Anda di halaman 1dari 22

Pertemuan III

Standār Kompetensi:
Mahasiswa memahami tata cara memilih suami /istri dan dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan manakala tiba saatnya.
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa memahami kriteria memilih suami /istri.

Tujuan Pembelajaran:
Mahasiswa Mampu:
1. Menjelaskan kriteria calon suami atau istri
2. Mengemukakan cara meminang calon istri (khitbah) menurut syariat Islam
3. Mengemukakan wanita yang haram dinikahi (muharramat)
4. Menjelaskan hak suami dan istri
Petunjuk Pembelajaran
Bagi dosen:
1. Memasuki ruang kelas dengan mengucapkan salam
2. Pembelajaran dimulai dengan doa pembuka belajar.
3. Kontrak belajar dan penyampaian silabus.
4. Kelas Islami tetap menjadi perhatian yang serius.
5. Dosen menggunakan media pendidikan yang sesuai dan up to date.
6. Dosen memberikan dalil-dalil Dari Al-Qur’an dan Hadis sesuai dengan materi.
7. Dosen memberikan banyak ilustrasi yang layak untuk mendukung pernyataannya.
8. Kegiatan pembelajaran tetap menganut asas/prinsip aktif, inovatif, kreatif, dan
menyenangkan.
9. Pembelajaran ditutup dengan doa penutup majelis.
10. Mengucapkan salam ketika keluar dari ruang kelas.
Bagi mahasiswa:
1. Mahasiswa menjawab salam dosen
2. Secara bersama tetapi sirr memulai dengan doa pembuka belajar.
3. Mahasiswa mendengarkan dan menyimak informasi Dari dosen sebagai nara sumber.
4. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain yang
berkaitan dengan isi buku ajar.
5. Mahasiswa dapat mendiskusikan isi buku ajar dengan dosen dan sesama mahasiswa
lainnya.
6. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi buku ajar.
7. Mahasiswa menjawab pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan belajar.
8. Secara bersama tetapi sirr menutup perkuliahan dengan doa penutup majelis.
9. Menjawab salam dosen ketika keluar dari ruangan.

URAIAN MATERI
Kriteria memilih calon suami/istri

Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga pada dasarnya ditentukan oleh

keserasian antara suami dan istri. Untuk memperolah keserasian tersebut, Islam mengajarkan

bahwa perkawinan yang dilakukan seorang pria dan wanita tidak hanya sekedar berdasarkan

suka sama suka, melainkan harus dilihat dari berbagai segi, misalnya agama, moral, dan latar

belakang sosial (Mahmud dan Nadlrah, 2017).

1. Kriteria Calon Istri Yang Baik Menurut Islam

Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :

1. Memiliki dasar pendidikan agama dan beraklhak baik

2. Penyayang dan banyak anak

3. masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.

4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan

5. Mampu mengelolah ekonomi (Shelfanadiyah, 2013).

Berikut penjelasan mengenai beberapa kriteria calon istri dalam islam diantaranya

1. Memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik


Memilih calon istri hendaknya yang memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak

baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan

ibu.

Dari Abu Hurairah bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena

hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang

beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi). Sehubungan dengan kriteria memilih

calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-

laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-

wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-

wanita yang baik (pula)” (Qs. An nur : 26)

Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut

agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang

shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :“Maka

wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena

itu Allah memelihara mereka.” (Qs. An nisa’ 36)

2. penyayang dan banyak anak.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah

perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan Di shahihkan oleh Ibnu Hibban)

Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia

mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.

Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih

wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a) Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk

mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita

yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak

anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban

mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.

b) Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya

mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun

akan seperti itu.

3. masih gadis (perawan) terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.

Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung,

di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan

kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi

kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri.

Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang

pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala

dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya

perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah

Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis. “Maka

mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa

bermain denganmu.”

4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.


Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang

menular atau cacat secara hereditas, Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah

atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping

itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

5. Mampu mengelolah Ekonomi

Wanita yang akan di Nikah usahakan dari keluarga yang sepadan (kufu) dalam segala

sisi sehingga tidak terjadi ketimpangan yang mendasar. Usahaka juga mempu mengelola

ekonomi dengan baik agar tidak boros.

2 Kriteria Calon Suami Menurut Islam

Dalam memilih calon Suami, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya:

1) Islam

2) Berilmu dan baik akhlaknya (Defani, 2013).

