdapat kecocokan biasanya si

bujang dan si gadis saling memberikan tanda, berupa cincin, kain, baju, dan

lainnya yang dilakukan dalam pertemuan wali atau keluarga kedua belah

pihak. Benda pemberian sebujang disebut dengan cingan atau gan,

sedangkan benda pemberian si gadis disebut dengan ciai Selain secara

langsung seperti disebut diatas ada juga cara mediak yang dilakukan secara

tidak langsung. Cara ini dilakukan ketika seorang bujang bertandang

kerumah ayah si gadis. Si gadis dipastikan tidak berada di rumah dalam

pertemuan tersebut. Si bujang berdialog dengan orang tua si gadis berkisar

pada pekerjaan sehari-hari. Umumnya pada persoalan pertanian. Ketika

hubungan telah berlanjut cukup lama dan terjadi persesuaian dengan

hubungan tersebut maka di sampaikan kepada orang tua si bujang untuk

menindak lanjuti perasanan tersebut. Adat mediak tetap dipertahankan pada

sebagian suku Rejang khususnya pada wilayah-wilayah pedesaan. Mediak

menurut adat Rejang merupakan wahana tata cara pergaulan bujang dan

gadis dalam proses mencari jodoh pada Suku Rejang. Adat ini dapat

82
Ari Wibowo, Pola Komunikasi Masyarakat Adat jurnal Khazanah Sosial, Vol.
1 No. 1: 15-30 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia.

105
menjamin dan menghindarkan muda mudi (bujang dan gadis) dari

perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji dalam proses berpacaran.83

2. Bekulo

Bekulo pada dasamya merupakan tahapan lanjutan yamg telah

disepakati ketika mediak dalam Berambok apa bila telah terjadi kesesuaian

hubungan maka dilakukan apa yang disebut dengan sik mengisik maksudnya

si bujang mengirim utusan dari keluarganya untuk menanyakan apakah

keluarga si gadis mengizinkan anaknya untuk menikah. Dalam pelaksanaan

sik mengisik orang tua bujang bersama keluarganya mendatangi rumah si

gadis dengan membawa oleh-oleh. Sampai dirumah si gadis kegiatan di

awali dengan menyuguhkan iben penembai kecek yaitu sirih persembahan

secara adat untuk memulai bekulo untuk memulai pembicaraan dalam sik

mengisik. Sik mengisik merupakan tahab awal sebelum adat bekulo.

Kedatangan utusan si Bujang kepada orang tua si gadis yang disebut dengan

mesik asen. 84

Sedangkan tamu yang datang berasan disebut dengan bekulo.

Ketika utusan si bujang dating kerumah orang tua si gadis, maka orang tua si

gadis wajib menegur atau menyapanya dengan secara adat. Sebelum

berbicara dwajibkan menyuguhkan Sirih (ta‟ak) setelah menegur dengan

sirih, kemudian di suguh-kan kepada tetamu Serawo kepalapo (Sawo nyoa).

83
Ari Wibowo, Pola Komunikasi Masyarakat Adat jurnal Khazanah Sosial, Vol. 1 No. 1:
15-30 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia.
84
Ari Wibowo, Pola Komunikasi Masyarakat Adat jurnal Khazanah Sosial, Vol.
1 No. 1: 15-30 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia.

106
Setelah menyuguhkan Sirih pembicaraan secara adat dimulai dengan kata-

kata “Ini sirih saya tujukan kepada bapak, mohon bapak menerima sirih

saya. Setelah bapak makan sirih ada sesuatu yang ingin saya bicarakan”

Bagi yang diberi suguhan sirih, diharuskan mencicip (makan sedikit sirih)

dengan mengambil sebagian kecil dari daun sirih tersebut. Setelah memakan

sirih yang disuguhkan utusan keluarga si bujang kemudian menjelaskan

maksud kedatangannya. Pembicaraan dalam sik mengisik biasanya di

lakukan dengan pantun atau sair dari kedua belah pihak, setelah kegiatan ini

selesai dan di peroleh kata sepakat maka pihak laki-laki memberikan tanda

berupa cincin dan kain yang disebut dengan gan. Setelah berapa hari acara

sik mengisik selesai, maka di adakan adat bekulo dengan melibatkan

keluarga besar si bujang; yang terdiri dari imam, ketua kutai, rajo, dan badan

musawarah adat.

Tata cara pelaksanaan bekulo akan menempuh sebanyak dua belas

adab sebagai berikut; Tembei Mengecek dari tukang Bigo (pembawa acara)

acara bekulodimulai dengan membaca lafadz basmalah yaitu

(bismilahirrahmanirrahim); Iben izin magea rajo oleh perwakilan tuan

rumah. Sang wakil membawa sirih dengan berbagai perangkatnya

menghadap rajo atau kades meminta izin untuk menyapa dan menanyakan

maksud kedatangan pihak laki-laki; Iben ta‟ok tawea yakni menyampaikan

sirih menyapa tamu yaitu pihak laki-laki, sekaligus menanyakan maksud

kedatangannya. Setelah utusan pihak laki-laki menyampaikan maksudnya

107
ingin bertemu puko emuak, tuan rumah, maka dilanjutkan dengan iben izin

kundei mandeak magea rajo.

Sebagai acara ke-empat yaitu; Penyampaian sirih minta izin untuk

menemui tuan rumah kepada rajo oleh perwakilan pihak lakilaki. Iben izin

kundai mandiak mageak puko umek, penyampaian sirih minta izin untuk

bekulo dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Wakil pihak

perempuan minta izin kepada rajo untuk bekulo juga menyuguhkan sirih.

