Perkawinan merupakan lembaga yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, dan
sekaligus merupakan lembaga yang menunjukkan kesempurnaan dan harkat martabat manusia.
Ikatan perkawinan tersebut melahirkan sebuah keluarga, di mana seorang pria (suami) dan seorang
wanita (istri) bercinta secara jujur dan terhormat agar dikaruniai anak yang baik. Keluarga seperti itu
hanya mungkin terjadi jika hubungan perkawinan didasarkan pada nilai-nilai moral dan norma-
norma agama
Jika isteri adalah pakaian suaminya dan suami adalah pakaian isterinya, dengan demikian
masing-masing mereka adalah simbol kemuliaan bagi yang lain. Akhlak seorang suami tercermin
dari sifat-sifat istrinya sendiri dan kemuliaan seorang isteri tercermin dari perilaku, ucapan, dan
intergritas suaminya. Dari itu semua dapat dimengerti mengapa isteri harus berbakti kepada
suaminya dan suami harus menghormati isterinya, karena suami yang mempermalukan isterinya
adalah laki-laki yang merobek pakaiannya sendiri. Sedangkan, isteri yang tidak setia dan tidak
berbakti kepada suaminya adalah perempuan yang merampas kehormatan harga dirinya.
Hubungan pernikahan adalah hubungan kemitraan bukan kekuasaan. Suami adalah pasangan
isteri, demikian pula sebaliknya. Kata ini juga menisyaratkan makna bahwa seorang pria itu sendiri
(suami) tidak lengkap tanpa seorang isteri, dan begitu juga sebaliknya. Suami isteri harus berjalan
beriringan seperti rel kereta api. Jika rel terpisah tentu kereta api tersebut tidak bisa dioperasikan,
begitu juga dengan pernikahan maka kelangsungan kehidupan dalam rumah tangganya akan
berantakan
akhlak yang sangat perlu untuk diperhatikan oleh seorang suami diantaranya memberi nafkah
lahir dan batin, membimbing isteri ke jalan Allah dan menjadikannya seorang isteri yang shalehah
sehingga seorang isteri tidak akan menjadi musuh suaminya dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul.
Begitu juga seorang isteri harus memperhatikan akhlaknya dalam keluarga, seperti taat kepada
suami dalam berbagai situasi, disaat ekonomi rumah tangga stabil maupun melarat tetap seorang
isteri harus patuh kepada suaminya selama tidak untuk kemaksiatan
1) Kedudukan Pernikahan
Pernikahan dalam Islam adalah suatu akad (akad) yang diridhoi oleh Allah SWT. antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan pernikahan, keduanya dapat
meniti bahtera rumah tangga dengan penuh warna cinta dan kasih sayang, saling membantu,
saling pengertian dan toleransi, membawa kedamaian satu sama lain, sehingga dalam
perjalanan panjang ini sama-sama memiliki kedamaian, ketenangan dan kenikmatan hidup (Al-
Hasyimy, 1997, 143).
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad Saw, Perkawanin siisyratkan suoaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahaga di dunia dan akhirat
dan dijelaskan pada Al – Quran ( Qs. Al Nuur/24 : 32 ) yang artinya :
“ Dan kawinkanlah orang – orang yang sendirian diantara kamu, dan orang=orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
ALLAH Maha Luas (pemeberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya
semata, sebagaimana tujuan kebanykanan manusia oada hari ini. Namun hendaknya ia
menikah karena melaksanakan anjuran Nabi SAW , Memperbanyak keturunan umat, Menjaga
kemaluanya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrina dari
yang haram.