1. Islam.

Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami

sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “ … dan janganlah kamu menikahkan orang-

orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak

yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke

neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka

mengambil pelajaran.” (QS. Albaqarah : 221)

2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.


Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam

memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.

Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar

takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan

kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak

(nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.

Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha

Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An nur : 32)

Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan

keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan

istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan

demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga

dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan

kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.

Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al

Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki “Kawinkanlah puterimu

dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan

memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia akan mendzaliminya.” Umumnya setiap

orang yang dewasa pasti ingin menikah untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah war

rahmah atau keluarga yang bahagia di dunia dan akhirat. Apalagi nikah adalah satu perintah

agama.

Sebagaimana Allah ta’ala berfirman :


“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak

(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang

perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah

Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [An Nuur:32]

Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya,

karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi. (HR. Al

Hakim dan Ath-Thahawi) Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah

Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di

antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan

pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia

dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi (Shelfanadiyah, 2013).

Khitbah Menurut Islam

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-

Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya

adalah:

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang

menuju pernikahan.Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan.Ia hanya

merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah

merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau

permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri. Seluruh kitab/kamus

membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah),

adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan
yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut.

Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan

wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian

yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu

(Defani,2013).

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam

masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu

sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll.Ada satu hal

penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti

menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah

menjadi mahram, adalah keliru.Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan

pernikahan.Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-

batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih.Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk

meneruskannya ke jenjang pernikahan.Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum

khitbah.Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah

saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada

takdir Allah yang menghendaki lain. Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara,

hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun

keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya

dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

ِ‫س َّل‬
َ ‫صلَّىاللَّ ُه َعلَي ِْه َو‬
َ ‫وُلللَّ ِه‬
ُ ‫س‬ ِ ِ ‫سيَّ ِبعَ ْنأ َ ِبي ُه َري َْرةَ َر‬
َ ‫ضيَاللَّ ُهعَ ْن ُهقَالَنَه‬
ُ ‫َىر‬ َ ‫س ِعي ِد ْبنِا ْل ُم‬ ُّ ‫س ْف َيانُ َح َّدث َ َن‬
َ ‫االز ْه ِريُّعَ ْن‬ ُ ‫ع ِليُّ ْبنُ َع ْبدِال َّل ِه َح َّدث َ َنا‬
َ ‫َح َّدثَنَا‬

‫ط ََلقَأ ا ْختِ َها ِلتَ ْكفَأ َ َمافِيإِنَا ِئ َها‬


َ ‫ىخ ْطبَ ِِةأ َ ِخي ِه َو ََلتَ ْسأ َ اَل ْل َم ْرأَة ا‬ ِ ‫الر ُجلُ َعلَىبَ ْي ِعأ َ ِخ‬
ُ ‫يه َو َُليَ ْخ‬
ِ ‫طبُعَ َل‬ ِ ‫َمأ َ ْنيَ ِبيعَِح‬
َ ‫َاض ٌر ِل َباد ٍَو َُلت َ َنا َجش‬
َّ ُ‫ُواو َُليَ ِبيع‬
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "Tidak boleh salah seorang diantara

kamu meminang pinangan saudaranya" (Muttafaq 'alaih).

Muharramat Menurut Islam

Al-muharramat jama’ dari kata muhrim, yang bermakna wanita-wanita yang menurut

syara’ haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya

perkawinan terkadang di ungkapkan dengan kalimat “Faktor-faktor yang mengharamkan

pernikahan”.

Perlu kami pertegas bahwa yang dimaksud “haram” dalam pembahasan kita kali ini adalah

pernikahan tersebut menimbulkan dosa dan tidak sah. Sebab, kata “haram” kadang juga

digunakan untuk merujuk arti “berdosa tapi sah”seperti dalam kasus menikahkan wanita yang

ada dalam pinangan orang lain.

Keharaman untuk dinikahi ada yang bersifat selamanya dan ada pula yang bersifat

sementara.

