Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah Dosen Pengampuh

Bimbingan perkawinan Arisman, Dr., S.H.I., M.Sy.

MEMILIH JODOH

Disusun oleh:
Tengku cintia aulia dewi (11920122590)
Kelas :
Hukum Keluarga D 19

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
PEKANBARU
RIAU
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang materi memilih jodoh .
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah bimbingan perkawinan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Arisman, Dr.,S.H.I., M.Sy., selaku Dosen Mata kuliah
bimbingan perkawinan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tanjung balai karimun, 3 november 2021


LATAR BELAKANG
Menikah merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Semua orang
sepakat bahwa menikah setidaknya hanya dilakukan sekali seumur hidup, sehingga seseorang akan
melalui proses pemilihan jodoh terlebih dahulu. Proses ini merupakan Langkah awal yang harus
dilewati oleh setiap orang sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.
Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan terpenting yang akan dibuat oleh setiap
orang sepanjang hidup karena untuk mencapai pernikahan yang Bahagia diperlukan memilih jodoh
yang tepat, sehingga diharapkan perjalanan selanjutnya menjadi lebih mudah untuk dilalui.
Namun saat melakukan proses pemilihan jodoh tentunya akan ditemukan permasalahan.
Permasalahan ini membuat individu akan berhati-hati dan menetapkan kriteria terlebih dahulu
sebelum akhirnya memilih pasangan hidupnya.
Manusia secara kodrati diciptakan oleh Allah Swt. berpasang-pasangan, untuk saling
mencintai agar memperoleh ketenteraman, dan untuk saling memupuk kasih sayang agar dapat
merajut kekerabatan.
Namun untuk mengetahui pasangan masing-masing terkadang manusia salah pilih,
akibatnya hikmah dari ikatan cinta yang dikuatkan dengan akad perkawinan tidak bisa
diperolehnya. Untuk itu segala upaya dengan beragam cara dilakukan untuk dapat mengenali calon
pasangannya.
Setiap manusia mempunyai selera dan daya pikat yang berbeda-beda terhadap lawan jenis.
Daya pikat ada yang bersifat material seperti kecantikan atau ketampanan rupa, kekayaan dan
status sosial. Ada pula daya pikat yang bersifat inmaterial seperti kesetiaan, kejujuran, keramahan
dan berbagai ciri kepribadian lainnya.
Agama Islam memberikan tuntunan perkawinan agar manusia dapat meraih tujuan
perkawinan yang hakiki. Termasuk pula memberikan tuntunan untuk mengenai dan memilih calon
pasangan. Tetapi sangat disayangkan, tuntunan Islam mengenai hal tersebut seringkali diabaikan
karena dianggap terlalu menitikberatkan pada aspek inmaterial dalam menentukan kreteria calon
pasangan. Hal ini patut dimaklumi, sebab tabiat manusia pada dasarnya lebih cenderung kepada
perkara-perkara yang bersifat materi, sebagaimana tergambar dalam surat al-Nisa ayat 14.

Adapun hal penting untuk dipahami bahwa Islam merupakan agama yang menjadi rahmat
bagi seluruh alam. Esensi ajaran Islam yang memuat tuntunan akidah, hukum syariat dan akhlak
semata berorientasi untuk mewujudkan kebaikan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Salah satu yang menjadi karakteristik ajaran Islam adalah bersifat humanistik.
Dalam arti bahwa segala tuntunan Islam, tidak terkecuali tuntunan memilih calon pasangan,
akan selalu sesuai dan selaras dengan watak dasar dan naluri kejiwaan manusia, apabila manusia
itu mampu memahami dan menjalani ajaran Islam sebagai pedoman hidupnya.
Tuntunan Islam mengenai cara memilih pasangan juga sering dianggap tidak berpihak
kepada kebutuhan manusia dalam hidup. Nasehat yang diberikan Rasulullah tentang empat
kreteria memilih calon pasangan justru lebih menekankan pada aspek keagamaan daripada tiga
aspek lainnya yaitu: aspek kecantikan/ketampanan, aspek kekayaan dan aspek keturunan.
Tulisan ini akan berupaya menjelaskan bagaimana Islam memberikan Pedoman kepada
manusia dalam memilih calon pasangan perkawinan, dan sekaligus berupaya menunjukkan
kesesuaian tuntunan-tuntunan Islam dengan kondisi kejiwaan manusia. Oleh karena itu, penelitian
ini menggunakan psikologi keluarga sebagai pendekatan kajiannya, khususnya yang terkait dengan
teori-teori kepribadian.

