Anda di halaman 1dari 12

TRADISI AKAD BHEKAL PADA MASYARAKAT MARON KIDUL

PERSPEKTIF HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM

Linda Ruzyanti1

zyanond@gmail.com1

Abu Yazid Adnan Quthny2

a.yazid.aq@gamil.com2

Imam Syafi’i3

afafzuhri@gmail.com3

Universitas Islam Zainul Hasan Genggong

Jl. Raya Panglima Sudirman No. 360, Semampir, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur,
Indonesia, 67281

ABSTRAK

Pertunangan atau bhekalan merupakan salah satu adat di Desa Maron Kidul sebelum melangsungkan
pernikahan. Mayoritas masyarakat Desa Maron Kidul jika hendak melangsungkan pernikahan tak
pernah luput melakukan tradisi bhekalan terlebih dahulu. Tunangan atau bhekalan adalah salah satu
bentuk proses yang dilakukan untuk saling mengenal dan pendekatan antara pria yang mengkhitbah
dengan wanita yang dikhitbah agar bisa menguatkan juga meperkokoh keinginan untuk menikah.

Di tengah perubahan zaman, tradisi bhekalan kerap kali menjadi fenomena yang menjadi sorotan
perbincangan masyarakat. Tujuan awal diadakannya tradisi bhekalan yang seharusnya menjadi pola
pengakraban kini menjadi salah kaprah yang sering terjadi. Terdapat beberapa pegaulan antara pria
dan wanita semasa bhekalan yang sering diketahui menyimpang dalam hukum Islam. Telah menjadi
fenomena yang lumrah ketika diketahui pria dan wanita yang sedang dalam masa bhekalan mereka
sering berboncengan, berduaan, berpegangan tangan, bahkan sampai menginap dirumah
pasangannya. Ironisnya jika hal- hal semacam itu tidak dilakukan, malah menjadi perbincangan
negatif bagi masyarakat sekitar.

Adapun tujuan penulis meneliti kasus ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan tradisi akad bhekal
pada masyarakat di Desa Maron Kidul dan hukumnya menurut perspektif hukum Islam dan hukum
adat, serta menambah dan memperluas wawasan terhadap tradisi akad bhekal yang menjadi tradisi
bagi masyarakat di Desa Maron Kidul untuk mempermudah pasangan yang sedang dalam masa
bhekalan supaya dengan lebih mudah melakukan pergaulan - pergaulan yang diperbolehkan
menurut hukum Islam tanpa adanya perbincangan negatif dari masyarakat sekitar, dan juga untuk
menumbuhakan sikap profesionalisme kerja melalui berfikir

Kata Kunci: Pertunangan, Akad Bhekal, Nikah Siri


ABSTRACT

Engagement or bhekalan is one of the customs in Maron Kidul Village before getting married. The
majority of the people of Maron Kidul Village, if they want to get married, never fail to do the
bhekalan tradition first. Fiance or bhekalan is a form of process that is carried out to get to know each
other and approach between the man who proposes and the woman who is proposed so that they
can strengthen and strengthen their desire to marry.

In the midst of changing times, the bhekalan tradition often becomes a phenomenon that becomes
the focus of public discussion. The main purpose of holding the bhekalan tradition, which should
have been a pattern of intimacy, has now become a misunderstanding that often occurs. Many
associations - associations between men and women during the bhekalan which are often found to be
contradictory in Islamic law. It has become a common phenomenon when it is found that men and
women who are in their period of travel often ride together, be alone, hold hands, and even stay at
their partner's house. Ironically, if such things are not carried out, they will instead become a
negative conversation for the surrounding community.

The purpose of the authors researching this case is to add and broaden insight into the tradition of
the bhekal contract which is a tradition for the people in Maron Kidul Village to make it easier for
couples who are in the bhekalan period to more easily carry out associations that are permissible
according to Islamic law without negative conversations. from the surrounding community.