Wanita-Wanita yang Termasuk Al-Muharramat

a. Tujuh dari jalur nasab ( hubungan darah)

1. Ibu kandung ke atas (nenek, ibu nenek seterusnya).

2. Anak perempuan kandung ke bawah (cucu, anak cucu seterusnya).

3. Saudara perempuan baik sekandung, sebapak atau seibu.

4. Saudara perempuan bapak.

5. Saudara perempuan ibu.

6. Anak perempuan saudara laki-laki.

7. Anak perempuan saudara perempuan.

b. Karena pertalian supersusuan


1. Wanita yang menyusui seterusnya keatas.

2. Wanita supersusuan dan seterusnya menurut garis kebawah.

3. Wanita saudara supersusuan dan kemenakan sesusuan kebawah.

4. Wanita bibi sesusuan dan bibi sesusuan keatas.

5. Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

c. Karena hubungan semenda (jalur ikatan pernikahan)

1. Ibu istri (mertua);

2. Anak perempuan istri (anak tiri) jika terjadi hubungan badan dengan ibunya;

3. Istri ayah (ibu tiri) dan

4. Istri anak (menantu) (Defani, 2013).

Pembagian Al-Muharramat

Dalam hukum fiqih Mazhab Syafi’i, wanita yang haram dinikahi itu terbagi dua, yakni:

a. Selamanya Haram untuk Dinikahi (Mahram ‘ala ta’bid)

Berdasarkan nash Al-Qur’an, penyebab keharaman selamanya ini ada tiga,

yaitu:

1. Yang di Sebabkan Hubungan Kekerabatan atau Nasab

Yang disebabkan hubungan kekerabatan ini sebagaimana rincian yang di atas yakni; ibu

kandung ke atas (nenek, ibu nenek seterusnya); anak perempuan kandung ke bawah (cucu, anak

cucu seterusnya); saudara perempuan baik sekandung, sebapak atau seibu; saudara perempuan

bapak; saudara perempuan ibu; anak perempuan saudara laki-laki dan anak perempuan saudara

perempuan. Sebagaimana yang dinyatakan pada firman Allah:

Artinya: ”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan,

saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-


saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;

anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui

kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang

dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur

dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan

diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam

perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 23)

Menurut ijma’ ulama, seorang wanita haram menikah dengan anak zinanya. Perbedaan

antara anak sah dengan anak zina ialah bahwa anak zina itu seolah-olah seperti bagian dari tubuh

ibunya kemudian terpisah menjadi manusia. Ini tidak sama dengan sperma yang menjadi asal

kelahiran, sehingga anak perempuan yang sah dinisbahkan kepada ayahnya.

2. Yang di Sebabkan Hubungan Susuan

Ada tujuh wanita yang haram dinikahi sebab susuan, ini masih berkaitan dengan faktor

nasab sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Setiap wanita yang menyusui seorang lelaki,

atau wanita yang menyusui ibu/wanita yang menyusui seorang lelaki atau melahirkan suami dari

wanita yang menyusui seorang lelaki, baik ada penengah ataupun tidak, berarti dia adalah ibu

susuan dari lelaki tersebut. Mahram yang lain bisa di analogikan dengan ketentuan

tersebut. dasarnya yakni firman Allah: “....Ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara

perempuan sesusuan kalian...,” (QS. An-Nisa’: 23), dan hadits Nabi: “Diharamkan sebab

sesusuan apa yang diharamkan sebab nasab”.

Namun, dari tujuh wanita tersebut di atas, hanya ada dua wanita yang haram dinikahi

murni karena susuan, selebihnya adalah dikarenakan faktor nasab susuan.


3. Yang di Sebabkan Hubungan Pernikahan

Ada empat orang yang haram dinikahi selamanya karena hubungan pernikahan. Mereka

adalah istri ayah (ibu tiri), sesuai dengan firman Allah: “Dan janganlah kamu kawini wanita-

wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu” ibu istri/mertua (begitu pula neneknya), anak

perempuan istri (anak tiri) jika terjadi hubungan badan dengan ibunya, dan istri anak

(menantu). Keharaman ini berlaku begitu akad terjalin, sebagaimana firman Allah: “anak-anak

isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu

belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu

mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)”.

Apa yang dimaksud akad disini adalah akad nikah yang shahih (yang diterima

keabsahannya), pernikahan yang fasik tidak berpengaruh pada keharaman nikah karena

pernikahan.

b. Keharaman yang Berlaku Sementara.

