Anda di halaman 1dari 34

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

FIQH HASBULLAH S.Ag., M.H.I

FIQH MUNAKAHAH

Disusun Oleh Kelompok 6 :

Muhammad Idil : 210101020408

Reza Imani Sholeha : 210101020464

: 210101020410

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayahnya kepada kami sehingga bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul FIQH
MUNAKAHAH (NIKAH, TALAK, & KHULU). Sholawat serta salam selalu kita hatur
kan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW,serta sahabat dan para pengikut
beliau yang selalu setia sampai akhir zaman.
Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Hasbullah S.Ag, M.H.I sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Fiqh yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun penulisan,
oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini.

Banjarmasin, 12 November 2022

Kelompok 6

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………….……………………………………………………….ii
BAB I..……………………………………………………………………………1
PENDAHULUAN………….…………………………………………………..1
A. Latar Belakang………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………2
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………….2
BAB II………………………..………………………………………….…………3
PEMBAHASAN………………………………………………………….………3
A. Nikah…………………………………………………………………………3
B. Ta’aruf……………………………………………………………………….2
C. Nadzhor…………………………………………………………….………..2
D. Khitbah…………………..…………………………………………………..2
E. Talak Raj’i……………………………………………………………………2
F. Talak Bain………………………… …………………………………………2
G. Khulu………………………………………………………………………..3
BAB III……………….……………………………………………………………3
PENUTUP………….……………………………………………………………4
Kesimpulan……………………………..………………………………………4
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………5

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Swt memiliki naluri untuk hidup bersama.
Pernikahan adalah sebuah ibadah yang diperintahkan Allah Swt dan Rasulullah Saw
hal ini ditujukan agar manusia dapat membangun mahligai rumah tangga yang penuh
dengan keberkahan dan menjadi bagian dari kebahagiaan di dunia. Pernikahan akan
menjadi indah ketika dua insan saling mencintai, mengerti dan saling menjaga
kehormatan satu sama lain serta tetap berpegang teguh pada norma keagamaan.

Menikah dianjurkan Rasulullah Saw. Untuk menghindari adanya potensi


maksiat yang mengganggu keimanan seseorang dan pernikahan merupakan salah satu
ibadah yang disukai Rasulullah saw yang sudah menjadi Syariat yang telah ditetapkan
Allah untuk diri Rasul dan umatnya. Pernikahan juga merupakan suatu perintah serta
ibadah dan setengah dari agama dan salah satu tanda-tanda dari kekuasaan Allah
SWT. dan wajib bagi manusia untuk mengimani kekuasaan Allah, maka disinilah
pentingnya suatu pernikahan.

Pernikahan merupakan salah satu bagian dari kesempurnaan ibadah seseorang


dalam beragama. Pernikahan dilaksanakan oleh dua insan yang saling mencintai dan
di sah kan dalam agama islam melalui ikatan suci disertai janji suci untuk membina
keluarga yang harmonis, sehingga terhindarnya potensi-potensi maksiat yang
melanggar norma agama serta menjaga pandangan mata dan melindungi syahwat.

Disisi lain pernikahan itu sebagai syariat islam untuk menghalalkan pergaulan
manusia antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya, juga untuk
menghindari perbuatan zina. Maka perlunya memahami pernikahan karena
didalamnya terdapat beberapa hikmah yang diberikan oleh Allah kepada manusia, dan
tidak ada satu pun mudharat yang ada didalamnya kecuali jika pernikahan tersebut
tidak dilakukan atas dasar ketentuanketentuan yang berlaku dalam agama. Agama
islam telah mengajarkan bagaimana hukum pernikahan, apa tujuan dari pernikahan
serta manfaat dan hikmah yang dapat diambil didalalmnya. Hikmah pernikahan dapat
dirasakan bagi mereka yang mampu memelihara rumah tangganya dengan baik
sehingga terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.1

3
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan nikah ?


2. Apa yang dimaksud dengan ta’aruf ?
3. Apa yang dimaksud dengan nadzhor ?
4. Apa yang dimaksud dengan khitbah ?
5. Apa yang dimaksud dengan talak raj’i ?
6. Apa yang dimaksud dengan talak bain ?
7. Apa yang dimaksud dengan khulu ?

C. Tujuan

1. Dapat menjelaskan apa itu nikah


2. Dapat menjelaskan apa itu ta’aruf
3. Dapat menjelaskan apa itu nadzhor
4. Dapat menjelaskan apa itu khitbah
5. Dapat menjelaskan apa itu talak raj’i
6. Dapat menjelaskan apa itu talak bain
7. Dapat menjelaskan apa itu khulu