Keywords: Engagement, Bhekal Contract, Siri Marriage

PENDAHULUAN
Salah satu negara yang memiliki beragam pulau dan suku budaya dengan norma
dan adat istiadat yang berbeda ialah Indonesia. Salah satu pulau di Indonesia adalah pulau
Jawa dimana terdapat berbagai norma dan adat istiadat yang berlaku. Membicarakan
tentang norma adat dan tradisi yang terdapat dan berlaku pada masyarakat Jawa, itu berarti
kita membahas perihal kehidupan mikro dan makro kosmos orang Jawa. Karena adat tradisi
orang Jawa, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka dan merupakan
sebuah unsur yang melekat dalam jati diri orang Jawa. 1 Masyarakat Jawa mempunyai tradisi
yang telah berlaku sejak nenek moyang. Salah satu adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat Jawa adalah adat pernikahan dan pra pernikahan.
Salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk- makhluk Allah SWT.,
baik pada manusia, hewan, bahkan tumbuhan adalah pernikahan. Pernikahan adalah
sebuah cara yang dipilih Allah SWT. untuk makhluk - Nya guna berkembang biak serta
melestarikan kehidupannya. Semua makhluk yang telah di ciptakan oleh Allah SWT.
merupakan makhluk yang berpasang-pasangan, dimana hal itu berlaku juga untuk satu
makhluk dengan kodrat yang paling sempurna, yaitu manusia. Terdapat 2 jenis kelamin
yang dimiliki manusia, yakni pria dan wanita, mereka di ciptakan berpasang-pasangan.
Sebagai makhluk sosial, pria dan wanita akan saling berinteraksi dan mengenal antara satu
sama lain. Ketertarikan rasa yang muncul di antara mereka berdua merupakan kodrat yang
telah Allah SWT. ciptakan sehingga akan menimbulkan perasaan kasih sayang dan lainnya.
Awal kali pernikahan berlangsung ialah ketika adanya manusia yang di ciptakan oleh Allah
SWT. pertama kali. Adam dan Hawa merupakan manusia pertama yang menginginkan
kehidupan untuk bersama bersama dengan manusia lainnya. Walaupun Adam berada dan
hidup di dalam surga dengan isi yang serba ada dan lengkap serta berkecukupan, ia merasa

1
M C Hoadley, Islam Dalam Tradisi Hukum Jawa & Hukum Kolonial, Graha ilmu (Graha Ilmu, 2009), 1.
kesepian hingga akhirnya Allah SWT. menciptakan manusia lainnya untuk dijadikan
pasangan hidupnya yang terbuat dari tulang rusuknya yang sebelah kiri. 2
Pernikahan adalah salah satu momen terpenting dalam hidup seseorang. Untuk
menuju jenjang pernikahan ada beberapa aktifitas yang perlu dilakukan. Salah satu aktifitas
yang dilakukan masyarakat Jawa yang juga merupakan adat istiadat ialah prosesi tunangan
atau bhekalan. Istilah bhekalan merupakan istilah yang dipakai masyarakat Jawa dan
Madura di Desa Maron Kidul, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Sebelum melangkah
pada perkawinan, masyarakat Desa Maron Kidul, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur
terlebih dahulu melakukan prosesi bhekalan atau tunangan yang mana dalam hukum Islam
disebut juga dengan kata khitbah khitbah.
Prosesi bhekalan merupakan salah satu adat tradisi untuk melamar seorang
perempuan guna membuktikan adanya bentuk keseriusan yang dimiliki oleh seorang pria
guna menjalani hubungan yang lebih serius juga sebagai pengikat untuk pihak wanita yang
telah dilamar agar supaya tidak dilamar oleh pria lain. Proses yang dilakukan adalah
seorang pria datang beserta keluarganya ke rumah seorang wanita yang ia cintai sembari
membawa buah tangan yang menjadi bawaan khas sebagai bentuk interaksi simbolik adat
istiadat. Berbagai macam sajian yang dibawa sebagai buah tangan menunjukkan
bahwasanny hal tersebut mewakili maksud juga tujuan kedatangannnya serta
menggambarkan bentuk perasaan yang dirasakan. Ketika prosesi tersebut usai berlangsung,
pihak wanita datang ke kediaman keluarga pria seminggu setelahnya yang dikenal dengan
istilah bhelesan. Makanan khas yang dibawa saat bhelesan juga menggambarkan bentuk
perasaan serta maksud dan tujuan. Ikatan bhekalan yang telah terjadi selain merubah status
antara pria dan wanita yang abhekalan, tetapi hal tersebut juga merubah cara pandang dan
sikap orang tua, keluarga serta masyakat sekitar. Setelah dua prosesi yang menjadi
kebiasaan tersebut telah selesai dilakukan, maka dilakukanlah prosesi akad bhekal.

