Anda di halaman 1dari 25

TRADISI PERNIKAHAN DENGAN

KESETARAAN KETURUNAN DALAM


KELUARGA PARA MAS DI SURABAYA DAN
SIDOARJO
Rohmat Hidayatulloh
Jl. Sunan Ampel N0.28 Rt.02/Rw.01 Ds.Wadak Kidul,
Kec.Duduk Sampeyan-Gresik. rohmathidayat1607@gmail.com
Abstract: This is a field research which aims to determine: (1) How the equality of
marriage within the descendants of family of Mas in Sidosermo, Wonocolo, Surabaya
and Berbek, Waru, Sidoarjo; (2) and how the equality of marriage within the
descendants of family of Mas in Sidosermo, Wonocolo, Surabaya and Berbek, Waru,
Sidoarjo under the Islamic law perspective. Based on the interview, it can be stated
that most of the Mas family in Sidosermo, Wonocolo, Surabaya strongly consider the
equality of the candidate of husband and wife in terms of family and religion. This, for
the Mas family, is a very basic thing to be fulfilled. This is because they believe that
they are the descendants of the Messenger of Allah. Unlike in Berbek, the wedding
tradition for the Mas in Berbek does not currently take into account of nasab from
prospective husband or wife. The most important things are there is a match between
bride and groom and they have a feasible science and a good moral.
Keywords: Wedding tradition, Islamic Law, equality.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Bagaimana
pernikahan kesetaraan keturunan di keluarga para Mas Sidosermo
Kecamatan Wonocolo Surabaya dan Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo.
2) Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pernikahan dengan
kesetaraan keturunan dikeluarga para Mas Sidosermo Kecamatan
Wonocolo Surabaya dan Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo. Jenis
penelitian ini adalah Field Research. Berdasarkan hasil wawancara yang
diperoleh, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar keluarga Mas di
kelurahan Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya sangat
mempertimbangkan kekufuan calon suami dan calon istri dalam hal
nasab dan agama. Menjadikan nasab dan agama sebagai kriteria kafaah
bagi keluarga para Mas merupakan hal yang sangat pokok yang harus
dipenuhi. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan keturunan
Rasulullah saw. Berbeda dengan di Berbek, tradisi pernikahan para Mas
di Berbek saat ini tidak memperhitungkan nasab dari calon suami atau
istri. Yang paling terpenting adalah ada kecocokan diantaranya, ilmu
agama dan akhlaknya. Pada generasi saat ini kriteria kafaah di Berbek
adalah agama. Keluarga Mas di Berbek hanya mengutamakan kualitas
agamanya karena orang yang mempunyai agama yang bagus, otomatis dia

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN:2089-7480
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

sholeh, dan berakhlak mulia dan tidak ada kekhususan dalam segi nasab
karena itu merupakan prinsip zaman dahulu yang telah berubah di zaman
sekarang.
Kata Kunci: tradisi pernikahan, Hukum Islam, Kafaah .
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan
antara satu dengan yang lain, saling tolong-menolong dan saling
memberi. Selain itu, manusia merupakan makhluk biologis dan
memiliki hasrat serta minat untuk mengembangkan keturunan
sebagai tunas atau generasi penerus yang akan melanjutkan garis
keturunannya.1 Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah Swt.
hidup secara berpasang-pasangan dari jenis kelamin laki-laki dan
perempuan yang diikat oleh sebuah pernikahan.2
Pernikahan berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu nakaha
yang memiliki 3 macam arti. Pertama, arti menurut bahasa adalah
berkumpul. Kedua, arti menurut ahli ushul fiqh, yaitu terbagi
menjadi beberapa golongan. Menurut golongan Hanafiyah, nikah
menurut arti aslinya adalah setubuh, dan menurut arti majas adalah
akad yang dijadikan halal hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan. Golongan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa nikah
menurut arti aslinya adalah akad yang menjadikan halal hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan, dan arti menurut majas
adalah setubuh. Sedangkan menurut Abū Al-Qasim Az-Zajjad,
Imam Yahya, Ibn Hazm, dan sebagian ahli ushul dari sahabat Abu
Hanifah adalah gabungan antara akad dan setubuh. Ketiga, nikah
menurut ulama fikih, nikah adalah akad yang diatur oleh agama
untuk memberikan kepada laki-laki hak memiliki farji (kemaluan)
wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan
primer.3
Pernikahan merupakan cara yang dipilih oleh Allah Swt.
Sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak setelah masing-

1 M. Al-Fatih Suryadilaga, Membina Keluarga Mawaddah Warahmah Dalam Bingkai


Sunnah Nabi, , (Yogyakarta: PSW IAIN dan f.f, 2003), 4.
2 Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,

(Bandung: Pustaka Setia, 2000), 17.


3Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003), 16.

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 27
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam


mewujudkan tujuan utama pernikahan, yakni terciptanya keluarga
sakinah yang diliputi mawaddah wa rah{mah, yang bersifat kekal atau
sekali seumur hidup. Tujuan utama tersebut dapat tercapai apabila
tujuan yang lain dapat terpenuhi, di antaranya adalah untuk
memenuhi kebutuhan biologis, tujuan reproduksi, menjaga diri,
dan ibadah.4 Oleh sebab itu pernikahan perlu persiapan yang
matang karena pernikahan tidak serta merta hanya berlaku satu
tahun atau beberapa tahun saja sehingga memerlukan banyak
persiapan, mulai dari aspek kesiapan fisik, psikis, ekonomi, agama,
kemampuan dalam beradaptasi dan penyesuaian dengan keluarga
masing-masing pasangan. Dengan demikian, dalam memilih
pasangan baik calon suami ataupun calon istri haruslah
memperhatikan faktor yang dapat terciptanya kebahagiaan bagi
calon pasangan suami istri.5
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam menempuh
pernikahan adalah menentukan kecocokan atau keserasian
pasangan agar dapat menjamin keselamatan dari kegagalan atau
kegoncangan dalam berumah tangga agar tercapai tujuan
pernikahan. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah
mencari calon istri atau suami yang baik. Upaya tersebut bukanlah
suatu kunci, namun keberadaannya dalam rumah tangga akan
menentukan baik tidaknya membangun rumah tangga.
Salah satu unsur sumber kebahagiaan dalam pembinaan
rumah tangga ini adalah adanya kufu‟ (seimbang) antara suami dan
istri. Kufu berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud
kufu dalam perkawinan laki-laki sebanding dengan calon isterinya,
kesamaan dalam kedudukannya dalam tingkat sosial serta dalam
akhlak dan kekayaan. Kufu ini tidak menjadi syarat perkawinan,
tetapi jika seorang perempuan sholihah dikawinkan dengan
seorang laki-laki yang fasid, maka ia berhak menuntut pembatalan
perkawinan dengan alasan tidak kufu Berdasarkan data tentang
pandangan masyarakat terhadap kafaah dalam sebuah perkawinan,

4Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Pernikahan I),
(Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004), 38.
5 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia,

1999), 51.