PEMBAHASAN
A. Pengertian dan macam-macam kafa’ah
Secara Etimologi kafā’ah berasal dari bahasa Arab yaitu (ً‫ انكفى‬-‫) وانكف‬atau ( ‫ ) تَكفا ً – كف‬yang
berarti sama atau setara. Jadi kafā’ah atau sekufu artinya sepadan, sebanding, seimbang dan
sederajat. Sayyid Sabiq mengemukakan di dalam buku Fiqh Sunnahnya tentang kafā’ah, beliau
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kafa’ah dalam hukum perkawinan Islam ialah sama,
sederajat, sepadan atau sebanding. Kafā’ah dalam Hukum Islam merupakan keserasian atau
keseimbangan antara calon suami dan istri sehingga masing-masing tidak merasa terpaksa dalam
melangsungkan perkawinan.
Macam – macam kriteria kafā’ah antara lain :
1) Nasb Kafā’ah nasab merupakan kesepadanan antara suami dan isteri yang berdasarkan pada garis
keturunan (etnis). Kafā’ah nasab ini lebih terkenal berlaku dan dipraktekkan oleh orang-orang
Arab. Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya menyatakan bahwa kafā’ah nasab perkawinan
sangat berlaku diantara mereka. Oleh karena itu, hukum yang berlaku bagi mereka dalam hal
perkawinan adalah sama dengan hukum yang diterapkan bagi orang-orang Arab pada umumnya
dengan alasan yang sama.
2) Merdeka Kemerdekaan yang dimiliki oleh seseorang merupakan kondisi sosial yang berlaku dari
zaman pebudakan masa lalu. Seseorang yang pernah menjadi seorang budak atau bahkan
keturunan dari seorang budak maka dianggap tidak sekufu dengan seseorang yang merdeka asli.
Seseorang yang berstatus merdeka akan merasa malu berbesanan dengan orang yang memiliki
status budak, sebagai mana dia merasa malu berbesanan dengan orang yang tidak sederajat dengan
mereka dalam nasab dan kehormatan.
3) Beragama Islam Faktor agama adalah faktor sentral yang sangat dominan dan paling utama
dianjurkan, karena dengan faktor inilah yang akan menentukan kebahagiaan dan kedamaian rumah
tangga. Hal ini berdasarkan Hadits Riwayat Abu Hurairah dimana dalam empat kriteria untuk
memilih pasangan yang ia kemukakan, faktor agamalah yang harus diutamakan untuk menentukan
pilihan terhadap seorang calon istri maupun calon suami. Maksudnya jika ada seorang muslim
yang menikah dengan non muslim maka perkawinanya tidak sekufu yakni tidak sepadan.
4) Pekerjaan Pekerjaan merupakan keadaan dimana adanya mata pencarihan yang dimiliki seseorang
sebagai tolak ukur kemampuan dalam menjamin nafkah keluarga, sehingga dapat memenuhi
kebutuhan anak istrinya. Menurut jumhur ulama pekerjaan seseorang laki-laki paling tidak bisa
mendekati pekerjaan keluarga wanita. Apabila pekerjaanya mereka sama maka perbedaan diantara
keduanya tidak perlu diperhitungkan. Menanggapi permasalahan ini golongan Malikiyah justru
berpendapat tidak ada pengaruh dalam perbedaan mengenai pekerjaan, semua itu dapat sesuai
dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama Malikiyah tidak dimasukkan dalam kriteria
kafā’ah.
5). Harta Ukuran kekayaan dalam hal ini adalah kesanggupan untuk membayar mahar dan nafkah
keluarga. Jika seseorang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan memunuhi nafkah
keluarga maka dianggap tidak sekufu. Kemudian kekayaan dalam kemampuan membayar mahar
yang dimaksud adalah kesanggupan membayar mahar sejumlah uang yang dapat dibayarkan pada
saat akad nikah secara tunai. Apabila laki-laki tersebut tidak sanggup membayar mahar dan nafkah
atau salah satu diantaranya, maka dianggap tidak sekufu.
6).Tidak Cacat Fisik Laki-laki yang memiliki cacat tidak sekufu dengan perempuan yang tidak
memiliki cacat. Perempuan serta walinya memiliki hak untuk meminta khiyar (pilihan) dalam
meneruskan atau membatalkan perkawinan, karena mengingat adanya kerugian yang akan diterima
oleh pihak perempuan. Sehingga wali (orang tua) boleh mencegah apabila perempuan kawin
dengan laki-laki yang berpenyakit kusta, supak atau gila.1