METODE PENELITIAN
Penelitian yang diteliti menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian
studi kasus (case study) dengan maksud untuk mengeksploralisasi tradisi akad bhekal yang
ada di Desa Maron Kidul. Sumber data penelitian ini adalah menggunakan dua sumber data
yaitu primer dan sekunder. Data-data yang terkumpul di dapat melalui observasi yang
dilakukan oleh peneliti sebagai pengumpul data bertindak dan terjun langsung ke lapangan
dengan melakukan observasi atau pengamatan terhadap tradisi akad bhekal yang ada di
Desa Maron Kidul, wawancara kepada para tokoh masyarakat (tokoh agama, tokoh adat,
dan tokoh pemerintahan desa) di Desa Maron Kidul serta beberapa warga di Desa Maron
Kidul, dan dokumentasi yang digunakan guna mendapatkan data - data dan segala sesuatu
yang mencakup dengan obyek penelitian, seperti: dukumen jumlah penduduk, agama
pekerjaan, pendidikan penduduk, dan strata ekonomi, serta tulisan - tulisan dan buku -
buku yang berhubungan dengan obyek penelitian ini, lalu penulis mereduksi dan
menyajikan data yang terkait dengan penelitian yang diambil dari berbagai buku, kitab,
jurnal, maupun skripsi skripsi terdahulu. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data
induktif dan komperatif.
Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian non - hipotesis. Jenis
penelitian yang diteliti tidak dapat mempenjelaskan hubungan antara variabel yang
2
B A Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang: Perspektif Fiqh Munakahat Dan UU No.
1/1974 Tentang Poligami Dan Problematikanya (Pustaka Setia, 2008), 5.
berkenan dengan masalah dan unit yang ada tidak di maksudkan untuk menarik generasi
yang menjelaskan variable - variabel anteseden yang menyebabkan suatu gejala atau
kenyataan sosial. Hal ini di dasarkan pada tujuan penelitian deskriptif itu sendiri, yaitu
melukiskan keadaan objek atau persoalannya dan tidak di maksudkan untuk menarik atau
mengambil kesimpulan yang berlaku umum.3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Prosesi Akad Bhekal Pada Masyarakat Maron Kidul
Pernikahan merupakan ikatan antara seorang pria dan wanita dengan tujuan
membentuk sebuah keluarga dan hidup bersama hingga akhir hidupnya.
Pernikahan merupakan salah satu keinginan yang di impikan bagi setiap insan baik
pria maupun wanita. Adapun tujuan yang diharapakan dari pernikahan ini adalah
agar dapat mempunyai hubungan yang menyenangkan, saling menyayangi dan
mengasihi, saling melindungi, saling membantu, dan saling mempercayai, serta juga
untuk saling menyalurkan kebutuhan birahi. Sebagaimana telah sesuai dengan
firman Allah SWT. di dalam Al - Qur’an Surah Al - Rum ayat 21:
.‫ ان في ذلك اليت لقوم يتفكرون‬,‫و من ايته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة‬
)21 :‫(الروم‬
Artinya:
“Dan di antara tanda - tanda (kebesaran) - Nya ialah Dia menciptakan
pasangan - pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia Menjadikan di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar - benar terdapat
tanda - tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Sebelum berlangsungnya proses pernikahan, ada berbagai macam proses pra
pernikahan yang dilakukan, salah satunya adalah proses pertunangan. Sebelum
melangkah menuju pernikahan, adat istiadat yang berlaku di masyarakat Jawa
adalah terlebih dahulu melakukan pertunangan atau dalam Bahasa Madura disebut
dengan istilah bhekalan. Hal tersebut juga menjadi kebiasaan yang terjadi dan
berlaku pada masyarakat di Desa Maron Kidul Kecamatan Maron Kabupaten
Probolinggo.
Tunangan atau bhekalan merupakan prosesi melamar seorang wanita yang
akan dinikahi oleh seorang pria. Bhekalan merupakan prosesi pra pernikahan yang
diselenggarakan dimana pihak pria mendatangi rumah keluarga wanita untuk
menyampaikan niat dan keseriusannya guna menikahi seorang perempuan juga
memohon restu serta persetujuan dari orang tua serta keluarga dari perempuan
yang akan dinikahinya. Tujuan adanya proses bhekalan adalah untuk saling
mengenal calon pasangannya sebelum menempuh ke jenjang yang paling serius,
yaitu jenjang pernikahan. Setelah proses lamaran yang dilaksanakan oleh pihak
keluarga pria ke rumah pihak wanita, lalu dilanjutkan proses bhelesan, dimana
proses tersebut adalah bentuk respon dan jawaban yang dilakukan pihak keluarga
perempuan dengan cara mendatangi rumah pihak laki - laki yang telah melamarnya.