AL-HUKAMA
28 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

dapatlah dikatakan bahwa keluarga Para Mas di Kelurahan


Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya dan di Kelurahan
Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo yang menganggap perlu adanya
kafaah dalam perkawinan, khususnya dalam hal nasab.
Kehormatan calon suami istri juga diukur dari nasab
keluarganya. Apakah ia datang dari keluarga para Mas Juga atau
tidak. Budaya Para Mas misalnya sangat mempertimbangkan bibit,
bebet, dan bobot saat mencari jodoh. Dalam konteks ini tradisi
tersebut sejalan dengan Islam. Apakah ia berasal dari keluarga Para
Mas juga atau tidak. Bila berasal dari bibit (nasab) para Mas. Maka
diharapkan anak keturunannya bisa mempertahankan keturunan
berdasarkan kastanya.
Menjadikan nasab sebagai ukuran kemuliaan dan idealisasi
seseorang akan membuat kita berhati-hati dalam bertindak, agar
anak keturunan kita nantinya tetap dihormati dan memiliki nasab
yang baik dalam pandangan masyarakat.
Salah satu permasalahan untuk mencari pasangan yang baik
adalah masalah kafaah atau bisa disebut kufu di antara kedua
mempelai. Kafaah atau kufu berarti sederajat, sepadan atau
sebanding. Adapun yang dimaksud dengan kufu dalam pernikahan
adalah laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam
akhlak serta kekayaan. Jadi esensi dalam hal kafaah adalah
keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam
agama yaitu akhlak dan ibadah.6Sebab jika kafaah diartikan
persamaan dalam hal persamaan harta atau kebangsawanan, maka
akan terbentuk kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan
adanya kasta karena manusia di sisi Allah Swt. adalah sama, hanya
ketakwaannya saja yang berbeda. Hal ini sesuai dengan firman
Allah Swt. dalam Alquran yang artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa

6Ibid., 50.

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 29
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha


Mengenal.
Dari keterangan ayat di atas, dapat dipahami bahwa yang
membedakan antara manusia satu dengan lainnya menurut
pandangan Allah adalah ketakwaan manusia itu sendiri, bukan
dalam hal kebangsawanan, harta, keturunan maupun parasnya.
Kesetaraan dalam pernikahan merupakan suatu hal yang
sangat berpengaruh dalam keserasian hubungan antara suami isteri.
Keserasian hubungan suami isteri tersebut selain ditentukan oleh
calon suami isteri juga ditentukan oleh status keluarga dari masing-
masing calon suami isteri. Kesetaraan dalam memilih jodoh dalam
Islam merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum
pernikahan dilangsungkan, karena setiap manusia memiliki
pandangan yang berbeda dalam memilih pasangan hidupnya.
Dengan adanya kafaah akan ada keseimbangan antara calon suami
dan isteri sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan pernikahan.7 Kafaah dianggap penting dalam
pernikahan karena ini menyangkut kelangsungan hidup antara
pasangan suami istri. Oleh karena itu dalam artikel ini peneliti
mendalami tentang tinjauan hukum islam terhadap tradisi
pernikahan dengan kesetaraan keturunan yang terjadi di keluarga
para Mas Berbek Dalem Kecamatan Waru Sidoarjo dan Sidosermo
Kecamatan Wonocolo Surabaya.
Konsep Kafaah dalam Hukum Islam
Kafaah atau kufu, menurut bahasa artinya setaraf, seimbang
atau keserasian atau sebanding. Yang dimaksud dengan kafaah atau
kufu dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu
keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan.8
Namun para ulama Imam Mazhab berbeda pendapat dalam
memberi pengertian kafaah dalam perkawinan. Perbedaan ini
terkait dengan perbedaan ukuran kafaah yang mereka gunakan.
Menurut ulama Hanafiyah, kafaah adalah persamaan laki-laki

7 Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi…, 212.


8 Ibid., 96.

AL-HUKAMA
30 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

dengan perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai


ketakwaan dan harta.9 Dan menurut ulama Malikiyah, kafaah
adalah persamaan laki-laki dengan perempuan dalam agama dan
selamat dari cacat yang memperoleh seorang perempuan untuk
melakukan khiyar terhadap suami.10
Sedangkan menurut mazhab Syafii, kafaah adalah persamaan
suami dengn istri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik
dalam hal agama, nasab, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat
yang memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan
khiyar terhadap suami.11 Dan menurut ulama Hanabillah, kafaah
adalah persamaan suami dengan istri dalam nilai ketakwaan,
pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.12
Jadi, tekanan dalam hal kafaah adalah keseimbangan,
keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama yaitu
akhlak dan ibadah. Sebab apabila kafaah diartikan dengan
persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti
terbentuknya kasta, sedang dalam Islam tidak dibenarkan adanya
kasta, karena manusia disisi Allah Swt adalah sama. Hanya
ketakwaannyalah yang membedakannya.13
Sifat kafaah mengandung arti sifat yang terdapat pada
perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan
harus ada pada laki-laki yang mengawininya. Penentuan hak kafaah
itu ditentukan oleh perempuan yang akan kawin sehingga bila dia
akan dikawinkan oleh walinya dengan orang yang tidak se-kufu
dengannya, dia dapat menolak atau tidak memberikan izin untuk
dikawinkan oleh walinya. Sebaliknya dapat dikatakan sebagai hak
wali yang akan menikahkan sehingga bila si anak perempuan kawin
dengan laki-laki yang tidak se-kufu, wali dapat mengintervensinya
yang untuk selanjutnya menuntut pencegahan berlangsungnya
perkawinan itu. 14
9 Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh „ala Al-Mazjahib Al-Arba‟ah, Juz 4, (t.tt:
t.p, t.t), 53.
10 Ibid., 56-57.
11 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Juz 9, (t.tt: t.p, t.t), 6747.
12 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah..., 4.
13 Slamet Abidin, Fiqh Munakahat 1..., 51.
14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Kafaah
(Kesetaraan)Dalam Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Grafika, 2011), 140.

