Standār Kompetensi:
Mahasiswa memahami tata cara memilih suami /istri dan dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan manakala tiba saatnya.
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa memahami kriteria memilih suami /istri.
Tujuan Pembelajaran:
Mahasiswa Mampu:
1. Menjelaskan kriteria calon suami atau istri
2. Mengemukakan cara meminang calon istri (khitbah) menurut syariat Islam
3. Mengemukakan wanita yang haram dinikahi (muharramat)
4. Menjelaskan hak suami dan istri
Petunjuk Pembelajaran
Bagi dosen:
1. Memasuki ruang kelas dengan mengucapkan salam
2. Pembelajaran dimulai dengan doa pembuka belajar.
3. Kontrak belajar dan penyampaian silabus.
4. Kelas Islami tetap menjadi perhatian yang serius.
5. Dosen menggunakan media pendidikan yang sesuai dan up to date.
6. Dosen memberikan dalil-dalil Dari Al-Qur’an dan Hadis sesuai dengan materi.
7. Dosen memberikan banyak ilustrasi yang layak untuk mendukung pernyataannya.
8. Kegiatan pembelajaran tetap menganut asas/prinsip aktif, inovatif, kreatif, dan
menyenangkan.
9. Pembelajaran ditutup dengan doa penutup majelis.
10. Mengucapkan salam ketika keluar dari ruang kelas.
Bagi mahasiswa:
1. Mahasiswa menjawab salam dosen
2. Secara bersama tetapi sirr memulai dengan doa pembuka belajar.
3. Mahasiswa mendengarkan dan menyimak informasi Dari dosen sebagai nara sumber.
4. Mahasiswa memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku-buku lain yang
berkaitan dengan isi buku ajar.
5. Mahasiswa dapat mendiskusikan isi buku ajar dengan dosen dan sesama mahasiswa
lainnya.
6. Mahasiswa mengambil kesimpulan serta membuat ringkasan tentang isi buku ajar.
7. Mahasiswa menjawab pertanyaan yang ada di akhir setiap kegiatan belajar.
8. Secara bersama tetapi sirr menutup perkuliahan dengan doa penutup majelis.
9. Menjawab salam dosen ketika keluar dari ruangan.
URAIAN MATERI
Kriteria memilih calon suami/istri
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga pada dasarnya ditentukan oleh
keserasian antara suami dan istri. Untuk memperolah keserasian tersebut, Islam mengajarkan
bahwa perkawinan yang dilakukan seorang pria dan wanita tidak hanya sekedar berdasarkan
suka sama suka, melainkan harus dilihat dari berbagai segi, misalnya agama, moral, dan latar
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :
Berikut penjelasan mengenai beberapa kriteria calon istri dalam islam diantaranya
baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan
ibu.
Dari Abu Hurairah bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena
hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang
beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi). Sehubungan dengan kriteria memilih
calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-
laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-
wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-
Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut
agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang
shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :“Maka
wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah
perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan Di shahihkan oleh Ibnu Hibban)
Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia
mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.
Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih
wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a) Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk
mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita
yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak
anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban
b) Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya
mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun
3. masih gadis (perawan) terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.
Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung,
di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan
kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri.
Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang
pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala
dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya
perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis. “Maka
mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa
bermain denganmu.”
menular atau cacat secara hereditas, Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah
atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping
itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
Wanita yang akan di Nikah usahakan dari keluarga yang sepadan (kufu) dalam segala
sisi sehingga tidak terjadi ketimpangan yang mendasar. Usahaka juga mempu mengelola
Dalam memilih calon Suami, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya:
1) Islam
1. Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami
sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “ … dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar
takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak
(nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan
istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan
demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga
kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al
Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki “Kawinkanlah puterimu
dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan
memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia akan mendzaliminya.” Umumnya setiap
orang yang dewasa pasti ingin menikah untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah war
rahmah atau keluarga yang bahagia di dunia dan akhirat. Apalagi nikah adalah satu perintah
agama.
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya,
karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi. (HR. Al
Hakim dan Ath-Thahawi) Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di
antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-
Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya
adalah:
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang
menuju pernikahan.Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan.Ia hanya
merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri. Seluruh kitab/kamus
adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan
yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut.
Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan
wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian
yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu
(Defani,2013).