Dikarenakan kelonggaran hubungan pasangan yang telah melakukan proses
bhekalan, sering kali terdapat banyaknya pergaulan yang menyalahi aturan syariat
ketika dalam masa bhekalan. Untuk menghindari dan meminimalisir kekhawatiran
3
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), 245.
orang tua dari pihak perempuan, maka masyarakat Desa Maron Kidul melakukan
sebuah prosesi yang telah menjadi adat kebiasaan bagi laki - laki dan perempuan
yang telah melakukan proses bhekalan, yaitu proses akad bhekal.
Akad bhekal adalah tradisi masyarakat di Desa Maron Kidul yang dilakukan
setelah pulang dari prosesi bhelesan dimana si laki - laki melakukan sebuah akad
dengan wali dari pihak perempuan yang disetai dengan adanya saksi yang dilakukan
di kediaman pihak perempuan. Akad bhekal merupakan tradisi yang dilakukan
masyarakat di Desa Maron Kidul dengan tujuan orang tua bisa memberikan
kelonggaran dan kebebasan pergaulan terhadap putra dan putri mereka yang
abhekalan dengan pasangannya. Pasangan tersebut diperbolehkan untuk
berpegangan tangan, jalan dengan tunangannya hanya berdua saja, berboncengan,
bahkan sampai bermalam di rumah tunangannya, terlebih di hari - hari penting
seperti acara keluarga, hari Raya Idul Fitri, dimana hal itu telah menjadi hal yang
sudah biasa dikalangan masyarakat Desa Maron Kidul.
2. Tradisi Akad Bhekal Dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam
Manusia diciptakan dengan dua macam jenis kelamin yaitu laki-laki dan
perempuan, Allah SWT. menciptakan mereka berpasang-pasangan. Sebagai
makhluk sosial, mereka akan saling mengenal satu dengan yang lainnya untuk
hidup bermasyarakat. Allah S.W.T. menciptakan rasa ketertarikan sebagai kodrat
terciptanya mereka berdua. Bentuk ketertarikan itu akan mewujudkan perasaan
kasih sayang, sehingga akan terjalin sebuah hubungan guna kehidupan yang lebih
serius ke jenjang berikutnya dengan melangsungkan perikahan.
Prosesi pernikahan merupakan sebuah prosesi sakral dimana hal itu sangat
membutuhkan totalitas persiapan dari kedua belah pihak, hal tersebut bertujuan
memberitahukan hala apa saja yang semestinya dipersiapkan dan dipenuhi oleh
kedua belah pihak untuk melangsungkan akad tersebut. Jika dua keluarga calon
mempelai telah siap dan bersedia menyanggupi segala hal yang diperlukan untuk
akad tersebut, disertai adanya keinginan dari masing - masing baik pihak yang
memberikan akad ataupun pihak yang menerima akad, maka akad tersebut telah
tercapai.4
Pertunangan atau bhekalan adalah sebuah istilah yang digunakan oleh
masyarakat Indonesia yang berarti bahwa seorang pria membuat ikatan janji
keseriusan dengan wanita yang akan dinikahi tepat pada waktunya. Kata tunangan
berasal dari kata kerja “tunang, tunangan” yang memiliki persamaan makna dengan
“meminang” atau “melamar” yang di dalam bahasa Arab dikenal dengan kata
khitbah.
Dalam fiqih, pertunangan dikenal dengan kata khitbah yang memiliki arti
menyatakan permintaan untuk perjodohan dari seorang laki - laki kepada seorang
perempuan baik secara langsung maupun melalui perantara seseorang yang dapat
dipercaya.5
Khitbah adalah proses melamar seorang gadis oleh seorang pria. Dalam
konteks ini khitbah merupakan proses melamar oleh seorang pria kepada seorang
wanita tentang suatu kepentingan maupun persoalan yang berada pada keputusan
di pihak perempuan. Jadi, asosiasi makna yang mampu ditangkap dan dipahami
oleh perempuan tersebut ialah kepentingan atau persoalan mengenai sesuatu yang
berhubungan dengan pernikahan.
4
Muhammad Raf’at Utsman, Fikih Khitbah Dan Nikah (Jawa Barat: Fathan Media Prima, 2017), 21.
5
Aminur Nuruddin and Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenata Media,
2004), 72.
Khitbah secara terminologi adalah pernyataan atau permintaan yang
dilakukan oleh seorang pria kepada pihak seorang perempuan untuk menikahinya,
baik pria itu melakukannya sendiri secara langsung atau melalui perantara pihak
lain yang dapat dipercaya sesuai dengan ketentuan agama. 6 Dan tentunya hal
tersebut dilakukan berdasarkan dengan kaidah dan tradisi yang telah berlaku di
masyarakat pada umumnya di daerah tersebut.
Dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 Bab 1 ayat a, menjelaskan
bahwasanya peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan diantara seorang laki - laki dengan seorang perempuan yang bisa