A. Tujuan Perkawinan
Menikah dan membangun keluarga adalah naluri dasar manusia. Sebagai makhluk, manusia
ditakdirkan memiliki pasangan atau berpasanngan. Sejak muda naluri berpasangan tumbuh dan
mendorong pelakunya berupaya bertemu dengan pasangannya. Itulah ketetapan ilahi: “Segala sesuatu
telah kami ciptakan berpasang-pasangansupaya kamu mengingat(kebesaran Allah)” “(QS adz-Dzariay :
49), berikut ini merupakan tujuan perkawinan:
1) Fungsi Reproduksi
Untuk dapat memanen hasil yanng baik seorang petani tentu harus menggarap ladangnya
dengan baik, memilih benih yang baikdan memberi pupuk yang tepat sehingga tanah nya
menjadi subur dan hasil pertaniannya berlimpah. Artinya seseorang itu harus pandai-pandai
memilih pasangan memilih pasangan, kalau menginginkan keluarganya baik, harmonis dan
memberi perasaan sakinah mawaddah dan rahmah. Kalau yang diharapkan petani adalah buah
yang lezat, maka yang diharapkan dari pasangan adalah anak yang sehat dan kuat, beriman dan
bertaqwa serta dapat menghadapi berbagai tantangan hidup.

1
Achmad Mubassir Dan Isa Anshori, Jurnal : “Konsep Kafā’ah Antara Golongan Bā’alawī Dan Mashāyikh”, Vol.
8, No. 1, 2019, Halaman 29
2) Fungsi Keagamaan
Menurut Quraish Shihab tidak ada fondasi yang lebih kokoh untuk kehidupan bersama melebihi
nilai-nilai agama. Karea itu nilai-nilai agama harus menjadi landasan sekaligus menjadi pupuk
yang menyuburkan hidup berkeluarga.
3) Fungsi Sosial Budaya
Fungsi ini diharapkan dapat mengantar seluruh anggota keluarga memelihara budaya bangsa dan
memperkayanya. Ketahanan bangsa dan kelestarian budaya hanya dapat tercapai melalui ketahanan
keluarga yang antara lain diwujudkan dengan upaya semua anggota keluarganya untuk
menegaskan yang ma’ruf, mempertahankan nilai-nilai luhur masyarakat serta kemampuan
menyeleksi yang terbaik dari apa yang datang dari masyarakat yang lain.
4) Fungsi Pembinaan Lingkungan
Manusia adlah makhluk social yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Lingkungannya
adalah satu kekuatan yang dapat menjadi positif atau negatif yang mempengaruhi anggota
keluarga.2