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nikah

1. Pengertian Nikah
Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah
(Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan
(wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan di atas
juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nakaha”
yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) “nakaha”, sinonimnya
“tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata
nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. Adapun menurut
syarak: nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga
yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah
adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau tazwij.
Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah Darajat dan kawan-kawan
yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz
nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.
Pengertian tersebut hanya memandang satu segi, yaitu hukum yang menghalalkan hubungan
seksual antara seorang laki-laki dan perempuan. Hal-hal inilah yang menjadi perhatian
manusia pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari sehingga diperlukan penegasan arti
perkawinan, bukan hanya kebolehan seksual, melainkan juga dari segi tujuan dan akibat
hukumnya.
Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakiyah
Derajat:
“Akad yang memberikan faedah hukum dibolehkannya mengadakan hubungan keluarga
antara pria dan wanita dan mengadakan tolongmenolong serta memberi batas hak pemiliknya
serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 disebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad

5
yang secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan
ucapan seremonial yang sakral.
Pengertian di atas walaupun ada sedikit perbedaan, tetapi dari penjelasan di atas dapat
ditarik satu kesimpulan yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian perikatan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perjanjian di sini tidak sama dengan
perjanjian jual-beli atau sewamenyewa, perjanjian dalam perkawinan adalah merupakan
perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
untuk menghalalkan hubungan antara keduanya dan juga mewujudkan kebahagiaan dan
ketentraman serta memiliki rasa kasih sayang, sesuai dengan yang ditentukan oleh syari’at
Islam. Perkawinan bagi manusia bukan hanya sekedar melakukan hubungan badan antara
jenis kelamin yang berbeda, sebagai makhluk Allah yang diciptakan paling sempurna, maka
perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Perkawinan bertujuan untuk melanjutkan sejarah manusia, karena keturunan yang baik
harus dilalui dengan perkawinan yang sah menurut norma yang berlaku. Adapun mengenai
norma yang berlaku untuk perkawinan adalah berdasarkan norma agama yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam, dan norma hukum beracuan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.2

2. Hukum nikah
Para ‘ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal menikah dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama
Madzhab zhahiri berpendapat bahwa hukum menikah adalah wajib, dan orang yang
tidak menikah itu berdosa. Mereka berdalil dengan ayat di atas, yang menggunakan kalimat
perintah ‫وا‬IIُ‫( َوَأ ْن ِكح‬dan nikahkanlah), secara kaidah, kalimat yang menunjukkan perintah
menunjukkan hukum wajib.
Mereka juga mengatakan bahwa menikah adalah jalan untuk menjaga diri dari yang haram.
Kaidah juga mengatakan:

‫واجب‬ ‫ما ال يتم الواجب إال به فهو‬


“Kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut
hukumnya wajib.”
Pendapat kedua
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum menikah adalah mubah, dan orang yang
tidak menikah itu tidak berdosa. Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa menikah itu adalah
sarana menyalurkan syahwat dan meraih kelezatan syahwat (yang halal), maka hukumnya
mubah saja sebagaimana makan dan minum.

2
Nisa Hafidoh, Pemilihan Pasangan Hidup Melalui Biro Jodoh Rumaysho Semanu Gunung Kidul Yogyakarta
Dalam Persfektif Hukum Islam, (Salatiga: 2020), hlm 27-30.

6
Pendapat ketiga
Pendapat jumhur ulama, yaitu madzhab Maliki, Hanafi, dan Hambali
berpendapat bahwa hukum menikah itu mustahab (sunnah) dan tidak sampai wajib. Mereka
berdalil dengan beberapa poin berikut:
Andaikan menikah itu wajib maka tentu ternukil riwayat dari Nabishallallahu ’alaihi wa
sallamyang menyatakan hal itu karena menikah adalah kebutuhan yang dibutuhkan semua
orang. Sedangkan kita temui diantara para sahabat Nabi ada yang tidak menikah. Demikian
juga kita temui orang-orang sejak zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga
zaman kita sekarang ini ada yang sebagian yang tidak menikah sama sekali. Dan tidak
ternukil satu pun pengingkaran beliau terhadap hal ini.
Andaikan menikah itu wajib, maka seorang wali boleh memaksakan anak gadisnya
untuk menikah. Padahal memaksakan anak perempuan untuk menikah justru dilarang oleh
syariat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam :

‫ي‬َّ ِ‫ َأ َّن النَّب‬،َ‫ ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرة‬،َ‫ ع َْن َأبِي َسلَ َمة‬،‫ َح َّدثَنَا يَحْ يَى‬،‫ان‬ ُ َ‫ َح َّدثَنَا َأب‬،‫َح َّدثَنَا ُم ْسلِ ُم ب ُْن ِإب َْرا ِهي َم‬
‫ قَالُوا يَا َرسُو َل‬. " ‫صلى هللا عليه وسلم قَا َل " الَ تُ ْن َك ُح الثَّيِّبُ َحتَّى تُ ْستَْأ َم َر َوالَ ْالبِ ْك ُر ِإالَّ بِِإ ْذنِهَا‬
" َ‫ال " َأ ْن تَ ْس ُكت‬ َ َ‫هَّللا ِ َو َما ِإ ْذنُهَا ق‬.
“Tidaklah janda dinikahi kecuali dengan persetujuannya, dan tidaklah perawan dinikahi
hingga ia ridha,” para sahabat bertanya, bagaimana keridhoannya Yaa Rasulullah? “Diamnya
adalah idzinnya” [HR Abu Dawud 2092]
Maksudnya hingga gadis tersebut mau dan ridha untuk menikah. Nah berdasarkan penjelasan
diatas, maka yangrajih Insya Allahadalah pendapat jumhur, bahwa menikah hukumnya
adalahsunnahdan tidak sampai wajib.
Namun perlu digaris-bawahi, khilafiyah yang di bahas di atas adalah jika seseorang dalam
kondisi yang aman dari fitnah dan aman dari resiko terjerumus dalam hal-hal yang
diharamkan oleh Allah khususnya yang terkait syahwat dengan lawan jenis. Sebab jika
kaitannya dengan individu, maka hukumnya bisa berbeda dan berubah-berubah, diantaranya;
1. Hukumnya Wajib
Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila
tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadiwajibkarena syahwatnya
yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum
nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan
zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya
kecuali dengan nikah.
2. Hukumnya Mubah
Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan
harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
3. Hukumnya Makruh
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya.
Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang

7
berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat
ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa
membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah
batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
4. Hukumnya Haram
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-
perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena tidaklah menikah itu
disyariatkan kecuali untuk memberikan maslahat. Maka ketika ada tindakan aniaya,
dzolim, dll hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan
melakukan perkara-perkara yang diharamkan.

Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi
namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ً‫فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدلُوا فَ َوا ِح َدة‬

“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu
istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (QS An-Nisa` 3).3

3. Rukun dan syarat nikah


Menikah itu ada lima rukun:
1. Shighah ijab qabul
2. Calon suami
3. Calon istri
4. Wali
5. Dua saksi

Rukun pertama: Shighah


Yang dimaksud adalah ijab dari wali istri (saya nikahkan putriku) dan qabul dari
suami (aku menerima pernikahan putrimu).
Shighah ijab qabul mesti ada karena harus ada rida antara dua orang yang berakad.
Rida itu suatu perkara yang masih tidak tampak sehingga mesti ditampakkan (diucapkan).
Syariat menganggap shighah ijab qabul ini sebagai dalil zhahir adanya rida di antara orang
yang berakad.

3
Rosyid Abu Rosyidah, Panduan Ringkas Pra Nikah, Naseeha, hlm 8-13.

8
Syarat dari shighab ijab qabul adalah:
1. Mesti dengan lafaz menikah
2. Dengan lafaz tegas dalam ijab dan qabul. Tetap sah dengan menggunakan lafaz
bahasa Indonesia.
3. Ucapan ijab dan qabul itu bersambung.
4. Masih tetap dalam keadaan waras (ahliyyatul 'aqd) sampai qabul selesai.
5. Shigbah yang ada tidak dengan lafaz mustaqbal (akan datang), semisal ucapan, "Jika
tiba Ramadhan, aku telah nikahkan putriku." Seperti ini tidaklah sah.
6. Shighah yang ada adalah mutlak, maka tidak sah jika nikah memakai jangka waktu
sebulan, setahun, atau ketetapan waktu ghaib seperti nikahnya sampai kedatangan si
fulan.
Rukun kedua: Calon istri
Syarat-syarat calon istri:
1. Tidak ada sebab yang menghalangi untuk menikah seperti menikahi wanita yang
masih memiliki hubungan mahram, atau wanita yang masih dalam masa iddah.
2. Ditentukan siapa wanita yang dinikahi.
3. Wanita yang dinikahi bukanlah sedang berihram untuk haji atau umrah.
Rukun ketiga: Calon suami
Syarat-syarat calon suami:
1. Laki-lakinya halal untuk dinikahi (bukan mahram).
2. Ditentukan siapa laki-lakinya.
3. Laki-lakinya bukan sedang berihram untuk haji dan umrah.
Rukun keempat: Wali
Dalam ayat disebutkan,

‫ضوْ ۟ا بَ ْينَهُم‬
َ ‫ضلُوهُ َّن َأن يَن ِكحْ نَ َأ ْز ٰ َو َجه َُّن ِإ َذا تَ ٰ َر‬
ُ ‫َوِإ َذا طَلَّ ْقتُ ُم ٱلنِّ َسٓا َء فَبَلَ ْغنَ َأ َجلَه َُّن فَاَل تَ ْع‬
ِ ‫بِ ْٱل َم ْعر‬
‫ُوف‬
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.” (QS. Al – Baqarah: 232).
Menurut Imam Syafi’I, ini adalah dalil yang tegas teranggapnya wali. kalua wali tidak
teranggap, maka tidak perlu disebutkan ‘ta’dhuluuhunna’.
Al-‘adhl adalah menghalangi Wanita untuk menikah.
Dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ال نكاح إال بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل‬

9
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi. Siapa yang nikahnya selain dari
itu, maka nikahnya batil.” (HR. Ibnu Hibban, 4075 dalam kitab Shahih-nya. Ibnu Hibban
berkata bahwasanya tidak sahih penyebutan dua orang saksi kecuali dalam hadits ini).
Bagi yang tidak memiliki wali, maka diserahkan pada wali hakim,

