Anda di halaman 1dari 12

MEMILIH JODOH DAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Keluarga


Dosen Pengampu Ernawati, M.Pd

Disusun Oleh :
Aprilia Tri Hasnawati (1817101090)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM


JURUSAN KONSELING DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS DAKWAH
UIN PROF.K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
A. Pendahuluan
Setiap makhluk hidup di dunia ini telah diciptakan untuk berpasang-pasangan.
Dalam rangka untuk menemukan pasangan maka perlu adanya usaha yang dilakukan,
kemudian usaha untuk mencari, menentukan konsep dan kemudian direncanakan serta
diniatkan. Hidup berpasangan merupakan fitrah yang telah Tuhan anugerahkan kepada
makhluk ciptaan-Nya, yang mana merupakan sesuatu yang harus dihargai. Oleh sebab
itu maka dalam mencari pasangan ataupun pendamping khususnya untuk umat Islam
sudah selayaknya menggunakan etika dalam prosesnya. Etika dalam menemukan
pasangan sangat penting agar dapat bernilai ibadah sehingga rumah tangga akan
sakinah, mawwadah, dan warohmah.
Sebenarnya banyak sekali tuntunan agama dalam memandu manusia untuk mencari
pasangan hidupnya yang kemudian akan dijadikan partner untuk menciptakan sebuah
keluarga yang bahagia, harmonis, dan damai sejahtera. Serta dapat terciptanya keluarga
yang berkualitas yang tercukupi baik sandang, pangan serta papannya. Keluarga yang
semacam ini tentu saja diharapkan mampu melahirkan generasi yang berkualitas.
Namun pada kenyataannya di masyarakat masih banyak dijumpai adanya
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),yang kemudian menyebabkan perceraian.
Perceraian yang terjadi mungkin terjadi karena kurangnya pengertian dan pemahaman
satu sama lain. Sedangkan penyebab seorang melakukan tindak kekerasan bias
disebabkan oleh beberapa hal, yang pertama adanya citra buruk yang terdapat pada
laki-laki/perempuan dikarenakan rendahnya pendidikan mereka, yang kedua
pandangan yang stereotip terhadap pasangan, yang ketiga adanya warisan dari keluarga
ataupun luka masa lalu yang dia alami diwaktu kecil, baik ia yang mengalami hal
tersebut atau menyaksikan kejadian tersbeut maka akan terekam di memorinya.
Oleh karena itu sangat penting memilih pasangan/ jodoh yang terbaik sehingga
dapat menjalani kehidupan pernikahan yang baik dan terhindar dari hal-hal buruk yang
mungkin terjadi. Makalah singkat ini ditulis untuk membahas bagaimana cara
menentukan jodoh atau memilih pasangan dan membahas tentang pernikahan dalam
islam.
B. Pembahasan
a. Memilih Jodoh/ Pasangan
Membangun dan membina sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan istri,
memerlukan adanya perhatian khusus. Karena dalam membangun keluarga selain
berkaitan erat dengan kebahagiaan dunia dan akhirat, juga berhubungan dengan
kualitas anak yang akan dilahirkan dari keluarga tersebut. Berikut ini diuraikan
penjelasan tentang kriteria calon istri dan calon suami :
1. Asas Pemilihan calon Istri
a) Pemilihan atas dasar agama
Yang mana Rasulullah SAW memberikan tuntunan kepada seorang
laki-laki yang ingin memilih calon istri yang taat kepada agama.
Sehingga ia tahu hak serta kewajibannya sebagai istri dan ibu,
sebagaimana savda Rasulullah saw :” Wanita dinikahi karena
empat sebab; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya. Maka pilihlah wanita yang berpegang teguh kepada
agama agar kamu selamat”. (Riwayat al-Bukhori dan Muslim dari
Abu Hurairah).1
Kecantikan, keturunan, serta harta termasuk kriteria dalam
pemilihan jodoh. Allah menjadikan manusia secara fitrah
menginginkan kecantikan. Oleh sebab itu dalam hal menentukan
pasangan/jodoh kebanyakan kaum laki-laki lebih mengutamakan
kecantikan dari syarat-syarat lain. Maka tidak heran jika banyak
laki-laki yang tertipu oleh kecantikan seorang wanita dan akhirnya
terjatuh kelembah kehinaan. Di kalangan orang Arab terdapat sifat-
sifat wanita yang tidak terpuji dan harus dijauhi untuk menikahinya.
Adapun sifat-sifatnya yaitu2 :
 Annanah : Wanita yang senantiasa mengeluh