B. Tuntutan Islam Dalam Memilih Pasangan


Upaya pertama yang dilakukan Islam untuk membentuk keluarga harmonis adalah dengan
memberikan tuntunan dalam memilih calon pasangan suami-istri. Sebagian orang mungkin beranggapan
bahwa Islam sebagai ajaran agama hanya akan memberikan tuntunan yang berorientasi pada aspek
spiritual tanpa menyentuh aspek material dalam kehidupan. Asumsi tersebut sangattidak tepat, karena
ajaran Islam diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia selama di dunia demi terciptanya
kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Tujuan Islam memberikan tuntunan dalam masalah
perkawinan adalah agar tercipta keharmonisan keluarga yang saki>nah, mawaddah dan rahmah sehingga
mampu memelihara regenerasi umat manusia sebagai penghuni alam dunia.
Oleh karena itu, sebagai modal awal untuk membentuk keluarga harmonis adalah dengan
melakukan seleksi terhadap calon pasangan sebagai suami-istri sehingga mampu mengantarkan suatu
perkawinan menuju tujuan yang dikehendaki Tuhan yang menciptakan manusia.
Obyek pertimbangan dalam memilih calon pasangan, yaitu: (pertama) obyek material berupa
kekayaan, status sosial, dan kecantikan/ketampanan; dan (kedua) obyek spiritual berupa keagamaan yang
dimiliki oleh seorang calon pasangan. Kedua obyek pertimbangan ini apabila ditinjau dari sudut pandang
psikologi sangat sesuai dengan watak dan tabiat kepribadian seorang manusia sebagai makhluk Allah Swt.
yang diciptakan memiliki rasa dan akal.
2
Faizah Ali Syibromalisi, Jurnal : “Kiat-kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia”, Halaman 3-4
1) Pertimbangan Aspek Material Dalam memilih calon pasangan, Islam mengakui aspek
material sebagai obyek pertimbangan yang dibolehkan dan layak dilakukan seorang muslim, sebab
hal ini menjadi kecenderungan jiwa manusia menurut watak dan tabiat penciptaannya sebagai
makhluk penghuni dunia.
2) Pertimbangan Aspek Spiritual Pertimbangan aspek spiritual di sini merupakan kreteria yang paling
mendasar dan urgen untuk diperhatikan dalam memilih calon pasangan. Aspek spiritual ini adalah
berupa keagamaan yang dimiliki oleh seorang calon pasangan

3).Pertimbangan Aspek Kesepadanan Kesepadanan (kafa>’ah) antara suami dan istri merupakan
faktor penting yang mempengaruhi pembentukan keluarga harmonis. Dalam terminologi fiqh
perkawinan kada>’ah diterjemahkan sebagai: kesepadanan, kesamaan atau kesederajatan antara
suami dan istri baik menyangkut aspek kegamaan, status sosial, strata ekonomi, kasta, maupun
kondisi fisik.20 Mengenai konsep kafa>’ah dalam perkawinan setidaknya dapat kita temukan ada
dua teori. Teori pertama dimunculkan oleh M. M. Bravmann. Menurutnya konsep kafa>’ah muncul
sejak masa pra-Islam. Bravmann membuktikan dengan beberapa kasus yang pernah terjadi.
Misalnya kasus yang terjadi terhadap rencana pernikahan Bilal.3
Dari berbagai riwayat hadis, mengindikasikan bahwa dalam memilih pasangan, Nabi
merekomendasikan perempuan diposisikan sebagai obyek yang dipilih dan kriteria yang dipakai dalam
memilih pasangan hidup untuk membentuk keluarga saki>nah mawaddah wa rah} mah pada pertimbangan
yang secara kuantitas, lebih banyak menyebutkan faktor fisik/biologis perempuan semata (fisik yang
menawan, subur dan masih gadis), nasab yang baik, dan secara ekonomu dari keluarga mampu. Meski
dalam salah satu riwayat dianjurkan untuk memilih yang agamanya baik (non fisik) sebagai pertimbangan
yang paling baik.
Individu pada dasarnya akan terus berkembang. Mulai dari masa kanak-kanak, remaja hingga masa
dewasa. Masa dewasa terbagi menjadi tiga yaitu masa dewasa awal, dewasa madya dan dewasa akhir.
Masa dewasa awal adalah masa dimana seseorang memiliki otonomi terhadap dirinya sendiri. Dalam masa
dewasa awal, berkisar antara 18-25 terdapat tugas perkembangan yang harus dijalani oleh individu. tugas