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 31
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Masalah kafaah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran


adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan,
pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Seorang lelaki yang sholeh
walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan
perempuan yang berderajat tinggi. Laki-laki yang memiliki
kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang
memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki
yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan
perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki muslim dan dapat
menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari
pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan.15
Selain itu, ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari
pihak perempuannya. Akan tetapi jika laki-lakinya bukan dari
golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti tidak se-kufu dengan
perempuan yang salihah. Bagi perempuan salihah jika dikawinkan
oleh bapaknya dengan lelaki fasik kalau perempuannya masih gadis
dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut
pembatalan.16
Adapun hal-hal yang dianggap sebagai kriteria kafaah antara
lain sebagai berikut:17
1. Keturunan (nasab)
2. Merdeka
3. Beragama Islam
4. Pekerjaan
5. Kekayaan
6. Tidak cacat
Kufu diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai
akad nikah terjdi kekurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu
dan tidak membatalkan apa yang sudah terjadi, serta tidak
mempengaruhi hukum akad nikah, karena syarat-syarat pernikahan
hanya diukur ketika berlakunya akad nikah.18

15 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat..., 98.


16
Ibid., 96.
17 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia,

1999), 55.
18 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih..., 62.

AL-HUKAMA
32 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Sejarah Para Mas di Sidosermo dan Berbek


Sejarah Mas di Sidosermo dan Berbek bermula dari Sayid Ali
Akhbar Basyaiban dan Sayid Muhamad Baqir Basyaiban yang
konon beliau termasuk keturunan dari orang Arab. Al-kisah bahwa
ada seorang pemuda gagah yang berdarah Arab datang dari
Cirebon ke Yaman, yakni kampung halamannya sekitar
pertengahan abad 16 M. Ketika itu banyak orang-orang Arab yang
bermigrasi ke tanah Jawa untuk berniaga, berdakwah menyebarkan
agama Islam seperti yang dilakukan pemuda Arab ini. Nama dari
pemuda Arab tersebut adalah Sayid Abdurrahman Basyaiban.
Beliau adalah seorang Sayid keturunan Rasulullah yang bergelar
Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid
Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim,
Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti.19
Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban)
karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid
Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak
itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah (mengasingkan diri)
untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah
sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia
tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun
yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang
menjulukinya Syaiban (yang beruban).20
Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau
Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon,
Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri
Maulana Sultan Hasanuddin. Putri bangsawan itu juga masih
keturunan Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari pasangan dua
keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman,
Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif
Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga
ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa
yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati
19 Kang Hafidz, Wawancara, Surabaya, 12 April 2016.
20 Kang Hafidz, Wawancara, Surabaya, 12 April 2016.

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 33
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

di Cirebon. Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah


membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak
dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid
Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa
Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa
orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul
Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.21
Sayid Sulaiman Basyaiban beserta adiknya Abdurrahim
Basyaiban pernah nyantri di Sunan Ampel. Ketika itu Sayid tinggal
di Solo dan beliau pergi ke Surabaya untuk belajar di Sunan Ampel.
Kabar keberadaan Sayid Sulaiman diketahui oleh Ratu Mataram. Ia
pun akhirnya mengirim utusan ke Ampel untuk memanggilnya.
Karena Ratu Mataram mempunyai hutang budi pada Sayid
Sulaiman Basyaiban yang katanya dulu Ratu Mataram tidak
mempunyai kesaktian yang dimiliki oleh Sayid Sulaiman Basyaiban.
Lalu, ketika di istana mengadakan pesta perkawinan putri bungsu
ratu, Sayid Sulaiman dipanggil untuk memeriahkan pesta
perkawinan tersebut. Ratu minta agar Sayid Sulaiman
memperagakan pertunjukkan yang tidak pernah diperagakan oleh
orang manapun.
”Sulaiman panjenengan tiang sakti, le‟ bener-bener sakti kulo nyuwun
tulung gawekno tanggapan sing ora umum. Ora tau ditanggapi wong” minta
Ratu Mataram kepada Sayid dengan nada menghina. Melihat
permintaan ratu yang sinis itu, Sayid meminta untuk meletakkan
bambu di atas meja. Sembari berpesan untuk ditunggu, Sayid
Sulaiman pergi ke arah Timur. Masyarakat keraton menunggu
sampai lama, namun belum juga datang. Kemudian pada akhirnya
Ratu Mataram tidak sabar lagi menunggu Sayid datang. Ia pun
marah dan membanting bambu di atas meja itu hingga hancur
berkeping-keping. Hal ajaib pun terjadi, kepingan bambu itu
menjelma menjadi hewan bermacam- macam. Hewan-hewan yang
keluar dari bambu tersebut merupakan gambaran-gambaran dari
kerajaan tersebut. Ratu pun tersentak, akhirnya ia mengakui
kesaktian Sayid Sulaiman dan merasa berhutang budi.22

21 Kang Fatih, Wawancara, Sidoarjo, 19 April 2016.


22 Kang Hafidz, Wawancara, Surabaya, 12 April 2016.

AL-HUKAMA
34 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Hal tersebutlah yang membuat Ratu Mataram memanggilnya


ke Mataram. Sedangkan diantara utusannya ada adik kandung Sayid
Sulaiman Basyaiban yang bernama Sayid Abdurrahim Basyaiban. Ia
terharu bertemu dengan kakaknya. Ratu Mataram menginginkan
Sayid Sulaiaman menjadi penasehat keagamaan akan tetapi Sayid
Sulaiman menolaknya. Akhirnya ia memutuskan tidak kembali ke
Mataram, namun ia belajar kepada Sunan Ampel beserta kakaknya.
Pada suatu malam, murid-murid Sunan Ampel sudah tidur
pulas. Tiba-tiba terdapat dua ikatan sinar menerpa dua orang
muridnya yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan.
Sunan Ampel menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena
keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah
kedua santrinya yang diterpa sinar. Akhirnya, beliau mengikat
sarung kedua santrinya itu. Seusai shalat Subuh, Sunan Ampel
menanyakan kepada para santrinya ”Sopo sing sarunge mau bengi
bundelan ” (siapa yang sarungnya tadi malam ada ikatannya) , Sayid
Sulaiman dan adiknya mengacungkan tangannya.
Lalu Sunan Ampel berkata ”Mulai saiki, santriku ojo nyelu‟
Sulaiman, ojo nyelu‟ Abdurrahim tok, tapi nyelu‟o Mas Sulaiman lan Mas
Abdurrahim” (Mulai sekarang, santriku jangan hanya memanggil
Sulaiman dan Abdurrahim saja, tapi panggillah Mas Sulaiman dan
Mas Abdurrahim). Sehingga semua keturunan Sayid Sulaiman,
Sayid Abdurrahim dan Sayid Abdul Karim dipanggil dengan
sebutan Mas semua.
Sedangkan riwayat belajarnya Sayid Mas Sulaiman di Ampel
ini masih disangsikan. Sebab, terdapat selisih yang terlalu jauh
antara masa hidup Sayid Sulaiman dengan Sunan Ampel. Sunan
Ampel hidup pada tahun 1401-1481 M. sedangkan Sayid Mas
Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M. Jadi, selisih tiga abad
dengan Sunan Ampel. Kemungkinan Sayid Mas Sulaiman
Basyaiban belajar di Ampel tidak kepada Sunan Ampel sendiri, tapi
pada generasi-generasi setelah beliau. Tapi ada pendapat kalau
menghubungkan dengan tahun tidak akan menemukan titik temu
karena pada zaman dahulu belum mengenal tahun. Hanya
mengenal istilah generasi.
Putra Sayid Mas Sulaiman Basyaiban yang terakhir bernama
Sayid Mas Ali Akhbar Basyaiban. Datang dari Pasuruan ke

