Anda di halaman 1dari 58

1

PERNIKAHAN DI BULAN SURO MENURUT ADAT DAN


HUKUM ISLAM STUDI KASUS DI DESA SELO
KECAMATAN TAWANGHARJO

KABUPATEN GROBOGAN

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu Program Studi Hukum Keluarga Islam (S.H)

Oleh :

Muhammad Ta’alumul Afzial Huda

NIM. 11920001

NIRM. 19/X/04.1.1/0820

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALISEMBILAN

SEMARANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap makhluk diciptakan saling berpasang-pasangan, begitu
juga manusia, jika pada makhluk lain untuk berpasangan tak memerlukan
tata cara dan peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Pada
manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam
memilih pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan
agama, adat istiadat maupun sosial kemasyarakatan. 1 Pernikahan adalah
suatu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang bukan mahramnya, dengan menggunakan syarat-syarat
dan rukun-rukun tertentu. Dalam pernikahan tidak boleh ada satu syarat
dan rukun itu yang ditinggalkan, karena hal tersebut akan berpengaruh
pada keabsahan dari pernikahan itu sendiri.2 Dalam ajaran Islam sendiri
telah diatur dan diberikan tuntunan serta penjelasan tentang berbagai
fungsi dan tujuan dari pernikahan. Selain sebagai sarana penyaluran
biologis, pernikahan juga merupakan sarana melanjutkan generasi ke
generasi berikutnya, serta sebagai sarana membentengi diri dari
gangguan setan, nafsu birahi, menundukkan pandangan mata dari
perbuatan maksiat, serta menciptakan ketenangan hidup dan
kesungguhan beribadah.
Pernikahan menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah,
merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku terhadap semua
makhluk Allah yang hidup, karena setiap makhluk hidup di dunia ini
diciptakan berpasang-pasangan, ada besar ada kecil, ada langit ada bumi,
dan ada laki-laki ada perempuan, serta lain sebagainya. 3 Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat az zariyat 49:
1
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1954), h. 374.
2
Yasin Asnawi, Keistimewaan, Fungsi, dan Keindahan dalam Perkawinan (Kediri:
Ponpes Hidayatut Thullab, 2005), h. 71.
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6 (Bandung: PT al-Ma’arif, 1980), h. 7.

1
2

‫َو ِم ْن ُكلِّ َش ْى ٍء َخلَ ْقنَا َز ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر ُْو َن‬
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah”.4
Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan inilah istilah
perkawinan atau pernikahan disebutkan. Perkawinan merupakan sebuah
upacara penyatuan dua jiwa manusia, menjadi sebuah keluarga melalui
akad perjanjian yang diatur oleh agama karena itulah penyatuan antara dua
manusia menjadi sakral dan agung oleh sebab adanya tata cara khusus ini.

Setiap agama memiliki tata cara peraturan tersendiri, tetapi


kesemuanya mengacu pada satu hal ini, yaitu bahwa manusia adalah
makhluk Tuhan yang mulia, mempunyai karunia akal budi sehingga dalam
banyak perilaku kehidupannya tidak sama dengan makhluk lain seperti
halnya binatang. Khusus dalam pandangan agama Islam, pernikahan
dianggap sebagai ibadah, jejak sunnah Nabi Muhammad SAW. Sekalipun
sebenarnya pernikahan ini sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman
manusia pertama yaitu Adam, yang dinikahkan langsung oleh Allah
dengan pasangannya yaitu, Siti Hawa, di surga5. Maka jelaslah bahwa
menikah merupakan sesuatu yang dianjurkan Rasulullah. Bukan semata
untuk meneruskan keturunan dan menciptakan generasi melainkan
terutama untuk mengatur kehidupan agar selaras dengan ajaran agama
yang memuliakan manusia di atas makhluk lainnya.

Dalam Islam, disebutkan pula bahwa pernikahan adalah ibadah


yang menyempurnakan agama seseorang, karena pernikahan dua orang
anak manusia berarti menyatukan dua keluarga, seringkali juga berarti
penyatuan dua masyarakat jika pernikahan itu terjadi antara dua golongan
masyarakat yang berbeda. Karena itulah dalam proses pernikahan banyak
hal yang perlu diperhatikan sebagai peraturan bagi kedua manusia yang
akan berpasangan.
4
Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Kemenag, 2002) Q.S Az-
zariyat ayat 49.
5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), h. 7.
3

Pernikahan diselenggarakan dalam sebuah prosesi khusus dengan


tata cara yang khusus yang disesuaikan dengan ketentuan dalam agama
maupun dalam tradisi masyarakat dimana prosesi itu akan dilaksanakan.
Terkhusus ketentuan dalam agama Islam, terdapat beberapa hal yang
menjadi rukun dan syarat dalam pernikahan. Rukun dan syarat ini sama-
sama harus dipenuhi, baik proses sebelum akad nikah maupun pada saat
pelaksanaan akad nikah. Dalam hal ini adanya kedua mempelai adalah
yang terpenting dari syarat dan rukun pernikahan. Adanya kedua
mempelai merupakan hal primer baik sebelum maupun pada saat
pelaksanaan pernikahan. Karena keduanya-lah yang akan menjalani
pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan sah dalam Islam adalah
pernikahan yang terpenuhinya syarat dan rukun, serta tidak melanggar
larangan-larangan dalam pernikahan. Serta sesuai Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) “perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam”.6

Dalam Islam tidak ada istilah hari baik atau hari buruk untuk
melaksanakan perkawinan karena semua hari yang diciptakan oleh Allah
SWT adalah baik. Pada dasarnya hari dan bulan dalam satu tahun adalah
sama. Tidak ada hari atau bulan tertentu yang membahayakan atau
membawa kesialan. Keselamatan dan kesialan pada hakikatnya hanya
kembali kepada Allah SWT.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pernikahan yang


terjadi di masyarakat banyak aturan selain dari syarat dan rukun yang
telah ada dalam hukum Islam. Karena bagaimanapun juga, kita hidup di
tanah Jawa yang masih kental dengan adat Jawanya. Dan pada hakikatnya
hukum adat itu sendiri merupakan tradisi yang telah mengakar di dalam
masyarakat sebelum hukum Islam datang di tanah Jawa.9 Maka tidak
heran, apabila dalam praktik-praktik ibadah dan muamalah masih

6
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
4

bercampur dengan tradisi adat yang telah ada, khususnya dalam hal
pernikahan.

Di antaranya adalah pernikahan di bulan Suro, masyarakat jawa


kental dengan kepercayaan yang berbau mistis dan mitos, salah seorang
warga di desa Selo kecamatan Tawangharjo mengatakan ”saya percaya
adanya larangan dan kesialan / malapetaka jika melakukan pernikahan di
bulan Suro, tetapi saya lebih percaya pada tuhan sang pemilik alam alam
ini, dengan begitu saya berani-berani aja melaksanakan pernikahan anak
saya pada bulan tersebut.”

Tidak banyak juga masyarakat yang berani melaksanakan


pernikahan pada bulan Suro, di karenakan masih kentalnya adat dan
kepercayaan masyarakat terhadap larangan pernikahan di bulan Suro,
sebab pernikahan yang di laksankan di bulan Suro akan mendatangkan
kesialan, masalah bertubi-tubi, dan masalah hidup tanpa henti. Oleh karena
itu masih banyak masyarakat jawa yang menghindari pernikahan pada
bulan Suro yang penuh hal-hal mistis ini.

Tradisi hukum adat di Indonesia terutama yang terletak di


daerahJawa merupakansuatu tradisi yang dapat dikatakan paling
banyakdibandingkan dengan tradisi-tradisi yang ada di daerah luar Jawa
lainnya.Tradisi hukum yang berada di wilayah Jawa ini dapat
merefleksikan atausangat berpengaruh terhadap perilaku kehidupan
masyarakat didalamnya terutama dalam masalah pernikahan.7

Islam memandang bahwa semua hari, bulan dan tahun adalahwaktu


yang baik, tidak ada hari yang di keramatkan, tathoyyur (menganggap sial)
adalah suatu tindakan yang tidak berlandaskan pada ilmu atau realita yang
benar. Sebagian masyarakat Jawa khususnya di Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan masih memandang bahwa bulan Suro
(muharram) adalah bulan yang keramat.
7
Mason C. Hoadley, Islam Dalam Hukum Adat Jawa Dan Kolonial, (Jogjakarta: Graha
Ilmu, 2009), h. 1.
5

Tradisi ini merupakan suatu tradisi yang masih dipercayai


dandilakukan oleh masyarakat setempat. Tradisi dari tidak
melaksanakansuatu hajatan pernikahan dibulan Suro (Muharram)
dikarenakanmasyarakat setempat masih mempunyai keyakinan terhadap
perhitungan hari atau bulan tertentu yang kurang tepat untuk
melaksanakan acara sacralyaitu hajatan pernikahan. Masyarakat di Jawa
khususnya di Desa Selo masih menyakiniakan adanya hari na’as atau sial,
maka dari itu masyarakat tidak akanmelaksnakan suatu hajatan pernikahan
dibulan tersebut, mereka juga masih mempercyaai jika ada yang
melanggarnya akan mendapatkan dampak buruk atau petaka terhadap
kehidupannya kelak.Tradisi tersebut tidak diketahui secara pasti asal-
usulnya, masyarakat hanya bisa mengatakan bahwa tradisi ini mereka
warisi dari nenek moyang mereka seperti sudah ada semenjak orang-orang
terdahulu, dan apabila kepercayaan yang sudah mentradisi itu dilanggar
maka akan ada yang menanggung akibatnya.

Berangkat dari fenomena dan dan realitas pelaksanaan pernikahan


pada bulan Suro, yang terjadi di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan, sebagai pernikahan yang tidak diperbolehkan dalam
adat budaya setempat, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah
tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul “PERNIKAHAN DI BULAN
SURO MENURUT ADAT DAN HUKUM ISLAM STUDI KASUS DI
DESA SELO KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN
GROBOGAN”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka permasalahan-


permasalahan yang akan dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan menurut adat mengenai pernikahan yang di


laksanakan di bulan Suro (Muharram)?
2. Bagaimana pandangan hukum islam mengenai pernikahan yang
6

dilaksanakan pada bulan Suro (Muharram)?


C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian

Dengan melakukannya penelitian ini, maka penulis


mengharapakan adanya aspek kemanfaatan yang dapat berguna bagi
pembaca. Adapun tujuan yang ingin di capai oleh penulis adalah
sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pandangan menurut adat mengenai pernikahan


yang di laksanakan di bulan Suro (Muharram).
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai pernikahan
yang dilaksanakan pada bulan Suro (Muharram).
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah nilai guna hasil penelitian yang di
harapkan penulis membawa dampak positif bagi pembaca. Karena
memang di perlukan observasi untuk mendapatkan berbagai informasi
mengenai suatu hal dalam penelitian ini, sesuai dengan rumusan
masalah dan tujuan penelitian yang telah di sebutkan, maka dalam
penelitian ini di harapkan berguna bagi masyarakat, baik tokoh adat,
tokoh masyarakat, masyarakat biasa dan juga bagi penulis :
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada masyarakat agar menambah wawasan serta
cakrawalanya tentang pernikahan yang dilaksanakan di bulan Suro
menurut hukum adat dan hukum islam.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Bagi perpustakaan SETIA Walisembulan Semarang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan di
perpustakaan SETIA Walisembilan Semarang berguna untuk
menambah literatur dibidang hukum terutama di bidang hukum
7

keluarga islam.
2. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan di
lembaga pendidikan untuk menambah literatur dibidang
pendidikan agama terutama yang bersangkutan dengan materi
di bidang hukum keluarga islam.
3. Bagi Tokoh Agama

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai


wawasan baru guna dapat memberikan edukasi kepada
masyarakat setempat supaya mendapatkan dampak-dampak
yang positif mengenai hal pernikahan di bulan Suro, khususnya
bagi masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharo Kabupaten
Grobogan.

4. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk


masyarakat sebagai sarana penambah pengetahuan,
pemahaman dan informasi serta menambah inovasi
(innovation) yang kerap sekali kita dengar di kalangan
masyarakat, yang menjadikan acuan untuk menyusun
rancangan penelitian dan sebagai sarana penerapan teori
kedalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya selain itu
dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan terkait dengan
larangan melakukan pernikahan dibulan Suro menurut adat dan
hukum islam studi kasus di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan.

5. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dimanfaatkan dapat memberi


tambahan pengetahuan serta memberikan gambaran betapa
pentinganya jika kita mengetahui seluk beluk bulan Suro
8

terhadap pernikahan dalam hal adat maupun hukum islam,


yang sering sekali mendapatkan pandangan negatif di kalangan
masyarakat khususnya di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan, masyarakat masih kerap menilai bahwa
melaksanakan pernikahan di bulan Suro akan mendapatkan
mala petaka yang akan menimpa keluarga yang melaksanakan
pernikahan di bulan Suro. Dengan adanya penelitian ini
diharapkan supaya masyarakat mempunyai pandangan yang
positif mengenai pernikahan di bulan Suro.

D. Tinjauan Pustaka
Penelitian sebelumnya
1. Skripsi yang ditulis oleh Saiful Munif Jazuli Jurusan Hukum Keluarga
Islam Fakultas syari’ah Institut Agama Islam Negeri Ponorogo (IAIN
Ponorogo) yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan
Menikah pada Bulan Muharram di Desa Dukuh Kecamatan
Lembeyan Kabupaten Magetan” tahun 2017. Perbedaan penelitian
yang ditulis oleh Saiful dengan penelitian ini yaitu terletak pada objek
penelitian dan letak penelitian, dimana penelitian yang ditulis oleh
Saiful membahas tentang tinjauan larangan menikah di bulan Suro,
sedangkan penelitian ini membahas tentang pernikahan bulan Suro
(muharram) menurut adat dan hukum islam. Perbedaan lainnya yaitu
pada letak penelitian, dimana penelitian saudara Saiful di Desa Dukuh
Kecamatan Lambeyan Kabupaten Magetan, Sedangkan penelitian ini
di lakukan di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten
Grobogan.
2. Skripsi yang ditulis oleh Inna Nur Hasanah Program Studi Hukum
Keluarga Islam Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN
Salatiga) yang berjudul “Pantangan menikah dibulan Suro Prespektif
maslahah mursalah (Studi Kasus di Desa Batur Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang)” tahun 2019. Perbedaan penelitian ini dengan
yang ditulis oleh Inna Nur Hasanah yaitu terletak pada objek dan letak
9

penelitiannya, dimana penelitian yang dilakukan oleh Inna Nur


Hasanah membahas tentang pantangan menikah dibulan Suro menurut
maslahah mursalah, sedangkan penelitian ini membahas tentang
pernikahan dibulan Suro menurut adat dan hukum islam, Perbedaan
lainnya yaitu terletak pada tempat penelitiannya, dimana penelitian
yang dilakukan oleh Inna Nur Hasanah dilakukan di Desa Batur
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, sedangkan penelitian ini
dilakukan di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan.
3. Skripsi yang ditulis oleh Puput Dita Prasanti Jurusan Ahwal Al
Syakhsiyah Fakultas Syariah Insitut Agama Islam Negeri (IAIN
Metro) yang berjudul “Pantangan melakukan perkawinan pada bulan
muharram di masyarakat adat jawa perspektif hukum islam (Studi
kasus di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung
Timur)” tahun 2020. Perbedaan penelitian ini dengan yang di tulis
oleh Puput Dita Prasanti yaitu terletak pada objek dan letak
penelitiannya, dimana penelitian yang di lakukan oleh Puput Dita
Prasanti membahas tentang pantangan melakuka perkawinan pada
bulan Muharram di masyarakat adat jawa perspektif hukum islam,
sedangkan penelitian ini membahas tentang pernikahan di bulan Suro
menurut adat dan hukum islam, perbedaan lainnya terletak pada
tempat penelitiannya, peneletian yang dilakukan oleh Puput Dita
Prasanti di lakukan di Desa Sidodadi Kecamatan Sekampung
Kabupaten Lampung Timur, sedangkan penelitian ini dilakukan di
Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan pendekatan penelitian
Penelitian ini menggunaan metode penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang digunakan untuk penelitian yang memahami tentang
fenomena sosial dari perspektif partisipan.8 Penerapan pendekatan

8
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: CV. Alfabeta, 2005).
10

kualitatif dengan pertimbangan kemungkinan data yang diperoleh di


lapangan berupa data dalam bentuk fakta yang perlu adanya analisis
secara mendalam, maka pendekatan kualitatif akan lebih mendorong
pada pencapaian data yang bersifat lebih mendalam terutama dengan
keterlibatan peneliti sendiri di lapangan. Dalam penelitian kualitatif,
peneliti menjadi instrument utama dalam mengumpulkan data yang
dapat berhubungan langsung dengan instrument atau objek
penelitian.

Jenis penelitian ini dilihat dari objeknya termasuk penelitian


lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan
masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga organisasi masyarakat
maupun lembaga sosial. Dalam penelitian ini penulis meneliti,
mengkaji dan melakukan wawancara langsung dengan tokoh
masyarakat di Desa Dukuh Kecamatan Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan, khususnya kepada Bapak Modin
di Desa tersebut dan Pemuka Agama (Kyai) yang berkaitan dengan
adat larangan nikah di desa tersebut.

2. Definisi Operasional
1) Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Tuhan yang maha Esa.9 Tujuan dari perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dalam merealisasikan tujuan dalam perkawinan
tersebut maka suami dan istri perlu adanya sikap saling
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.

9
UU RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1
11

2) Bulan Suro adalah sebutan bulan dalam kalender jawa, ia menjadi


bulan pertama dalam permulaan tahun. Masyarakat Jawa
mempercayai bahwa ketika bulan Suro tiba maka ada beberapa
pantangan yang tidak boleh di lakukan. Salah satunya mengadakan
pernikahan atau hajatan lain di bulan Suro.
3) Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai
hukum kebiasaan, norma, dan hukum adat yang mengatur tingkah
laku manusia antara lain satu dengan yang lain yang lazim di
lakukan di suatu kelompok masyarakat adat yang di wariskan
secara turun temurun dari nenek moyang.
4) Hukum islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada
wahyu allah SWT dan sunnah rasulullah, hukum islam mengatur
tingkah laku yang mengikat bagi semua pemeluknya.
5) Studi kasus adalah proses peneyelidikan atau pemeriksaan secara
mendalam, terperinci dan detail pda suatu peristiwa tertentu atau
khusus yang terjadi.
6) Desa Selo Kecamatan Tawangharjo adalah penelitian ini dilakukan
di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo yang merupakan daerah
yang ada di Kabupaten Grobogan.
3. Sumber data dan jenis data

Menurut Loafland sumber data utama dalam penelitian kualitatif


yaitu kata-kata, tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain.10 Sumber data adalah segala sesuatu yang
dikumpulkan oleh peneliti untuk kepentingan memecahkan masalah
atau menjawab pertanyaan penelitian yang dapat memberikan informasi
mengenai data. Data dapat diperoleh dari manusia (informan),
peristiwa, lokasi, dokumen. Kesemuanya fakta tersebut merupakan
sumber data, oleh karenanya data bisa berwujud suatu keadaan, gambar,
suara, huruf, ataupun angka yang bisa digunakan sebagai bahan untuk

10
Dr. Lexy J Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2016), h. 157.
12

melihat lingkungan, obyek, kejadian ataupun suatu konsep. Secara


umum sumber data penelitian kualitatif adalah tindakan dan perkataan
manusia, kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh
dari lapangan dengan cara mengamati atau mewawancarai. Peneliti
menggunakan data ini untuk mendapatkan informasi tentang pernikahan
di bulan Suro menurut adat dan hukum islam, data akan didapatkan
melalui masyarakat dan pemuka agama yang ada di Desa Selo
Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan.

Berdasarkan sumbernya, data penelitian dapat dikelompokkan


dalam dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut
juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date.
Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya
secara langsung. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara,
diskusi terfokus. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam
penelitian ini adalah pemuka agama (kyai), kedua mempelai yang
melakukan pernikahan dibulan Suro di Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan.
2. Data sekunder, yaitu data data pendukung yang membantu untuk
memperkuat data primer.11yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
peneliti sebagai penunjang dari sumber yang pertama. Data
sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti dokumen-
dokumen, buku, laporan, pengumpulan data melalui dokumentasi
dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian, data
sekunder yang diperoleh adalah berupa data, dan informasi-
informasi lainnya yang dipandang berguna sebagai bahan
pertimbangan analisis dan interpretasi data primer.

11
Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2008). Hal. 225
13

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknis pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Observasi
Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan dengan
sistimatis atas fenomena-fenomena yang diteliti.12 Teknik observasi
merupakan metode pengumpulan data dengan melakukan
pengamatan terhadap objek yang diteliti dan pencatatan secara
sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Observasi dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang kelakuan manusia yang terjadi di
dalam kenyataan.

Ciri khas penelitian ini adalah pengamatan berperan serta.


Pengamatan berperan serta adalah sebagai pengamatan yang
bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu yang lama antara
peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek dan selama ini data
dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan
catatan tersebut berlaku tanpa adanya gangguan. Untuk itu dalam
penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci,
berpartisipasi penuh sekaligus pengumpul data. Sedangkan
instrumen yang lain sebagai penunjang.