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam
masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu
sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll.Ada satu hal
penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti
menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah
pernikahan.Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih.Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk
khitbah.Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah
saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada
takdir Allah yang menghendaki lain. Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara,
hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun
keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya
dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
ِس َّل
َ صلَّىاللَّ ُه َعلَي ِْه َو
َ وُلللَّ ِه
ُ س ِ ِ سيَّ ِبعَ ْنأ َ ِبي ُه َري َْرةَ َر
َ ضيَاللَّ ُهعَ ْن ُهقَالَنَه
ُ َىر َ س ِعي ِد ْبنِا ْل ُم ُّ س ْف َيانُ َح َّدث َ َن
َ االز ْه ِريُّعَ ْن ُ ع ِليُّ ْبنُ َع ْبدِال َّل ِه َح َّدث َ َنا
َ َح َّدثَنَا
Al-muharramat jama’ dari kata muhrim, yang bermakna wanita-wanita yang menurut
syara’ haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya
pernikahan”.
Perlu kami pertegas bahwa yang dimaksud “haram” dalam pembahasan kita kali ini adalah
pernikahan tersebut menimbulkan dosa dan tidak sah. Sebab, kata “haram” kadang juga
digunakan untuk merujuk arti “berdosa tapi sah”seperti dalam kasus menikahkan wanita yang
Keharaman untuk dinikahi ada yang bersifat selamanya dan ada pula yang bersifat
sementara.
2. Anak perempuan istri (anak tiri) jika terjadi hubungan badan dengan ibunya;
Pembagian Al-Muharramat
Dalam hukum fiqih Mazhab Syafi’i, wanita yang haram dinikahi itu terbagi dua, yakni:
yaitu:
Yang disebabkan hubungan kekerabatan ini sebagaimana rincian yang di atas yakni; ibu
kandung ke atas (nenek, ibu nenek seterusnya); anak perempuan kandung ke bawah (cucu, anak
cucu seterusnya); saudara perempuan baik sekandung, sebapak atau seibu; saudara perempuan
bapak; saudara perempuan ibu; anak perempuan saudara laki-laki dan anak perempuan saudara
kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 23)
Menurut ijma’ ulama, seorang wanita haram menikah dengan anak zinanya. Perbedaan
antara anak sah dengan anak zina ialah bahwa anak zina itu seolah-olah seperti bagian dari tubuh
ibunya kemudian terpisah menjadi manusia. Ini tidak sama dengan sperma yang menjadi asal
Ada tujuh wanita yang haram dinikahi sebab susuan, ini masih berkaitan dengan faktor
nasab sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Setiap wanita yang menyusui seorang lelaki,
atau wanita yang menyusui ibu/wanita yang menyusui seorang lelaki atau melahirkan suami dari
wanita yang menyusui seorang lelaki, baik ada penengah ataupun tidak, berarti dia adalah ibu
susuan dari lelaki tersebut. Mahram yang lain bisa di analogikan dengan ketentuan
tersebut. dasarnya yakni firman Allah: “....Ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara
perempuan sesusuan kalian...,” (QS. An-Nisa’: 23), dan hadits Nabi: “Diharamkan sebab
Namun, dari tujuh wanita tersebut di atas, hanya ada dua wanita yang haram dinikahi
Ada empat orang yang haram dinikahi selamanya karena hubungan pernikahan. Mereka
adalah istri ayah (ibu tiri), sesuai dengan firman Allah: “Dan janganlah kamu kawini wanita-
wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu” ibu istri/mertua (begitu pula neneknya), anak
perempuan istri (anak tiri) jika terjadi hubungan badan dengan ibunya, dan istri anak
(menantu). Keharaman ini berlaku begitu akad terjalin, sebagaimana firman Allah: “anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
Apa yang dimaksud akad disini adalah akad nikah yang shahih (yang diterima
keabsahannya), pernikahan yang fasik tidak berpengaruh pada keharaman nikah karena
pernikahan.
Ini bagian kedua dari orang-orang yang haram dinikahi. Keharaman mereka ini berlaku
tidak selamanya, melainkan hanya berlaku sementara saja dan hanya terjadi pada satu sebab,
Satu orang laki-laki haram menikahi wanita berikut saudara, bibi dari pihak ayah, ataupun
bibi dari pihak ibu perempuan tersebut, baik itu senasab maupun sesusuan, tanpa membedakan
sekandung, seayah atau seibu. Seandainya dia menetang dan menikahi dua orang yang haram
dihimpun tersebut maka nikah kedua-duanya batal. Sebab tidak ada yang lebih utama satu dari
yang lain. Jika akad nikahnya dilaksanakan berurutan maka akad yang pertama sah dan yang
kedua batal. Dalilnya yaitu firman Allah: “...menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara....”serta hadits Nabi : “Seorang wanita tidak boleh dinikahi
sekaligus dengan bibi dari ibunya, tidak bibi dari ayahnya berikut anak perempuan saudara
laki-lakinya, tidak wanita berikut bibi dari ibunya, tidak bibi dari ibu berikut anak perempuan
dari saudara perempuannya, tidak kakaknya berikut adiknya, tidak pula adik berikut kakaknya”.