1
Faizah Ali S, Kiat-kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Hlm.4
2
Huzaimah T Yanggo , Hukum Keluarga Islam, hlm.168
 Mannanah : Suka mengungkit perbuatannya terhadap suami
 Hannanah : Berselingkuh
 Haddaqah : Pintar membujuk dan merayu ketika
menginginkan sesuatu sehingga suami terpaksa selalu
memenuhi keinginannya.
 Baraqqah : Selalu sibuk berhias diri dan bersolek tanpa
memperhatikan tugasnya sebagai ibu dan anak
 Syaddaqah : Terlalu banyak bicara. 3
b) Pemilihan atas dasar keturunannya
Wanita yang berasal dari keturunan tang baik akan melahirkan
kerukunan dalam rumah tangga. Rasulullah saw melarang
perempuan yang cantik, tetapi lahir dari asal keturunan yang tidak
baik. Rasulullah mengingatkan bahwa dalam hadistnya :”
waspadalah kamu terhadap sayur yang tumbuh ditimbunan kotoran
binatang. Seorang bertanya : Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud
sayur yang tumbuh ditimbunan kotoran binatang? Rasulullah
berkata :”Wanita yang cantik tapi berasal dari turunan yang tidak
baik.” (Riwayat Daraquthni dari al-Waqdiy)4
c) Pemilihan atas dasar kesehatan rokhani dan jasmani
Kesehatan ibu akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan alat
reproduksi dan pada kondisi kesehatan rokhani dan jasmani anak
yang dilahirkannya. Seseorang ibu yang hamil yang tidak sehat
rokhaninya seperti mengalami stress, depresi atau penyakit mental
lainnya akan berpengaruh pada kesehatan psikologis anak yang
dikandungnya. Selain itu juga kesehatan jasmani sangat
berpengaruh karena akan mempengaruhi kualitas air susu ibu yang
akan menjadi makanan pokok bayi di usia balita.

3
As-San’any, subul as Salam, Jilid III, hlm.111
4
Hadis ini meskipun dhaif, sebaiknya dijadikan pedoman, karena keturunan yang tidak baik terkadang
dapat menurun kepada anak cucu. Menurut Jumhur Ulama hadis dhaif dapat dijadikan pedoman dalam hal bukan
menentukan hokum, yakni fi fadhail al’amal.
d) Menghindari perkawinan dengan kerabat dekat
Dalam memilih jodoh diutamakan wanita yang tidak ada kaitan
dengan nasab dan keluarga. Tujuannya untuk menjaga kecerdasan
anak, menjamin keselamatan jasmani dari penyakit menular cacat
bawaan akibat keturunan. Al-Syafi’i mengatakan bahwa sunnah
hukumnya untuk menikahi wanita asing. Diantara sebab adanya
himbauan untuk menghindari perkawinan ialah untuk memperluas
hubungan antara satu qabilah dengan qabilah lainnya, sehingga
mereka bisa saling membantu dan tolong menolong dalam berbagai
masalah terutama ketika menghadapi serangan musuh. 5
2. Asas Memilih calon suami
a) Agama dan Akhlak
Kedua hal ini harus dijadikan sebagai dasar utama dalam
menentukan pasangan yang akan dijadikan suami, bukan
ketampanan dan kekayaannya saja. Itu sebabnya orang tua harus
ikut disertakan dalam menentukan calon pasangan. Orang tua juga
diminta untuk bertindak tegas terhadap anak gadisnya jika datang
lamaran dari orang yang dikenal baik akhlaknya. Berdasarkan sabda
Nabi SAW : “apabila datang kepadamu seorang yang kamu
senangi agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah dia dengan anak
perempuanmu, jika tidak niscaya akan mendatangkan fitnah dibumi
ini dan akan menimbulkan kerusakan yang mengerikan.” (Riwayat
al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al Hakim dari Abi Hurairah).
b) Sehat rokhani dan jasmani
Laki-laki yang sehat baik secara rokhani maupun jasmaninya akan
mampu menjalankan kewajibanya dengan baik untuk melindungi
dan membimbing keluarganya.

5
Al-Gazhali, Ihya Ulum al-Din, (Beirut : Dar al Ma’rifah, t.th), Juz II, Hlm.38
c) Bertanggung jawab
Suami dalam fungsinya sebagai pemimpin keluarga
bertanggungjawab kepada Allah swt atas kesejahteraan dan
kebahagiaan pasangannya lahir batin dan dunia akhirat. Allah swt
berfirman : “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dank arena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS an-Nisa 4/34).