Dalam observasi ini, penulis menggunakan metode observasi


langsung yakni penulis mengumpulkan data dengan cara mengamati
langsung terhadap objek yang diteliti dan dibarengi dengan kegiatan
pencatatan sistematis sehubungan dengan apa-apa yang dilihat dan
berkenan data yang dibutuhkan.13 Observasi akan dilakukan secara
langsung di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan.
b) Interview
Interview (wawancara) adalah teknik pengumpulan data yang
12
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), h. 45.
13
S. Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),cet. VII
h. 106.
14

dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab atau wawancara


langsung dengan pihak-pihak terkait yaitu dengan mengumpulkan
data-data yang diperlukan yang berkenaan dengan larangan nikah.14

Interview (Wawancara) adalah salah satu metode yang


dipergunakan penulis dengan melakukan wawancara terhadap
informan dan responden yang telah ditetapkan sebelumnya.15
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancara yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu.16 Wawancara bebas terpimpin adalah
kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin. Jadi pewancara
hanya membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti, selanjutnya
dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi
pewawancara harus pandai mengarahkan yang diwawancarai apabila
ternyata ia menyimpang. Pedoman interview berfunsi sebagai
pengendali jangan sampai proses wawancara kehilangan arah.17
Wawancara akan berlangsung dengan pihak yang berkaitan dengan
studi kasus ini, yaitu dengan pemuka agama (Kyai) Desa setempat,
masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo, kedua mempelai
yang menikah dibulan Suro, dan Bapak Modin di Desa Selo
Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan.

c) Dokumentasi
Dokumentasi dalam pengumpulan data dengan menelaah
dokumen penting yang menunjang kelengkapan data dalam teknik
pengumpulan data ini, penulis melakukan penelitian dengan
menghimpun data yang relevan dari sejumlah dokumen resmi atau
14
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV Alpa Beta, 2005), h. 73-74.
15
S. Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, (cet. VII: Jakarta: BumiAksara, 2004),
h. 106
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya,
2002), h. 135
17
Cholid Narbuku dan Abu Ahmadi, Metode penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
85.
15

arsip penting yang dapat menunjang kelengkapan data penelitian


serta dalam teknik dokumentasi ini, dan juga menggunakan studi
literatur yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mencatat langsung data-data yang berkaitan dengan data-data yang
diperlukan.18 Penulis juga menggunakan tipe recorder sebagai
transkip pewawancara dan kamera sebagai bukti bahwa penelitian
benar-benar dibukukan di lokasi Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan.
5. Teknik Analisis Data
1. Reduksi data
Reduksi data yaitu mereduksi data sehingga dapat disajikan
dalam satu bentuk narasi yang utuh. Matthew B. Miles dan A. Michel
Huberman menjelaskan reduksi data artinya sebagai proses pemilihan
pemutusan perhatian pada penyederhanaan, pengabstakkan dan
transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan. Reduksi data berlangsung terus menerus selama proyek yang
berorientasi kualitatif berlangsung.19 Reduksi data terapkan pada hasil
obsevasi, interview, dokumentasi dengan meredukasi kata-kata yang
dianggap penulis tidak signifikan bagi penelitian ini, seperti keadaan
lokasi observasi dan dokumentasi yang tidak terkait dengan masalah
yang diteliti, gurauan dan basabasi informan dan sejenisnya.
2. Penyajian data
Penyajian data yaitu menyajikan data yang telah direduksi
dalam model-model tertentu untuk menghindari adanya kesalahan
penafsiran terhadap data tersebut. Alur penting yang kedua dari
kegiatan analisis adalah penyajian data, membatasi suatu penyajian
sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan
18
Bambang Sugiono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 129.
19
Matthew B. Milles, et.al, Qalitative Data Analisys, diterjemahkan oleh Tjetep Rohendi
dengan judul, Analisis Data Kualitatif, buku Sumber tentang Metode-metode Baru, (Cet. I:
Jakarta: UI-Press,1992), h. 16.
16

melihat penyajian-penyajian, kita akan dapat memahami apa yang


sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh menganalisis
atau kah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang
didapat dari penyajian tersebut. Dengan demikian, pendekatan
penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat deskriptif. Oleh karena itu,
data disajikan dalam bentuk kata-kata/kalimat sehingga menjadi satu
narasi yang utuh.
3. Verifikasi data
Verifikasi data yaitu pengambilan kesimpulan dari penulis
terhadap data tersebut. Dalam konteks ini, Kegiatan analisa ketiga yang
penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan
pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti
benda-benda mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-
konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan preposisi. Dalam
kegiatan verifikasi, penulis mengambil kesimpulan dengan mengacu
pada hasil dari reduksi data. Data-data yang terkumpul dari hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi, penulis pilih yang mana sesuai
dengan judul dan membuang yang tidak perlu.
BAB II
KERANGKA TEORI

A. Pernikahan
1. Pengertian pernikahan

Kata nikah berasal dari bahas arab nikahun yang merupakan


masdar atau kata asal dari kata nakaha, sinonimnya tazawwaja
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagaimana yang
disebut perkawinan. Sedangkan secara bahasa kata nikah berarti ad-
dammu wattadkhul (bertindih dan memasukkan) oleh karena itu
menurut kebiasaan arab, pergesekan rumpun pohon seperti pohon
bambu akibat tiupan angin diistilahkan dengan tanakahatil ashjar
(rumpun pohon itu sedang kawin), karena tiupan angin itu terjadi
pergesekan dan masuknya rumpun yang satu ke ruang yang lain. 20
Perkawinan menurut istilah sama dengan kata ”nikah” dan kata
”zawaj”.21 Ulama golongan Syafi’iyah memberikan definisi nikah
melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan
kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul
sedang sebelum akad berlangsung diantara keduanya tidak boleh
bergaul.

Definisi-definisi yang diberikan beberapa pendapat imam


mazhab, para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang
dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan
khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk
melaksanakan nikah, yang demikian itu adalah lebih utama dari pada
haji, sholat, jihad, dan puasa sunnah.22 Selain itu nikah dalam arti
hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual

20
Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 11.
21
Abd Shomat, Hukum Islam Penoraman Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia
(Jakarta: Prenada Media Goup, 2010), h. 272.
22
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab
(Bandung: al Haromain), h. 318.

17
18

sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang wanita. 23 Menurut
pengertian sebagian fuqaha perkawinan ialah akad yang memberikan
faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri)
antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan
memberikan batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban
bagi masing-masing. Dari pengertian di atas, melangsungkan
perkawinan akan mendapatkan akibat hukum diantaranya adalah saling
mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan pergaulan
yang dilandasi tolong menolong. Dalam bukunya Mohammad Idris
Ramulyo, menurut Sajuti Thalib perkawinan ialah suatu perjanjian yang
suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal,
santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia. 24 Menurut
Abu Zahrah perkawinan adalah suatu akad yang menghalalkan
hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita, saling membantu,
yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi menurut ketentuan syariat. Menurut Abdurrahman Al-Jaziri
mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga
bahagia.25 Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.26

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan


bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat
atau mithaqan gholizan untuk mentaati perintah Allah dan

23
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No
1 tahun 1994 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara), h. 1.
24
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 1–2.
25
Saebani, Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 13.
26
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia), h 7.
19

melaksanakannya merupakan ibadah.27 Ungkapan akad yang sangat


kuat atau mithaqan gholizan merupakan penjelasan dari Ungkapan
“ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU No 1/1974
tentang perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan
bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Sedangkan
ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan UU No 1/1974 tentang
Perkawinan, hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam
adalah merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang
melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.28

Dari beberapa pengertian perkawinan di atas dapat dipahami


bahwa, perkawinan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai
pria dengan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan Fiqh
kesukaan kedua belah pihak, serta untuk menghalalkan pencampuran
antara keduanya. Selain itu juga menyiratkan bahwa perkawinan
mengandung aspek hukum ta’awun (gotong-royong), akibatnya pelaku
perkawinan dihadapkan kepada tanggung jawab serta hak-hak yang
dimilikinya. Disamping itu berdasarkan definisi diatas, tampak bahwa
inti dari perkawinan tidak hanya dititik beratkan kepada masalah
biologis semata, melainkan adanya suatu kewajiban untuk menciptakan
pergaulan yang harmonis yang diliputi rasa sayang menuju cita-cita
bersama.29

2. Dasar hukum pernikahan


Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal melakukan
perkawinan adalah mubah, disamping ada yang sunah, wajib, haram
dan makruh. Berkaitan dengan hal di atas, maka disini perlu dijelaskan
beberapa hukum dilakukannya perkawinan, yaitu:
27
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), h. 14.
28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h. 41.
29
Saebani, Fiqh Munakahat, h. 13–14.
20

a. Wajib
Perkawinan dihukumi wajib bagi orang yang telah
mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak
kawin. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap
muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang,
sedang menjaga diri itu wajib.

b. Sunnah

Perkawinan itu hukumnya sunnah menurut pendapat jumhur


ulama’, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak
kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.30

c. Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak
mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila dalam
melangsungkan perkawinan akan terlantarlah diri dan istrinya.
Termasuk juga jika seseorang kawin dengan maksud untuk
menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dikawini tidak
diurus hanya agar wanita tersebut tidak dapat kawin dengan orang
lain.

d. Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan
diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak kawin, hanya saja orang ini tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai
suami istri yang baik.

30
Al-Mawardi, Hukum Perkawinan dalam Islam (Yogyakarta: BPFE, 1998), h. 1.
21

e. Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir
akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri.

3. Syarat dan rukun pernikahan


Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu
rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap
perbuatan hukum. Sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam
setiap perbuatan hukum, jika kedua unsur ini tidak terpenuhi maka
perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum.31 Rukun juga bisa
diartikan dengan sesuatu yang mesti ada sebagai penentu sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan tersebut. Seperti membasuh muka untuk wudhu
dan takbiratul ihram untuk sholat, atau adanya calon pengantin laki-
laki dan perempuan dalam perkawinan.

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat, atau
menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus
beragama Islam. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi
rukun dan syarat.32

 Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:


a) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan.
b) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c) Adanya dua orang saksi.
d) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali

31
Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, h. 16.
32
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 45-46.
22

atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon


pengantin laki-laki.33
Sedangkan syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi
sahnya perkawinan, apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka
perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan
kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat-syarat
sahnya perkawinan itu ada dua:

1. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang


ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan
merupakan orang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi
untuk sementara maupun untuk selama-lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
B. Tradisi Pernikahan Jawa
Kata tradisi bisanya merujuk pada adat, yang mana kata adat
berasal dari bahasa Arab adah yang berarti kebiasaan yang dianggap
bersinonim dengan ‘urf, adat/tradisi dalam pengertian yang lain adalah
adat istiadat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di
masyarakat, namun didalam masyarakat biasanya muncul penilaian bahwa
cara-cara yang sudah ada merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan
persoalan.
Perhitungan atau petungan jawa yang merupakan tanggal 1 Suro
adalah warisan nenek moyang Jawa. Sebagian sudah ada sebelum
kedatangan bangsa Hindu dan sebagian memang berasal dari kebudayaan
Hindu, kemudian keduanya dijalin dengan unsur agama Islam semuanya
terangkum dalam kesatuan perhitungan sehingga merupakan perpaduan
ciptaan Jawa.34
1. Tradisi Jawa dalam Perkawinan penuh dengan upacara, baik upacara
yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari

33
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 49.
34
Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: Ikatan
Penerbit Indonesia, 1995), h. 215.
23

keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja sampai saat


kematiannya. Upacara-upacara tersebut semula dilakukan dalam
rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang
tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi keberlangsungan
kehidupan manusia.35

Adapun upacara untuk memaknai peristiwa perkawinan dalam


masyarakat Jawa dimulai dari tahap perkenalan sampai terjadinya
pernikahan. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:36

a. Nontoni
Didalam tahap ini dibutuhkan peranan seorang perantara.
Perantara ini merupakan utusan dari keluarga calon calon
pengantin pria untuk menemui keluarga calon pengantin
wanita. Pertemuan ini dimaksudkan untuk nontoni atau melihat
calon dari dekat.
b. Nakokke/Nembung/Nglamar

Sebelum melangkah ketahap selanjutnya, perantara


akan menanyakan beberapa hal pribadi seperti sudah adakah
calon mempelai wanita. Bila belum ada calon, maka utusan
dari calon mempelai pria memberitahkan bahwa keluarga calon
mempelai pria berkeinginan untuk berbesanan, lalu calon
pengantin wanita diajak bertemu dengan calon pengantin pria
untuk ditanya kesediaannya menjadi istrinya. Bila calon
pengantin wanita setuju, maka dilanjutkan menentukan hari
dimana utusan datang untuk melakukan kekancingan rembuk
(peningset). Peningset ini merupakan suatu simbol bahwa calon
pengantin wanita sudah diikat secara tidak resmi oleh calon
pengantin pria.

