MAKALAH
Disusun Oleh :
Aprilia Tri Hasnawati (1817101090)
1
Faizah Ali S, Kiat-kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Hlm.4
2
Huzaimah T Yanggo , Hukum Keluarga Islam, hlm.168
Mannanah : Suka mengungkit perbuatannya terhadap suami
Hannanah : Berselingkuh
Haddaqah : Pintar membujuk dan merayu ketika
menginginkan sesuatu sehingga suami terpaksa selalu
memenuhi keinginannya.
Baraqqah : Selalu sibuk berhias diri dan bersolek tanpa
memperhatikan tugasnya sebagai ibu dan anak
Syaddaqah : Terlalu banyak bicara. 3
b) Pemilihan atas dasar keturunannya
Wanita yang berasal dari keturunan tang baik akan melahirkan
kerukunan dalam rumah tangga. Rasulullah saw melarang
perempuan yang cantik, tetapi lahir dari asal keturunan yang tidak
baik. Rasulullah mengingatkan bahwa dalam hadistnya :”
waspadalah kamu terhadap sayur yang tumbuh ditimbunan kotoran
binatang. Seorang bertanya : Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud
sayur yang tumbuh ditimbunan kotoran binatang? Rasulullah
berkata :”Wanita yang cantik tapi berasal dari turunan yang tidak
baik.” (Riwayat Daraquthni dari al-Waqdiy)4
c) Pemilihan atas dasar kesehatan rokhani dan jasmani
Kesehatan ibu akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan alat
reproduksi dan pada kondisi kesehatan rokhani dan jasmani anak
yang dilahirkannya. Seseorang ibu yang hamil yang tidak sehat
rokhaninya seperti mengalami stress, depresi atau penyakit mental
lainnya akan berpengaruh pada kesehatan psikologis anak yang
dikandungnya. Selain itu juga kesehatan jasmani sangat
berpengaruh karena akan mempengaruhi kualitas air susu ibu yang
akan menjadi makanan pokok bayi di usia balita.
3
As-San’any, subul as Salam, Jilid III, hlm.111
4
Hadis ini meskipun dhaif, sebaiknya dijadikan pedoman, karena keturunan yang tidak baik terkadang
dapat menurun kepada anak cucu. Menurut Jumhur Ulama hadis dhaif dapat dijadikan pedoman dalam hal bukan
menentukan hokum, yakni fi fadhail al’amal.
d) Menghindari perkawinan dengan kerabat dekat
Dalam memilih jodoh diutamakan wanita yang tidak ada kaitan
dengan nasab dan keluarga. Tujuannya untuk menjaga kecerdasan
anak, menjamin keselamatan jasmani dari penyakit menular cacat
bawaan akibat keturunan. Al-Syafi’i mengatakan bahwa sunnah
hukumnya untuk menikahi wanita asing. Diantara sebab adanya
himbauan untuk menghindari perkawinan ialah untuk memperluas
hubungan antara satu qabilah dengan qabilah lainnya, sehingga
mereka bisa saling membantu dan tolong menolong dalam berbagai
masalah terutama ketika menghadapi serangan musuh. 5
2. Asas Memilih calon suami
a) Agama dan Akhlak
Kedua hal ini harus dijadikan sebagai dasar utama dalam
menentukan pasangan yang akan dijadikan suami, bukan
ketampanan dan kekayaannya saja. Itu sebabnya orang tua harus
ikut disertakan dalam menentukan calon pasangan. Orang tua juga
diminta untuk bertindak tegas terhadap anak gadisnya jika datang
lamaran dari orang yang dikenal baik akhlaknya. Berdasarkan sabda
Nabi SAW : “apabila datang kepadamu seorang yang kamu
senangi agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah dia dengan anak
perempuanmu, jika tidak niscaya akan mendatangkan fitnah dibumi
ini dan akan menimbulkan kerusakan yang mengerikan.” (Riwayat
al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al Hakim dari Abi Hurairah).
b) Sehat rokhani dan jasmani
Laki-laki yang sehat baik secara rokhani maupun jasmaninya akan
mampu menjalankan kewajibanya dengan baik untuk melindungi
dan membimbing keluarganya.
5
Al-Gazhali, Ihya Ulum al-Din, (Beirut : Dar al Ma’rifah, t.th), Juz II, Hlm.38
c) Bertanggung jawab
Suami dalam fungsinya sebagai pemimpin keluarga
bertanggungjawab kepada Allah swt atas kesejahteraan dan
kebahagiaan pasangannya lahir batin dan dunia akhirat. Allah swt
berfirman : “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dank arena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS an-Nisa 4/34).
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam hal memilih jodoh, Islam meletakan panduan-
panduan yang jelas bagi lelaki dan perempuan untuk mendapatkan pasangan hidup yang
dianggap sesuai menurut tuntunan agama. Agama menjadi dasar pertama diantara
syarat-syarat lain sangat dan penting diperhatikan dalam pemilihan jodoh.
6
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Vol.9, (Damaskus : Dar al-Fikr,2004),6514.
7
Ibid.