dilakukan oleh seseorang yang berkeinginan memiliki pasangan, namun hak
tersebut dapat juga diwakilkan oleh seseorang yang dapat dipercaya yang dikenal
oleh masyarakat Madura dengan istilah pengadhek.
Sebelum pernikahan berlangsung, prosesi ini menjadi salah satu langkah
awal yang dilakukan terlebih dahulu. Allah SWT telah menggariskan agar setiap
pasangan yang akan menikah hendaknya saling mengenal terlebih dahulu sebelum
dilakukannya akad nikah agar supaya pelaksanaan pernikahan benar – benar sesuai
menurut pandangan dan penilaian yang jelas.
Hukum khitbah adalah istihbab (anjuran) karena Nabi Muhammad SAW.
pernah bertunangan dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash - Shiddiq, juga dengan
Hafsah binti Umar bin Khaththab r.a., oleh karena itu khitbah tidak lain adalah
keinginan untuk menikahi wanita tertentu, sedangkan pernikahan adalah aqad yang
mempunyai beberapa batas, syarat, hak, dan konsekuensi tertentu. Pinangan yang
kemudian berlanjut dengan “pertunangan” yang sering kita lihat di lingkungan
masyarakat saat ini hanyalah menjadi budaya atau tradisi saja yang intinya adalah
khitbah itu sendiri, meskipun didalamnya termasuk beberapa ritual misalnya
selametan, tukar cincin dan lain sebagainya.
Dalam konteks khitbah, seorang laki - laki diperbolehkan melihat calon
pasangannya yang dilamarnya supaya bisa memantabkan keinginannya untuk
menikahinya. Namun bukan berarti pasangan yang telah bertunangan memiliki
kebebasan dalam berhubungan selayaknya suami istri. Dalam hukum Islam,
terdapat batasan dalam pergaulan selama masa tunangan. Seorang pria dilarang
kumpul berdua saja dengan calon istrinya kecuali ditemani mahram nya.7
‫ (رواه‬.‫ اليخلون رجل بامرأة اال ومع ذو محرم‬:‫عن إبن عباس رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫البخاري‬
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw., Beliau bersabda: ”Janganlah seorang laki-
laki bersama dengan perempuan melainkan (hendaklah) besertanya (ada)
mahramnya”. (H.R. Bukhori)8
Akan tetapi, fakta yang sering kali ditemukan oleh peneliti bertolak belakang
dengan pengertian khitbah seperti yang telah dijelaskan. Yang kerap kali terjadi dan
menjadi hal yang sudah lumrah terjadi di lingkungan masyarakat adalah pada saat
seorang pria telah resmi bertunangan dengan seorang wanita, mereka merasa lebih
bebas dalam berhubungan atau pergaulan nya seperti berduaan, berpegangan
tangan, berboncengan, bahkan sampai menginap di rumah pasangannya.
Untuk menghindari perilaku - perilaku dan pergaulan yang menyimpang
syariat tersebut, masyarakat di Dusun Krajan Desa Maron Kidul memilih untuk
6
Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islam, Cetakan 1. (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995),
59.
7
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cetakan 2. (Jakarta: Rajawali Press, 2015), 56.
8
Al Lu’lu Wal Marjan, Shahih Bukhari Muslim, Hadits No. 5190.
melakukan akad bhekal pada pasangan - pasangan yang bertunangan agar supaya
mereka bisa lebih leluasa bergaul dengan pasangannya tanpa khawatir melanggar
aturan syariat. Namun tidak semua masyarakat menyetujui terhadap berlakunya
akad bhekal tersebut. Mereka lebih menyetujui untuk tidak melakukan akad bhekal
pada masa tunangan karena adanya kekhawatiran hal tersebut dapat merugikan
salah satu pihak terlebih pihak perempuan.
Menurut Bapak Ridwanto selaku Kepala Desa di Desa Maron Kidul, tradisi
akad bhekal yang terjadi di Desa Maron Kidul bukan merupakan tradisi tetap
masyarakat, tradisi tersebut hanya berlaku di sebagian daerah tertentu karena
lingkungan dengan keagamaannya yang kental seperti di daerah Dusun Krajan. Bagi
masyarakat daerah sini pada umumnya, pergaulan - pergaulan yang terjadi setelah
masa bhekalan itu adalah hal yang biasa karena untuk menjalin silaturahmi yang
baik antar pasangan dan keluarga, juga untuk menjalin keakraban dan saling
mengenal lebih dekat antara calon laki - laki dan calon perempuan, serta dengan
SDM (Sumber Daya Manusia) yang baik, mereka tidak merasa memiliki
kekhawatiran akan pergaulan - pergaulan bebas yang menyalahi aturan syariat
selama kedua calon tersebut berada pada masa bhekalan.9
Namun menurut Mbak Reni Yulinda selaku salah satu masyarakat di Dusun
Krajan Desa Maron Kidul, beliau berpendapat bahwasannya mayoritas di Dusun