3
Ratna Suraya, Jurnal : “Memilih Calon Pasangan Suami-Istri Dalam Perkawinan Islam”, Vol. 4, No. 2, 2019,
Halaman 112
perkembangan dewasa awal menurut Havighurst, yaitu:
a) Mencari dan menemukan calon pasangan hidup. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup
yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun untuk membentuk kehidupan
rumah tangga. Mereka akan menentukan criteria usia, pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa
tertentu, sebagai prasyarat pasangan hidupnya
b) Membina kehidupan rumah tangga. Sebagian besar dari orang dewasa muda yang telah
menyelesaikan pendidikan, umumnya telah memasuki dunia pekerjaan guna meraih karir tertinggi.
Dari sini, mereka mempersiapkan dan membuktikan diri bahwa mereka sudah mandiri secara
ekonomis, artinya sudah tidak tergantung lagi pada orangtua. Sikap yang mandiri ini merupakan
langkah positif bagi mereka karena sekaligus dijadikan sebagai persiapan untuk memasuki
kehidupan rumah tangga yang baru
c) Meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga. Mereka berupaya
menekuni karir sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan masa depan
keuangan yang baik. Masa dewasa muda adalah masa untuk mencapai puncak prestasi.
Salah satu dari tugas-tugas perkembangan tersebut adalah memilih pasangan hidup. Menurut
Lyken & Tellegen (1993) preferensi pemilihan pasangan hidup adalah memilih seseorang yang diharapkan
dapat menjadi teman hidup, seseorang yang dapat menjadi rekan untuk menjadi orang tua dari anak–
anaknya kelak. De Genova (2005) mengatakan, ada dua faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan,
yaitu;
a) latar belakang keluarga, dalam mempelajari latar belakang keluarga dari calon pasangan, ada dua
hal yang juga akan diperhatikan, yaitu; kelas sosioekonomi, pendidikan dan intelegensi, agama,
dan pernikahan antar ras atau suku,
b) karakteristik personal, faktor-faktor yang dapat mendukung kecocokan dari pemilihan pasangan,
yaitu; sikap dan tingkah laku individu, perbedaan usia, memiliki kesamaan sikap dan nilai, peran
gender dan kebiasaan pribadi
Sehubungan dengan preferensi pemilihan pasangan hidup, peran orangtua sangat berpengaruh.
Orangtua adalah orang pertama yang mengajarkan segala sesuatu terhadap anaknya. Salah satunya dengan
memberikan nasihat-nasihat dalam proses pemilihan calon pasangan hidup yang tepat terutama bagi anak
perempuan. Para orangtua ingin melihat anaknya bahagia terutama jika anak perempuannya memilih calon
pasangan hidup yang tepat dalam membimbing dan menafkahinya. Menurut Grinder (1978), peran
orangtua menjadi penting sebab orangtua adalah agen utama dan pertama dalam mensosialisasikan kepada
anaknya yang tumbuh dewasa tentang keunikan gaya hidup berkeluarga tersebut.
Meskipun anak dapat memilih pasangan hidupnya sendiri tetapi orang tua yang tetap akan
memberikan restu, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung orang tua juga ikut berperan
dalam menentukan kriteria pasangan hidup anak perempuannya. Ditambah lagi dalam kenyataan, masih
banyak beredar keyakinan di masyarakat Islam bahwa orang tua (dalam hal ini ayah) memiliki hak
menentukan jodoh bagi anak gadisnya. Namun pada kenyataannya ayah jarang terlibat dalam pengasuhan
terutama dalam memilihkan calon pasangan hidup bagi anak perempuannya. Hal ini terlihat pada saat
peneliti melakukan wawancara singkat kepada beberapa ayah yang memiliki anak perempuan yang
berusia dewasa awal berikut ini:
Ayah pertama : “...saya mah terserah anaknya aja mbak, jaman sekarang kan anak mana mau dijodohin
begitu yang penting anaknya baik aja..
” Ayah kedua : “...paling saya nanya-nanya aja cowoknya tinggal dimana, kerja apa, orang tuanya kerja
apa paling ya.. sebatas itu sih...”
Dari hasil wawancara singkat kepada beberapa ayah dapat dikatakan bahwa beberapa ayah
memang jarang terlibat dalam memilihkan pasangan hidup bagi anak perempuannya. Ayah kurang terlibat
dalam mengarahkan bagaimana kriteria yang baik untuk calon pasangan anak perempuannya. Padahal
beberapa dari perempuan yang berusia dewasa awal tersebut dapat dibilang cukup dekat dengan ayahnya.
Namun jika untuk urusan calon pasangan hidup, sang ayah lebih menyerahkan keputusan kepada anaknya.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti ingin melihat bagaimana pengaruh keterlibatan ayah pada masa
sekarang ini dalam preferensi pemilihan calon pasangan hidup anak perempuannya yang berusia dewasa
awal.
Preferensi pemilihan pasangan hidup adalah proses memilih seseorang yang diharapkan dapat
menjadi pendamping hidup dan seseorang yang akan menjadi rekan dalam mengasuh anak kelak.
Pemilihan pasangan adalah proses dimana individu mencari pasangan yang dapat berkomitmen dan dapat
menciptakan makna hubungan sampai pada pernikahan.
Teori Proses Perkembangan De Genova & Rice (2005), menjelaskan bahwa pemilihan pasangan
merupakan proses penyaringan dan penyortiran individu sampai pada akhirnya hanya satu orang yang
memenuhi syarat dan kompatibel yang terpilih. Selain itu, menurut Buss (1985) mendefinisikan preferensi
pemilihan pasangan individu didasarkan pada persamaan dari beberapa karakteristik/aspek yang dimiliki
masingmasing individu tersebut.
Keterlibatan ayah umumnya dikenal dengan istilah paternal involvement atau father involvement.
Lamb (2010) menjelaskan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan merupakan keikutsertaan positif
ayah dalam kegiatan yang berupa interaksi langsung dengan anak-anaknya, memberikan kehangatan,
melakukan pemantauan dan kontrol terhadap aktivitas anak, serta bertanggungjawab terhadap keperluan
dan kebutuhan anak.4
Fungsi penting keluarga modern menurut Duvall sebagai berikut:
1) Generating affection antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, dan seluruh anggota
generasi. Cinta adalah produk yang harus ada dalam kehidupan keluarga. Laki-laki dan perempuan
menikah untuk cinta dan biasanya anak-anak mereka saling ekspresi cinta mereka kepada yang lain
2) Providing personal security and acceptance; penerimaan dari pasangan merupakan bentuk saling
menghormati dan menghargai pasangan sehingga bisa memberikan rasa aman kepada pasangannya
3) Giving satisfaction and sense of purpose; memberikan ketentraman merupakan tujuan dari suatu
hubungan pernikahan. Karena itu pasangan suami isteri harus bisa saling menentramkan.
4) Assuring continuity of companionship; memberikan perlindungan kepada pasangan merupakan
perangkat yang tidak lepas dalam kehidupan keluarga. Dengan perlindungan, keluarga bisa
merasakan lebih senang dan bahagia sebagai bagian dari keluarga.
5) Guaranteeing social placement and socialization; mampu menempatkan diri dalam lingkungan
social serta lingkungan masyarakat yang sehat menjadikan kebahagiaan bagi keluarga
6) Inculcating controls and a sense of what is right. Yaitu memiliki control yang baik dan bisa
membedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak.