‫له‬ ‫فالسلطان ولي من ال ولي‬


“Penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud, no. 2083;
Tirmidzi, no. 1102; Ibnu Majah, no. 1879; dan Ahmad, 6:66. Abu Isa At-Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Urutan yang menjadi wali nikah (berdasarkan mazhab Syafi’i)
1. Ayah
2. Kakek, ayah dari ayah.
3. Saudara laki-laki kandung.
4. Saudara laki-laki sebapak.
5. Anak dari saudara laki-laki kandung.
6. Anak dari saudara laki-laki sebapak.
7. Saudara kandung dari bapak.
8. Saudara sebapak dari bapak.
9. Anak laki-laki dari saudara kandung dari bapak.
10. Anak laki-laki dari saudara sebapak dari bapak.
Kemudian ashabah lainnya. Jika tidak ada ashabah, maka yang jadi walinya adalah hakim
sebagaimana hadits yang tadi disebutkan, “Penguasa adalah wali bagi wanita yang
tidak  memiliki wali.”
Anak laki-laki tidak bisa menjadi wali untuk ibunya jika ibunya menikah lagi
Imam Nawawi dalam Al-Minhaj (2:428) berkata,

‫أحق األولياء أب ثم جد ثم أبوه ثم أخ ألبوين أو ألب ثم ابنه وإن سفل ثم عم ثم سائر‬


‫يبنوة‬ ‫ابن‬ ‫يزوج‬ ‫ وال‬،‫ ويقدم أخ ألبوين على أخ ألب في األظهر‬،‫العصبة كاإلرث‬،
“Yang berhak menjadi wali wanita adalah bapak, kemudian kakek, kemudian ke atasnya lagi.
Lalu saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki sebapak, lalu anak dari saudara laki-
laki, lalu ke bawah (keponakan). Lalu paman (saudara ayah), lalu ashabah lainnya seperti
pada waris.
Saudara kandung lebih didahulukan daripada saudara sebapak. Demikian pendapat terkuat.
Lalu anak laki-laki tidaklah menjadi wali karena statusnya sebagai anak.”
Di antara dasar ulama Syafiiyah tidak membolehkan anak menjadi wali nikah karena
hubungan anak dan ibunya bukanlah dari hasil nasab (dari pernikahan dengan bapak dari
anak itu, barulah ada anak). Sama halnya dengan saudara laki-laki seibu tidaklah boleh
menikahkan saudara perempuannya seibu karena tidak ada nasab dari jalur bapak.

10
Murid Imam Asy-Syafii yaitu Al-Muzani menyelisihi pendapat di atas. Termasuk pula tiga
ulama mazhab lainnya selain Syafiiyah. Artinya, mayoritas ulama masih membolehkan anak
yang sudah baligh (dewasa) menjadi wali nikah.
Syarat-syarat wali:
1. Islam.
2. 'Adaalah, tidak melakukan dosa besar, tidak terus menerus dalam melakukan dosa
kecil, dan tidak melakukan perkara yang menjatuhkan muruah (kehormatan) seperti
kencing di jalanan.
3. Baligh.
4. Berakal.
5. Selamat dari penyakit yang membuatnya sulit berpikir seperti pikun.
6. Bukan sedang berihram saat haji atau umrah.
7. Jika syarat wali ini tidak terpenuhi, bisa beralih pada wali terdekat.
Rukun kelima: Dua saksi
Syarat dua saksi:
1. Islam.
2. Laki-laki.
3. Berakal dan balig.
4. 'Adaalah secara lahiriyah.
5. Bisa melihat.4

4. Mahram yang haram dinikahi


Mahram adalah kerabat yang haram dinikahi. Ayat yang membahas tentang mahram
adalah firman Allah,

)22( ‫َواَل تَ ْن ِكحُوا َما نَ َك َح َآبَاُؤ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء ِإاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ِإنَّهُ َكانَ فَا ِح َشةً َو َم ْقتًا َو َسا َء َسبِياًل‬
ِ ‫َات اُأْل ْخ‬
‫ت‬ ُ ‫خ َوبَن‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم ُأ َّمهَاتُ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوَأخ ََواتُ ُك ْم َو َع َّماتُ ُك ْم َو َخااَل تُ ُك ْم َوبَن‬
ِ ‫َات اَأْل‬ ْ ‫ُح ِّر َم‬
‫ات نِ َساِئ ُك ْم َو َربَاِئبُ ُك ُم الاَّل تِي فِي‬ ُ َ‫ضا َع ِة َوُأ َّمه‬ َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوَأخ ََواتُ ُك ْم ِمنَ ال َّر‬ َ ْ‫َوُأ َّمهَاتُ ُك ُم الاَّل تِي َأر‬
‫َخَلتُ ْم بِ ِه َّن فَِإ ْن لَ ْم تَ ُكونُوا َدخ َْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم َو َحاَل ِئ ُل‬
ْ ‫ُور ُك ْم ِم ْن نِ َساِئ ُك ُم الاَّل تِي د‬ ِ ‫ُحج‬
‫َأ ْبنَاِئ ُك ُم الَّ ِذينَ ِم ْن َأصْ اَل بِ ُك ْم َوَأ ْن تَجْ َمعُوا بَ ْينَ اُأْل ْختَي ِْن ِإاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َغفُورًا َر ِحي ًما‬
‫َاب هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َوُأ ِح َّل لَ ُك ْم َما َو َرا َء َذلِ ُك ْم‬
َ ‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم ِكت‬ ْ ‫َات ِمنَ النِّ َسا ِء ِإاَّل َما َملَ َك‬ ُ ‫صن‬ َ ْ‫) َو ْال ُمح‬23(
َ‫صنِينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِحين‬ ِ ْ‫َأ ْن تَ ْبتَ ُغوا بَِأ ْم َوالِ ُك ْم ُمح‬
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu

4
Muhammad Abduh Tuasikal, Menjemput Jodoh Impian, (Rumaysho: Yogyakarta,2021), hlm 113-119.

11
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisaa’:
22-24)

Mahram yang disebutkan dalam ayat


Yang termasuk mahram yang disebutkan dalam ayat di atas dipandang dari sisi laki laki:
1. Istri dari bapak
2. Ibu kandung
3. Anak perempuan
4. Saudara perempuan
5. Saudara bapak yang perempuan
6. Saudara ibu yang perempuan
7. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
8. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan
9. Ibu persusuan
10. Saudara perempuan sepersusuan
11. Ibu mertua
12. Anak dari janda di mana telah berlangsung akad dan hubungan intim dengan janda
tersebut
13. Istri-istri anak kandung (menantu)
14. Saudara perempuan dari istri (ipar)
15. Wanita yang bersuami.
Catatan: Ada istilah mahram muabbad (selamanya) dan mahram muaqqot (sementara). Sifat
ipar (saudara dari istri) dan wanita yang bersuami, juga anak dari janda di mana sudah
menikah, tetapi janda tersebut belum disetubuhi, maka sifat mahramnya hanya sementara
(mahram muaqqot). Namun, tetap dalam bergaul dianggap seperti bergaul dengan wanita
lain. Sedangkan tiga belas lainnya masuk dalam mahram muabbad (mahram selamanya),
berarti selamanya itu mahram dan tidak boleh dinikahi.

12
Mahram karena persusuan
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫َّضا َعةُ تُ َحرِّ ُم َما تُ َح ِّر ُم‬


ُ‫الوالَ َدة‬ َ ‫الر‬
“Persusuan itu menyebabkan terjadinya hubungan mahram, sama seperti mahram karena
nasab.” (HR. Bukhari, no. 2646, 5099 dan Muslim, no. 1444)

Hanya saja, persusuan yang bisa menyebabkan mahram, syaratnya ada dua:
1. Usia bayi sebelum dua tahun
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata,

‫ضا َع ِإالَّ َما َكانَ فِى ْال َحوْ لَي ِْن‬


َ ‫الَ َر‬
“Tidak ada persusuan (yang menjadikan mahram) kecuali pada umur dua tahun.”
(HR. Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7:462. Hadits ini sanadnya, lihat takhrij
Syaikh Syuaib Al-Arnauth dalam Zaad Al-Ma’ad,  5:525)

2. Minimal lima kali persusuan


Satu kali persusuan batasannya ketika bayi menyusu sampai kenyang atau melepaskan
sendiri ASI-nya.
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau mengatakan,
ٍ ‫س َم ْعلُوْ َما‬
‫ت‬ ٍ ‫ت ي َُح ِّر ْمنَ ثُ َّم نُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم‬
ٍ ‫ت َم ْعلُوْ َما‬ َ ‫آن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬ ِ ْ‫َكانَ فِ ْي َما ُأ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُر‬
َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َواَْأل ْم ُر َعلَى َذلِك‬
َ ‫فَتُ ُوفِّ َي النَّبِ ُّي‬
“Yang pernah diturunkan dalam Al-Quran adalah bahwa sepuluh kali persusuan
menyebabkan adanya hubungan mahram, kemudian hal itu dihapus menjadi lima kali
persusuan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan keadaan masih seperti
itu.” (HR. Muslim, no. 1452)

Penjelasan rinci mengenai mahram 


Mahram dapat dibagi menjadi:
1. Ada tujuh mahram karena nasab.
2. Ada dua mahram karena persusuan.
3. Ada empat mahram karena mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan).
4. Ada satu mahram sementara karena berkumpulnya dua wanita.
Maka wanita-wanita di atas tidak boleh melakukan akad nikah dengan mereka.
Sekarang dirinci, mahram selamanya (mahram muabbad) ada tiga: (1) karena nasab, (2)
karena mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan), (3) karena persusuan.