35
Darori Amin, Islam dan Kebudaya Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h.131.
36
Yana, Falsafah Dan Pandangan Hidup Orang Jawa. (Yogyakarta: Absolut, 2010), h.
62-68.
24

c. Akad Nikah

Inti dari acara perkawinan adalah akad nikah, yang


biasa dilakukan sebelum acararesepsi yang disaksikan oleh
sesepuh/orangtua dari kedua calon pengantin dan orang yang
dituakan. Pelaksanaan akad nikah dilakukan oleh petugas dari
catatan sipil atau petugas agama.

d. Balangan Suruh

Upacara ini dilakukan oleh kedua pengantin secara


bergantian dengan saling melempar Gantal. Gantal yaitu daun
sirih yang dilipat membentuk bulatan yang diikat dengan
benang putih. Daun sirih yang merupakan perlambangan bahwa
kedua pengantin diharapkan bersatu dalam cipta, karsa, dan
karya.

e. Wiji Dadi

Pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria


menggunakan air yang telah diberi bunga setaman. Mencuci
kaki ini melambangkan suatu harapan bahwa “benih” yang
akan diturunkan jauh dari mara bahaya dan menjadi keturunan
yang baik.

f. Timbangan

Pengantin laki-laki duduk di atas kaki kanan ayah


pengantin wanita, sedangkan pengantin wanita duduk di kaki
sebelah kiri.

g. Kacar Kucur

Caranya pengantin pria menuangkan raja kaya dari


kantong kain, sedangkan pengantin wanitanya menerimanya
dengan kain sindur yang diletakkan di pangkuannya, makna
25

dari kacar kucur adalah menandakan bahwa pengantin pria


akan bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarganya.

h. Sungkeman

Upacara ini dilakukan dengan cara kedua pengantin


duduk jengkeng dengan memegang dan mencium lutut kedua
orang tua, baik orang tua pengantin pria maupun wanita,
maknanya adalah sebagai simbol perwujudan rasa hormat anak
kepada kedua orang tua.

i. Boyongan/Ngunduh Manten

Upacara ini dilakukan pada saat pengantin pria dan


wanita diantar oleh keluarga pihak wanita ke keluarga pihak-
pihak pria secara bersama-sama. Acara ini diadakan di rumah
pengantin pria. Biasanya acaranya tidak selengkap acara yang
diadakan di tempat pengantin wanita.

2. Larangan Pernikahan dalam Tradisi Jawa

Larangan penikahan dalam tradisi jawa dapat juga disebut


dengan pembatasan jodoh. Peraturan-peraturan yang melarang
perkawinan di antara seseorang dengan seseorang tertentu
diantaranya:37

a. Larangan dalam Penentuan Pasangan

Dalam tradisi jawa terdapat juga pertimbangan dalam


pemilihan calon menantu (pasangan) yang tidak boleh
sembarangan, harus berdasarkan bibit, bebet, dan bobot, bibit
artinya mempunyai latar kehidupan baik, bebet artinya calon
penganten, terutama pria, mampu memenuhi kebutuhan
keluarga, bobot artinya kedua calon penganten adalah orang

37
Ririn Mas’udah, “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat Adat
Trenggalek,” JURNAL HUKUM dan SYARIAH, Vol. 1:1, (2010), h. 9.
26

yang berkualitas, bermental baik dan berpendidikan cukup.

b. Larangan dalam Menentukan Hari

Dalam adat Jawa, penanggalan atau perhitungan Jawa


untuk menentukan calon jodoh harus sesuai dengan hari
kelahirannya. Jika tidak sesuai, orang jawa menyebutnya
dengan istilah Neptune ora cocok. Maka perjodohan diantara
mereka dapat digagalkan, karena memungkinkan hidup suami
istri itu tidak bahagia. Adapun perhitungan (Petung Jawa)
neptu dina, pasaran, sasi dan tahun yang menurut masyarakat
Jawa.

c. Larangan Menikah Pada Bulan Suro

Bagi masyarakat Jawa, menikah di bulan Suro itu harus


dihindari. Bulan ini diyakini sebagai bulan keramat sehingga
jangan sampai kita melanggar untuk menggelar hajatan apalagi
pernikahan dibulan tersebut. Jika larangan ini dilanggar,
masyarakat percaya akan datang malapetaka atau musibah bagi
pasangan yang menggelar pernikahan serta kedua keluarga
besar mereka.

C. Pernikahan Dalam Islam


1. Pengertian pernikahan dalam islam

Perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa arab sering disebut


dengan dua kata, yaitu na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an
dengan arti kawin, demikian pula kata za-wa-ja.38 Nikah (kawin)
menurut arti asli ialah hubungan seksual.

Menurut Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip Muhammad


Zuhaily dalam bukunya Fiqh Munakahat mengatakan pernikahan
adalah akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan
38
Sofyan Hasan, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Malang: Setara Press, 2018), h.
23.
27

suami istri dengan lafal nikah atau kawin atau yang semakna dengan
itu., sedangkan Imam Hanafi berpendapat tentang pernikahan yaitu
akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan selama tidak ada
halangan.39

Definisi tentang pernikahan juga dikemukakan oleh


Muhammad Abu Ishrah sebagai berikut:

Akad yang memberikan faedah hukum dibolehkannya


mengadakan hubungan keluarga antara pria dan wanita dan
mengadakan tolongmenolong serta memberi batas hak pemiliknya
serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.40

Namun beberapa dari penulis sering menyebutkan istilah


pernikahan dengan kata perkawina, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Adapun menurut syara’, nikah
adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan
tujuan untuk saling memuaskan satu samalainnya dan membentuk
sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
sejahtera.41

Sedangkan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974 pasal 1 adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”

2. Hikmah Pernikahan

39
Zuhaily, Fiqh Munakahat, (Surabaya: CV Imtiyaz, 2013), h. 15.
40
Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h. 3.
41
Tihami dkk, Fikih Munakahat Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2009), h. 8.
28

Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang


kuat bagi kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang
tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik bagi manusi, makhluk
yang dimuliakan Allah Swt untuk mencapai kehidupan yang bahagia
dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan.

Adapun hikmah pernikahan menurut Sayyed Hawwas adalah


sebagai berikut:42

a. Memelihara gen manusia yaitu pernikahan sebagai sarana


untuk memelihara keberlangsungan gen manusia, alat
reproduksi, dan generasi dari masa ke masa. Dengan
pernikahan inilah manusia akan dapat kemakmuran hidup dan
melaksanakan tugas sebagai khalifah dari Allah Swt.
b. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh yang
didalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan
religius. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Ghazali tentang
beberapa faedah nikah, diantaranya yaitu nikah dapat
menyegarkan jiwa, hati tenang, dan memperkuat ibadah.
c. Pernikahan sebagai perisai diri manusia dalam artian dapat
menjaga diri kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-
pelanggaran yang diharamkan dalam agama. Karena nikah
memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat
biologisnya secara halal dan mubah.
d. Melawan hawa nafsu, menikah dapat menyalurkan nafsu
manusia menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain
dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan mendidik
mereka.
3. Hal-hal yang dilarang dalam pernikahan

Hal yang dilarang pada pernikahan menurut Islam sudah

42
Prof. Dr. Abdul Aziz, Fiqih Munakahat, (Malang: Amzah, 2011), cet. Ke-2, h.
39.
29

menjadi pakem yang wajib dihindari bagi kita kaum muslimin dan
muslimat. Menurut syara’ larangan dalam perkawinan dibagi dua,
yaitu halangan abadi (haram ta’bid) dan halangan sementara (haram
ghairu ta’bid/ta’qit). Perempuan yang terlarang untuk dinikahi
disebut mahram, diantara larangan-larangan tersebut ada yang telah
disepakati dan ada yang masih diperselisihkan.43

a. Mahram Ta’bid adalah orang-orang yang selamanya haram


dikawin. Larangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu sebagai
berikut:
1. Nasab (keturunan)
Nasab adalaha pertalian kekeluargaan berdasarkan
hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke
samping.
2. Hubungan semenda

Hubungan semenda adalah suatu hubungan


pertalian keluarga yang diakibatkan karena perkawinan,
yaitu :

1) Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan


seterusnya ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.

2) Anak tiri, dengan syarat jika telah terjadi hubungan


kelamin dengan ibu anak tersebut.

3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya ke


bawah.

4) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk kali ini tidak
disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu
dengan ayah

3. Hubungan sesusuan
43
Bunyamin, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h.
32.
30

Hubungan sesusuan adalah sampainya air susu


wanita ke dalam perut anak yang belum mencapai usia
tahun Hijriah, perempuan atau laki-laki yang mempunyai
mahram dari jalur susu mempunyai keistimewaan dan
kekebalan hukum sebagaimana mahram yang terbentuk
dari jalur nasab, yaitu antara laki-laki dan perempuan yang
terikat dalam mahram rada’ tidak boleh saling menikahi.

b. Mahram Ghairu Muabbad yaitu larangan kawin yang berlaku


untuk sementara waktu yang disebabkan oleh hal tertentu, bila
hal tersebut sudah tidak ada maka larangan itu tidak berlaku
lagi. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal-hal
sebagai berikut:44
1) Menikahi dua orang saudara dalam satu masa dua orang
bersaudara haram dinikahi oleh seorang laki-laki dalam
waktu bersamaan, dengan demikian bila dua perempuan itu
dikawininya sekaligus dalam satu akad perkawinan, maka
perkawinan dengan kedua perempuan itu batal.
2) Larangan karena ikatan perkawinan artinya seorang
perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan
haram dikawini oleh siapapun, bahkan perempuan yang
sedang dalam perkawinan dilarang untuk dilamar, baik
dalam ucapan yang terus terang maupun secara sindiran.
3) Larangan karena talak tiga seorang suami yang telah
menceraikan istrinya dengan tiga talak, baik sekaligus atau
bertahap, mantan suaminya haram menikahinya sampai
mantan istri itu kawin dengan laki-laki lain dan habis pula
iddahnya.
4) Larangan Karena ihram, perempuan yang sedang
melakukan ihram, baik ihram umroh maupun ihram haji

44
Sofyan Hasan, Hukum Keluarga Dalam Islam, (Malang: Setara Press, 2018), h.
43.
31

tidak boleh dinikahi.


5) Larangan karena perzinaan, perempuan pezina haram
dikawini oleh laki-laki baik (bukan pezina), sebaliknya
perempuan baik-baik tidak boleh kawin dengan laki-laki
pezina.
D. Kerangka Berpikir

Pernikahan yang dilakukan dibulan

Secara Adat Istiadat Secara Hukum Islam

Tradisi Jawa Larangan pernikahan


menurut hukum islam

1. Nontoni 1. Larangan dalam penentuan 1. Mahram


2. Nglamar pasangan Ta’bid
3. Akad Nikah 2. Larangan menikah pada 2. Mahram
4. Balangan Suruh bulan Suro Ghairu
5. Wiji dadi 3. Larangan dalam menentukan Muabbad
6. Timbangan hari
7. Kacar kucur
8. Sungkeman
9. Ngunduh
manten
BAB III

GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

A. Kondisi Geografis Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten


Grobogan

Desa Selo merupakan desa yang berada di wilayah kelurahan


Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Adapun
nama-nama dukuh yang ada di Desa Selo sebagai berikut:

a. Dukuh Krajan
b. Dukuh Kauman
c. Dukuh Kebondalem
d. Dukuh Pulo
e. Dukuh Drono
f. Dukuh Ngrampaan
g. Dukuh Plumpungan
h. Dukuh Tanen.