Kemudian pihak laki-laki menghadap tuan rumah (pihak perempuan) untuk

menyampaikan maksud kedatangan mereka, memberikan buah tangan,

memusawarahkan berbagai biaya peng‟as pengindau atau walimah. Setelah

ada kesepakatan hasil musyawarah lalu disampaikan kepada rajo pada acara

ketujuh; Yang dinamakan kadeak kadan wakea puko umeak magea rajo oleh

wakil tuan rumah. kadeak kadeu wakea puko emeak magea puko umeak,

yakni menyampaikan hasil musyawarah oleh wakil pihak laki-laki kepada

pihak perempuan langsung menyerahkan berbagai bahan atau biaya untuk

peng‟as pengindau yang sudah di serahkan pihak laki-laki. Putuweak Rajo,

yakni pesan-pesan rajo dan langsung mengakui atau meresmikan bahwa

akan di adakan bekulo, sehingga bujang dan gadis resmi bertunang secara

adat. Kata sambutan dari pihak perempuan. Kata sambutan dari pihak laki-

laki dan pembacaan doa. Adat bekulo merupakan upacara untuk meresmikan

pertunangan antara si bujang dan si gadis. Dengan bekulohubungan bujang

dan gadis telah memiliki kekuatan hukum, karena telah melibatkan rajo,

BMA, tokoh agama dan masyarakat umum. Bekulo telah menutup bagi laki-

108
laki lain baik secara adat maupun agama untuk meminang gadis tersebut

selama belum ada keputusan berpisah. Orang tua kedua belah pihak serta

masyarakat ikut secara bersama-sama mengawasi pasangan tersebut supaya

tidak terputusnya hubungan pertunangan mereka, sehingga sampai pada hari

pemikahan. Dalam pelaksanaan adat bekulo tidak di temukan unsur-unsur

budaya lokal yang bertentangan dengan Islam. Dalam pelaksanaan upacara

tersebut telah terjadi akomodasi nilai-nilai Islam, sehingga simbol-simbol

ke-Islaman menjadi dominan mewamai upacara tersebut. Terjadi penolakan

unsur budaya lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Unsur-unsur

Islam yang mengalami akomondasi dalam ritual bekulo adalah adanya

bacaan basmalah dan doa selamat pada awal dan akhir kegiatan ritual. Telah

terjadi konflik atau penolakan dengan nilai Islam terhadap budya berupa

kegiatan meminta izin kepada arwah dan pengormatan dengan membakar

kemenyan. Kegiatan tersebut sekarang sudah ditinggalkan karena

bertentangan dengan Islam. Adanya bacaan basmalahdan doa selamat

berbahasa Arab dalam ritual bekulo yang dilakukan Suku Rejang

menunjukkan indikasi adanya nilai-nilai Islam didalamnya. Nilai-nilai yang

terkandung didalamnya adalah meng-atas namaan Allah dalam setiap

aktivitas yang dilakukan. Menurut seorang informan adanya basmalah dalam

bekulo menunjukkan adanya Islamisasi bekulo. Hal ini disebabkan adannya

kebutuhan sepiritual berupa kemantapan hati, karena sesungguhnya pelaku

bekulo tersebut adalah muslim. Dalam pandangan etnografi komunikasi

aktivitas bekulo ini merupakan bagian dari pola perilaku komunikasi yang

109
saling berinteraksi, baik secara verbal ataupun nonverbal. Pesan yang

disampaikan bersifat khusus dan terarah ke satu tujuan komunikasi. 85

3. Betunang

Betunang merupakan kelanjutan dari upacara adat bekulo. Pada

dasamya status pertunangan bujang dan gadis telah diakui dan di sahkan

menurut adat melalui ritual bekulo. Menurut Zayadi dan Kadirman, dalam

betunang disediakan bahan bahan yang disebut dengan Serana Seranai yang

harus disediakan adalah; Setabea, sergayau, byoa tangis tepok, beras kunyit,

dupa, kemenyan, tiga buah jeruk nipis dan kue-kueSedangkan barang yang

menjadi tanda betunang adalah, cincin, kain, pakaian atau lainnya dan

serawo dengan manisan ditengahnya dan jamuan berupa nasi gulai ayam.

Setelah semua siap berkumpulah sanak saudara dari pihak laki-laki dan

perempuan yang diahdiri pula oleh rajo, pemuka agama (imam) dan tukang

mbigo betunang atau dukun betunang. Pelaksanaan betunang diawali dengan

kata pembukaan dari pembawa acara dengan mengucapkan basmalah.

Kemudian dilanjutkan dengan menyuguhkan Sirih izin dari tukang mbigo

betunang kepada rajo. Setelah mendapat izin dari rajo, tukang mbigo

betunang atau dukun membakar kemenyan dan melakukan tepung tuning. 86

4. Sembeak Sujud

85
Ari Wibowo, Pola Komunikasi Masyarakat Adat jurnal Khazanah Sosial, Vol. 1 No. 1:
15-30 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
86
Ari Wibowo, Pola Komunikasi Masyarakat Adat jurnal Khazanah Sosial, Vol. 1 No. 1:
15-30 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indones

110
Sembeak Sujud bagi suku Rejang merupakan upacara meminta maaf

bagi calon pengantin kepada kedua orang tua dan keluarganya jadi sembeak

sujud ini bukanlah sembah sujud layaknya shalat dalam Islam, melainkan

tradisi permintaan maaf bagi calon pengantin atas tingkah lakunya selama

ini dalam istilah Rejang diungkapkan dengan: “Tai sembeak sujud lem adat

te jang adeba sujud minoi maaf kendei bakea sematen/bakea mengenyan,

magea bakea setuwang, bakea penyetuang, leak do indok do bapok, awai o

kulo magea leak luwea umeak, magea royot ngen prongon bakea stuwang.