13
Dipandang dari sisi laki-laki, mahram muabbad ada tiga macam:
Mahram karena nasab
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
5. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
6. Saudara perempuan dari ayah (bibi)
7. Saudara perempuan dari ibu (bibi)

Mahram karena mushaharah (pernikahan)


1. Istri dari ayah
2. Istri dari anak laki-laki
3. Ibu dari istri (mertua)
4. Anak perempuan dari istri (robibah)

Mahram karena persusuan


1. Ibu persusuan
2. Saudara perempuan persusuan
3. Anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (keponakan persusuan)
4. Anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan persusuan)
5. Saudara perempuan dari ayah sepersusuan (bibi persusuan)
6. Saudara perempuan dari ibu sepersusuan (bibi sepersusuan)
7. Setiap perempuan yang menyusui pada istri, maka si suami jadi bapak bagi anak
perempuan yang disusui tadi. Begitu pula yang menyusui dari istri anak, karena
menjadi anak perempuan dari anak laki-laki persusuan (alias: cucu persusuan).

Mahram karena pernikahan dan persusuan


1. Ibu persusuan dari istri (mertua persusuan)
2. Anak perempuan persusuan dari istri yang janda yang dinikahi dan sudah disetubuhi
(robibah persusuan)
3. Istrinya bapak susu di mana bapak susunya punya dua istri, ia menyusui pada salah
satu istrinya (ibu tiri persusuan)
4. Istri dari anak laki-laki persusuan (menantu persusuan)

Mahram sementara (mahram muaqqat)


1. Menikah dengan dua saudara perempuan sekaligus. Menikah dengan ipar itu tidak
boleh kecuali sudah bercerai dengan istri yang jadi saudaranya.
2. Menikah dengan seorang wanita dan bibinya juga tidak boleh.

14
Penjelasan macam-macam mahram ini diambil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii.5

5. Hikmah Menikah
Di antara hikmah nikah adalah sebagai berikut:
1. Melestarikan manusia dengan perkembangbiakan yang dihasilkan melalui nikah.
2. Kebutuhan pasangan suami istri terhadap pasangannya untuk memelihara
kemaluannya dengan melakukan hubungan seks yang suci.
3. Kerja sama pasangan suami istri di dalam mendidik anak dan menjaga
kehidupannya.
4. Mengatur hubungan seorang laki-laki dengan seorang wanita berdasarkan prinsip
pertukaran hak dan bekerja sama yang produktif dalam suasana yang penuh cinta
kasih serta pera- saan saling menghormati satu sama lainnya.6

B. Ta’aruf

1. Pengertian ta’aruf
Secara etimologi atau bahasa kata ta’aruf berasal dari Bahasa arab yakni
ta’ārafa yata’ārafu yang berarti saling mengenal. Yang dimaksud mengenal disini
bukan sekedar mengenal nama saja namun mengenal secara mendalam, Sedangkan
yang di maksud ta’aruf dal am Islam adalah sebuah proses saling mengenal secara
dekat dan akrab sebagai teman ataupun sahabat. Secara terminologi, ta’aruf dalam
konteks menuju pernikahan adalah proses untuk saling mengenal antara laki-laki dan
perempuan yang saling memiliki ketertarikan dan keduanya menyatakan pertanyaan
mengenai visi dan misi dalam menjalin rumah tangga untuk kedepannya sebelum
keduanya memutuskan untuk menikah.

Dari penjelasan definisi ta’aruf diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ta’aruf menuju
pernikahan adalah proses saling mengenal secara mendalam dan jujur mengenai latar
belakang dan kepribadian antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
membangun rumah tangga atau menikah.7

2. Tahapan ta’aruf
Tidak ada cara khusus dalam masalah ta’aruf. Intinya bagaimana seseorang bisa
menggali data calon pasangannya, tanpa melanggar aturan syariat maupun adat
masyarakat. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait ta’aruf,

1. Sebelum terjadi akad nikah, kedua calon pasangan, baik lelaki maupun wanita,
statusnya adalah orang lain. Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman.
5
Ibid. , hlm 105-112
6
Abu Bakar Jabir al-Jaza ‘iri, Minhajul Muslim, (Darul Haq: Jakarta,2006), hlm 749.
7
Mafhumah, Skripsi: Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ta’aruf Menuju Pernikahan Melalui AplikasiI
Ta’aruf Online Indonesia, (Surabaya: 2020), hlm 19.

15
Sehingga berlaku aturan lelaki dan wanita yang bukan mahram. Mereka tidak
diperkenankan untuk berdua-an, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau
melalui media lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

‫الَ يَ ْخلُ َو َّن َأ َح ُد ُك ْم بِا ْم َرَأ ٍة فَِإ َّن ال َّش ْيطَانَ ثَالِثُهُ َما‬

“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan


mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan
dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).

Setan menjadi pihak ketiga, tentu bukan karena ingin merebut calon pasangan
anda. Namun mereka hendak menjerumuskan manusia ke maksiat yang lebih
parah.