Ini bagian kedua dari orang-orang yang haram dinikahi. Keharaman mereka ini berlaku

tidak selamanya, melainkan hanya berlaku sementara saja dan hanya terjadi pada satu sebab,

yakni menghimpun beberapa istri, di antara contohnya sebagai berikut:

1. Pengharaman Sebab Menghimpun Antar Mahram

Satu orang laki-laki haram menikahi wanita berikut saudara, bibi dari pihak ayah, ataupun

bibi dari pihak ibu perempuan tersebut, baik itu senasab maupun sesusuan, tanpa membedakan

sekandung, seayah atau seibu. Seandainya dia menetang dan menikahi dua orang yang haram

dihimpun tersebut maka nikah kedua-duanya batal. Sebab tidak ada yang lebih utama satu dari

yang lain. Jika akad nikahnya dilaksanakan berurutan maka akad yang pertama sah dan yang

kedua batal. Dalilnya yaitu firman Allah: “...menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara....”serta hadits Nabi : “Seorang wanita tidak boleh dinikahi

sekaligus dengan bibi dari ibunya, tidak bibi dari ayahnya berikut anak perempuan saudara

laki-lakinya, tidak wanita berikut bibi dari ibunya, tidak bibi dari ibu berikut anak perempuan

dari saudara perempuannya, tidak kakaknya berikut adiknya, tidak pula adik berikut kakaknya”.

2. Pengharaman sebab Menghimpun Lebih dari Empat Istri

Seorang lelaki hanya boleh menikahi maksimal empat wanita saja, berdasarkan firman

Allah: “...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau

empat...” dan hadits Nabi: “Pertahankan (pernikahan) yang empat, dan ceraikan sisanya”.

Apabila ada seseorang menikahi lima wanita sekaligus, maka semua pernikahan itu batal

mengingat tidak ada yang lebih utama antara yang satu dengan yang lainnya. Jika pernikahannya

berurutan, maka pernikahan yang kelima batal dan yang empat itu sah (Shelfanadiyah, 2013).

Hak dan Kewajiban suami/istri dalam Islam

1. Pengertian Hak dan Kewajiban

Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu sedangkan kewajiban sesuatu

yang harus di kerjakan.

Berbicara tentang kewajiban suami dan hak suami istri alangkah baiknya kita mengetahui

apakah sebenarnya kewajiban dan hak itu. Drs.H.Sidi Nazar Bakry dalam buku karanganya yaitu

“kunci keutuhan rumah tangga yang Sakinah” mendefenisikan bahwa kewajiban dengan sesuatu

harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus

diterima.

Dari defenisi di atas dapat kita simpulkan bahwa kewajiban suami istri adalah sesuatu

yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiban istri adalah

sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan untuk suaminya. Begitu juga dengan pengertian
hak suami adalah sesuatu yang harus diterima suami dari istrinya. Sedangkan hak isteri adalah

sesuatu yang harus di terima isteri dari suaminya. Dengan demikian kewajiban yang dilakukan

oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri. Demikain juga kewajiban yang

dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami, sebagaimana yang di jelaskan

Rasulullah SAW :

‫اَل إن لﮝﻢ ﻋﻠﻰ نسائﮝﻢ ﺣقا ولﻨسائﮝﻢﻋﻠيﮑﻢ ﺣقا‬

Artinya : “ketahuilah, sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib)

ditunaikan oleh isteri kalian dan kalianpun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan”

(HR; Shahil ibnu Majh no.1501, Tirmidzi II 315 no.1173 den Ibnu Majah I 594 no.1815).

2. Macam-Macam Hak Suami dan Istri.

Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: hak bersama, hak isteri

yang menjadi kewajiban suaminya dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.

1. Hak bersama-sama

Hak bersama-sama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut:

a. Halal bergaul antara suami isteri dan masing masing dapat bersenang-senang antara satu

sama lain.

b. Terjadi mahram semenda : isteri menjadi mahram ayah suami, kakeknya, dan seterunya ke

atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah di laksanakan.

Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas

peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaulan suami isteri.

d. Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai

hasil hubungan setelah menikah).

e. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis

dan damai (Yudi Wiyanato, 2015). Hal ini telah di jelaskan dalam Al-quran surah An.nisa ayat

19 yang memerintahkan:

ِ ‫ َو َﻋا ِش ار ه َّان ِب ْال َم ْع ار ْو‬...