Tidak ada waktu khusus ditentukan dalam melakukan tradisi ini. Dapat saja

dilakukan sebelum waktu aqad niakah atau sesudahnya. Upacara ini

menggunakan sirih untuk menyapa tamu. Alat upacara yang disiapkan

sebelum pelaksanaan adalah; bakoa iben atau tukeng lekep dan keracok iben

yaitu tempat sirih lengkap dengan isinya, daun sirih kering dan daun sirih

hijau sebanyak tujuh lembar, sapu tangan dan ditentukan pula pendamping

calon pengantin (tukang dagan) serta pelaku (panitia)sembeak sujud.

Pelaksanaan upacara sembeak sujud diawali dengan permohonan izin dari

pelaku (tukang dagan) kepada rajo. Setelah mendapat izin, tukang dagan

mengajak calon pengantin sembeak sujud dengan beberapa tahapan,

pertama; tukang dagan menyuguhkan sirih permohonan maaf dari calon

pengantin atas kehilafan dan kesalahan selama ini dan memohon diajarkan

berbagai hal yang belum diketahui dan meminta penjelasan (ketebiak baso)

sebutan pemanggilan seperti paman, bibi calaon pengantin kepada tujuan

sembeak sujud. Setelah dijawab oleh tujuan sembeak sujud segala yang

111
diminta, tukang dagan meminta calon pengantin untuk menyembah

sebanyak tiga kali. Pada sembahan ketiga, tangan calon pengantin ditutup

dengan sapu tangan. Demikin seterusnya persembahan dilakukan pada setiap

orang yang dituju sebagai sembeak sujud. Dalam upacara sembeak sujud

terkadang unsur pembelajaran etika dan sopan santun dalam berkomunikasi

bagi calon pengantin dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam

lingkungan keluargakedua belah pihak. Dalam upacara ini diajarkan kepada

kedua calon pengantin sebutan untuk memanggil kedua orang tuanya dan

beberapa kekerabatan lainnya baik keatas maupun kebawah atau kesamping

berdasarkan siatem kekerabatan keluarga Rejang. Upacara ini menjadi

penting lagi bagi etnis pendatang yang menikah dengan etnis Rejang.

Menurut seorang informan “apabila salah dalam menyebut panggilan dengan

namanya di anggap tidak berahlak dan tidak beradat”. Karena dalam sebutan

itu terkandung unsur penghormatan kepada kerabat yang lebih tua dan

menyayangi kerabat yang lebih muda dari kedua belah pihak. Jika ditinjau

melalui pendekatan teori interksionalisme simbolik, maka sembeak sujud

dapat diartikan sebagai penghormatan dan penghargaan yang disampaikan

melalui bahasa nonverbal kepada sesepuh adat.

5. Majok sematen/bakea mengenyan

Sebelum adat perkawinan pada suku Rejang adalah majok bakea

semanten atau baekea mengenyan. Majok semanten adalah tata cara adat

mengajak calon pengantin untuk silaturrahmi kerumah calon mertuanya dan

berkenalan dengan keluarga besar calon mertuanya. Sebelum pelaksanaan

112
upacara, pihak laki-laki, kutei dan rajo bermusyawarah (basen) untuk

mengadakan upacara. Musyawarah tersebut mempersiapkan segala sesuatu

yang di butuhkan dalam melakukan upacara meliputi, waktu pelaksanaan,

alat-alat upacara dan siapa yang menjadi ketua rombongannya. Setelah ada

kesepakatan acara musyawarah selesai. Acara ditutup dengan do‟a selamat

dan jamuan. Pada hari pelaksanaan Majok semanten, ketua rombongan

(ketuai bathin) meminta wakil pihak perempuan menjemput calon

pengantin. Para rombongan menjemput membawa bakul sisrih beserta

isinya, kue-kue, selendang, kain, sedingin dan beras kinyit dimasukkan

kedalam mangkok putih. Upacara dimulai dengan menyuguh sirih minta izin

kepada rajo dan ahli rumah. Setelah mendapat izin dari rajo, ahli rumah

menyuguh sirih untuk menyapa tamu sembari memberikan serawo nyoa

berupa nasi ketan bercampur gula kelapa. Kemudian wakil dari tamu

menyuguhkan sirih kepada rajo untuk menyapa tuan rumah dalam

menjemput calon pengantin sesuai kesepakatan. Kemudian wakil tamu

menyuguhkan sirih kepada tuan rumah untuk menjelaskan maksud

kedatangan mereka. Apabila calon pengantin ingin berganti pakian, mereka

telah menyiapkan beberapa pakian untuk di pakai Amen bakea

semanten/mengenyan lok besiuk, dio ade karacok siuk mbin keme, tando

arok tando suko, mbeak kumu kidek pnimo”jika calon pengantin sudah siap,

dia dibawa menuju rumah calon mertua. Ketika di tangga rumah, calon

pengantin di percik dengan air menggunakan daun sergayau dan di taburi

beras kunyit disebut dengan tempung. Upacara ini bertujuan untuk

113
menenangkan hati calon pengantin dan menghindari gangguan mahluk

halus.setelah sampai di rumah calon mertua, calon pengantin disambut

dengan rotan opot oleh calon mertua perempuan dan calon pengantin

memegang ujung rotan tersebut dan calon mertua menariknya mengajak

kedalam rumah. Sampai dipintu masuk rumah di berikan silong dan di tetes

matanya dengan byoa tangis tepok dan di suruh sujud didepan pintu.

Kemudian di beriminum air umbut pusang dipersilahkan masuk dan duduk

ditempat yang sudah disediakan (pedukuak) Pada saat duduk di pedukuak,

calon pengantin menerima beberapa sirih dari keluarga calon mertua. Bakea

semanten coa buliak pendukuak ne, kamo si yo bakea temimo iben kundei

twei okulo kundei asuak basuak bakea setuang dik diroyot diperongon.