Letak geografis Kabupaten Grobogan berada antara 1100 32’


dan 1110 15’ Bujur Timur dan antara 60 55’ dan 70 316’ Lintang
Selatan. Dalam segi administratif Kabupaten Grobogan terdapat 19
kecamatan, 280 desa dan 7 kelurahan. Secara keseluruhan luas
wilayah kabupaten Grobogan sekitar 1.975,865 km2 dari luas provinsi
Jawa Tengah. Kecamatan terluas di Kabupaten Grobogan yaitu berada
di Kecamatan Geyer sebesar 196.192 km2, sedangkan luas kecamatan
yang paling kecil yaitu Kecamatan Klambu 46.562 Km2.

Desa Selo berada di Kecamatan Tawangharjo, dengan luas


wilayah sebagai berikut:

Kategori Luas
Luas Wilayah Desa Selo 54025,6 Ha
Luas lahan sawah 19314,2 Ha

32
33

Luas lahan bukan sawah 34711,4 Ha


Luas kantor kelurahan 0,0573 Ha
Luas kuburan 0,136988 Ha
Tabel 3.5 Luas Wilayah Desa Selo Tawangharjo45

Selain itu, Desa Selo juga memiliki batas wilayah dengan desa
lain, batas wilayah Desa Selo Tawangharjo sebagai berikut:

Batas Desa / Kelurahan Kecamatan


Sebelah Utara Desa Tawangharjo Kec. Tawangharjo
Sebelah Selatan Desa Sembungharjo Kec. Pulokulon
Sebelah Timur Desa Sambirejo Kec. Wirosari
Sebelah Barat Desa Selo Kec. Tawangharjo
Tabel 3.6 Tabel Batas Wilayah Desa Selo Tawangharjo

Secara administrasi Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, kabupaten Grobogan


memiliki 11 RW dan 58 RT.

B. Gambaran umum demografi Desa Selo Kecamatan Tawangharjo

1. Jumlah Penduduk
Dalam segi kepadatan penduduk sebanyak penduduk di Desa
Selo Grobogan pada tahun 2020 sebanyak 9536 jiwa, dengan jumlah
penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 4878 orang, dan
penduduk berjenis kelamin perempuan sebanyak 4658 orang dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 2508 orang kepala keluarga. Data
ditahun 2019 tingkat kepadatan penduduk di Desa Selo Grobogan
sebanyak 9697 jiwa per Km2 dan terhitung sejak tahun 2015 hingga
tahun 2018 selalu mengalami kenaikan kepadatan penduduk di Desa
Selo Grobogan. Lebih detailnya sebagai berikut:

45
Hasil Dokumentasi mengenai luwas wilayah Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan, oleh penulis pada tanggal 5 Maret 2023, Pukul 10.30 WIB.
34

Tahun Banyaknya Jiwa/km2


2020 8353 Jiwa//Km2
2021 8353 Jiwa//Km2
2022 8370 Jiwa//Km2
Tabel 3.1 Jumlah Kepadatan Penduduk Desa Selo Tawangharjo46
2. Jumlah Penduduk Menurut Agama
Berikut ini rincian jumlah penduduk berdasarkan agama yang
dianut oleh masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan:

Agama Laki-laki Perempuan


Islam 4.862 Orang 4.643 Orang
Kristen 15 Orang 13 Orang
Katholik - 1 Orang
Aliran lainnnya 1 Orang 1 Orang
Jumlah 4.878 Orang 4.658 Orang
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Desa Selo Tawangharjo Menurut Agama47
Di Desa Selo memiliki tempat peribadatan masjid sebanyak 7
dan langar/mushola 58 buah. Hal ini didukung karena kebanyakan
penduduk Desa Selo Tawangharjo beragama Islam. Selain masyarakat
yang beragama Islam Di Desa Selo juga terdapat warga yang beragama
Kristen, katholik, dan aliran kepercayaan lainnya, dengan masyarakat
tersebut menunjukkan bahwa kondisi sosial masyarakat masih dapat
berjalan dengan baik dan hidup saling bergotong royong satu sama lain
meskipun memiliki kepercayaan yang berbeda-beda.

3. Tingkat Pendidikan
Berikut ini tingkat Pendidikan masyarakat Desa Selo
Tawangharjo menurut data pemerintah Desa Selo Tawangharjo tahun
46
Hasil Dokumentasi mengenai jumlah penduduk di Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan, oleh penulis pada tanggal 5 Maret 2023, Pukul 10.30 WIB.
47
Hasil Observasi data jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut
penduduk Desa Selo Kcamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, wawancara oleh penulis, pada
tanggal 5 mei 2023, Pukul 10.30 WIB.
35

2022:

No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan


1 Taman Kanak-kanak (Tk) 433 391
2 Sekolah Dasar (SD) 1.906 1.995
3 Sekolah Menengah Pertama 970 831
(SMP)
4 Sekolah Menengah Atas 683 486
(SMA)
5 Akademi / D1-D3 33 27
6 Sarjana / S1 80 76
7 Pascasarjana / S2 7 2
Jumlah 4.112 3.808
Total 7.110
Tabel 3.3 Data Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Desa Selo
Tawangharjo48
Latar belakang Pendidikan penduduk Desa Selo Sebagian besar
lulusan SD (Sekolah Dasar). Jenjang Pendidikan bagi penduduk desa
bukanlah hal yang diutamakan. Begitu pula dengan Desa Selo tinggi
rendahnya tingkat kelulusan tidak menjadi hal yang penting bagi
penduduk Desa Selo yang penting bisa mendapatkan pekerjaan.

4. Mata Pencaharian
Di Desa Selo Tawangharjo sendiri terdapat berbagai mata
pencaharian pokok masyarakat yang lebih banyak masyarakatnya
bekerja sebagai pengusaha industri kecil dan menengah, serta sebagai
pedagang, berikut ini beberapa jenis mata pencaharian masayrakat
Desa Selo Tawangharjo yang sudah terdata di tahun 2022:

No Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan


1 Mengurus Rumah - 1.153 Orang
48
Hasil Observasi data jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut
penduduk Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, wawancara oleh penulis,
pada tangga l 5 Mei 2023, Pukul 10.30 WIB.
36

Tangga
2 Pensiunan 25 Orang 6 Orang
3 PNS 34 Orang 31 Orang
4 TNI 10 Orang -
5 POLRI 8 Orang 1 Orang
6 Perdagangan 1947 Orang 290 Orang
7 Petani 812 Orang 639 Orang
8 Peternak 3 Orang 2 Orang
9 Industri 16 Orang 13 Orang
10 Kontruksi 47 Orang -
11 Transportasi 45 Orang -
12 Karyawan Swasta 186 Orang 125 Orang
13 Karyawan BUMN 3 Orang 2 Orang
14 Karyawan BUMD 1 Orang -
15 Buruh Harian Lepas 55 Orang 13 Orang
16 Buruh Tani / Perkebunan 48 Orang 24 Orang
17 Buruh Peternakan - 1 Orang
18 Tukang Cukur 1 Orang -
19 Tukang Batu 1 Orang -
20 Tukang Kayu 1 Orang -
21 Tukang Las 1 Orang -
22 Tukang Jahit 1 Orang -
23 Penata Rambut 1 Orang -
24 Mekanik 1 Orang -
25 Guru 26 Orang 29 Orang
26 Dokter - 1 Orang
27 Bidan - 2 Orang
28 Perawat 1 Orang -
29 Sopir 9 Orang -
30 Pedagang 15 Orang 25 Orang
37

31 Perangkat Desa 10 Orang 4 Orang


32 Kepala Desa 1 Orang -
33 Wiraswasta 1.226 Orang 539Orang
34 Asisten Notaris 1 Orang -
35 Pembantu RT - 2 Orang
Total 2793 Orang 2902 Orang
Tabel 3.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Selo Tawangharjo49

5. Kondisi sosial budaya Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo


Kehidupan masyarakat berjalan dengan damai. Rasa
kekelurgaan dan sifat kegotong-royongan begitu kental dalam
kehidupan sehari-hari. Saling tolong menolong antara sesama warga
terlihat secara langsung terutama pada saat ada warga yang melakukan
hajatan. Maka dengan serta merta tetangga turun tangan membantu
tanpa dimintai bantuan dan tanpa bayaran. Semua dilakukan secara
sukarela.

Salah satunya yang masih terpelihara dengan baik di


masyarakat Desa Selo adalah larangan pernikahan yang dilaksanakan
pada bulan Suro (Muharram). Dilarangnya melaksanakan pernikahan
pada bulan Suro di masyarakat Desa Selo yaitu masih melekatnya adat
istiadat suku Jawa, masyarakat Desa Selo masih meyakini jika
seseorang melaksanakan pernikahan pada bulan Suro, nantinya akan
mendapatkan kesialan, masalah bertubi-tubi dan masalah hidup tanpa
henti. Bahkan bisa saja salah satu pihak mempelai akan meninggal.
Oleh karena itu masih banyak masyarakat yang menghindari
pernikahan pada bulan Suro.

49
Observasi langsung mengenai data mata pencaharian masyarakat Desa Selo
Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, oleh penulis pada tanggal 13 mei 2023, pukul
10.30 WIB.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN HASIL ANALISIS DATA

Setiap agama memiliki tata cara peraturan tersendiri, tetapi


kesemuanya mengacu pada satu hal, yaitu bahwa manusia adalah makhluk
Tuhan yang mulia, mempunyai karunia akal budi sehingga dalam banyak
perilaku kehidupannya tidak sama dengan makhluk lain seperti halnya
binatang. Khusus dalam pandangan agama Islam, pernikahan dianggap
sebagai ibadah, jejak sunnah Nabi Muhammad SAW. Sekalipun
sebenarnya pernikahan ini sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman
manusia pertama yaitu Adam, yang dinikahkan langsung oleh Allah
dengan pasangannya yaitu, Siti Hawa, di surga50. Maka jelaslah bahwa
menikah merupakan sesuatu yang dianjurkan Rasulullah. Bukan semata
untuk meneruskan keturunan dan menciptakan generasi melainkan
terutama untuk mengatur kehidupan agar selaras dengan ajaran agama
yang memuliakan manusia di atas makhluk lainnya.

Dalam Islam, disebutkan pula bahwa pernikahan adalah ibadah


yang menyempurnakan agama seseorang karena pernikahan dua orang
anak manusia berarti menyatukan dua keluarga, seringkali juga berarti
penyatuan dua masyarakat jika pernikahan itu terjadi antara dua golongan
masyarakat yang berbeda. Karena itulah dalam proses pernikahan banyak
hal yang perlu diperhatikan sebagai peraturan bagi kedua manusia yang
akan berpasangan.