Seorang lelaki hanya boleh menikahi maksimal empat wanita saja, berdasarkan firman
Allah: “...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat...” dan hadits Nabi: “Pertahankan (pernikahan) yang empat, dan ceraikan sisanya”.
Apabila ada seseorang menikahi lima wanita sekaligus, maka semua pernikahan itu batal
mengingat tidak ada yang lebih utama antara yang satu dengan yang lainnya. Jika pernikahannya
berurutan, maka pernikahan yang kelima batal dan yang empat itu sah (Shelfanadiyah, 2013).
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu sedangkan kewajiban sesuatu
Berbicara tentang kewajiban suami dan hak suami istri alangkah baiknya kita mengetahui
apakah sebenarnya kewajiban dan hak itu. Drs.H.Sidi Nazar Bakry dalam buku karanganya yaitu
“kunci keutuhan rumah tangga yang Sakinah” mendefenisikan bahwa kewajiban dengan sesuatu
harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus
diterima.
Dari defenisi di atas dapat kita simpulkan bahwa kewajiban suami istri adalah sesuatu
yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiban istri adalah
sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan untuk suaminya. Begitu juga dengan pengertian
hak suami adalah sesuatu yang harus diterima suami dari istrinya. Sedangkan hak isteri adalah
sesuatu yang harus di terima isteri dari suaminya. Dengan demikian kewajiban yang dilakukan
oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri. Demikain juga kewajiban yang
dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami, sebagaimana yang di jelaskan
Rasulullah SAW :
ditunaikan oleh isteri kalian dan kalianpun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan”
(HR; Shahil ibnu Majh no.1501, Tirmidzi II 315 no.1173 den Ibnu Majah I 594 no.1815).
Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: hak bersama, hak isteri
yang menjadi kewajiban suaminya dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.
1. Hak bersama-sama
a. Halal bergaul antara suami isteri dan masing masing dapat bersenang-senang antara satu
sama lain.
b. Terjadi mahram semenda : isteri menjadi mahram ayah suami, kakeknya, dan seterunya ke
atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah di laksanakan.
Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas
peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaulan suami isteri.
d. Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai
e. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis
dan damai (Yudi Wiyanato, 2015). Hal ini telah di jelaskan dalam Al-quran surah An.nisa ayat
19 yang memerintahkan:
menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”
2. Hak-hak istri
Hak- hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat di bagi menjadi dua, yatu: hak- hak
kebendaan, yaitu mahar (maskawin) serta nafkah, dan hak-hak bukan bendaan, misalnya berbuat
adil di antara para isteri (dalam perkawanan poligami), tidak berbuat hal-hal yang merugikan
a. hak-hak kebendaan
a) Mahar (maskawin)
perempuan (yang kamu nikahi ) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati
memberikan berbagia maskawin kepadamu. Ambillah dia sebagai makanan sedap lagi baik
akibatnya.
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat di peroreh suatu pengertian bahwa maskawin itu
adalah harta pemberian wajib dari suami terhadap istri, dan merupakan hak penuh bagi isteri
yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya di benarkan ikut makan maskawin apabila
b) Nafkah
Nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri, meliputi makan, pakaian, tempat
tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah
Dari ayat di atas dapat di simpulkan pula bahwa nafkah merupakan kewajiban suami
dalam membahagiakan isterinya baik lahir maupun batin dengan cara mencukupkan kebutuhan
yang dapat memcukupkan segala kekurangannya dengan maksud meringankan beban padanya.
Hak- hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan
dalam perintah QS. An-Nisa ayat 19 agar para suami menggaui isterinya dengan makruf dan
bersabar terhadap hal-ahal yang tidak disayangi, yang terdapat pada isteri. Menggauli isteri
taraf hidupnaya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang di perlukan.
suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti
bahwa suami tidak harus menutup-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri. Namun,
adalah sebuah kewajiban suami agar tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri kepada
orang lain.
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan
hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan
oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan
keretakan dalam hidup perkawinan, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan
3. Hak-hak suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan
sebab menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, lebih diutamakan isteri tidak usah ikut bekerja
mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.