Penyuguhan sirih berfungsi memperkenal calon pengantin dengan keluarga

besar calon mertua dan memperkenalkan sebagai (sebutan) istilah dalam

memanggil keluarga pihak calon mertua. Apabila telah terjadi pemikahan

tidak ada kesulitan bagi calon pengantin untuk berkomunikasi dengan

keluarga besar pihak calon mertua. Setelah selesai upacara, ada keluarga

pihak calon mertua mengundang calon pengantin ke rumahnya. Bila calon

pengantin mendapat izin dari tuan rumah dia dapat memenuhi undangan itu.

Apabila penyuguhan sirih tegur sapa telah dianggap cukup di rumah calon

mertua, undangan tersebut takperlu dilakukan. Upacara majok semanten

ditutup dengan do‟a oleh imam (perangkat syara‟) dan ahli rumah

menyampaikan undangan kepada para hadirin untuk hadir pada upacara

pemikahan nanti, dan ditutup dengan jamuan. Selesai jamuan para undangan

114
meninggalkan tempat dan ahli rumah sudah menunggu di depan rumah

untuk menyalami para undangan yang pamit pulang. Ngen selesei ne jamuan

kutei, selesei kulo ba uleak penyuseak majok bakea semanten/ bakea

ngenyan melandai. Bakea semantan/ bakea ngenyan minoi zin magea bakea

stuwangne, awai o kulo magea bakea leak, asuak basuak deroyot

deperongon ne, madeak lok belek. Lajau minoi maaf ngen madeak madau

majok belek moi umeak ne, waktau kwa‟ai ne lok made peng‟as pengindau

si beduwai o. neak ne senapei tun di temwai oron bakea semantan/bakea

ngenyan. Acara penyuguhan sirih dari keluarga besar calon pengantin

memiliki makna signifikan dalam proses pembelajaran etika bergaul dalam

bertegur sapa dengan keluarga calon mertua. Calon pengantin diberi bekal

untuk melakukan adaptasi terutama dalam pergaulan sehari-hari dengan

keluarga calon mertuanya. Bila dalam berkomunikasi dengan keluarga

mertua terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan siatem kekerabatan

dan adat-istiadat dianggap tidak berahlak dan tidak beradat.87

2. Konsep Dasar Pemberian Mahar dan Uang Hantaran Desa Perbo Dewasa ini

a. Mengasen (melamar)

Setelah melalui proses mediak dan terdapat kecocokan untuk

menaiki jenjang pernikahan, dilanjutkan dengan musyawarah antara pria

dan wanita tentang besaran mahar dan uang hantaran yang diinginkan pihak

wanita. Pihak wanita berhak mengajukan berapa besar ukuran mahar dan

uang hantaran kepada pihak pria, begitu juga dengan pihak pria yang

87
Ari Wibowo, Pola Komunikasi Masyarakat Adat jurnal Khazanah Sosial, Vol. 1 No. 1:
15-30 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia

115
berhak untuk melakukan negoisasi. Pada dasarnya, setelah terjadi

kesepakatan antar kedua belah pihak, barulah pihak perempuan

mengabarkan kepada keluarganya bahwa pihak pria ingin datang dengan

maksud melamar. Dalam tahap ini dinamakan dengan mengasen

(Melamar). Dimana si bujang mengirim utusan dari keluarganya untuk

menanyakan apakah keluarga si gadis mengizinkan anaknya untuk

menikah. Dalam pelaksanaan mengasen, keluarga perempuan menanyai

maksud dan tujuan pihak laki-laki dan kemudian pihak laiki-laki

mengatakan tujuanya adalah untuk melamar si gadis. Kemudian keluarga

perempuan menanyakan kepada pihak laki-laki tentang kesanggupan

pemberian mahar dan uang hantaran. Sebagaimana yang diceritakan oleh

ketua adat desa Perbo tentang proses mengasen:

“pihak semanei Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.

Adepun maksud ngan tujuan keme teko mai umeak

udi unyo, tak lain ngen tak bukan adalah utuk

melamar anak semulen udi yang bernama.......,

karno keme temiuk cerito kunei anak keme ..(laki-

laki) bahwa duai yo ade maksud untuk betunak.

Mako kunei o keme alau minyo dengan tujuan

mengasen anak semulen udi.

Pihak perempuan: sebelumne keme kulo ade temiuk kunei anak

semulen keme bahwa si ade kuatne gi lak masen.

116
Amen awei o critone, keme pihak selawei bekinai

taci adat ngan mahar sejumlah sekian.(jumlah uang

mahar dan uang hantaran), genro kiro-kiro,

janokah udi pihak semanei sanggup dengan

persyaratan keme, atau ade tangguhan.

Pihak laki-laki: keme sanggup dengan jumlah taci adat ngen mahar

tersebut, mako dari itu keme melei dio (taci) sebagai

tando jijay, bahwasanne keme setuju dengan

persyaratan udi.”

Setelah keluarga wanita mengetahui maksud dan tujuan dari

kedatangan pihak keluarga pria, maka dilanjutkan dengan menentukan besaran

mahar dan uang hantaran yang dipinta oleh pihak keluarga wanita, dengan

catatan dari hasil musyawarah sebelumnya antara pihak wanita dan pria. Dalam

hal ini pihak wanita boleh untuk setuju dengan hasil musyawarah sebelumnya

antara pihak wanita dengan pihak pria dan boleh untuk menolak. Begitu juga

dengan pihak keluarga pria, yang berhak untuk bernego.