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 35
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Surabaya dengan maksud maksud mengislamkan orang. Dengan


kata lain, Sayid Mas Ali Akhbar beserta 40 rombongannya datang
ke Surabaya karena diajak orang. Ketika di perjalanan beliau
beserta rombongannya ditangkap oleh pasukan kompeni Belanda
dan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal konon
katanya. Semua rombongan Sayid Mas Ali Akbar Basyaiban
dimasukkan dalam pengukusan besar di atas bara api. Beberapa
saat beliau sadar dan bangun dari pengukusan mencari anak dan
rombongannya. Setelah mereka semua bertemu, dengan kesaktian
Sayid Ali Akhbar Basyaiban mereka melarikan diri dengan
menyelami lautan hingga sampai di sungai Wonokromo/Jagir.
Setelah sampai di Wonokromo, rombongan beliau mencari tempat
persembunyian yakni tepatnya di Sidosermo yang dulunya berupa
alas sebelum ditempati Sayid Mas Ali Akhbar Basyaiban.
Sedangkan pembabat Sidosermo adalah Sayid Mas Ali Akhbar
Basyaiban dari dengan menyelami dan kembali ke Sidosermo.
Sedangkan yang ketiga kalinya beliau lari, tetapi tidak kembali
konon katanya, beliau lari ke Tarim Hadranut kampung para wali
dimana kakeknya Sayid Mas Abdurrahman Basyaiban dilahirkan
dan makam beliau tidak ada yang tahu keberadaannya.23
Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yakni Imam
Ghazali (Tawunan, Surabaya), Sayid Ibrahim (Kota Pasuruan),
Sayid Badrudin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan, Surabaya),
Sayid Iskandar (Bungkul, Surabaya), Sayid Abdullah (Bangkalan,
Madura), Sayid Ali Ashghar (Sidoresmo). 24
Tradisi Pernikahan Para Mas dengan Kesetaraan Keturunan
di Sidosermo
Tradisi pernikahan dengan kesetaraan keturunan di
Sidosermo adalah tradisi turun temurun dari mulai jaman dahulu.
Para Mas merupakan keturunan dari Nabi Muhamad saw. Konsep
pernikahan ini menggunakan konsep kafaah, yaitu kesimbangan
antara calon suami dan calon istri dalam sebuah perkawinan. Hal
ini sangat diperhatikan untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan oleh kedua belah pihak di kemudian hari. Oleh karena

23 Kang Fatih, Wawancara, Sidoarjo, 19 April 2016.


24 Kang Hafidz, Wawancara, Surabaya, 12 April 2016.

AL-HUKAMA
36 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

itu, seseorang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah


memperhatikan keseimbangan (kafa‟ah) dengan pasangannya.
Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang
harus dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan
psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Kasarnya, pernikahan merupakan runtutan dari hasrat seksualitas
yang dimiliki.
Namun terlepas dari berbagai alasan tersebut, Islam
menganjurkan beberapa syarat yang hendaknya dapat dipenuhi
sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Syarat yang
dimaksud bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan
lainnya, akan tetapi syarat kafaah atau kecocokan dan kesesuaian
antara kedua insan yang berkasih dan juga keluarga. Pada awalnya
kedua insan ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin
untuk disatukan dengan tatacara yang benar menurut syariat Islam.
Dari sinilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafaah
dalam sebuah pernikahan agar kelak terdapat kesesuaian,
keseimbangan dan kesinambungan antara dua insan yang akan
mengarungi kehidupan berdua.
Perkawinan dalam pandangan Islam bukanlah hanya urusan
perdata saja, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah
budaya, tetapi masalah yang menyangkut dalam keyakinan dan
peristiwa agama. Oleh karena itu perkawinan itu dilakukan untuk
menaati sunah rasullullah dan perintah Allah dan dilaksanakan
sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Rasullullah Saw. serta
mentaati prosedur yang diatur dalam peraturan negara. Di samping
itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup
sesaat, tetapi untuk hidup selamanya. Oleh karena itu seseorang
harus bisa memilih pasangannya secara hati-hati dan dilihat dari
berbagai segi.
Mengenai kriteria pasangan ideal itu sendiri. Perlu digaris
bawahi bahwa memilih pasangan hidup tidak sama dengan
memilih baju atau pakaian, yang langsung bisa dibuang jika tidak
cocok. Persoalan mencari pasangan hidup atau calon pendamping
hidup adalah persoalan yang berat.
Para Mas dalam hal memilih jodoh keluarga tidak bisa
sembarangan. Pasangan yang hendak dipilih harus benar-benar

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 37
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh agama. Karena


masalah pasangan hidup adalah masalah dunia dan akhirat.
Mencari pasangan hidup tidak hanya sekedar untuk melampiaskan
hawa nafsu, tapi juga untuk menjadikan sebuah keluarga yang
sakinah mawaddah warah}mah dan mempunyai generasi yang baik.
Ada beberapa kriteria yang mendorong seorang laki-laki
memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam
perkawinan dan demikian pula dengan seorang perempuan waktu
memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Kriteria yang pokok
diantaranya adalah karena kecantikan seorang wanita atau
kegagahannya seorang pria atau kesuburan keduanya dalam
mengharapkan anak keturunan, karena kekayaanya, karena
kebangsawanannya dan karena agamanya.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan agamanya di sini
adalah komitmen keagamaannya atau kesungguhan dalam
menjalankan ajaran agamannya. Ini dijadikan pilihan utama karena
itulah yang akan memberikan keharmonisan dalam membentuk
keluarga yang sakianah, mawaddah dan warah}mah. Kekayaan suatu
ketika dapat lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar
demikian pula suatu kedudukan suatu saat akan hilang.
Berdasarkan data tentang pandangan masyarakat terhadap
kafaah dalam sebuah perkawinan, dapatlah dikatakan bahwa
keluarga Mas di Kelurahan Sidosermo Kelurahan Jemur Sari
Surabaya dan menganggap perlu adanya kafaah dalam perkawinan,
khususnya dalam hal nasab dan agama. Menurut mereka,
perkawinan yang didasarkan berdasarkan kafaah atau
keseimbangan antara calon suami dengan calon istri dapat
mewujudkan keharmonisan dan ketentraman dalam sebuah rumah
tangga.
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup rumah tangga pada
dasarnya di tentukan oleh keserasian antara suami dan istri. Islam
mengajarkan bahwa perkawinan yang dilakukan seorang pria dan
wanita tidak hanya sekedar berdasarkan suka sama suka, melainkan
harus dilihat dari berbagai segi, misalnya agama, moral, dan latar
belakang sosial.
Sebagian besar keluarga Mas di Kelurahan Sidosermo masih
menganggap nasab dan agama sebagai ukuran kafaah yang paling