Dari uraian di atas jelas bahwa dalam hal memilih jodoh, Islam meletakan panduan-
panduan yang jelas bagi lelaki dan perempuan untuk mendapatkan pasangan hidup yang
dianggap sesuai menurut tuntunan agama. Agama menjadi dasar pertama diantara
syarat-syarat lain sangat dan penting diperhatikan dalam pemilihan jodoh.

b. Pernikahan dalam Islam


1. Pengertian Nikah
Secara bahasa nikah artinya menghimpun. Nikah juga berarti bersetubuh
dalam akad. Menurut ahli usul dan bahasa, bersetubuh merupakan makna hakiki
dari nikah, sementara akad merupakan makna majazi. Dengan demikian jika
dalam ayat al-qur’an atau hadits Nabi muncul lafaz nikah dengan tanpa disertai
indicator apa pun, berarti maknanya bersetubuh6, sebagaimana QS. An-Nisa
4:22 yang artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.”
Pandangan menurut ahli fiqh, makna hakiki nikah adalah akad, sementara
makna majazi-nya adalah bersetubuh, karena makna itulah yang masyhur dalam
al-Qur’an dan hadis.7 Kelompok Shafi-i dan Maliki memperkuat pendapat
kedua ini dengan beberapa argument dari al-Qur’an (An-Nur 24 : 32) dan hadis
Nabi yang artinya : “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”.

6
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Vol.9, (Damaskus : Dar al-Fikr,2004),6514.
7
Ibid.
Adapun menurut istilah Hanafiyah mendefinisikan nikah dengan “akad
yang menghasilkan faidah dapat melakukan hubungan suami istri secara
sengaja, artinya tidak ada halangan shara’. Sementara itu ulama dari kalangan
Shafi-iyah mendefinisikan nikah dengan “akad yang mengandung kebolehan
melakukan hubungan suami istri dengan lafaz nikah/kawin atau yang memiliki
makna yang sama dengan nikah/kawin.8 Menurut jumhur, hokum nikah bagi
masing-masing orang dapat berbeda sebagai berikut :
a. Wajib
Hukum ini berlaku bagi mereka yang telah melakukan nikah, mampu memberi
nafkah pada istri serta hak dan kewajiban lainnya dan dikhawatirkan jatuh pada
perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
b. Sunnah
Hukum ini berlaku bagi mereka yang mampu dan tidak dikhawatirkan jatuh
pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
c. Makruh
Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa bahwa dirinya berbuat zalim pada
istrinya jika menikah, namun tidak sampai pada tingkatan yakin, misalnya
karena ia tidak memiliki nafsu yang kuat, khawatir tidak mampu menafkahi,
tidak begitu menyukai istrinya dan lain sebagainya. Dalam pandangan Shafi-
iyah hokum makruh berlaku jika yang bersangkutan punya cacat seperti pikun,
sakit menahun, dan lain-lain. Hukum ini menurut shafi-iyah juga berlaky bagi
mereka yang menikahi wanita yang sudah menerima pinangan dari orang lain.
d. Haram
Berlaku bagi mereka yang tidak mampu lahir dan batin jika tetap menikah, akan
menyebabkan mudarat bagi istrinya secara pasti.
e. Mubah
Berlaku bagi mereka yang tidak ada factor penghalang maupun pendorong
untuk menikah. 9

8
Abd al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh, Vol.4, No.8.
9
Iffah Muzammil, Fiqh Munaqahat (Hukum Pernikahan dalam Islam), Tsmart Printing : Tangerang, 2019,
hlm.8
2. Rukun dan Syarat Nikah
Menurut pandangan ulama Hanafi, rukun nikah hanya ijab dan qabul,
sementara dalam pandangan jumhur, rukun nikah terdiri a) pengantin laki-laki,
b) pengantin perempuan, c) wali, d) dua orang saksi, serta e) ijab dan qabul
(akad nikah).10 Sementara malikiyah juga menetapkan mahar sebagai rukun
nikah. Adapun syarat-syarat nikah yaitu :
a. Syarat pengantin laki-laki
 Islam
 Rida terhadap pernikahan tersebut
 Orangnya jelas
 Tidak ada halangan shara’ misalnya tidak sedang ihram haji atau
umroh
Menurut Hanafiyah baligh dan berakal bukan merupakan syarat sahnya
menikah, melainkan merupakan syarat sahnya akad pernikahan. Sementara
syarat sah nikah yaitu mumayyiz, yakni berusia tujuh tahun.
b. Syarat pengantin wanita
 Rida terhadap pernikahan tersebut
 Islam atau Ahl al-Kitab
 Orangnya jelas
 Tidak ada halangan shar’I untuk dinikahi baik yang bersifat
muabbad (selamanya) karena mahram. Muaqqat (sementara)
misalnya sedang terikat dengan pernikahan dengan orang lain.
c. Syarat Wali
Wali terdiri dari dua orang, yakni wali nasab dan wali hakim. Syarat wali
ialah :
 Cakap bertindak hukum (baligh dan berakal)
 Merdeka
 Seagama antara wali dengan mempelai yang diakadkan
 Laki-laki