Setelah terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak tentang besaran

mahar dan uang hanataran, dilanjutkan dengan metode pembayaran mahar dan

uang hanataran tersebut. Kebiasaan masyarakat Desa Perbo dalam hal metode

pembayaran mahar dan uang hantaran adalah dengan memberikan setengah

dari uang mahar dan hantaran sebagai tanda jadi. Kemudian dilanjutkan dengan

117
perjanjian jatuh tempo pembayaran sisa uang yang telah disetujui. Proses ini

ditujukan dengan maksud sebagai tanda jadi bahwa pihak keluarga laki-laki

telah setuju untuk menikahkan anaknya. Setelah terjadi kesepakatan

dilanjutkan dengan acara Basen.

b. Basen (Berasan)

Desa Perbo memiliki tiga ketua adat atau ketua suku yaitu, ketua adat

suku Muning Rajo, ketua adat suku Rajo alam dan ketua adat suku Jagat. Ketua

adat tersebut memiliki wilayah kekuasaan di desa Perbo yang mana apabila ada

proses pernikahan maka wajib untuk melapor kepada ketua adat sesuai suku

masing-masing. Setelah acara mengasen, dilanjutkan dengan acara basen

(berasan) antara pihak perempuan (keluarga, sanak saudara dan tetangga dekat

perempuan), Ketua adat (ketau adat suku pihak perempuan) dan pihak laki-laki.

Adapun dalam acara ini, pihak laki-laki melunasi sisa pembayaran uang mahar

dan uang hantaran. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan tanggal

pernikahan. Ketua adat kemudian menjelaskan peraturan pernikahan adat suku

Rejang, sebagaimana dijelaskan oleh ketua adat desa Perbo sebagai berikut:

“Nak lem pernikahan adat suku Rejang yo ade peraturan bahwa amen

lak memajukan ataukah memundurkan jadwal pernikahan, tulung

kadeak ayak sebelumne, amen seandaine pihak selawei cigai lak igai

ngen pihak semanei, mako pihak selawei wajib melek kute taci mahar

dan uang hantaran, sebalikne amen pihak semanei cigai lak igai ngen

pihak selawei mako pihak selawei tidak wajib melek taci mahar dan

taci hantaran. Atau apabilo pihak selawei meninggal dunia, mako

118
pihak semanei tidak berhak meminta taci mahar dan uang hantaran,

begitu juga amen pihak semanei meninggal dunia, mako pihak selawei

wajib mengembalikan setengah kunei taci mahar dan hantaran.”.

Artinya:

Di dalam pernikahan adat suku Rejang, ada beberapa peraturan bahwa


jika ingin memajukan atau memundurkan jadwal pernikahan, agar dikatakan
sebelum acara pernikahan dilangsungkan, jika pihak wanita memutuskan
hubungan dengan pihak laki-laki, maka pihak perempuan wajib
mengembalikan semua uang mahar dan uang hantaran, sebaliknya jika pihak
laki-laki memutuskan hubungan dengan pihak perempuan, maka pihak
perempuan tidak wajib mengembalikan uang mahar dan hantaran.

Setelah acara berasan selesai, dilanjutkan dengan acar menyakup asen.

Acara ini dilakukan oleh ketua adat pihak perempuan kepada kedua ketua suku

lainnya, untuk mengabarkan bahwa suku mereka akan melaksanakan

pernikahan. Ketua suku pihak perempuan, mengatakan maksud dan tujuannya

bahwa salah satu keluarga dari sukunya telah melaksanakan acara mengasen

(melamar) dan acara basen (berasan), maka dari itu mengharapkan bantuan dari

kedua suku untuk dapat membantu keberlangsungan acara tersebut.88

3. Latar Belakan dan Bentuk Stratifikasi Dalam Penentuan Pemberian Mahar dan

Uang Hantaran

Dalam masyarakat suku Rejang terkhususnya yang berda di Desa

Perbo,terdapat perbedaan derajat dan kedudukan yang menjadi pertimbangan

dalam menentuk besaran atauk ukuran pemberian mahar dan uang hantaran.

88
Diolah dari hasil wawancara dengan Mayi selaku warga desa Perbo yang menjabat
sebagai Ketua Adat SukuMuning Rajo Desa Perbo, pada tanggal 10 Oktober 2020.

119
Mahar pada hakikatnya adalah pemberian secara sukarela tanpa mengharapkan

imbalan.89 Pemberian yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak

permpuan dengan keikhlasan laki-laki memberikannya dan kerelaan

perempuan untuk menerimanya.

Banyaknya maskawin itu tidak di batasi oleh syariat Islam, melainkan

menurut kemampuan suami beserta keridaan istri. Sungguhpun demikian,

suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya, karena mahar itu apabila

tela ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar

sebagaimana halnya utang kepada orang lain.90

Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar . Karena

adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu

tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Karena itu Islam

menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-

masing orang, atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang

memberikan keterangan tentang mahar tidaklah dimaksudkan keculai untuk

menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecilnya

jumlah, jadi boleh memberi mahar misalnya dengan cincin besi atau

segaantang kurma atau mengajarkan beberapa ayat al-Qur‟a>n dan lain

sebagainya, asal saja sudah saling sepakat oleh kedua belah pihak yang

melakukan akad.

89
Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer” Jurnal Al-
Risalah, Volume 15 Nomor: 2 November 2015, h. 161-180.
90
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), h. 393.

120
Disunnahkan untuk menyebutkan mahar (maskawin) di dalam akad

nikah, sekalipun dalam perkawinan budaknya sayyid (tuan) dengan amaatnya.