AL-HUKAMA
38 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

pokok dalam perkawinan. Hal ini disebabkan karena mereka


keturunan Rasulullah saw. Bagi laki-laki yang berasal dari keluarga
Mas (sayid) diperbolehkan menikah dengan perempuan yang bukan
dari keluarga Mas dikarenakan yang akan membawa nama keluarga
adalah laki-laki (bukan yang perempuan).
Penerapan nasab atau keturunan sebagai kriteria kafaah
sebagaimana tersebut di atas hanyalah ditekankan pada wanitanya
(sayidah). Sedangkan para laki-laki mendapatkan keleluasaan untuk
mencari calon istri dari golongan manapun tanpa memandang
apakah calon isteri tersebut sekufu atau tidak dengan mereka.
Mereka mempergunakan garis keturunan bapak (patrilineal) yaitu
prinsip keturunan darah berdasarkan pihak laki-laki, sebab pihak
laki-laki yang menjadi penerus famili atau pembawa nama keluarga.
Hal ini juga terjadi pada narasumber penelitian yang menikah
bukan dari golongan Mas, tapi dari teman semasa manjalani
pendidikan di Perguruan Tinggi di Surabaya.
Kang Hafidz menikah bukan dari golongan Mas. Beliau
menikah dengan orang biasa yang bernama Asfaroh yang berasal
dari Desa Sumber Rejo Kota Gresik berawal dari teman semasa
menjalani pendidikan di Perguruan Tinggi yang sama.
Hubungannya sangat akrab sering kali berhubungan lewat
telephone dan SMS, akhirnya benih – benih cinta dari keduanya
terjadi. Sehingga pada suatu ketika Kang Hafidz berakta kepada
orang tuanya bahwa beliau menyukai seorang gadis yang bernama
Asfaroh. Setelah itu Asfaroh meminta Kang Hafidz untuk
menikahinya. Selanjutnya Asfaroh diminta oleh kang Hafidz untuk
memberanikan diri berkenalan dengan orang tua dari narasumber
ini. Setelah berkenalan dengan orang tuanya, wanita ini berbicara
kepada Kang Hafidz kalau dirinya mempunyai rasa cinta kepada
anaknya. Orang tua Kang Hafidz berkata “ masih sama mudanya
jadi sabar dulu”.
Kang Hafidz meminta pendapat dari sesepuh desa yang
masih ada hubungan family dengannya, yaitu Abah Ibrahim. Lalu
Asfaroh menelfon Kang hafidz yang pada saat itu sedang di
kediaman Abah Ibrahim. Singkat cerita akhirnya keluarga besar
Kang Hafidz merestui hubungan keduanya. Akhirnya keduanya

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 39
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

melangsungkan pernikahan. Saat ini beliau telah dikaruniai seorang


anak laki-laki yang bernama Mas Ahmad Dliya’ul Lamik.
Jika dari pihak Sayid (laki-laki) boleh menikah dengan
perempuan biasa (bukan Mas), maka golongan Sayidah
(perempuan) bisa menikah dengan orang biasa (bukan Mas)
dengan syarat-syarat tertentu, antara lain adalah “agama”.
Agama merupakan pokok yang paling utama dalam kriteria
pernikahan di keluaraga para Mas. Sosok suami ideal dalam Islam
adalah lelaki yang mampu menjadi pemimpin dalam arti yang
sebenarnya bagi istri dan anak-anaknya. Memimpin mereka artinya
mengatur urusan mereka, memberikan nafkah untuk kebutuhan
hidup mereka, mendidik dan membimbing mereka dalam kebaikan,
dengan memerintahkan mereka menunaikan kewajiban-kewajiban
dalam agama dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan
dalam Islam, serta meluruskan penyimpangan yang ada pada diri
mereka.
Sayidah bisa menikah dengan lelaki biasa dengan syarat laki –
laki tersebut mempunya agama yang kuat. Hal ini terjadi pada
sayidah bernama Fauziah yang merupakan golongan dari Para Mas
yang menikah dengan seorang laki–laki santri dari mbah kyai Faqih
Langitan. Laki–laki tersebut bernama Mastur yang merupakan
keturunan dari seorang Kyai yang berasal dari Kota Gresik.
Perjodohan ini merupakan rekomendasi dari KH. Abdullah
Faqih Langitan. Fauziah dan Mastur sama – sama menimba ilmu
agama di Pondok Pesantren yang di pimpin oleh KH. Abdullah
Faqih Langitan. Lantaran itu Kyai Faqih menjodohkan Mastur
dengan Fauziah.
Sosok Mastur mempunyai background yang berbeda dengan
Fauziah. Mastur merupakan seorang laki – laki yang bukan dari
golongan Sayid. Sedangkan Fauziah merupakan wanita dari
golongan Sayidah yang menjadi keturunan Nabi Muhamad saw.
Akan tetapi Mastur mempunyai Ilmu Agama yang sangat tinggi
dan mendapat rekomendasi di KH. Abdullah Faqih Langitan.
Faktor itu yang dapat menjadi pertimbangan dari keluarga Fauziah
yang mempunyai keturunan dari Nabi Muhamad saw.
Agama merupakan kriteria yang paling penting di dalam
tradisi pernikahan keluarga para Mas. Lelaki yang mempunyai Ilmu

AL-HUKAMA
40 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Agama dan ketakwaan yang sangat tinggi dapat memimpin