Berdasarkan teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah unit social terkecil
yang didalamnya terdapat hubungan antara anggotanya yang bersifat hirarki dan berlangsung dalam

4
2 Anna Armeini Rangkuti, Devi Oktaviani Fajrin, “Preferensi Pemilihan Calom Pasangan Hidup Ditinjau Dari
Keterlibatan Ayah Pada Anak Perempuan”, Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi, 4, 2015, 59-61
jangka waktu yang lama. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam keluarga, antara anggota keluarga saling
memiliki keterikatan secara emosi, saling menghormati dan memiliki ideologi yang disepakati oleh
seluruh anggota keluarga. Keluarga bahagia adalah keluarga yang mempunyai fungsional dalam
mengantar orang pada cita-cita dan tujuan membangun keluarga.
 tidak ada konflik dalam keluarga dan harmonis,
 menunjukkan ekspresi emosional yang kuat dan
 komunikasi yang baik dalam keluarga. Sedangkan dari penelitian yang lain, dapat dimaknai
bahwa keluarga bahagia dapat dikelompokkan kedalam beberapa atribut yaitu
 terdapat cinta dan perlindungan
 mempunyai hubungan timbal balik (mutualisme)
 memiliki kecenderungan pada agama
 saling menerima dan menghormati
 kesetiaan
 anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya
 lingkungan social yang sehat
 financial yang memadai. Berdasarkan beberapa penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keluarga
bahagia memiliki atribut:
 memiliki komunikasi interpersonal yang baik dalam keluarga (tidak ada konflik dan harmonis)
 memiliki ekspresi emosional yang kuat (cinta, perlindungan, timbal balik, saling menerima dan
menghormati, kesetiaan)
 memiliki kecenderungan kepada agama
 dukungan moril dan materiil (anak-anak berbakti kepada orang tua, lingkungan social yang
sehat, financial yang memadai)5

KESIMPULAN
. Kafā’ah dalam Hukum Islam merupakan keserasian atau keseimbangan antara calon suami dan
istri sehingga masing-masing tidak merasa terpaksa dalam melangsungkan perkawinan.
Menikah dan membangun keluarga adalah naluri dasar manusia. Sebagai makhluk, manusia
ditakdirkan memiliki pasangan atau berpasanngan. Sejak muda naluri berpasangan tumbuh dan

5
Netty Herawati, Jurnal : “Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kebahagiaan Pasangan”, Halaman 47
mendorong pelakunya berupaya bertemu dengan pasangannya. Tujuan Perkawinan : Fungsi reproduksi,
Fungsi keagamaan. Fungsi sosial budaya, Fungsi pembinaan lingkungan.
Obyek pertimbangan dalam memilih calon pasangan, yaitu: (pertama) obyek material berupa
kekayaan, status sosial, dan kecantikan/ketampanan; dan (kedua) obyek spiritual berupa keagamaan yang
dimiliki oleh seorang calon pasangan. Kedua obyek pertimbangan ini apabila ditinjau dari sudut pandang
psikologi sangat sesuai dengan watak dan tabiat kepribadian seorang manusia sebagai makhluk Allah Swt.
yang diciptakan memiliki rasa dan akal.
Preferensi pemilihan pasangan hidup adalah proses memilih seseorang yang diharapkan dapat
menjadi pendamping hidup dan seseorang yang akan menjadi rekan dalam mengasuh anak kelak.
Pemilihan pasangan adalah proses dimana individu mencari pasangan yang dapat berkomitmen dan dapat
menciptakan makna hubungan sampai pada pernikahan.
Meskipun anak dapat memilih pasangan hidupnya sendiri tetapi orang tua yang tetap akan
memberikan restu, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung orang tua juga ikut berperan
dalam menentukan kriteria pasangan hidup anak perempuannya. Ditambah lagi dalam kenyataan, masih
banyak beredar keyakinan di masyarakat Islam bahwa orang tua (dalam hal ini ayah) memiliki hak
menentukan jodoh bagi anak gadisnya.
Memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih
harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya
dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan
kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri
atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria
menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi
nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita
setelah berumah tangga kelak.

Anda mungkin juga menyukai