Dan cukuplah menyebutkan apa saja yang ada, tetapi disunahkan tidak kurang

dari 10 dirham dan tidak lebih dari 500 dirham dengan dirham murni.91

Berbeda halnya dengan yang terjadi pada masyarakat suku Rejang

desa Perbo yang memberikan sebuah harga untuk penentuan pemberian

mahar dan uang hantaran berdasarkan faktor keluarga dan pendidikan

perempuan. Sebagaimana mana hasil wawancara peneliti dengan beberapa

ibu-ibu warga desa Perbo yang umumnya menentukan harga mahar dan uang

hantaran sebagai berikut:

a. Jika seorang perempuan tersebut masih gadis dang hanya tamatan Sekolah

Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), berasal dari keluarga

sederhana dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap (buruh atau swasta),

maka harga atau besaran mahar dan uang hantaran adala sebesar Rp.

5.000.000 - 10.000.000 (lima sampai sepuluh juta rupiah).

b. Jika seorang perempuan tersebut masih gadis dang hanya tamatan Sekolah

Menengah Akhir (SMA), berasal dari keluarga sederhana dan tidak

memiliki pekerjaan yang tetap (buruh atau swasta), maka harga atau

besaran mahar dan uang hantaran adala sebesar Rp.15.000.000 (lima belas

juta rupiah).

c. Jika seorang perempuan tersebut masih gadis dang hanya tamatan Strata 1

dan berasal dari keluarga sederhana dan tidak memiliki pekerjaan yang

91
Imron Abu Amar, Fat-hul qarib (jilid 2 : Kudus: Menara Kudus, 1983), h. 42-43.

121
tetap (buruh atau swasta), maka harga atau besaran mahar dan uang

hantaran adala sebesar Rp.20.000.000-35.000.000 (dua puluh juta rupiah

sampai tiga puluh lima juta rupiah).

d. Jika seorang perempuan tersebut masih gadis dengan pendidikan terakhir

Strata 2 (Magister) dan berasal dari keluarga sederhana dan memiliki

pekerjaan yang tetap, maka harga atau besaran mahar dan uang hantaran

adalah sebesar Rp.30.000.000- 100.000.000 (sepuluh juta rupiah).

e. Jika perempuan tersebut masih gadis dan berasal dari keluarga kaya dan

terpandang, maka harga atau besaran mahar dan uang hantaran adalah

sebesar Rp.35.000.000- 100.000.000.

f. Jika perempuan pernah menikah dan memiliki atau tidak memiliki anak,

berasal dari keluarga biasa maka harga atau besaran mahar dan uang

hantaran adalah sebesar Rp. 1.000.000-2.000.000.92

Ukuran dan besaran uang mahar dan uang hantaran merupakan

lazimnya atau patokan yang di gunakan dalam menentukan besaran pemberian

mahar dan uang hantaran. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi

stratifikasi dalam pemberian mahar dan uang hantaran desa perbo, adalah

sebagai berikut:

a. Faktor Kekuasaan dan Kedudukan Keluarga

Faktor kekuasaan dan kedudukan keluarga serta peran keluarga

tersebut dalam masyarakat, sangat mempengaruhi besaran ukuran dan harga

92
Diolah dari hasil wawancara dengan beberapa ibu-ibu (Mimi Maryani, Neti, Ratna
Tewi, Nur laili, Devi, Harmaini) warga desa Perbo yang menjabat sebagai Ketua Adat Suku Jagad
Desa Perbo, pada tanggal 10 Oktober 2020.

122
yang dipatok dalam penentuan mahar dan uang hantaran. Sebagaimana teori

Marx Weber bahwa Dimensi strtifikasi sosial kedua adalah kelompok status.

kelompok status merujuk pada kehormatan status seseorang. Sebagaimana

dikemukakan oleh Weber:

“Status shall mean an effective claim to sosial esteem in terms of

positive or negative privileges, it is typically founded on style of life, formal

education, hereditary or occupational prestige”

Dari definisi di atas, status menunjuk pada pernyataan akan

penghargaan sosial berupa privilese positif maupun negative dan status

umumnya dapat dilihat dalam gaya hidup, pendidikan formal, maupun

prestise keluarga atau pekerjaan. Kelompok status biasanya berbentuk

komunitas yang terkait bersama karena kepemilikan dan gaya hidup yang

sesuai dan penghargaan serta kehormatan sosial yang menyertai mereka.93

Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam

suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam

kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan

kelompok lain-lainnya di dalam kelompok yang lebih besar lagi.

Kedudukan sosial artinya adalah; tempat seseorang secara umum dalam

masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti

lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-

kewajibannya. Kemudian peranan (role) merupakan aspek yang dinamis

dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan

93
Indera Ratna Irawati Pattinasarany, Stratifikasi dan Mobilitas Sosial (Jakarta: Yayasan
Pusta Obor Indonesia, 2016), h. 10-11.

123
kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia

menjalankan suatu peranan. Setiap orang mempunyai macam-macam

peranan yang berasal dari pola-pola pergulan hidupnya dan hal itu

sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan apa yang

diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan yang

diberikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan adalah bahwa

hal itu mengatur perikelakuan seseorang, dan juga bahwa peranan

menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan

perbuatan-perbuatan orang lain, sehingga dengan demikian, orang yang

bersangkutan akan dapat menyesuaikan perikelakuan sendiri dengan

perikelakuan orang-orang sekelompoknya.94

Keluarga pihak perempuan yang memiliki kekuasaan atau

kedudukan serta peran penting di desa, biasanya menginginkan pernikahan

anak perempuannya dilakukan secara mewah. Pernikahan secara mewah

dalam adat suku Rejang desa Perbo dewasa ini adalah pernikahan yang

memakai berbagai acara, seperti mecak, berdeker, berdendang dan organ

tunggal siang-malam. Serta didukung dengan makanan perancisan yang

mewah seperti daging-dagingan, cemilan dan sebagainya. Kemudian

didukung dengan pelaminan, tenda yang besar. Lain halnya dengan

pernikahan biasa yang hanya dilalui dengan ijab kabul serta organ tunggal.