Berikut ini diuraikan penjelasan tentang kriteria calon istri dan calon suami:
1. Asas pemilihan calon isteri
Dalam pemilihan calon isteri ada beberapa criteria diantaranya:
a. Pemilihan atas dasar agama
Rasulullah saw. memberikan tuntunan kepada lelaki yang ingin menikah agar
memilih isteri yang taat berpegang kepada agama, hingga ia tahu hak dan
kewajibannya sebagai istri dan ibu, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:“Wanita
dinikahi karena empat sebab; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya. Maka pilihlah wanita yang berpegang kepada agama agar kamu
selamat”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
c. Bertanggung jawab
Sifat bertanggung jawab harus menjadi perhatian ketika mencari pasangan,
karena ia yang akan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan keluarganya. Faktor ekonomi ikut memiliki peran besar bagi
kelangsungan dan kelanggengan rumah tangga yang harmonis. Hak nafaqah adalah
kewajiban mutlak suami yang harus diberikan kepada isteri baik sandang, pangan
ataupun papan. Dalam arti lain, suami memiliki kewajiban untuk memberikan biaya
rumah tangga, dan semua keperluan isteri dan anak dan berbagai keperluan lainnya
seperti biaya pendidikan.
Suami dalam fungsinya sebagai pemimpin keluarga bertanggung jawab
kepada Allah atas kesejahtraan dan kebahagiaan pasangannya lahir batin dan dunia
akhirat. Allah SWT berfirman :Artinya:” kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.‟ (Qs an-Nisa 4/34). Imbalan dari kepemimpinan laki-
laki adalah ketaatan istri kepada sumi. Istri yang shalihah tentu mentaati suaminya
yang berperan menjadi kepala rumah tangga. Layak di ingat ketaatan disini tentu
terkait dengan hal-hal yang dibolehkan agama. Diluar ajaran agama tentu tidak ada
lagi ketaatan, meskipun perintah itu datang dari suami. Sebab Rasul bersabda:
“Tidak ada ketaataan pada seorang mahluk pun pada hal-hal yang menyalahi
perintah Allah.” Ketaatan istri yang tulus adalah bentuk penghormatan yang haqiqi
dari seorang istri terhadap suaminya sebagai imbalan dari sikap qowwam suami
kepada istri. Sifat qowwam dalam ayat ini terkait dengan pemenuhan tanggung
jawab seorang suami kepada istrinya. Suami dianggap tidak qowwam jika sikap dan
tanggung jawabnya tidak sempurna atau tidak berkesinambungan. Dengan kata lain
tidak ada ketaatan tanpa adanya sikap suami untuk melindungi istri dari berbagai
bahaya, baik yang mengancam dirinya atau yang mengancam keutuhan keluarga
mereka.
Tidak ada ketaatan tanpa tanggung jawab memberi nafkah, kecuali jika suami
memang karena suatu hal seperti sakit atau menjadi korban pemutusan hubungan
kerja, menjadikan dirinya tidak mampu memberi nafkah istrinya secara wajar. Hal ini
tentu berbeda dengan sikap dan situasi suami yang dengan sengaja tidak mau
menafkahi istrinya, baik karena kekikirannya atau ada niat-niat tertentu yang
disembunyikannya dari pasangannya untuk memperkaya diri sendiri atau untuk hidup
dengan perempuan lain yang lebih muda, setelah pasangannya lanjut usia, atau karena
kemalasannya mencari nafkah, padahal fisiknya kuat dan sehat
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam hal memilih jodoh, Islam telah
meletakkan panduan-panduan yang jelas bagi lelaki dan perempuan untuk
mendapatkan pasangan hidup yang dianggap sesuai menurut tuntutan agama. Agama
menjadi dasar pertama diantara syarat-syarat lain sangat dan penting diperhatikan
dalam pemilihan jodoh. Dengan berpegang kepada agama, suami akan bisa
berinteraksi dengan baik dengan istrinya meskipun dalam keadaan yang tidak
harmonis. (mu‟sharah bi al ma‟ruf”) Firman Allah yang artinya: “dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” QS. an-Nisa‟ 4/19:. At-Thabari
menyatakan bahwa mu‟asyarah bil ma‟ruf pada prinsipnya adalah berahlak yang baik
kepada istrinya dan memperlakukannya sesuai dengan tuntunan agama dan apa yang
berlaku di masyarakatnya, dengan cara memberikan hak-haknya. Pendapat ini
didukung oleh as Suyuti, dimana ia menyatakaan bahwa “Pergaulan yang baik antara
suami istri harus dimaknai dengan perkataan yang baik pemenuhan nafakah dan
menyediakan tempat tinggal (Tafsir Jalalain). Imam Ghazali menulis “Ketahuilah
bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak
mengganggunya, tapi bersabar dalam menghadapi kesalahannya, serta
memperlakukannya dengan kelembutan dan sikap ikhlas memaafkan, saat istri
menumpahkan emosi dan kemarahannya.