Pernikahan diselenggarakan dalam sebuah prosesi khusus dengan


tata cara yang khusus yang disesuaikan dengan ketentuan dalam agama
maupun dalam tradisi masyarakat dimana prosesi itu akan dilaksanakan.
Terkhusus ketentuan dalam agama Islam, terdapat beberapa hal yang
menjadi rukun dan syarat dalam pernikahan. Rukun dan syarat ini sama-
sama harus dipenuhi, baik proses sebelum akad nikah maupun pada saat

50
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), h. 7.

38
39

pelaksanaan akad nikah. Dalam hal ini adanya kedua mempelai adalah
yang terpenting dari syarat dan rukun pernikahan. Adanya kedua
mempelai merupakan hal primer baik sebelum maupun pada saat
pelaksanaan pernikahan, karena keduanya-lah yang akan menjalani
pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan sah dalam Islam adalah
pernikahan yang terpenuhinya syarat dan rukun, serta tidak melanggar
larangan-larangan dalam pernikahan. Serta sesuai Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) “perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam”.51

Dalam Islam tidak ada istilah hari baik atau hari buruk untuk
melaksanakan perkawinan karena semua hari yang diciptakan oleh Allah
SWT adalah baik. Pada dasarnya hari dan bulan dalam satu tahun adalah
sama. Tidak ada hari atau bulan tertentu yang membahayakan atau
membawa kesialan. Keselamatan dan kesialan pada hakikatnya hanya
kembali kepada Allah SWT. Sebagaimana dalam surat An-Nahl ayat 72 :

ْ‫َوهللاُ َج َع َل َل ُك ْم مِّنْ اَ ْنفُسِ ُك ْم اَ ْز َواجً ا وَّ َج َع َل َل ُك ْم مِّن‬


‫ت اَ َف ِب ْالبَاطِ ِل‬ َّ ‫اَ ْز َوا ِج ُك ْم َب ِني َْن َو َح َفدَ ًة وَّ َر َز َق ُك ْم م َِّن‬
ِ ۗ ‫الطي ِّٰب‬
‫ت هّٰللا ِ ُه ْم َي ْكفُر ُْو ۙ َن‬ ِ ‫يُْؤ ِم ُن ْو َن َو ِب ِنعْ َم‬

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pernikahan yang


terjadi di masyarakat banyak aturan selain dari syarat dan rukun yang
telah ada dalam hukum Islam. Karena bagaimanapun juga, kita hidup di
tanah Jawa yang masih kental dengan adat Jawanya, dan pada hakikatnya
hukum adat itu sendiri merupakan tradisi yang telah mengakar di dalam
masyarakat sebelum hukum Islam datang di tanah Jawa.9 Maka tidak
heran, apabila dalam praktik-praktik ibadah dan muamalah masih
bercampur dengan tradisi adat yang telah ada, khususnya dalam hal
pernikahan.

51
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
40

1. Pandangan menurut adat mengenai pernikahan yang dilaksanakan di


bulan Suro di Desa Selo

Tradisi hukum adat di Indonesia terutama yang terletak di


daerah Jawa merupakan suatu tradisi yang dapat dikatakan paling
banyak dibandingkan dengan tradisi-tradisi yang ada di daerah luar
Jawa lainnya, tradisi hukum yang berada di wilayah Jawa ini dapat
merefleksikan atau sangat berpengaruh terhadap perilaku kehidupan
masyarakat didalamnya terutama dalam masalah pernikahan.

Menuai banyak perbedaan pendapat diantara pihak yang


memperbolehkan dan ada juga pihak yang melarang, menanggapi
kasus tersebut, Bapak Selamet berpendapat bahwa :

Saya melarang adanya praktik nikah pada bulan Suro mas, karena
dalam budaya Jawa kita harus menghitung segala sesuatunya untuk
melaksanakan gawe besar, termasuk pernikahan, yang dilakukan
masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan
tersebut adalah menghormati Ilmu Titen (hafalan) atau kejadian
kejadian yang sudah ada dalam tradisi Jawa.52
Bapak Rokhim sependapat dengan Bapak Selamet yang masih
meyakini dengan adanya musibah yang akan di terima bagi yang
melaksanakan praktik Nikah pada bulan Suro (Muharram), karena
apapun alasannya kita harus menghormati keyakinan masyarakat
sebelum kita.

Disinggung mengenai akan terjadinya hal-hal yang tidak


diinginkan (musibah) dari salah satu keluarga apabila tetap
melaksanakan nikah pada bulan Suro beliau berpendapat :

Kita sadar bahwa setiap kejadian adalah kehendak Allah dan tidak ada
kaitanya dengan hal-hal yang ada di sekitar kita apalagi menjadi
penyebab utama, tetapi yang perlu diingat, walaupun kita yakin tidak
akan ada hal hal yang tidak diinginkan setelah melaksanakan
perkawinan pada bulan Suro (Muharram), tetapi masyarakat sekitar
kita sudah sangat meyakini, maka hal itu kemungkinan sangat besar
52
Wawancara dengan Bapak Selamet, Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupten Grobogan, 1 Mei 2023.
41

akan terjadi.53
Masyarakat jawa kental dengan kepercayaan yang berbau
mistis dan mitos, di antaranya adalah pernikahan di bulan Suro, salah
seorang warga di desa Selo kecamatan Tawangharjo yaitu Bapak
Waluyo mengatakan :

Saya percaya adanya larangan dan kesialan/malapetaka jika


melakukan pernikahan di bulan Suro, tetapi saya lebih percaya pada
tuhan sang pemilik alam semesta ini, dengan begitu saya berani-berani
aja melaksanakan pernikahan anak saya pada bulan tersebut, tidak
banyak juga masyarakat yang berani melaksanakan pernikahan pada
bulan Suro, di karenakan masih kentalnya adat dan kepercayaan
masyarakat terhadap larangan pernikahan di bulan Suro, sebab
pernikahan yang di laksankan di bulan Suro akan mendatangkan
kesialan, masalah bertubi-tubi, dan masalah hidup tanpa henti. Oleh
karena itu masih banyak masyarakat jawa yang menghindari
pernikahan pada bulan Suro yang penuh hal-hal mistis ini, terlebih
juga masih menghargai para leluhur, tambahnya.54
Telah dijelaskan bagaimana larangan nikah pada bulan Suro
yang masih diyakini oleh masyarakat Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan, pada dasarnya masyarakat Desa
Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan adalah
masyarakat yang majemuk dan modern, tidak tertinggal dengan
masyarakat yang lainnya, tetapi soal budaya Jawa, dan hal-hal yang
berbau mistis atau klenik masyarakat Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan masih sangat mempercayai.
Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan
kegiatan-kegiatan yang lainnya juga masih menggunakan budaya
budaya Jawa, sebagai contoh kelahiran anak, khitanan, membangun
rumah, bahkan sampai pernikahan. Dalam budaya Jawa setiap orang
yang akan mempunyai kegiatan besar yang melibatkan orang banyak
harus dihitung dari segala sesuatunya untuk menentukan hari yang

53
Wawancara dengan Bapak Rokhim, Modin Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan, 1 Mei 2023.
54
Wawancara, dengan Bapak Waluyo, Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan, 1 Mei 2023.
42

baik, dengan tujuan untuk menghindari sengkolo yang tidak kita


inginkan, sama halnya dengan pernikahan. Seseorang yang akan
menikahkan anaknya harus mencari hari yang terbaik dari hari yang
baik, dengan cara menghitung tanggal, bulan, tahun, hari nahas, dari
calon laki laki, perempuan dan kedua orang tua masing-masing,
dengan tujuan untuk terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan
(musibah) selama acara maupun setelah acara dilaksanakan.

Di dalam hukum adat Jawa mempunyai hukum yang sudah


disepakati dan dibukukan ada juga yang belum dibukukan. Untuk
kasus larangan praktik pada bulan Suro menurut masyarakat Desa
Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan adalah hukum
adat yang belum dibukukan, atau dengan istilah lain kebiasaan
masyarakat dalam menyikapi hal-hal yang pernah terjadi sebelumnya
untuk dijadikan dasar hukum Jawa, atau masyarakat menyebutnya
dengan Ilmu Titen (ilmu hafalan).

Dalam kasus larangan praktik nikah pada bulan Suro


masyarakat berpedoman pada Ilmu Titen yang mereka pelajari dan
diterapkan untuk menjadi landasan hukum selanjutnya, karena
sebelumnya pernah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (musibah),
setelah melaksanakan nikah pada bulan Suro, dan dengan dasar inilah
masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan
melarang adanya praktik nikah pada bulan Suro, yang menjadi faktor
utama masyarakat masih mempercayai hal-hal takhayul dan mistik
adalah segi pendidikan, terutama pendidikan agama, dilihat dari data
di Bab III Pendidikan Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan masih rendah. Dari sinilah akar masalah utama
seseorang yang mempunyai kurangnya pengetahuan ilmu agama maka
akan dekat dengan kekufuran

Dari kasus seperti inilah para tokoh masyarakat Desa Selo


Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan mengajak penulis
43

untuk sama-sama merubah pola pikir (mindset) masyarakat yang ada


sekarang. Dari paparan di atas penulis menyimpulkan mindset
masyarakat tentang larangan menikah pada bulan Suro yang terjadi di
Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan pada
dasarnya masyarakat masih mempercayainya bahkan sangat yakin
apabila dilaksanakan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dan
masyarakat masih menggunakan hitungan-hitungan Jawa apabila akan
melaksanakan gawe atau hajat besar termasuk pernikahan.

Pendapat tokoh masyarakat Desa Selo terkait pantangan


menikah di bulan Suro sebenarnya boleh-boleh saja. Karena memang
di dalam hukum Islam tidak ada aturan mengenai larangan
pernikahan, tetapi sebagian orang jawa masih menjaga dan
menghormati adat istiadat yang telah ada dan sudah turun temurun,
sebagaimana yang dikatakan bapak Kyai Ali Purwadi selaku tokoh
Agama Desa Selo sebagai berikut:

Bapak Kyai Ali Purwadi dalam wawancara penulis


menerangkan bahwa nikah di bulan Suro boleh dikerjakan dan tidak
dikerjakan karena tidak ada dalil yang menerangkan larangan nikah di
bulan Suro, sesungguhnya larangan nikah di ulan Suro bukanlah
larangan, tetapi keyakinan, jadi tergantung pada pribadi masing-
masing, jika yakin dan pasrah kepada Allah maka itu baik, tetapi jika
penuh keraguan lebih baik jangan melaksanakan nikah di bulan
Suro.55

Sedangkan wawancara dengan Bapak Selamet, beliau


berpendapat bahwa masyarakat sejak zaman dahulu sudah
mempercayai bahwa mengadakan hajatan seperti pernikahan itu
umurnya tidak akan lama, walaupun masyarakat percaya bahwa
apapun yang berada di muka bumi semuanya milik Allah, entah itu

55
Wawancara dengan Bapak Kyai Ali Purwadi, Tokoh agama Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan, 1 Mei 2023.
44

berupa umur, hidup, mati dan rizki. Semakin memperkuat dasarnya,


beliau mengatakan bahwa baru ada kejadian warga masyarakatnya
menikah di bulan Suro, dan ternyata umur pernikahannya tidak lama
atau berpisah. Oleh sebab itu juga yang menjadi penyebab warga
masyarakat tidak berani melakukan pernikahan di bulan Suro.56

Masyarakat Desa Selo, pada awalnya tidak meyakini akibat


yang ditimbulkan dari pantangan pernikahan di bulan Suro. Akan
tetapi setelah benar terjadi kasus pernikahan pada hari tersebut yang
dilakukan oleh salah satu warga desa setempat, yang nyata terjadi
adalah hal-hal negatif dalam perjalanan hidup berumah tangganya.
Bermula dari kejadian ini masyarakat lantas niteni (menandai) bahwa
ada akibat yang akan menimpa pernikahan, apabila tidak
mengindahkan pantangan ini.