10
Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, Vol.9,6521.
 Adil

Dalam pandangan hanafiyah perempuan dapat menjadi wali sebagai


wali pengganti atau mewakili. 11

d. Syarat Saksi
 Cakap bertindak hukum
 Minimal dua orang laki-laki
 Muslim
 Melihat
 Mendengar
 Adil
 Paham terhadap maksud akad
 Merdeka

Menurut Jumhur pernikahan tanpa saksi dinyatakan sah. Karena


dalam ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang pernikahan tidak
menyebutkan persyaratan adanya saksi. Misalnya dalam QS. An-Nisa
4:3 yang artinya : “ maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi.”. Mereka juga menyatakan bahwa Hasan b’Ali pernah
melakukan pernikahan tanpa saksi, namun kemudian
mengumumkannya.12

e. Syarat ijab-qabul
 lafaz yang diucapkan harus bersifat pasti (menggunakan fi’il māḍī)
 tidak mengandung makna yang meragukan
 lafaz akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad.
Artinya, akad tidak digantungkan pada syarat tertentu, misalnya,
“saya nikahkan anak saya jika nanti sudah diterima menjadi
pegawai negeri”.

11
Ibid.
12
Abu Al Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rush al-Qurtubi, Bidayat al-Mujtahid vol.2
 ijab dan qabul diucapkan dalam satu majlis, artinya ijab dan qabul
berada dalam situasi dan kondisi yang menunjukkan adanya
kesatuan akad. Jika salah satu pihak tidak hadir dalam majlis akad,
namun mengirimkan surat yang berisi kesediaan terhadap akad,
maka ketika surat tersebut dibacakan di hadapan saksi, maka itulah
satu majlis
 qabul tidak berbeda dengan ijab. Jika jumlah mahar disebutkan
dalam akad, maka jumlah mahar yang disebut dalam qabul harus
sama dengan jumlah yang disebut dalam ijab, kecuali jika dalam
qabul (pihak suami) menyebut jumlah mahar yang melebihi jumlah
yang disebut dalam ijab. Dalam hal ini, akad, sah. Sekalipun
menurut jumhur mahar bukan rukun, namun jika disebut dalam
akad, maka menjadi bagian dari akad
 antara ijab dan qabul harus bersifat segera (al-faur), artinya, tidak
ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang menunjukkan
adanya perubahan/pemalingan dari tujuan akad
 kedua pihak mendengar ijab dan qabul secara jelas
 orang yang mengucapkan ijab tidak mencabut ijabnya
 harus disampaikan secara lisan, kecuali orang bisu dan orang yang
tidak berada di tempat,
 akad bersifat abadi, tidak dibatasi oleh waktu, misalnya bahwa
pernikahan hanya selama satu bulan, dan lain-lain.

C. Kesimpulan dan Penutup


Karena mahluk ciptaan Allah swt diciptakan berpasang-pasangan maka hendaknya
menggunakan tuntunan agama serta syariat islam dalam mengupayakan atau memilih
jodoh atau pasangan agar dapat membangun kehidupan pernikahan yang sakinah,
mawahdah, warohmah. Dalam menentukan pilihan atau mencari jodoh islam telah
memberikan informasi yang komprehensif melalui kajian fiqh yang diambil dari
sumber utama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dilengkapi dengan interpretasi para
ulama. Adapun dalam melakukan pernikahan juga memiliki syarat-syarat dan rukun
nikah yang telah diatur didalam agama. Idealnya pernikahan dapat menjadi mediator
atau perantara meraih ridha Allah swt dan mengikuti jejak Rasulullah saw sehingga
pemilihan jodoh berdasarkan tuntunan agama harus diupayakan. Karena jodoh tidak
sekedar takdir Tuhan semata tanpa ada upaya dari manusia sebagai hamba Allah Swt.
Karena jodoh bersifat ikhtiari.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Gazhali, Ihya Ulum al-Din, (Beirut : Dar al Ma’rifah, t.th), Juz II, Hlm.38
Faizah Ali S, Kiat-kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Hlm.4

Huzaimah T Yanggo , Hukum Keluarga Islam, hlm.168


As-San’any, subul as Salam, Jilid III, hlm.111

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Vol.9, (Damaskus : Dar al-Fikr,2004),6514.

Ibid.

Abd al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh, Vol.4, No.8.

Iffah Muzammil, Fiqh Munaqahat (Hukum Pernikahan dalam Islam), Tsmart Printing :
Tangerang, 2019

Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, Vol.9,6521.

Abu Al Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rush al-Qurtubi, Bidayat al-Mujtahid vol.2

Anda mungkin juga menyukai