Adapun menurut istilah Hanafiyah mendefinisikan nikah dengan “akad
yang menghasilkan faidah dapat melakukan hubungan suami istri secara
sengaja, artinya tidak ada halangan shara’. Sementara itu ulama dari kalangan
Shafi-iyah mendefinisikan nikah dengan “akad yang mengandung kebolehan
melakukan hubungan suami istri dengan lafaz nikah/kawin atau yang memiliki
makna yang sama dengan nikah/kawin.8 Menurut jumhur, hokum nikah bagi
masing-masing orang dapat berbeda sebagai berikut :
a. Wajib
Hukum ini berlaku bagi mereka yang telah melakukan nikah, mampu memberi
nafkah pada istri serta hak dan kewajiban lainnya dan dikhawatirkan jatuh pada
perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
b. Sunnah
Hukum ini berlaku bagi mereka yang mampu dan tidak dikhawatirkan jatuh
pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.
c. Makruh
Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa bahwa dirinya berbuat zalim pada
istrinya jika menikah, namun tidak sampai pada tingkatan yakin, misalnya
karena ia tidak memiliki nafsu yang kuat, khawatir tidak mampu menafkahi,
tidak begitu menyukai istrinya dan lain sebagainya. Dalam pandangan Shafi-
iyah hokum makruh berlaku jika yang bersangkutan punya cacat seperti pikun,
sakit menahun, dan lain-lain. Hukum ini menurut shafi-iyah juga berlaky bagi
mereka yang menikahi wanita yang sudah menerima pinangan dari orang lain.
d. Haram
Berlaku bagi mereka yang tidak mampu lahir dan batin jika tetap menikah, akan
menyebabkan mudarat bagi istrinya secara pasti.
e. Mubah
Berlaku bagi mereka yang tidak ada factor penghalang maupun pendorong
untuk menikah. 9
8
Abd al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh, Vol.4, No.8.
9
Iffah Muzammil, Fiqh Munaqahat (Hukum Pernikahan dalam Islam), Tsmart Printing : Tangerang, 2019,
hlm.8
2. Rukun dan Syarat Nikah
Menurut pandangan ulama Hanafi, rukun nikah hanya ijab dan qabul,
sementara dalam pandangan jumhur, rukun nikah terdiri a) pengantin laki-laki,
b) pengantin perempuan, c) wali, d) dua orang saksi, serta e) ijab dan qabul
(akad nikah).10 Sementara malikiyah juga menetapkan mahar sebagai rukun
nikah. Adapun syarat-syarat nikah yaitu :
a. Syarat pengantin laki-laki
Islam
Rida terhadap pernikahan tersebut
Orangnya jelas
Tidak ada halangan shara’ misalnya tidak sedang ihram haji atau
umroh
Menurut Hanafiyah baligh dan berakal bukan merupakan syarat sahnya
menikah, melainkan merupakan syarat sahnya akad pernikahan. Sementara
syarat sah nikah yaitu mumayyiz, yakni berusia tujuh tahun.
b. Syarat pengantin wanita
Rida terhadap pernikahan tersebut
Islam atau Ahl al-Kitab
Orangnya jelas
Tidak ada halangan shar’I untuk dinikahi baik yang bersifat
muabbad (selamanya) karena mahram. Muaqqat (sementara)
misalnya sedang terikat dengan pernikahan dengan orang lain.
c. Syarat Wali
Wali terdiri dari dua orang, yakni wali nasab dan wali hakim. Syarat wali
ialah :
Cakap bertindak hukum (baligh dan berakal)
Merdeka
Seagama antara wali dengan mempelai yang diakadkan
Laki-laki
10
Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, Vol.9,6521.
Adil
d. Syarat Saksi
Cakap bertindak hukum
Minimal dua orang laki-laki
Muslim
Melihat
Mendengar
Adil
Paham terhadap maksud akad
Merdeka
e. Syarat ijab-qabul
lafaz yang diucapkan harus bersifat pasti (menggunakan fi’il māḍī)
tidak mengandung makna yang meragukan
lafaz akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad.
Artinya, akad tidak digantungkan pada syarat tertentu, misalnya,
“saya nikahkan anak saya jika nanti sudah diterima menjadi
pegawai negeri”.
11
Ibid.
12
Abu Al Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rush al-Qurtubi, Bidayat al-Mujtahid vol.2
ijab dan qabul diucapkan dalam satu majlis, artinya ijab dan qabul
berada dalam situasi dan kondisi yang menunjukkan adanya
kesatuan akad. Jika salah satu pihak tidak hadir dalam majlis akad,
namun mengirimkan surat yang berisi kesediaan terhadap akad,
maka ketika surat tersebut dibacakan di hadapan saksi, maka itulah
satu majlis
qabul tidak berbeda dengan ijab. Jika jumlah mahar disebutkan
dalam akad, maka jumlah mahar yang disebut dalam qabul harus
sama dengan jumlah yang disebut dalam ijab, kecuali jika dalam
qabul (pihak suami) menyebut jumlah mahar yang melebihi jumlah
yang disebut dalam ijab. Dalam hal ini, akad, sah. Sekalipun
menurut jumhur mahar bukan rukun, namun jika disebut dalam
akad, maka menjadi bagian dari akad
antara ijab dan qabul harus bersifat segera (al-faur), artinya, tidak
ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang menunjukkan
adanya perubahan/pemalingan dari tujuan akad
kedua pihak mendengar ijab dan qabul secara jelas
orang yang mengucapkan ijab tidak mencabut ijabnya
harus disampaikan secara lisan, kecuali orang bisu dan orang yang
tidak berada di tempat,
akad bersifat abadi, tidak dibatasi oleh waktu, misalnya bahwa
pernikahan hanya selama satu bulan, dan lain-lain.
Al-Gazhali, Ihya Ulum al-Din, (Beirut : Dar al Ma’rifah, t.th), Juz II, Hlm.38
Faizah Ali S, Kiat-kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan Bahagia, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Hlm.4
Ibid.
Iffah Muzammil, Fiqh Munaqahat (Hukum Pernikahan dalam Islam), Tsmart Printing :
Tangerang, 2019
Abu Al Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rush al-Qurtubi, Bidayat al-Mujtahid vol.2