Krajan lebih menyetujui dan sepakat terhadap adanya akad bhekal karena untuk
menghindari pergaulan - pergaulan bebas yang menyimpang aturan syariat serta
dengan adanya pengakadan pada pasangan yang melakukan bhekalan, mereka bisa
melakukan hubungan halal tanpa khawatir takut dosa. selain itu adanya akad
bhekal ini juga memberikan kemudahan bagi pasangan yang belum mempunyai
biaya untuk menikah secara tercatat di negara.10
Sedangkan menurut Bapak Lukman Hakim selaku salah satu tokoh
masyarakat di Desa Maron Kidul, beliau lebih menyetujui untuk tidak melakukan
akad bhekal dikarenakan hal tersebut hanya sah secara agama namun belum tercatat
di negara sehingga ketika suatu saat terjadi sebuah masalah maka yang akan lebih
dirugikan adalah dari pihak perempuan.11
Jadi peneliti menyimpulkan bahwasanya tradisi akad bhekal bisa disebut
juga dengan nikah sirri dikarenakan prosesi pelaksanaannya sama persis dengan
nikah sirri.
Nikah sirri atau dikenal juga dengan istilah nikah dibawah tangan
merupakan akad nikah yang dilaksanakan oleh orang - orang muslim sesuai dengan
syarat - syarat dan rukun - rukunnya dan hanya sah secara hukum agama namun
tidak terdaftar dan tercatat oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN). Dalam konteks
nikah sirri, prosesi tersebut hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dihadapan
pak Kyai atau tokoh agama tanpa menghadirkan petugas dari KUA (Kantor Urusan
Agama) sehingga tidak adanya legalisasi oleh Penjabat Pencatat Nikah yaitu pihak
KUA dan tentu saja pasangan tersebut tidak mempunyai surat nikah yang resmi dan
secara hukum negara pernikahan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Dikarenakan nikah sirri tidak ada bukti legalisasi dari negara, maka hal
tersebut dianggap melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
sesuai dengan isi pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
9
Wawancara, Pada Tanggal 20 Januari 2023.
10
Ibid.
11
Ibid.
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dan untuk
pencatatannya, terdapat sebuah aturan yang mengharuskan mengajukan
pernikahannya kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama
(KUA) yang terdapat di kecamatan yang menjadi wilayah tempat tinggal mempelai
Wanita sesuai dengan Pasal 2 Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama
Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk”. Dalam
KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 5 ayat 1 juga dikatakan bahwa “Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. 12
Dengan demikian hukum melanggar peraturan pemerintah adalah perbuatan yang
melanggar syariat sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam hadis:
‫من أطاعني فقد أطاع هللا ومن يعصني فقد عصى هللا ومن يطع األمير فقد أطاعني ومن يعص األمير فقد‬
‫عصاني‬
Artinya:
“Barang siapa yang mentaatiku, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barang siapa yang durhaka padaku, maka sesungguhnya ia telah
mendurhakai Allah. Barang siapa yang taat pada pemimpin, maka
sesungguhnya ia telah taat pada Allah. Dan barang siapa yang durhaka pada
pemimpin, maka sesungguhnya ia telah mendurhakain Allah.” (H.R. Muslim,
no. 1835)
Selain itu, nikah sirri juga menimbulkan dampak negatif yang lebih banyak
pada pihak perempuan dan anak. Mereka tidak dapat menuntut secara hukum
apabila hak - haknya tidak terpenuhi. Adapun beberapa dampak negatif yang
memungkinkan terjadi bagi pihak perempuan dan anak yang melakukan akad nikah
sirri adalah sebagai berikut:
a. Pernikahan tidak dianggap sah oleh negara
b. Pihak perempuan dan anak tidak bisa mendapat perlindungan hukum
c. Memungkinkan adanya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
d. Pihak perempuan tidak bisa menuntut hak - haknya secara hukum ke
pengadilan agama apabila terjadi penceraian diatara keduanya.
e. Anak yang dilahirkan tidak dapat dianggap sebagai anak sah secara
hukum dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
f. Anak tidak bisa mendapatkan harta warisan dan nafkah dari ayahnya
g. Memungkinkan banyaknya terjadi perselingkuhan dan poligami
Dengan demikian alangkah lebih baik jika tidak melakukan akad bhekal atau
akad nikah sirri dikarenakan hal tersebut selain dianggap melanggar peraturan
pemerintah juga akan banyak berdampak negatif pada pihak perempuan dan anak
dimasa mendatang.