Seperti yang diungkapkan oleh Pak Waluyo bahwa pernah ada


dua orang keluarga di dusunnya yang menikah di bulan Suro dan
setelah membina rumah tangga ternyata kesialan menimpa mereka.
Beliau lebih lanjut menyampaikan :

Sebenarnya saya tahu larangan syirik dalam agama Islam, karena itu
saya diajari oleh orangtua untuk tidak percaya dan yakin selain kepada
Allah. Tapi mbak, saya ini menandai, ada tetangga saya yang menikah
pada bulan Suro, hidupnya tidak berkah, yang satu cerai yang satu
stres.57
Hal tersebut di atas juga dikofirmasi oleh Bapak Rokhim,
menurut beliau pada dasarnya, semua adalah milik Allah dan akan
kembali ke Allah, karena itu segala apa yang terjadi pada kita adalah
kehendak Allah dan itu bukan kebetulan, tetapi menghormati tradisi
adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap orang, hal ini tidak
bisa ditawar bagi orang Jawa yang tahu adat istiadat serta hakikat

56
Wawancara dengan Bapak Selamet, Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grbogan, 1 mei 2023.
57
Wawancara dengan Bapak Waluyo, Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan, 1 Mei 2023.
45

tawadu’ dalam tradisi Jawa, karena itu, bila ada yang melakukan
pernikahan di bulan Suro adalah sah dan tidak haram. Tetapi,
pernikahan tersebut tidak baik dan tidak etis menurut orang Jawa.
Adapun kasus yang telah terjadi, bisa jadi hal tersebut dikarenakan
tidak adanya iktikad baik untuk menghormati tradisi yang telah ada.

Tetapi terkadang memang ada sebagian masyarakat yang


masih belum paham dan tidak menyandarkan segala apa yang terjadi
kepada takdir Allah. Hal itu dikarenakan perbedaan tingkat
pemahaman keagamaan masing-masing terhadap kejadian yang
berkaitan dengan pantangan pernikahan ini.

Berdasarkan informasi yang didapat, diketahui bahwa tidak


ada implikasi yang konkret yang diyakini oleh masyarakat setempat
terhadap pantangan pernikahan di bulan Suro ini, tetapi berdasarkan
beberapa kasus yang telah terjadi masyarakat setempat niteni
(menandai) bahwa yang pernah menikah pada bulan tersebut
mendapat kesialan.

2. Pandangan hukum islam mengenai pernikahan yang dilaksanakan di


bulan Suro di Desa Selo

Salah seorang pemuka agama (Kyai) Desa Selo Kecamatan


Tawangharjo Kabupaten Grobogan (Bapak Kyai Ali Purwadi)
berpendapat pada dasarnya beliau memperbolehkan praktik nikah
pada bulan Suro, karena dalam al-Quran dan Hadist tidak disebutkan,
seseorang menikah dikatakan sah apabila telah melengkapi syarat sah
nikah dan rukun nikah.

Disinggung soal kepercayaan masyarakat tentang akan terjadi


musibah terhadap keluarga yang melakukan nikah pada bulan Suro,
berbeda dengan Bapak Rokhim, beliau menentang keras, dan
memberikan pekerjaan rumah kepada penulis untuk bersama sama
meluruskan pandangan masyarakat Desa Selo Kecamatan
46

Tawangharjo Kabupaten Grobogan, agar tidak terjerumus dalam hal-


hal yang bisa mengurangi kadar keimanan kita terhadap Allah Swt,
bahkan bisa mengantar kita ke perbuatan musyrik.58

Hal senada dikatakan oleh Bapak Riyanto, beliau tidak


sependapat dengan masyarakat, beliau tidak melarang adanya praktik
nikah pada bulan Suro, dan beliau sangat-sangat tidak sependapat
dengan masyarakat, bahwa mereka beranggapan musibah yang
dialami oleh salah satu keluarga yang melaksanakan praktik nikah
pada bulan Suro ada kaitanya, karena mereka telah melanggar apa
yang telah masyarakat yakini, bahwasanya pernikahan saya dulu saya
lakukan pada bulan Suro dan itu tidak terjadi apa-apa pada saya
maupun keluarga saya, dan sampai sekarang umur pernikahan saya
sama istri saya sudah hampir 25 tahunan dan sekarang sudah
mempunyi 3 anak, bukannya saya menantang atau tidak menghormati
tradisi jawa, tetapi saya masih mempunyai iman yang cukup di
bandingankan dengan adat kebiasaan masyarakat di sini.59

Sedangkan Ibu Prihatini menambahi tanggapan sang suami


mengenai pernikahan di bulan Suro, beliau mengatakan :

“Saya memang bukan asli orang jawa ya mas, tetapi saya


sudah lama tinggal di jawa, karena saya dari lulus sekolah langsung
merantau di jawa untuk bekerja di jawa, saya tidak begitu paham
tentang aturan-aturan mengenai larangan pernikahan di bulan Suro,
tetapi saya sangat menghargai aturan-aturan yang di buat para leluhur
tanah jawa, dan saya berani melakukan pernikahan karena saya
percaya pada allah SWT sang pemilik kehidupan ini.”60
Disinggung soal hukum nikah pada bulan Suro dan hukum
masyarakat mempercayai hal-hal yang mengandung unsur syirik
beliau berpendapat hukum nikah pada bulan Suro sah-sah saja dan

58
Wawancara dengan Bapak Kyai Ali Purwadi, Pemuka agama Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan, 1 Mei 2023.
59
Wawancara dengan Bapak Riyanto, Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan, 1 Mei 2023.
60
Wawancra dengan Ibu Prihatini, Masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten grbogan, 1 Mei 2023.
47

beliau mengatakan bahwa yang dilakukan masyarakat Desa Selo


Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan dalam agama disebut
Urf, Urf adalah adat kebiasaan apa-apa yang dibiasakan masyarakat
dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun
perbuatan.

Dalam kajian ushul fiqh, tradisi (`urf) merupakan salah satu


sumber hukum Islam yang diperselisihkan. `Urf adalah sesuatu yang
sudah dikenal bersama dan dijalankan oleh masyarakat, baik berupa
perbuatan (`amali) ataupun perkataan (qouli). Jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia `urf bermakna tradisi.

Dalam hukum Islam, dasar hukum penggunaan `urf


disandarkan kepada beberapa dalil diantaranya firman Allah dalam
surat Al-A`raf ayat 199:

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


kَ ِ‫ف َوَأ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهل‬
‫ين‬
Artinya: “Jadilah kamu pemaaf, suruhlah orang mengerjakan
adat kebiasaan yang baik dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.
(QS. Al-A`raf: 199).”

Selain Firman Allah, dasar hukum penggunaan `urf juga


terdapat di dalam hadits Nabi, yaitu:

‫َما َرا َءهُ ْال ُم ْسلِ ُم ْو َن َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن‬


Artinya : “Sesuatu yang oleh umat islam dianggap baik, maka
menurut Allah juga baik.” (HR. Imam Ahmad).

Sedangkan Urf sendiri ada dua macam yaitu Urf Shahih dan
Urf Fasid. Urf Shahih adalah adat kebiasaan masyarakat yang tidak
melanggar syari’at agama, sedangkan Urf Fasid adalah adat kebiasan
masyarakat yang melanggar dari ketentuan masyarakat, jadi
48

masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan


yang mempercayai bahwa seseorang yang melakukan praktik nikah
pada bulan Suro akan mendapatkan musibah di salah satu keluarga
tersebut hukumnya haram ditanya soal hukum baku soal larangan
nikah pada bulan Suro beliau berpendapat tidak ada, karena itu
hanyalah kebiasaan masyarakat, karena mereka menghafalkan hal-hal
yang terjadi setelah orang melakukan praktik nikah pada bulan Suro
pasti akan mendapatkan musibah, di dalam budaya Jawa ada hal-hal
yang telah disepakati atau dibukukan dan ada pula yang tidak
dibukukan atau istilah lain Ilmu Titen atau ilmu Tetenger, dalam Islam
pengertian nikah merupakan hal yang menghalalkan hubungan suami
istri dalam menciptakan kehidupan sakinah, mawaddah wa rahmah.
Pernikahan merupakan perjanjian sejati antara suami istri untuk hidup
yang lebih layak dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa pernikahan


merupakan dasar keikhlasan untuk menerima menjadi pasangan suami
istri, yang saling menolong dan saling menghormati diantara
keduanya, dikatakan ikhlas, pernikahan merupakan perjalanan hati
seseorang dalam melangkah menuju kehidupan yang layak, mapan
dan tenteram. Selain itu pada dasarnya bahwa pernikahan itu baik
dilaksanakan kapanpun dan di manapun selama syarat dan rukun
nikah terpenuhi, dan dilakukan dalam satu majlis. Aturan yang telah
dikemukakan oleh Islam sudah jelas, terang dan tegas. Jelas karena
aturan pernikahan dijelaskan dengan contoh-contoh secara mendetail,
syarat, rukun, sebab, dan akibat, efek juga disebutkan. Terang karena
diungkapkan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis, juga
dipahamkan dengan implementasi Ijma’, Qiyas serta kitab-kitab yang
berhubungan. Tegas karena aturan yang sudah ada tidak boleh diubah-
ubah menurut kemauan orang-orang kecuali ada dalil-dalil yang
membenarkannya. Maka selanjutnya Islam dikatakan sebagai agama
yang sempurna dengan segala aturan-aturan yang ada di dalamnya.
49

Sudah diakui masyarakat dunia bahwa agama yang paling


mengedepankan hak asasi manusia, menjunjung tinggi martabat
berkeluarga, bermasyarakat serta bernegara adalah islam, andaikan
terjadi peristiwa-peristiwa yang mencelakakan orang lain dan
masyarakat dengan dalih Islam, itu bukanlah Islam, akan tetapi oknum
yang tidak tahu hakikat Islam. Sejak dulu kala Islam telah
membahagiakan bagi para pemeluknya, lihatlah mulai zaman Nabi
Adam AS dengan nama tauhid, sampai pada Nabi akhir zaman Nabi
Muhammad SAW.