b. Faktor pendidikan dan Pekerjaan

94
Abid Rohman, Stratifikasi Sosial dalam Al-Qur‟an, Jurnal Sosiologi Islam Fakultas
Ilmu Sosial dan Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 3, No.1, April 2013, h. 20-21

124
Dari hasil wawancara dengan beberapa warga desa Perbo, faktor

pendidikan dan pekerjaan perempuan menentukan baesar mahar dan uang

hantaran yang akan diterimanya. Terlebih lagi dalam setiap penulisan

undangan wajib menuliskan gelar pendidikan perempuan untuk

menunjukkan bahwa perempuan tersebut memiliki pendidikan yang tinggi

dan hal tersebut merupakan suatu kebanggan pihak keluarga perempuan.

Sama halnya dengan pendidikan, pekerjaan perempuan juga menentukan

besaran mahar dan uang hantaran yang di dapat oleh permpuan, seperti

ASN, honorer, dn swasta. Perempuan yang memiliki pekerjaan, menjadi

salah satu pertimbangan dalam menentukan mahar dan uang hantaran.

4. Dampak Terjadinya Stratifikasi dalam Penentuan Pemberian Mahar dan Uang

Hanataran.

Telah diketahui sebelumnya bahwa dalam stratifkasi sosial terdapat

dua bentuk stratifiksi. Warga masyarakat desa Perbo pada umumnya tidak

menyebutkan besaran atau harga dalam pemberian mahar dan uang hantaran,

melainkan jumlah besaran mahar dan uang hantaran melurpakan harga yang

mengikuti perkembangan ekonomi, seperti memperhatikan harga pelaminan,

jasa makeup, hiburan seperti organ tunggal, berdeker, berasan, menyakup

asen, mecak, surat menyurat pada Kantor Urusan Agama dan hal-hal yang

diperlukan dalam pernikahan.

Adapun beberapa dampak dari stratifikasi sosial dalam penentuan

pemberian mahar dan uang hanataran sebagai berikut:

125
a. Semakin bertambahnya jumlah bujang dan peran tua (karena keberatan

membayar mahar ).

b. Menyebarkan akhlak buruk kepada pemuda dan pemudi, dan ketika

masing-masing putus asa tidak bisa menikah akhirnya mereka

melampiaskannya dengan jalan pintas.

c. Timbulnya penyakit jiwa kepada kedua belah pihak karena tidak kuat

menahan hasrat yang diinginkannya. Para pemuda itu menjadi tidak taat

kepada orang tuanya serta semakin menjauh dari kebiasaan baik dan

terpuji yang diwariskan oleh bapak ibunya.

d. Orangtua akan mengelabui anaknya supaya jangan menikah dengan orang

yang shalih tapi kecukupan karena dia tidak akan bisa membayar dengan

mahar yang banyak, orang tua akan mengharapkan datang seseorang

untuk menikahi anaknya dengan mahar yang tinggi meskipun orang

tersebut kurang mengerti agama dan tidak baik bahkan tidak bisa

diharapkan untuk menyenangkan anaknya.

e. Akan membebani suami diatas kemampuannya, dimana hal ini akan

menimbulkan permusuhan didalam hatinya kepada istri dan keluarganya.95

5. Persepsi Masyarakat Terhadap Stratifikasi Sosial yang terjadi Dalam

Penentuan Mahar dan Uang Hantaran dalam Pemberian Mahar dan Uang

Hantaran

95
Abu Malik Kamal, Fiqh Lin Nisaa‟ ensiklopedi Fiqih Wanita, terj. Achmad Zaeni
Dahlan dan Sandi Heryana (Jilid 2: Jawa Barat: Pustaka Khazanah Fawa‟id, 2016), h. 236-237.

126
a. Dalam pernikahan pokok utama yang sangat perlu diperhatikan adalah

jumlah pemberian mahar dan uang hantaran dari pihak laki-laki, yang

mana akan menentukan jadi atau tidak jadinya pernikahan, jika tidak ada

uang mahar dan uang hantaran dalam jumlah lazimnya masyarakat desa

Perbo, maka memunculkan perasaan malu dan merasa tidk dihargai oleh

pihak laki-laki. Sperti contoh kasus bahwa pernah terjadi suatu pernikahan

di Desa Perbo yang hanya dengan syukuran biasa tanpa mengundang

tetangga, karena pernikahan ini merupakan pernikahan tang terjadi akibat

hamil di luar nikah.96

b. Tidak perlu dipatok atau menyusaikan kedudukan, pendidikan, kekuasaan

keluarga perempuan, asalkan perempuan dan laki-laki sudah saling cinta

dan setuju berapapun besarnya mahar dan uang hantaran yang diberikan

oleh pihak laki-laki.97

96
Diolah dari hasil wawancara dengan beberapa ibu-ibu warga Desa Perbo, pada tanggal
10 Oktober 2020.
97
Diolah dari hasil wawancara dengan Benhar selaku warga desa Perbo yang menjabat
sebagai Ketua Adat Suku Jagad Desa Perbo, pada tanggal 10 Oktober 2020.

127
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Konsep Dasar Mahar Dan Uang Hantaran Pada Masyarakat Suku Rejang Desa

Perbo Bengkulu Utara

Setelah melalui proses mediak dan terdapat kecocokan untuk menaiki

jenjang pernikahan, dilanjutkan dengan musyawarah anatara pria dan wanita

tentang besaran mahar dan uang hanataran yang diinginkan pihak wanita.