KESIMPULAN

12
Kompilasi Hukum Islam.
Tradisi akad bhekal bukanlah tradisi tetap yang berlaku pada masyarakat Maron
Kidul, tradisi tersebut hanyalah tradisi yang berlaku disebagian wilayah yang lebih
menonjol keagamaannya, salah satunya seperti masyarakat di Dusun Krajan Desa Maron
Kidul. Tradisi akad bhekal dilakukan oleh masyarakat Dusun Krajan untuk menghindari
pergaulan - pergaulan bebas selama masa bhekalan dan bisa melakukan hubungan halal
tanpa adanya kekhawatiran takut menyimpan aturan - aturan syariat juga untuk
memberikan kemudahan bagi pasangan yang belum mempunyai biaya untuk menikah
secara resmi tercatat di negara.
Prosesi akad bhekal bisa dikatakan juga dengan akad sirri karena prosesinya yang
sama. Dengan dalih menghindari pergaulan-pergaulan yang menyimpang syariat agama,
mereka melakukan akad nikah sirri dimana hal tersebut akan menyebabkan banyaknya
dampak negatif bagi pihak perempuan dan anak. Dengan demikian alangkah lebih baik jika
tidak melakukan akad bhekal atau akad nikah sirri dikarenakan hal tersebut selain dianggap
melanggar peraturan pemerintah juga akan banyak berdampak negatif pada pihak
perempuan dan anak dimasa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1998.

Berutu, Ali Geno. “NIKAH DIBAWAH TANGAN DAMPAK DAN SOLUSINYA” (2019).

Billah, Muhammad Royhan Muktafèé. “Tradisi Atertoloh Dalam Khithbah Di Desa


Triwungan Kecamatan Kotaanyar Kabupaten Probolinggo.” Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim, 2007.

Diana, Nova Putri. “Tinjauan Tradisi Bhekalan Dalam Fiqh Syafi‟ i (Studi Di Pondok
Pesantren At-Tanwir Desa Slateng Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember).”
SAKINA: Journal of Family Studies 3, no. 2 (2019).

Firdaus, Sauqi Noer, Fadil Sj, and Moh Thoriquddin. “DAMPAK NIKAH SIRI TERHADAP
ISTRI DAN ANAK PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH AL-SYATHIBI (STUDI
DESA BANGSALSARI KECAMATAN BANGSALSARI KABUPATEN JEMBER).” Jurnal
Al-Ijtimaiyyah 7, no. 2 (2021): 165–194.

Fuad, Iwan Zaenul, Agus Fakhrina, Abdul Azis, and Ahmad Rosyid. “Kriminalisasi Sosiologis
Nikah Siri.” Jurnal Penelitian 8, no. 1 (2011).

Gafur, Abdul. “Dampak Sosial Nikah Sirri Di Desa Ponjanan Barat Kecamatan Batu Marmar
Kabupaten Pamekasan.” IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012.
Gunawan, Edi. “Nikah Siri Dan Akibat Hukumnya Menurut UU Perkawinan.” Jurnal Ilmiah
Al-Syir’ah 11, no. 1 (2013).

Hidayattullah, Abd Qorib. “Pandangan Ulama’terhadap Pergaulan Laki-Laki Dan


Perempuan Selama Masa Bhekalan: Kasus Di Desa Sumber Kerang Gending
Probolinggo.” Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2010.

Hoadley, M C. Islam Dalam Tradisi Hukum Jawa & Hukum Kolonial. Graha ilmu. Graha
Ilmu, 2009.

Isnaini, Enik. “Perkawinan Siri Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif Dan Hak
Asasi Manusia.” Jurnal Independent 2, no. 1 (2014): 51–64.

Jaya, Dwi Putra. “Nikah Siri Dan Problematikanya Dalam Hukum Islam.” Jurnal Hukum
Sehasen 1, no. 2 (2017).

Kharisudin, Kharisudin. “Nikah Siri Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam Dan
Undang-Undang Perkawinan Indonesia.” Perspektif 26, no. 1 (2021): 48–56.

Konita, Imrotul. “PERSEPSI ORANG TUA TERHADAP BUDAYA PERTUNANGAN DI


DUSUN BATU JARAN DESA PRAGAAN DAYA KECAMATAN PRAGAAN
KABUPATEN SUMENEP.” Reflektika 14, no. 1 (2019): 27–43.

