1. Umi Nurjanah
2. Ayu Fahmawati
3. Agus Ali Bahrudin Mahfudz
KELAS 2D
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk, maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami Fiqih tentang Nikah
dan Ruang Lingkupnya dalam Membangun Keluarga yang Bermartabat
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan wawasan
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar
kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu, kami
berharap kepada para pembaca agar memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini..
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................................
DAFTAR
ISI...................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................................
BAB III
PENUTUP.........................................................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................................................
B. Saran................................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad . sedangkan pengertian
hubungan badan itu hanya metafora saja.
B. rumusan masalah
C. Tujuan Pembahasan
4. menjelaskan tujuan pernikahan, hukum, huikmah , tujuan, dan bagaimana cara agar
bisa memilih pernikahan menurut pandangan islam.
BAB I
PEMBAHASAN
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad.islam juga bisa di
artikan agama yang sumul (universal ).
B. Hikmah pernikahan
1. mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan
berketurunan.
4. menyambung silahturrahmi.
C. Hukum Nikah
Amalan nikah merupakan disyariatkan , hal ini didasarkan pada firman Allah, “ Dan
jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap ( hak- hak ) perempuan yang yatim (
bila kamu menyakininya ), maka kawinilah wanita – wanita ( lain ) yang kamu
senangi : dua tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil.
Maka kawinilah wanita seorang saja, atau budak – budak yang kamu miliki. Yang
kemudian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. ( Q.S AN NISA’ : 3 ).
Dari keterangaan diatas dapat di simpulkan bahwa hukum nikah itu ada 5 :
1. Wajib
Kepada orang yaang memikili nafsu yang kuat sehingga bisa
menjerumuskannya ke lembah maksiat ( zina dan lain sebagainya ) ,
sedangkan ia seorang yang mampu ( mampu membayar mahar dan
menafkahi calon istrinya ).
2. Sunnah
Kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya atau bila
seseorang menginginkan sekali punya anak dan tak mampu mengendalikan
diri dari berbuat zina.
3. Makhruh
Kepada seseorang yang tidak mampu dari segi nafkah batin lahir tetapi
sekedar tidak memberi ke madharatan kepada istri.
4. Haram
Kepada seseorang yang tidak berkemampuan pada nafkah lahir dan batin , dan
ia sendiri ( lemah ) , tidak mempunyai keinginan menikah serta akan
menganiaya istri jika ia menikah.
5. Mubah
Seseorang yang hendak menikah tetapi mampu menahan nafsunya dari
berbuat zina, maka hukum nikahnya adalah mubah. Sementara, ia belum
berniat memiliki anak dan seandainya ia menikah ibadah sunnahnya tidak
sampai terlantar.
Adapun dalam hadist tentang jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah
pernikahan dianjurkan untuk serius dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan
candaan atau main-main.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap
serius: nikah, cerai dan ruju.'” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i.
Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum
muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan
semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa
memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih pasangannya
hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk
dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk
menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya
untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh
syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan
hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.
Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih
calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim
berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu
seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun
menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,
فاظفر بذات الدين تربت يداك،لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها: تنكح المرأة ألربع
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu
akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إال تفعلوه تكن فتنة في األرض وفساد كبير
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi
dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh
Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam
memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang
diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah
diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.
Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang
agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah
memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan
terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim).
2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding
dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu
Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding
dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil
dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam
agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya
firman Allah Ta’ala,
ِْال َخ ِبيثَاتُ ل ِْل َخ ِبيثِينَ َو ْال َخ ِبيثُونَ ل ِْل َخ ِبيثَاتِ َوالط ِي َباتُ لِلط ِي ِبينَ َوالط ِيبُونَ لِلط ِي َبات
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik.
Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu
dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,
فاظفر بذات الدين تربت يداك،لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها: تنكح المرأة ألربع
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan
merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan
sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh
kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti
Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan
Zaid adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak
berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, apalagi kita?
َومِ ْن آ َيا ِت ِه أَ ْن َخلَقَ لَ ُكم ِم ْن أَن ُفسِ ُك ْم أَ ْز َواجا ِلتَ ْسكُنُوا ِإلَ ْي َها
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari
jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang
hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang
hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat
mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar
seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنظرت إليها قال ال قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين األنصار شيئا
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan
banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani
dalam Misykatul Mashabih)
Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-
khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi
yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati
suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam
keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus
Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu
kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan
untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang
suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta
kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan
menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam
memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:
إن أبا الجهم ومعاوية: فقلت، أتيت النبي صلى هللا عليه وسلم: عن فاطمة بنت قيس رضي هللا عنها قالت
فال يضع، وأما أبوالجهم، فصعلوك ال مال له،”أما معاوية: خطباني؟ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
العصا عن عاتقه
“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta.
Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan
utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang
punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-
Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang
dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وإن لم يعط لم يرض، إن أعطي رضي، والخميصة، والقطيفة، والدرهم،تعس عبد الدينار
Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun
menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya
dengan menikah untuk diberi rizki.
ُ َوأَنكِ حُوا ْاألَ َيا َمى مِ ن ُك ْم َوالصالِحِ ينَ مِ ْن ِع َبا ِد ُك ْم َو ِإ َمائِكُ ْم ِإن َيكُونُوا فُ َق َراء يُ ْغ ِن ِه ُم
ْ َّللا مِ ن ف
ض ِل ِه
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
B. Sarran