Semenjak dahulu di berbagai negeri dan bangsa terdapat


anggapan atau kepercayaan bahwa hari bulan atau soal tertentu tidak
baik untuk melangsungkan pernikahan, jika hari atau saat yang
dikatakan tidak baik tidak cocok itu hubungannya dengan keadaan
ruhani atau jasmani kedua mempelai yang bersangkutan misalnya
mereka sedang sakit atau mempelai perempuan sedang dapat haid,
maka hal itu memang masuk akal dan bisa diterima sebab
musababnya, akan tetapi anggapan itu hampir semuanya berdasarkan
takhayul belaka dan tidak ada dasarnya sama sekali. Biasanya orang
beranggapan bahwa hari Selasa adalah hari yang nahas buat
pernikahan anehnya tidak ada seorangpun yang tahu dan bisa
menerangkan mengapa hari itu dikatakan hari nahas (sial), bagi
perkawinan. Di negara baratpun orang tidak dapat menerangkan
mengapa angka tiga belas (13) dianggap angka sialatau angka celaka.
Kalau hari yang dianggap sial itu disebabkan oleh keadaan letak
perbintangan di langit, tidaklah dapat diterima oleh akal sehat bahwa
bintang-bintang jaraknya bermilyar kilo meter di angkasa akan bisa
mempengaruhi kehidupan dan nasib sekian banyak pasangan suami
istri yang berada di atas permukaan bumi ini. Bagaimana mestinya
keyakinan dan pendirian kita dalam hal ini, sudah tentu hal itu tidak
termasuk hari-hari yang memang telah ditentukan hukum agama
sebagai hari-hari yang dilarang bagi umat muslim melakukan
50

pernikahan.

Semua hari adalah baik untuk melakukan pernikahan, Allah


tidak menjadikan hari yang sial di antara hari-hari yang tujuh.
Kecelakaan atau halangan dalam perkawinan jika terjadi bukanlah
karena kesalahan hari, melainkan karena kekhilafan atau tidak ada
persetujuan rohani orang yang melakukan perkawinan itu sendiri.
Dalam syariat Islam tidak ada nas secara khusus, baik Al-Quran
maupun Hadis yang menentukan hari tertentu sebagai hari
disyariatkannya pernikahan, dan tidak ada juga nas yang melarang
untuk menikah pada hari-hari tertentu, masalah teknis seperti itu
diserahkan kepada masing-masing yang bersangkutan dengan hajat
tersebut, setiap orang bisa menetapkan hari yang terbaik untuk
melangsungkan pernikahan berdasarkan maslahat yang ada, karena
pada dasarnya adalah semua hari adalah baik, mubah, boleh
digunakan untuk prosesi pernikahan, tidak ada anjuran hari tertentu
dan tidak ada larangan hari tertentu.

Agama Islam adalah agama yang fleksibel dan mudah


dipelajari serta tidak menyulitkan umatnya, dalam Al-Qur’an jelas
mengatur hukum pernikahan dengan jelas, soal pandangan hukum
Islam terhadap larangan praktek nikah pada bulan Suro, di dalam
hukum Islam tidak ada istilah nikah pada bulan Suro, dan dalam
hukum Islam juga tidak ada yang mengatur soal waktu menikah.

Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu


rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap
perbuatan hukum, sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam
setiap perbuatan hukum. Jika kedua unsur ini tidak terpenuhi maka
perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum. Rukun juga bisa
diartikan dengan sesuatu yang mesti ada sebagai penentu sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan tersebut. Seperti membasuh muka untuk wudhu
51

dan takbiratul ihram untuk shalat, atau adanya calon pengantin laki-
laki dan perempuan dalam perkawinan.

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat,
atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus
beragama Islam. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi
rukun dan syarat. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan
hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung
arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Dalam hukum Islam dengan jelas seseorang dikatakan sah


pernikahannya apabila syarat dan rukun terpenuhi, secara garis
besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:

1. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki


yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan
merupakan orang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi
untuk sementara maupun untuk selama-lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Adapun secara rinci masing-masing syarat sah pernikahan yaitu:

a. Syarat calon pengantin pria:


1. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
2. Jelas orangnya.
3. Tidak terdapat halangan perkawinan.
4. Beragama Islam.
5. Calon mempelai laki-laki itu tahu betul calon istrinya halal
52

baginya.
6. Tidak karena paksaan.
7. Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin wanita:
1. Beragama Islam
2. Jelas bahwa ia perempuan.
3. Jelas orangnya.
4. Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Syarat-syarat wali
1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya
5. Berakal dan adil (tidak fasik).
d. Syarat-syarat saksi
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa dan berakal.
e. Ijab qabul syarat-syaratnya
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata
nikah dan tazwij
4. Antara ijab dan qabul bersambungan
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. Orang yang berkait ijab qabul tidak sedang ihram haji atau
umrah
7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat
orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari
53

mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.

Adapun rukun nikah:

1. Mempelai laki-laki
2. Mempelai perempuan
3. Adanya wali nikah
4. Adanya Saksi
5. Ijab Qabul
6. Mahar

Dalam kaitannya larangan nikah pada bulan Suro dengan


pandangan hukum Islam itu dilihat dari waktu. Dalam praktik nikah
pada bulan Suro yang dipermasalahkan oleh masyarakat Desa Selo
Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan adalah menikah dalam
waktu bulan Suro, sedangkan dalam hukum Islam tidak menyebutkan
larangan menikah pada waktu bulan Suro, jika sudah memenuhi
syarat dan rukun pernikahan, maka pernikahan itu sah.

Pandangan hukum Islam terhadap larangan menikah pada


bulan Suro yang terjadi di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo
Kabupaten Grobogan larangan tersebut tidak bisa dijadikan hukum,
karena dalam syariat islam tidak ada nas secara khusus, baik Al-
Quran maupun Hadis yang menentukan hari tertentu sebagai hari
disyariatkannya pernikahan, dan tidak ada juga nas yang melarang
untuk menikah pada hari-hari tertentu, dalam artian praktik
menikah pada bulan Suro yang terjadi di Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan itu sah ketika syarat dan rukun
perkawinan dalam aturan hukum Islam dipenuhi oleh masing-
masing mempelai, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.

Dari uraian di atas penulis bisa mengambil kesimpulan


pandangan hukum Islam terhadap larangan menikah pada bulan
Suro yang terjadi di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
54

Grobogan larangan tersebut tidak bisa dijadikan hukum, karena


dalam syariat islam tidak ada nas secara khusus, baik Al-Quran
maupun Hadis yang menentukan hari tertentu sebagai hari
disyariatkannya pernikahan, dan tidak ada juga nas yang melarang
untuk menikah pada hari-hari tertentu dalam artian praktik
menikah pada bulan Suro yang terjadi di Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan itu sah ketika syarat dan rukun
perkawinan dalam aturan hukum Islam dipenuhi oleh masing-
masing mempelai, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.

Demikianlah pendapat pendapat tokoh masyarakat dan


masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan mengenai larangan nikah pada bulan Suro, dengan
melihat latar belakang masyarakat yang berbeda, maka bisa kami
tarik kesimpulan dan kami garis bawahi sebagai berikut:

1) Bapak Rokhim berpendapat, beliau tidak melarang praktik


nikah pada bulan Suro, karena apapun hukum Islam tidak
melarangnya, tetapi beliau juga menghimbau kepada
masyarakat yang tidak mempercayai adanya larangan
praktik nikah pada bulan Suro untuk menghormati
keyakinan mayarakat yang sudah lama mereka yakini, demi
terciptanya suasana yang kondusif dalam bermasyarakat.
2) Bapak Kyai Ali Purwadi berpendapat tidak melarang
adanya nikah pada bulan Suro, karena seseorang menikah
dikatakan sah apabila syarat dan rukun nikah terpenuhi, dan
beliau menghimbau kepada masyarakat untuk merubah
pandangan tentang keyakinan terhadap hal-hal yang berbau
mistis dan takhayul, karena bisa merusak kualitas iman kita
kepada Allah SWT.
3) Bapak Riyanto berpendapat tidak melarang adanya praktik
nikah pada bulan Suro karena dalam hukum Islam tidak
55

diaturnya, dan beliau juga berpendapat yang dilakukan oleh


masyarakat Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan adalah Urf Fasid (adat kebiasan masyarakat yang
melanggar dari ketentuan masyarakat), dan itu berbahaya
bagi kedepannya.
4) Bapak Selamet berpendapat melarang adanya praktik nikah
pada bulan Suro, karena dalam budaya Jawa kita harus
menghitung segala sesuatunya untuk melaksanakan gawe
besar, termasuk pernikahan, yang dilakukan masyarakat
Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan
tersebut adalah menghormati ilmu titen (hafalan) atau
kejadian kejadian yang sudah ada.
5) Bapak Waluyo sependapat dengan Bapak Selamet yang
masih meyakini dengan adanya musibah yang akan di
terima bagi yang melaksanakan praktik Nikah pada bulan
Suro, karena apapun alasannya kita harus menghormati
keyakinan masyarakat sebelum kita.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah penulis mengkaji, mengumpulkan, merumuskan dan


menganalisis data-data penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Hukum melaksanakan pernikahan di bulan Suro menurut adat di Desa
Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan, pada dasarnya
masyarakat masih mempercayainya bahkan sangat yakin apabila
dilaksanakannya pernikahan pada bulan Suro akan terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan seperti perceraian atau tertimpa musibah, dan
masyarakat juga masih menggunakan hitungan-hitungan Jawa apabila
akan melaksanakan gawe atau hajat besar termasuk pernikahan.
2. Hukum melaksanakan pernikahan yang dilakukan di Desa Selo
Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan menurut hukum islam,
pandangan hukum Islam terhadap larangan menikah pada bulan Suro
yang terjadi di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan tidak bisa dijadikan hukum, karena dalam syariat Islam
tidak ada nas secara khusus, baik didalam Al-Quran maupun Hadis
yang menentukan hari tertentu sebagai hari disyariatkannya
pernikahan, dan tidak ada juga nas yang melarang untuk menikah pada
hari-hari tertentu dalam artian praktik menikah pada bulan Suro yang
terjadi di Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan itu
sah ketika syarat dan rukun perkawinan dalam aturan hukum Islam
dipenuhi oleh masing-masing mempelai, baik dari pihak laki-laki
maupun perempuan.
B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian, penggalian informasi dan

56
57

mengetahui tentang pelaksanaan menikah pada bulan Suro di Desa Selo


Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan itu, maka berawal dari sini
penulis perlu memberikan beberapa saran, yang ditujukan kepada seluruh
elemen masyarakat antara lain:

1. Masyarakat yang menganut hukum adat, khususnya Desa Selo


Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan diharapkan agar lebih
menambah wawasan pengetahuannya dengan berbagai cara dalam hal-
hal tertentu terkait dengan hukum, apakah hukum perkawinan, wakaf
maupun waris, dalam hal ini praktik menikah pada bulan Suro yang
dinilai sebelah mata oleh sebagian masyarakat Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan tersebut. Sebab kalau tidak
dipupuk atau dibekali dengan ilmu pengetahuan, maka akan terjadi
keributan satu sama lain yang tidak ada ujungnya dan melaksanakan
sesuai dengan ajaran hukum Islam.
2. Para tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat lainnya yang
berpengaruh dalam pengambilan keputusan di Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan itu hendaknya mengadakan
agenda-agenda sosial-keagamaan, berupa penyuluhan-penyuluhan
hukum keagamaan atau hukum nasional yang bersinergi dengan
lembaga Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tawangharjo, para
akademisi hukum atau instansi lainnya terkait dengan persoalan itu.
3. Peneliti, ilmuwan dan kalangan manapun yang selalu melakukan
pengkajian-pengkajian berorientasi keilmuan hendaknya melakukan
penelitian, pengembangan dan pengabdian masyarakat, guna
memberikan arahan atau bimbingan keilmuan kepada masyarakat
awam, khususnya Desa Selo Kecamatan Tawangharjo Kabupaten
Grobogan agar tidak terjadi salah persepsi dalam mengartikan sebuah
ritual-ritual tertentu, seperti menikah pada bulan Suro itu.

Anda mungkin juga menyukai