Lukman, Lukman, and Abdussahid Abdussahid. “DAMPAK NIKAH SIRI ORANGTUA


TERHADAP POLA ASUH ANAK USIA DINI.” PELANGI: Jurnal Pemikiran dan
Penelitian Islam Anak Usia Dini 3, no. 1 (2021): 40–50.

Maloko, M Thahir. “Nikah Sirri Perspektif Hukum Islam.” Jurnal Sipakalebbi 1, no. 3 (2014).

Nuruddin, Aminur, and Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:
Prenata Media, 2004.

Raf’at Utsman, Muhammad. Fikih Khitbah Dan Nikah. Jawa Barat: Fathan Media Prima,
2017.

Rahman, Maria Lailia. “Nikah Sirri: Keabsahan Dan Akibatnya.” Al Hikmah: Jurnal Studi
Keislaman 8, no. 1 (2018): 128–135.

Rahmawati, Theadora. “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT PERTUNANGAN


DAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT DESA LONGOS KECAMATAN GAPURA
KABUPATEN SUMENEP.” Kata Pengantar (2017): 53.

Rakib, Abdur. “Pergaulan Dalam Pertunangan Dan Khalwat Fi Ma’na Al-Haml: Studi
Budaya Pertunangan Di Daerah Madura.” At-Turas: Jurnal Studi Keislaman 6, no. 1
(2019): 35–55.

Ramdhani, Dhani. “Pergaulan Laki-Laki Dan Perempuan Semasa Pertunangan Pada


Keluarga Elit Agama Dan Masyarakat Blater Di Desa Kapedi Kecamatan Bluto
Kabupaten Sumenep.” Al-Manhaj: Journal of Indonesian Islamic Family Law 1, no. 1
(2019): 31–42.

Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Cetakan 2. Jakarta: Rajawali Press, 2015.

Saebani, B A. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang: Perspektif Fiqh


Munakahat Dan UU No. 1/1974 Tentang Poligami Dan Problematikanya. Pustaka Setia,
2008.

Sari, Kanthi Pamungkas, and Tri Wahyuni. “Kajian Sosiologis Dampak Nikah Siri Terhadap
Status Sosial Pihak Perempuan Dan Anak Di Kabupaten Magelang.” In Prosiding
University Research Colloquium, 123–131, 2018.

Sari, Lia Novita. “Analisis Hukum Islam Terhadap Pertunangan Langsung Nikah Siri Dan
Penggagalan Pertunangan Sekaligus Perceraian: Studi Kasus Di Desa Ketah Kacamatan
Suboh Situbondo.” UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021.

Sobari, Ahmad. “Nikah Siri Dalam Perspektif Islam.” Mizan: Journal of Islamic Law 1, no. 1
(2018).

Suyuthi, Mahmud. “Pandangan Tokoh Masyarakat Pada Perilaku Pasangan Calon Pengantin
Selama Masa Khitbah Di Kelurahan Gebang Kecamatan Patrang Kabupaten Jember.”
Fakultas Syariah Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah, 2021.

Tahir, Masnun. “Meredam Kemelut Kontroversi Nikah Sirri (Perspektif Maslahah).” Al-
Mawarid: Jurnal Hukum Islam 11, no. 2 (2011).

Tarmizi, Tarmizi. “DAMPAK NIKAH SIRI DALAM PEMBENTUKAN KELUARGA


SAKINAH.” Istinbath: Jurnal Hukum 13, no. 2 (2016): 327–360.

Thalib, Muhammad. 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islam. Cetakan 1. Bandung: Irsyad


Baitus Salam, 1995.
Wal Marjan, Al Lu’lu. Shahih Bukhari Muslim. Hadits No. 5190.

WUWUN, A Y U KRISTINA. “TINJAUAN FIKIH MUNAKAHAT TERHADAP CALON


MEMPELAI PEREMPUAN YANG TINGGAL DI RUMAH CALON MEMPELAI LAKI-
LAKI MENJELANG AKAD NIKAH DILAKSANAKAN (Tradisi Kisam Di Desa Berasang
Kecamatan Kisam Tinggi Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan).” UIN RADEN
INTAN LAMPUNG, 2022.

Yusuf, M Yusuf M. “Dampak Nikah Siri Terhadap Perilaku Keluarga.” At-Taujih: Bimbingan
Dan Konseling Islam 2, no. 2 (2020): 96–108.

Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Wawancara, Pada Tanggal 20 Januari 2023.

Anda mungkin juga menyukai