) ‫ (الﻨسا‬... ‫ف‬

“……… dan gaulilah isteri-isterimu itu dengan baik”

Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan

menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-

menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”

2. Hak-hak istri

Hak- hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat di bagi menjadi dua, yatu: hak- hak

kebendaan, yaitu mahar (maskawin) serta nafkah, dan hak-hak bukan bendaan, misalnya berbuat

adil di antara para isteri (dalam perkawanan poligami), tidak berbuat hal-hal yang merugikan

isteri dan sebagianya.

a. hak-hak kebendaan
a) Mahar (maskawin)

QS. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “dan berikanlah maskawin kepada perempuan-

perempuan (yang kamu nikahi ) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati

memberikan berbagia maskawin kepadamu. Ambillah dia sebagai makanan sedap lagi baik

akibatnya.

Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat di peroreh suatu pengertian bahwa maskawin itu

adalah harta pemberian wajib dari suami terhadap istri, dan merupakan hak penuh bagi isteri

yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya di benarkan ikut makan maskawin apabila

diberikan oleh isteri dengan sukarela.

b) Nafkah

Nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri, meliputi makan, pakaian, tempat

tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.

QS. Ath-Thalaq ayat 6 menyatakan “tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu tinggal

menurut kemampuanmu; jangalah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan hati

mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah

kepada mereka hingga bersalin….”

Dari ayat di atas dapat di simpulkan pula bahwa nafkah merupakan kewajiban suami

dalam membahagiakan isterinya baik lahir maupun batin dengan cara mencukupkan kebutuhan

yang dapat memcukupkan segala kekurangannya dengan maksud meringankan beban padanya.

b. Hak-hak bukan kebendaan

Hak- hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan

dalam perintah QS. An-Nisa ayat 19 agar para suami menggaui isterinya dengan makruf dan
bersabar terhadap hal-ahal yang tidak disayangi, yang terdapat pada isteri. Menggauli isteri

dengan makruf dapat mencakup:

a) Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan

taraf hidupnaya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang di perlukan.

b) Melindungi dan menjaga nama baik isteri

suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti

bahwa suami tidak harus menutup-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri. Namun,

adalah sebuah kewajiban suami agar tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri kepada

orang lain.

c) Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri

Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan

hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan

oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan

keretakan dalam hidup perkawinan, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan

adanya perasaan kecewa dalam hal ini.

3. Hak-hak suami

Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan

sebab menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk

mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, lebih diutamakan isteri tidak usah ikut bekerja

mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.

Hal ini dimaksudkan agar isteri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban

membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh. Kewajiban ini cukup

berat bagi isteri yang memang benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun, tidak dapat
dipahamkan bahwa Islam dengan demikian menghendaki agar isteri tidak pernah melihat dunia

luar, agar isteri selalu berada di rumah saja. Yang dimaksud ialah agar isteri jangan sampai

ditambah beban kewajibannya yang telah berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga.

Berbeda halnya apabila keadaan memang mendesak, usaha suami tidak dapat menghasilkan

kecukupan nafkah keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan, isteri dapat diajak ikut

berusaha mencari nafkah yang diperlukan itu.

Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang

menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara yang baik

dan layak dengan kedudukan suami isteri.

1) Hak di taati

Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin

kaum perempuan (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi

kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan

keluarganya.

Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta

memelihara harta benda dan hak-hak suami,meskipun suami-suami mereka dalam keadaan tidak

hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Hakim

meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. :

ِ َّ‫ى الﻨ‬
‫اس‬ ْ َ‫ قَال‬.‫ زَ ْو اج َها‬: ‫ظ اﻢ َﺣقَّا َﻋﻠَﻰ ْال َم ْرأ َ ِة ؟ قَا َل‬
ُّ َ ‫ فَأ‬: ‫ت‬ َ ‫اس أ َ ْﻋ‬ ُّ َ ‫ ا‬: ‫س ْألتا رسول هللا صﻠّﻰ هللا ﻋﻠيه وسﻠّﻢ‬
ِ َّ‫ى الﻨ‬ ْ َ‫شةَ قَال‬
َ :‫ت‬ َ ِ‫َﻋ ْن َﻋائ‬

)‫ ا ا ُّمها (رواه الحا كﻢ‬: ‫الر اج ِل ؟ قَا َل‬ َ ‫ظ اﻢ َﺣقَّا َﻋ‬


َّ ‫ﻠﻰ‬ َ ‫ا َ ْﻋ‬
Artinya:“Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW : Siapakah orang

yang paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya : Suaminya. Lalu saya bertanya lagi:

Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.”