keluarga dengan baik. Hal ini yang menjadi pertimbangan yang
paling utama di Keluarga Para Mas di Sidosermo dalam kriteria
kafaah.
Pandangan para Mas di Sidosermo, laki-laki yang mempunyai
ilmu agama yang tinggi dan ketakwaan yang bukan berasal
golongan mas yang menikahi sayidah ini biasanya harus bertempat
tinggal di Sidosermo. Laki-laki tersebut tidak boleh keluar dari luar
lingkup Sidosermo karena bisa mengamalkan ilmunya di ruang
lingkup pesantren dan mengembangkan pesantren yang ada di
Sidosermo.
Selain agama, syarat lainnya adalah adanya hubungan dengan
keluarga di Sidosermo. Hal ini terjadi pada Sayidah bernama
Nalifah yang menikah dengan laki-laki yang masih ada hubungan
dengan sidosermo. Paman dari laki-laki tersebut pernah menimba
ilmu di pondok pesantren yang ada di sidosermo.
Keluarga Para Mas disini juga ingin menjalin silaturahmi
kepada santri-santri yang telah menimba ilmu agama di pondok
pesantren yang ada di Sidosermo. Pernikahan tersebut
dimaksudkan agar hubungan silaturahim dari pihak santri dan
pesantren tidak putus. “Cek oleh barokahe”.
Proses-proses seleksi dalam memilih pasangan hidup di
keluarga para Mas sangatlah ketat. Harus ada rekomendasi dari
tetuah yang ada di keluarga besar para Mas. Ini di karenakan para
Tetuah ingin memberikan yang terbaik kepada anak turunnya.
Rasanya Mustahil jika pernikahan di keluarga para Mas bisa terjadi
tanpa ada rekomendasi dari Tetuah atau keluarga besar para Mas
ini.
Para Mas juga mempunyai pandangan yang lain terhadap
sayidah yang menikah dengan laki-laki biasa, bahwa sayidah tidak
diperbolehkan pergi dari Sidosermo karena fisik wanita lebih lemah
jasmani rohani, sekaligus untuk menjaga kehormatan wanita
tersebut. Sedangkan bagi seorang perempuan dari keluarga Mas
(sayidah) yang menikah dengan laki-laki yang bukan dari keluarga
Mas dan tidak ada rekomedasi dari Tetua atau Keluarga para Mas
dan Kyai Mashur, mereka akan menentangnya. Di periode saat ini

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 41
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

tradisi pernikahan dengan system endogami masih terjadi di


kalangan Mas di Sidosermo.25
Tradisi Pernikahan Para Mas dengan Kesetaraan Keturunan
di Berbek
Tradisi pernikahan Mas di Sidosermo bagi seorang
perempuan yang berasal dari keluarga Mas (sayidah) menikah
dengan laki-laki yang bukan dari keluarga Mas masih sangat kental
sekali. Berbeda dengan tradisi pernikahan di Berbek. Menurut
penuturan narasumber tradisi pernikahan di Berbek periode saat
ini sebagian besar sudah tergusur oleh zaman. Putra-Putri mereka
diperbolehkan untuk memilih calon istri atau calon suami dari
pilihan mereka sendiri. Keluarga Mas di Berbek tidak bisa
memaksakan anak turun mereka. “Arek saiki gak isok di pekso mas,
sing penting arek‟e cocok kelakuane apik agamane apik gak masalah. Gelem
tanggung jawab“. Berbeda dengan dahulu keadaan disekitar Berbek
Dalem masih saklek menggunakan tradisi pernikahan tersebut.
Karena ingin mempertahankan keturunan Rasululllah saw. “Nek
arek jaman saiki wes kenal karo dunia luar nek dipekso rodok angel”.26
Kehidupan zaman dahulu pada zaman nara sumber
sangatlah berbeda dengan zaman sekarang. Kehidupan sekarang
rata-rata para pemuda sudah mengenal dunia luar jadi sudah
terkontaminasi dengan kehidupan yang modern. Anak-anak turun
mereka diperbolehkan untuk memilih jodoh dari teman-teman
terdekatnya. Seperti anak perempuan narasumber sendiri menikah
dengan seorang laki-laki biasa sesuai dengan pilihannya.
Berawal dari suka sama suka kemudian anak perempuan nara
sumber ini mengadu kepada nara sumber bahwasannya dia
menjalin hubungan suka sama suka dengan seorang pria. Setelah
melihat mencari tahu tentang background tersebut akhirnya
perempuan itu menikah dengan laki-laki pilihannya sendiri.
Kriteria kafaah menurut narasumber adalah agama. Orang
yang mempunyai agama yang bagus otomatis dia sholeh dan
berakhlak mulia. Kriteria seperti ini yang dijadikan pertimbangan
oleh narasumber dalam kafaah .

25 Kang Hafidz, Wawancara, Surabaya, 12 April 2016.


26 Kang Fatih, Wawancara, Sidoarjo, 19 April 2016.

AL-HUKAMA
42 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Oleh karenanya konsep kafaah dalam keluarga narasumber -


yang termasuk keluarga Para Mas yang ada di Berbek -
berpendapat bahwa konsep kesetaraan yang dipakai itu dilihat dari
akhlak, agama dan keturunan yang baik, sedangkan kekayaan
merupakan bonus. Mereka tidak mengkhususkan untuk
menikahkan dengan orang dari golongan sayid atau sayidah saja
tapi dengan semua kalangan. Namun jika konsep kafaah yang
memprioritaskan nasab terebut itu masih ada menurutnya konsep
itu adalah konsep di zaman dahulu bukan lagi konsep zaman
sekarang yang sudah berbeda dengan berbagai macam pengaruh
budaya.
Ada pula dari kalangan para Mas yang ada di Berbek dalem
yang berpendapat bahwa konsep kafaah (kesetaraan) didalam
keluarganya harus secara Islam dan tidak ada campur aduk dengan
adat atau pun kebudayaan. Islam mengajarkan ketika memilih
calon pendamping hidup haruslah dicari agamanya, keturunannya,
hartanya dan kecantikannya.
Oleh karenannya faktor agama menjadi faktor yang sangat
penting dalam keluarga ini, begitu juga keridhoan orang tuanya
yang juga menjadi factor penting lainnya, karena keridhoan Allah
ada di dalam keridhoan orang tua dan murkanya Allah terdapat di
dalam murkanya orang tua. Dalam keluarga masayikh tidak
diprioritaskan atau dipaksa harus senasab karena hal tersebut
merupakan kebudayaan jaman dahulu. Kalau sekarang dipaksakan
seperti dahulu rasanya sangat sulit.
Tradisi Pernikahan di Sidosermo dan di Brebek
Berdasarkan data dari hasil wawancara yang diperoleh dapat
disimpulkan bawah sebagian besar keluarga Mas di kelurahan
Sidosermo Kecamatan Jemur Sari Surabaya sangat
mempertimbangkan kekufuan calon suami dan calon istri dalam
hal nasab dan agama. Menjadikan nasab dan agama sebagai kriteria
kafaah bagi keluarga para Mas merupakan hal yang sangat pokok
yang harus dipenuhi. Dalam hal memilih jodoh, keluarga para Mas
tidak bisa asal pilih. Pasangan yang hendak dipilih harus benar-
benar sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh agama,
karena masalah pasangan hidup adalah masalah dunia dan akhirat.
Mencari pasangan hidup tidak hanya sekedar untuk melampiaskan