Pihak wanita berhak mengajukan berapa besar ukuran mahar dan uang

hantaran kepada pihak pria, begitu juga dengan pihak pria yang berhak untuk

melakukan negoisasi Setelah terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak

tentang besaran mahar dan uang hanataran, dilanjutkan dengan metode

pembayaran mahar dan uang hanataran tersebut. Kebiasaan masyarakat Desa

Perbo dalam hal metode pembayaran mahar dan uang hantaran adalah dengan

memberikan setengah dari uang mahar dan hantaran sebagai tanda jadi.

Kemudian dilanjutkan dengan perjanjian jatuh tempo pembayaran sisa uang

yang telah disetujui. Proses ini ditujukan dengan maksud sebagai tanda jadi

bahwa pihak keluarga laki-laki telah setuju untuk menikahkan anaknya. Setelah

terjadi kesepakatan dilanjutkan dengan acara Basen.

Setelah acara mengasen, dilanjutkan dengan acara basen (berasan)

antara pihak perempuan (keluarga, sanak saudara dan tetangga dekat

perempuan), Ketua adat (ketau adat suku pihak perempuan) dan pihak laki-laki.

128
Adapun dalam acara ini, pihak laki-laki melunasi sisa pembayaran uang mahar

dan uang hantaran. Kemudian dilanjutkan dengan menentukan tanggal

pernikahan. Setelah acara berasan selesai, dilanjutkan dengan acar menyakup

asen. Acara ini dilakukan oleh ketua adat pihak perempuan kepada kedua ketua

suku lainnya, untuk mengabarkan bahwa suku mereka akan melaksanakan

pernikahan. Ketua suku pihak perempuan, mengatakan maksud dan tujuannya

bahwa salah satu keluarga dari sukunya telah melaksanakan acara mengasen

(melamar) dan acara basen (berasan), maka dari itu mengharapkan bantuan dari

kedua suku untuk dapat membantu keberlangsungan acara tersebut.

2. Latar Belakang Dan Bentuk Stratifikasi Sosial Dalam Proses Pemberian

Mahar Dan Uang Hantaran Dalam Adat Pernikahan Suku Rejang Di Desaperbo

a. Kekuasaan dan Kedudukan Keluarga

Faktor kekuasaan dan kedudukan keluarga serta peran keluarga

tersebut dalam masyarakat, sangat mempengaruhi besaran ukuran dan

harga yang dipatok dalam penentuan mahar dan uang hantaran. Keluarga

pihak perempuan yang memiliki kekuasaan atau kedudukan serta peran

penting di desa, biasanya menginginkan pernikahan anak perempuannya

dilakukan secara mewah. Pernikahan secara mewah dalam adat suku

Rejang desa Perbo dewasa ini adalah pernikahan yang memakai berbagai

acara, seperti mecak, berdeker, berdendang dan organ tunggal siang-

malam. Serta didukung dengan makanan perancisan yang mewah seperti

daging-dagingan, cemilan dan sebagainya. Kemudian didukung dengan

129
pelaminan, tenda yang besar. Lain halnya dengan pernikahan biasa yang

hanya dilalui dengan ijab kabul serta organ tunggal.

b. Faktor pendidikan dan Pekerjaan

Dari hasil wawancara dengan beberapa warga desa Perbo, faktor

pendidikan dan pekerjaan perempuan menentukan baesar mahar dan uang

hantaran yang akan diterimanya. Terlebih lagi dalam setiap penulisan

undangan wajib menuliskan gelar pendidikan perempuan untuk

menunjukkan bahwa perempuan tersebut memiliki pendidikan yang tinggi

dan hal tersebut merupakan suatu kebanggan pihak keluarga perempuan.

Sama halnya dengan pendidikan, pekerjaan perempuan juga menentukan

besaran mahar dan uang hantaran yang di dapat oleh permpuan, seperti

ASN, honorer, dn swasta. Perempuan yang memiliki pekerjaan, menjadi

salah satu pertimbangan dalam menentukan mahar dan uang hantaran.

3. Persepsi Masyarakat Terhadap Stratifikasi Sosial yang terjadi Dalam

Penentuan Mahar dan Uang Hantaran dalam Pemberian Mahar dan Uang

Hantaran

c. Dalam pernikahan pokok utama yang sangat perlu diperhatikan adalah

jumlah pemberian mahar dan uang hantaran dari pihak laki-laki, yang

mana akan menentukan jadi atau tidak jadinya pernikahan, jika tidak ada

uang mahar dan uang hantaran dalam jumlah lazimnya masyarakat desa

Perbo, maka memunculkan perasaan malu dan merasa tidk dihargai oleh

pihak laki-laki. Sperti contoh kasus bahwa pernah terjadi suatu pernikahan

di Desa Perbo yang hanya dengan syukuran biasa tanpa mengundang

130
tetangga, karena pernikahan ini merupakan pernikahan tang terjadi akibat

hamil di luar nikah.

d. Tidak perlu dipatok atau menyusaikan kedudukan, pendidikan, kekuasaan

keluarga perempuan, asalkan perempuan dan laki-laki sudah saling cinta

dan setuju berapapun besarnya mahar dan uang hantaran yang diberikan

oleh pihak laki-laki.

B. Saran

Penelitian ini hendaknya dapat ditindaklanjuti oleh peneliti berikutnya

dengan lebih mendalami pembahasan seputaran mahar dan uang hantaran dalam

adat pernikahan suku Rejang yang berada di Desa Perbo khususnya dan

masyarakat suku Rejang di provinsi Bengkulu pada Umumnya. Karena penelitian

ini sangat bermanfaat untuk menjawab persoalan dan konflik yang terjadi di

tengah masyarakat dalam melangsungkan pernikahan.

131

Anda mungkin juga menyukai