Contoh mu‟asyarah bil ma‟ruf yang nyata kita dapatkan dalam pergaulan
Rasulullah kepada istri-istrinya yaitu: Rasul senantiasa mempergauli mereka dengan
sangat baik, selalu menampakkan muka manis dan berseri-seri, bersenda gurau dan
bercanda dengan mesra, memberi nafkah dan mempercayakan seluas-luasnya tentang
pengelolaan keuangan keluarga kepada istri bahkan bermain dengan istri,
mengajaknya lomba lari, tidur bersama dalam satu selimut, dan menyempatkan diri
berhubungan sebelum tidur.9 Perintah untuk mempergauli istri dengan ma‟ruf bukan
hanya ditujukan kepada istri yang dicintai tapi juga kepada istri yang tidak dicintai.
Hal ini dikatakan oleh Sya‟rawi dalam tafsirnya dimana ia membedakan antara
mawaddah dan ma‟ruf. Mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri,
dilandasi oleh cinta dan juga dengan sikap ma‟ruf yang diperintahkan. Sementara
perlakuan yang ma‟ruf kepada istri tidak selamanya harus di landasi dengan rasa
cinta, tapi dilandasi oleh rasa tanggung jawab
3) Hak dan Kewajiban Suami Istri
- Pertama, dalam bergaul dengan isterinya lebih mengedepankan sikap welas, asih, cinta dan
lembut.
- Kedua, seorang suami sebagai kepala keluarga diharuskan memperlakukan isteri maupun
anak-anaknya dengan kasih sayang dan kelembutan, karena terkadang seorang suami
merupakan seorang terkenal dalam masyarakat dia dapat berperilaku lemah lemah lembut
dalam perbuatannya namun tidak mampu memperlakukan keluarganya dengan sikap dan
perilaku seperti saat bersikap dengan masyarakatnya.
- Ketiga, seorang suami harus kuat dalam menghadapi siatuasi dan keadaan yang tidak
nyaman, dan tidak cepat tersulut menghadapi sesuatu yang tidak tepat terhadap isterinya.
- Keempat, seorang suami seharusnya terampil mencandai isterinya, karena dengan adanya
canda dan tawa inilah suasana kehidupan sebuah rumah tangga lebih bergairah dan dapat
mencairkan suasana yang tidak nyaman (Muhammad Alwi Maliki, 1995, 68).
Begitu juga seorang isteri pun tentu mempunyai beberapa kewajiban yang harus dilakukan
terhadap suaminya diantaranya:
- Pertma, Seorang istri harus memiliki jiwa qanaah, dengan jiwa qanaah inilah seorang istri
akan mampu mengatur dalam membelanjakan harta suaminya sehingga mencukupi
kebutuhan suami dan anak-anaknya.
- Kedua, seorang isteri harus berbakti kepada suaminya, yakni mementingkan hak suami
sebelum hak atas dirinya dan kerabat-kerabatnya, begitu juga berlaku baik kepada ayah atau
ibu suami karena hal ini termasuk dalam kategori taat kepada suaminya.
- Ketiga, isteri adalah guru pertama anak-anak, maka didiklah mereka dengan baik, ucapkan
kata-kata yang baik, doakan mereka dengan doa yang baik. Semua ini adalah pemenuhan
pengabdian seorang istri kepada suaminya (Alhamdani, 1989, 139).
- Keempat, seorang isteri harus memiliki akhlak yang baik seperti tidak mengadukan atau
menceritakan persoalan-persoalan dalam rumah tangganya dengan orang lain ataupun
dalam berbagai forum, apalagi di era sekarang ini sering terjadi seorang wanita menceritakan
keadaan buruk/aib keluarga yang dialaminya kepada orang lain diberbagai media social,
sehingga membuat nama baik suami dan keluarga sendiri menjadi buruk.
- Kelima, seorang isteri diharuskan mendapat izin dari suaminya bila berkeinginan untuk keluar
rumah (Nipan & Fuad Kauma, 1997, 187)