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 43
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

hawa nafsu, tapi juga untuk menjadikan sebuah keluarga yang


sakinah mawaddah warah}mah dan mempunyai generasi yang baik.
Bagi laki-laki yang berasal dari keluarga Mas (sayid)
diperbolehkan menikah dengan perempuan yang bukan dari
keluarga Mas, dikarenakan yang akan membawa nama keluarga
adalah laki-laki (bukan yang perempuan).
Sedangkan tradisi pernikahan para Mas di Berbek saat ini
tidak memperhitungkan nasab dari calon suami atau istri. Factor
yang paling terpenting adalah ada kecocokan diantaranya, ilmu
agama dan akhlaknya. Periode saat ini kriteria kafaah menurut
narasumber adalah agama. Orang yang mempunyai agama yang
bagus, otomatis dia sholeh dan berakhlak mulia. Kriteria seperti ini
yang di jadikan pertimbangan oleh nara sumber dalam kafaah .
Proses-proses dalam menentukan calon suami atau istri di
Berbek tidaklah terlalu rumit. Hal ini berbeda di Sidoresmo dengan
proses panjang yang harus dilalui, yaitu meminta pendapat terlebih
dahulu kepada para sesepuh dan keluarga besar para Mas yang ada
di sekitarnya. Menurut penuturan narasumber, tradisi pernikahan
di Berbek dalam periode saat ini sebagian besar sudah tergusur
oleh zaman. Putra-putri mereka diperbolehkan untuk memilih
calon istri atau calon suami pilihan mereka sendiri.
Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Pernikahan
Kesetaraan Keturunan di Keluarga Para Mas Sidosermo dan
Berbek.
Kafaah atau kufu dalam perkawinan menurut istilah hukum
Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan
suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan. Kafa‟ah juga bisa dideskripsikan
sebagai laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam
akhlak serta kekayaan.
Kafaah adalah kesimbangan antara calon suami dan calon
istri yang dalam sebuah perkawinan merupakan hal penting yang
perlu untuk diperhatikan. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan oleh kedua belah pihak di kemudian hari. Oleh
karena itu, seseorang yang akan melangsungkan perkawinan

AL-HUKAMA
44 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

haruslah memperhatikan keseimbangan (kufu) dengan


pasangannya.
Berdasarkan data tentang pandangan masyarakat terhadap
kafaah dalam sebuah perkawinan, dapatlah dikatakan bahwa
keluarga Mas di Kelurahan Sidosermo Kecamatan Wonocolo
Surabaya dan Desa Berbek Kecamatan Waru Sidoarjo menganggap
perlu adanya kafaah dalam perkawinan, khususnya dalam hal
nasab. Menurut mereka, perkawinan yang didasarkan berdasarkan
kafaah dapat mewujudkan keharmonisan dan ketentraman dalam
sebuah rumah tangga.
Jumhur ulama (Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah) selain
Malikiyah berpendapat bahwa nasab merupakan satu hal yang
penting dan masuk dalam kafaah . Ada beberapa alasan yang
mendasari pendapat mereka, seperti banyaknya orang Islam,
khususnya orang muslim arab yang sangat fanatik dalam menjaga
keturunan dan golongan mereka.
Alasan mereka memasukkan nasab dalam kafaah
berdasarkan dari Ibn Umar r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Bangsa Arab itu sama derajatnya satu sama laim dan kaum mawali
(mantan hamba yang telah dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain,
kecuali tukang tenun dan tukang bekam”. (HR. Al-Hakim).
Maksud hadits di atas adalah bahwa orang Arab sepadan
dengan orang Arab, orang Arab tidak sekufu dengan selain orang
Arab, kabilah yang satu sekufu dengan kabilahnya, bekas budak
sekufu dengan bekas budak. Jadi, seseorang yang dianggap sekufu
jika ia dari golongan yang sama. Menurut ulama Hanafiyah, nasab
(keturunan) dalam kafaah hanya dikhususkan seorang suami dari
bangsa Quraisy, maka nasabnya sebanding dengan perempuan
yang berasal dari bangsa Quraisy. Orang Arab yang bukan dari
kabilah Quraisy tidak sebanding dengan perempuan Quraisy.
Menurut Syafii‟yah, orang Arab sebanding dengan Quraisy
lainnya kecuali dari Bani Hasyim dan Muthalib karena tidak ada
orang Quraisy yang sebanding dengan mereka (Bani Hasyim dan
Bani Muthalib). Hal yang menjadi pertimbangan dalam nasab
adalah bapak. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
golongan Quraisy sebanding dengan Bani Hasyim.

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 45
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Bani Quraisy lebih utama dari Bani yang lainnya, Bani


Quraisy yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthalib sebab dari salah satu
Bani tersebut lahirlah Nabi Muhammad saw. yang berasal dari Bani
Hasyim. Hal yang menjadi pertimbangan dalam nasab adalah
bapak kecuali putra-putri Fatimatuz Zahro.
Pada aspek kedudukan seseorang dalam perkawinan terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama termasuk
Malikiyah, Syafiiyah dan Ahlu Ra‟yi (Hanafiyah) dan satu riwayat dari
Imam Ahmad berpendapat bahwa kafaah tidak termasuk syarat
dalam pernikahan, artinya kafaah hanya semata keutamaan dan sah
pernikahan antara orang yang tidak se- kufu. Alasan yang mereka
gunakan ialah firman Allah dalam QS Alhujurat ayat 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”. (QS. Al-Hujurat:13)
Sebagian ulama termasuk satu riwayat dari Ahmad
mengatakan bahwa kafaah termasuk syarat sahnya perkawinan,
artinya tidak sah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang
tidak se-kufu.
Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah,
ulama berbeda pendapat yang secara lengkap diuraikan oleh al-
Jaziriy sebagai berikut:
1. Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah adalah :
a. Nasab yaitu keturunan atau kebangsaan.
b. Islam, yaitu dalam silsilah kekerabatnya banyak beragama
Islam.
c. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
d. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam.
e. Kemerdekaan dirinya.
f. Kekayaan.
2. Menurut ulama Malikiyah yang menjadi kriteria kafaah hanyalah
diniyah atau kualitas keberagamaan dan bebas dari cacat fisik.
3. Menurut ulama Syafiiyah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:
a. Kebangsaan atau nasab.