Dari bagian pertama ayat 34 Q.S. : An-Nisa tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa

kewajiban suami memimpin isteri itu tidak akan terselenggara dengan baik apabila isteri tidak

taat kepada pimpinan suami. Isi dari pengertian taat adalah :

1. Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan

2. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangannya

3. Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami

4. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami

2) Hak memberi pelajaran

Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami

bahwa isterinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila

dengan nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur dengan isteri.

Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member pelajaran dengan jalan

memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).

3. Kewajiban Suami dan Istri

Kewajiban suami dan istri mencakup tiga, yaitu :

1. Kewajiban timbal balik antara suami dan istri yaitu :

a. Dihalalkannya bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istri demikian pula

sebaliknya, termasuk hubungan seksual diantara mereka berdua.

b. Timbulnya hubungan mahram diantara mereka berdua.

c. Berlakunya hukum pewarisan antara keduanya.


d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan nasab suami.

e. Berlangsungnya hubungan baik antara kedua suami istri.

f. Menjaga penampilan lahiriah antara keduanya.

2. Kewajiban suami terhadap istrinya.

a. Yang berupa uang (materi), yaitu mahar dan nafkah sehari hari seperti mahar dan

nafkah.

b. Yang bersifat non-materi yaitu mempergauli istri dengan sebaik baiknya dan

melaksanakan keadilan diantara istri-istri apabila menikah lebih dari satu. Suami juga

wajib menjaga kehormatan istri, dan mengatur hubungan seksual antara suami istri.

3. Kewajiban istri terhadap suami.

a. Bersikap taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatunya selama tidak

merupakan hal yang dilarang Allah SWT.

b. Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya.

c. Menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti bersikap

angkuh, atau menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya (Amiur dan

Azhari,1974).

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua

makhluk ciptaan Allah SWT, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Lembaga perkawinan adalah dasar dan asas peradaban umat manusia.


2. Dalam memilih pasangan hidup, kita di tuntut untuk benar-benar memperhatikan sifat

dan tabi’at pasangat kita saat pendekatan terjadi. Karena dal;am ajaran islam yang

sesungguhnya tidak memperbolehkan kaum adam dan hawa untuk berpacaran sebelum

menikah, maka terjadilah ta’aruf guna untuk mengetahui diri pria / wanita yang kelak

akan di jadikan pasangan.

3. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-

Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih.

4. Al-muharramat jama’ dari kata muhrim, yang bermakna wanita-wanita yang menurut

syara’ haram dinikahi oleh seorang laki-laki, yang dimaksud “haram” dalam pembahasan

kita kali ini adalah pernikahan tersebut menimbulkan dosa dan tidak sah. Sebab, kata

“haram” kadang juga digunakan untuk merujuk arti “berdosa tapi sah”seperti dalam

kasus menikahkan wanita yang ada dalam pinangan orang lain.

5. Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: hak bersama, hak isteri

yang menjadi kewajiban suaminya dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri

sedangkan kewajiban kewajiban dapat dibagi menjadi tiga yaitu : kewajiban timbal balik

antara suami dan istri, kewajiban suami terhadap istrinya, dan kewajiban istri terdahap

suaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Amiur dan Azhari, 2017. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Kencana. Jakarta. hlm 184-185.

Defani, 2013. Kriteria Calon Suami dan Istri. Jurnal media islam, Vol.4 No.2. Diakses pada
tanggal 29 September 2017.
Hijapedia,2013. Memilih Pasangan Hidup Dalam Perspektif Hadist. Jurnal Diya al- afkar.
Vol 4 No.1 juni 2013. Diakses pada tanggal 29 September 2017.

Mahmud dan Nadlrah, 2017. Studi Islam II (Muamalah). Badan Al-islam dan
Kemuhammadiyahan UMSU. Sumatera Utara. hlm 12 dan 30.

Shelfanadiyah, 2013. Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam. Jurnal hukum
islam,ISSN : 2234-9877, Vol.1 No.3. Diakses pada tanggal 29 September 2017.

Wiyanato,Yudi, 2015. Memilih Pasangan Hidup Dalam Perspektif Al-Qur’an. ASAS, Vol.3
No.1. Diakses pada tanggal 29 September 2017.

Anda mungkin juga menyukai