Hal ini dimaksudkan agar isteri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban
membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh. Kewajiban ini cukup
berat bagi isteri yang memang benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun, tidak dapat
dipahamkan bahwa Islam dengan demikian menghendaki agar isteri tidak pernah melihat dunia
luar, agar isteri selalu berada di rumah saja. Yang dimaksud ialah agar isteri jangan sampai
ditambah beban kewajibannya yang telah berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga.
Berbeda halnya apabila keadaan memang mendesak, usaha suami tidak dapat menghasilkan
kecukupan nafkah keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan, isteri dapat diajak ikut
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang
menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara yang baik
1) Hak di taati
kaum perempuan (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi
kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan
keluarganya.
Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta
memelihara harta benda dan hak-hak suami,meskipun suami-suami mereka dalam keadaan tidak
hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Hakim
ِ َّى الﻨ
اس ْ َ قَال. زَ ْو اج َها: ظ اﻢ َﺣقَّا َﻋﻠَﻰ ْال َم ْرأ َ ِة ؟ قَا َل
ُّ َ فَأ: ت َ اس أ َ ْﻋ ُّ َ ا: س ْألتا رسول هللا صﻠّﻰ هللا ﻋﻠيه وسﻠّﻢ
ِ َّى الﻨ ْ َشةَ قَال
َ :ت َ َِﻋ ْن َﻋائ
yang paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya : Suaminya. Lalu saya bertanya lagi:
Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.”
Dari bagian pertama ayat 34 Q.S. : An-Nisa tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa
kewajiban suami memimpin isteri itu tidak akan terselenggara dengan baik apabila isteri tidak
1. Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami
bahwa isterinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila
dengan nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur dengan isteri.
Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member pelajaran dengan jalan
a. Dihalalkannya bagi suami menikmati hubungan fisik dengan istri demikian pula
a. Yang berupa uang (materi), yaitu mahar dan nafkah sehari hari seperti mahar dan
nafkah.
b. Yang bersifat non-materi yaitu mempergauli istri dengan sebaik baiknya dan
melaksanakan keadilan diantara istri-istri apabila menikah lebih dari satu. Suami juga
wajib menjaga kehormatan istri, dan mengatur hubungan seksual antara suami istri.
a. Bersikap taat dan patuh terhadap suami dalam segala sesuatunya selama tidak
c. Menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti bersikap
angkuh, atau menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya (Amiur dan
Azhari,1974).
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua
makhluk ciptaan Allah SWT, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
dan tabi’at pasangat kita saat pendekatan terjadi. Karena dal;am ajaran islam yang
sesungguhnya tidak memperbolehkan kaum adam dan hawa untuk berpacaran sebelum
menikah, maka terjadilah ta’aruf guna untuk mengetahui diri pria / wanita yang kelak
3. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-
Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih.
4. Al-muharramat jama’ dari kata muhrim, yang bermakna wanita-wanita yang menurut
syara’ haram dinikahi oleh seorang laki-laki, yang dimaksud “haram” dalam pembahasan
kita kali ini adalah pernikahan tersebut menimbulkan dosa dan tidak sah. Sebab, kata
“haram” kadang juga digunakan untuk merujuk arti “berdosa tapi sah”seperti dalam
5. Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: hak bersama, hak isteri
yang menjadi kewajiban suaminya dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri
sedangkan kewajiban kewajiban dapat dibagi menjadi tiga yaitu : kewajiban timbal balik
antara suami dan istri, kewajiban suami terhadap istrinya, dan kewajiban istri terdahap
suaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Amiur dan Azhari, 2017. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Kencana. Jakarta. hlm 184-185.
Defani, 2013. Kriteria Calon Suami dan Istri. Jurnal media islam, Vol.4 No.2. Diakses pada
tanggal 29 September 2017.
Hijapedia,2013. Memilih Pasangan Hidup Dalam Perspektif Hadist. Jurnal Diya al- afkar.
Vol 4 No.1 juni 2013. Diakses pada tanggal 29 September 2017.
Mahmud dan Nadlrah, 2017. Studi Islam II (Muamalah). Badan Al-islam dan
Kemuhammadiyahan UMSU. Sumatera Utara. hlm 12 dan 30.
Shelfanadiyah, 2013. Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam. Jurnal hukum
islam,ISSN : 2234-9877, Vol.1 No.3. Diakses pada tanggal 29 September 2017.
Wiyanato,Yudi, 2015. Memilih Pasangan Hidup Dalam Perspektif Al-Qur’an. ASAS, Vol.3
No.1. Diakses pada tanggal 29 September 2017.