AL-HUKAMA
46 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

b. Kualitas keberagamaan.
c. Kemerdekaan.
d. Usaha atau profesi.
4. Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah itu
adalah :
a. Kualitas agama.
b. Usaha atau profesi.
c. Kekayaan.
d. Kemerdekaan diri.
e. Kebangsaan.
Ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah yang berarti
tingkat ketaatan beragama sebagai kriteria kafaah, bahkan menurut
ulama Malikiyah hanya inilah satu-satunya yang dapat dijadikan
kriteria kafaah itu. Kesepakatan tersebut didasarkan kepada firman
Allah yang disebutkan diatas juga dengan fiman Allah dalam QS
assajdah 18:
“Maka apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang
fasik? mereka tidak sama”. (QS. As-Sajdah:18)
Diantara ulama yang sepakat ini kebanyakan tidak
menempatkan sebagai syarat. Kafaah dalam hal ini hanyalah
keutamaan bila dibandingkan dengan yang lain. Mencari kriteria
menantu umpamanya, bila dikompetisi antara yang taat dengan
yang biasa-biasa saja maka harus didahulukan yang taat.
Ada perbedaan pendapat dalam menempatkan nasab atau
kebangsaan sebagai kriteria kafaah. Jumhur Ulama menempatkan
kafaah atau kebangsaan sebagai kriteria dalam kafaah . Dalam
pandangan ini orang yang bukan arab tidak setara dengan orang
arab. Ketinggian nasab orang arab itu menurut mereka karena nabi
sendiri adalah orang arab. Bahkan diantara sesama orang arab,
Kabilah Quraeisy lebih utama dibandingkan dengan bukan qureisy
dengan alasan Nabi berasal dari kabilah Qureisy.
Sebagian ulama tidak menempatkan kebangsaan sebagai
kriteria yang mentukan dalam kafaah. Selain mereka berdalil dengan
ayat yang disebutkan diatas, mereka juga berpedoman kepada
kenyataan banyaknya terjadi perkawinan antar bangsa di waktu
Nabi masih hidup dan Nabi tidak mempesoalkannya, diantaranya
adalah hadis shahih berikut:

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 47
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

“Dari Fatimah Bintu Qais Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu


'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Nikahilah Usamah”. (HR.
Riwayat Muslim).
Sebagaimana nasab, ulama juga berbeda pendapat dalam
kekayaan sebagai kriteria kafaah. Sebagian ulama seperti Imam
Ahmad dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa kekayaan
merupakan salah satu syarat kafaah. Hal ini berarti laki-laki yang
akan mengawini seorang perempuan hendaknya kekayaan yang
dimilikinya tidak kurang dari kekayaan pihak perempuan.
Dari riwayat kedua yang didukung sebagian ulama
berpendapat bahwa kekayaan dan harta tidak dapat dijadikan syarat
kafaah karena kurang harta kadang-kadang menyebabkan tinggi
kualitas keberagamaan seseorang.
Kedudukan usaha atau profesi sebagai syarat kafaah juga
menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ulama yang
menjadikannya sebagai kriteria berdalil dengan hadis yang
kebanyakan ulama tidak menilainya sebagai hadis sahih, yaitu:
“Dari Ibnu Umar Radliyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Bangsa Arab itu sama derajatnya satu sama
lain dan kaum mawali (bekas hamba yang telah dimerdekakan) sama
derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenung dan tukang bekam." (HR.
Hakim).
Penutup
Pernikahan kesetaraan keturunan di keluarga para Mas di
wilayah Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya sangat
mempertimbangkan kekufuan calon suami dan calon istri dalam
hal nasab dan agama. Menjadikan nasab dan agama sebagai kriteria
kafaah bagi keluarga Para Mas merupakan hal pokok yang harus
dipenuhi. Sebagian besar keluarga Mas di Kelurahan Sidosermo
masih menganggap nasab dan agama sebagai ukuran kafaah yang
paling pokok dalam perkawinan. Hal ini disebabkan karena mereka
keturunan Rasulullah saw.
Pernikahan kesetaraan keturunan di Berbek Kecamatan
Waru Sidoarjo saat ini tidak memperhitungkan nasab dari calon
suami atau istri. Yang paling terpenting adalah ada kecocokan
antara ilmu agama dan akhlaknya. Pada generasi saat ini kriteria
kafaah di Berbek adalah agama. Keluarga Mas Wilayah Berbek

AL-HUKAMA
48 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

hanya mengutamakan kualitas agamanya karena orang yang


mempunyai agama yang bagus, otomatis dia sholeh dan berakhlak
mulia, serta tidak ada kekhususan dalam segi nasab karena itu
merupakan prinsip zaman dahulu yang telah berubah di zaman
sekarang.
Tinjauan Hukum Islam terhadap pernikahan dengan
kesetaraan keturunan di keluarga para Mas di Sidosermo dan
Berbek, kafaah atau kufu dalam perkawinan menurut istilah
hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri
dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan. Penjelasan lain mengenai kafa’ah
adalah laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam
akhlak serta kekayaan.
Secara garis besarnya faktor nasab merupakan salah satu
persyaratan dalam perkawinan. Hal tersebut bukanlah seuatu adat
atau pun kebudayaan. Sedangkan ilmu nasab merupakan ilmu yang
sangat di kuasai oleh bangsa Arab dan di terapkan di keluarga Mas.
Di zaman modern ini banyak pemahaman yang mampu
mempengaruhi prinsip kafaah masyarakat khususnya Mas terlebih
pada pergaulan anak muda di zaman sekarang yang bebas memilih,
oleh karenanya konsep kafaah tersebut harus di ajarkan kepada
anak keturunannya supaya mereka mengerti dan faham serta
mampu melaksanakan kafaah yang telah di ajarkan oleh orang tua
mereka sehingga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa
rahmah.
Daftar Pustaka
Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqih Munakahat I. Bandung:
Pustaka Setia. 1999.
M Al-Fatih Suryadilaga. Membina Keluarga Mawaddah Warahmah
Dalam Bingkai Sunnah Nabi. Yogyakarta: PSW IAIN dan
f.f. 2003.
Muh Amin Summa. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2005.
Moh Ardani. Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV. Yogyakarta:
PT Dhana Bakti Wakaf. 1995.

AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law 49
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
Rohmat Hidayatulloh: Tradisi Pernikahan dengan Kesetaraan Keturunan...

Hasbi As-Shiddieqi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.


1981.
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT, Adi Mahasatya.
2002.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi III.
Rahmat Hakim. Hukum Pernikahan Islam: Untuk IAIN, STAIN,
PTAIS, Bandung: Pustaka Setia. 2000.
Ibrahim Hosen. Fiqih Perbandingan Dalam masalah Pernikahan,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Khoiruddin Nasution. Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum
Pernikahan I). Yogyakarta: Academia Tazzafa. 2004.
Al-Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Terj. Moh. Thalib. Bandung: al-
Ma’arif. 1997.
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Kafaah
(Kesetaraan) Dalam Perkawinan. Jakarta: Pustaka Grafika.
2011.
Kang Hafidz selaku Para Mas dari Sidosermo Surabaya, kang
Hafidz juga mengajar di Sidoresmo dan mempunyai usaha
dagang, dan mempunyai satu anak laki-laki. 12 April 2016.
Kang Fatih selaku Para Mas dari Berbek Sidoarjo, beliau
mempunayai usaha jahit dan juga mengajar di berbek, dan
mempunyai 3 orang anak. 19 April 2016.

AL-HUKAMA
50 The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017

Anda mungkin juga menyukai