2. Luruskan niat, bahwa anda ta’aruf betul-betul karena ada i’tikad baik, yaitu
ingin menikah.  Bukan karena ingin koleksi kenalan, atau cicip-cicip, dan
semua gelagat tidak serius. Membuka peluang, untuk memberi harapan palsu
kepada orang lain. Tindakan ini termasuk sikap mempermainkan orang lain,
dan bisa termasuk kedzaliman. Sebagaimana dirinya tidak ingin disikapi
seperti itu, maka jangan sikapi orang lain seperti itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫الَ يُْؤ ِم ُن َأ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُ ِحبَّ َأل ِخ ْي ِه َما ي ُِحبُّ لِنَ ْف ِس ِه‬

Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk
saudaranya, sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama. (HR. Bukhari &
Muslim)

3. Menggali data pribadi, bisa melalui tukar biodata


Masing-masing bisa saling menceritakan biografinya secara tertulis. Sehingga
tidak harus melakukan pertemuan untuk saling cerita. Tulisan mewakili lisan.
Meskipun tidak semuanya harus dibuka. Ada bagian yang perlu terus terang,
terutama terkait data yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga, dan ada
yang tidak harus diketahui orang lain. Jika ada keterangan dan data tambahan
yang dibutuhkan, sebaiknya tidak berkomunikasi langsung, tapi bisa melalui
pihak ketiga, seperti kakak lelakinya atau orang tuanya.

16
4. Setelah ta’aruf diterima, bisa jadi mereka belum bertemu, karena hanya tukar
biografi. Karena itu, bisa dilanjutkan dengan nadzar.

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,


“Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba
datanglah seorang lelaki. Dia ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya,

“Apakah engkau sudah melihatnya?”

Jawabnya,  “Belum.”

Lalu beliau memerintahkan,

‫ا ْنظُرْ ِإلَ ْيهَا فَِإنَّهُ َأحْ َرى َأ ْن يُْؤ َد َم بَ ْينَ ُك َما‬

“Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Turmudzi 1087,
Ibnu Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)

Nadzar bisa dilakukan dengan cara datang ke rumah calon pengantin wanita,


sekaligus menghadap langsung orang tuanya.

5. Dibolehkan memberikan hadiah ketika proses ta’aruf


Hadiah sebelum pernikahan, hanya boleh dimiliki oleh wanita, calon istri dan
bukan keluarganya.

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ق َأوْ ِحبَا ٍء َأوْ عد ٍة قَب َْل ِعصْ َم ِة النِّ َك‬


‫اح فَهُ َو لَهَا َو َما َكانَ بَ ْع َد‬ ٍ ‫صدَا‬ َ ‫َما َكانَ ِم ْن‬
‫اح فَهُ َو لِ َم ْن ُأ ْع ِطيَهُ َأوْ ُحبِ َى‬
ِ ‫ِعصْ َم ِة النِّ َك‬

“Semua mahar, pemberian  dan janji sebelum akad nikah itu milik penganten
wanita. Lain halnya dengan pemberian setelah akad nikah, itu semua milik
orang yang diberi” (HR. Abu Daud 2129)

Jika berlanjut menikah, maka hadiah menjadi hak pengantin wanita. Jika nikah
dibatalkan, hadiah bisa dikembalikan.8

3. Adab-adab dalam proses ta’aruf

8
https://konsultasisyariah.com/30137-bagaimana-cara-taaruf.html (diakses 12 November 2022).

17
a. Menjaga pandagan dan hati dari perkara yang diharamkan
Menjaga pandangan dan hati dari perkara yang diharamkan adalah hal yang sangat
penting dalam proses ta’aruf, hal ini dikarenakan lawan jenis yang dalam tahap
ta’aruf bukan atau belum menjadi mahramnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
yang berbunyi:
‫ُوجه َُّن َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن ِإاَّل َما‬ َ ‫ظنَ فُر‬ ْ َ‫ْص ِر ِه َّن َويَحْ ف‬ َ ٰ ‫ت يَ ْغضُضْ نَ ِم ْن َأب‬ ِ َ‫َوقُل لِّ ْل ُمْؤ ِم ٰن‬
ْ‫ظَهَ َر ِم ْنهَا ۖ َو ْليَضْ ِر ْبنَ بِ ُخ ُم ِر ِه َّن َعلَ ٰى ُجيُوبِ ِه َّن ۖ َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَه َُّن ِإاَّل لِبُعُولَتِ ِه َّن َأو‬
‫َءابَٓاِئ ِه َّن َأوْ َءابَٓا ِء بُعُولَتِ ِه َّن َأوْ َأ ْبنَٓاِئ ِه َّن َأوْ َأ ْبنَٓا ِء بُعُولَتِ ِه َّن َأوْ ِإ ْخ ٰ َونِ ِه َّن َأوْ بَنِ ٓى ِإ ْخ ٰ َونِ ِه َّن‬
َ‫ت َأ ْي ٰ َمنُه َُّن َأ ِو ٱل ٰتَّبِ ِعينَ َغي ِْر ُأ ۟ولِى ٱِإْل رْ بَ ِة ِمن‬ ْ ‫خَوتِ ِه َّن َأوْ نِ َسٓاِئ ِه َّن َأوْ َما َملَ َك‬ َ ٰ ‫َأوْ بَنِ ٓى َأ‬
‫ت ٱلنِّ َسٓا ِء ۖ َواَل يَضْ ِر ْبنَ بَِأرْ ُجلِ ِه َّن‬ ِ ‫ُوا َعلَ ٰى عَوْ ٰ َر‬ ۟ ‫ظهَر‬ ْ َ‫ال َأ ِو ٱلطِّ ْف ِل ٱلَّ ِذينَ لَ ْم ي‬ ِ ‫ٱلرِّ َج‬
َ‫لِيُ ْعلَ َم َما ي ُْخفِينَ ِمن ِزينَتِ ِه َّن ۚ َوتُوب ُٓو ۟ا ِإلَى ٱهَّلل ِ َج ِميعًا َأيُّهَ ْٱل ُمْؤ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬

“Dan katakanlah pada wanita yang beriman agar mereka menjaga pandangan
dan kemaluannya. Janganlah menampakkan auratnya kecuali yang biasa terlihat.
Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah
menampakkan auratnya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, putra-putra
mereka, putra-putra suami mereka, saudara laki-laki mereka, putra-putra
saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para
perempuan sesama muslim, hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-
laki tua yang tidak memiliki keinginan terhadap perempuan atau anak laki-laki
yang belum mengerti aurat perempuan. Janganlah mereka menyentakkan kakinya
agar orang orang mengetahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Hai orang-
orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah agar kami beruntung.” (QS: An-
Nur, 31).

b. Pembicaraan tidak mengandung dosa atau bermuatan birahi


Pasangan yang sedang berta’aruf belumlah menjadi pasangan yang halal menurut
agama, oleh karena itu pembicaraan dalam proses ta’aruf tidak di perkenankan
mengenai hal hal yang seharusnya masih menjadi rahasia seperti seks atau yang
mengarah pada birahi serta hal-hal lain yang dilarang agama. Hal ini sesuai firman
Allah sebagai berikut:

ٰ
ٍ ۭ َ‫ُوف َأوْ ِإصْ ل‬
ِ َّ‫ح بَ ْينَ ٱلن‬
ۚ ‫اس‬ ٍ ‫ص َدقَ ٍة َأوْ َم ْعر‬ َ ِ‫ير ِّمن نَّجْ َو ٰىهُ ْم ِإاَّل َم ْن َأ َم َر ب‬
ٍ ِ‫اَّل خَ ي َْر فِى َكث‬
‫ت ٱهَّلل ِ فَ َسوْ فَ نُْؤ تِي ِه َأجْ رًا َع ِظي ًما‬
ِ ‫ضا‬ َ ْ‫َو َمن يَ ْف َعلْ ٰ َذلِكَ ٱ ْبتِغَٓا َء َمر‬

Artinya: “tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali
pembicaraan rahasia mereka dari orang yang menyuruh orang lain bersedekah,
berbuat baik atau mendamaikan antar manusia. Siapapun yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah. Maka kelak kami akan memberikan pahala yang
besar” (QS. An-Nisa, 114).

18
c. Tidak berdua-duaan atau khalwat
Dalam proses ta’aruf calon pasangan dilarang untuk berdua-duaan tanpa orang
ketiga atau wali, hal ini karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau akan
terjadi hal hal yang dilarang agama. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi yang
berbunyi

‫ال يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما‬


“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena
sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR.
Ahmad 1/18, Ibnu Hibban [lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436], At-Thabrani
dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no. 430)

d. Menutup aurat sesuai syariat agama


Seorang laki-laki dan perempuan muslim haruslah mengerti batasan atau aurat
yang harus ditutupi dihadapan orang lain yang bukan mahramnya. Seluruh tubuh
bagi perempuan adalah aurat kecuali wajah dan keduan telapak tangan. Sedangkan
aurat bagi laki-laki adalah pusat hingga lutut.9

C. Nadzor

1. Pengertian nadzor
Nadzar dari aspek bahasa berasal dari kataNadzara – yandzuru – nadzran,
Munawir mengartikan; melihat, memandang kepada. (Ahmad Warson Munawir:
1433).10

Jika seorang laki-laki ingin meminang seorang wanita, ia boleh melihat wanita
tersebut atau melakukan nazhor. Allah Ta'ala berfirman,

َ َ‫ج َولَوْ َأ ْع َجب‬


ْ ‫ك ُح ْسنُه َُّن ِإاَّل َما َملَ َك‬
‫ت‬ ٍ ‫اَّل يَ ِحلُّ لَكَ ٱلنِّ َسٓا ُء ِم ۢن بَ ْع ُد َوٓاَل َأن تَبَ َّد َل بِ ِه َّن ِم ْن َأ ْز ٰ َو‬
‫يَ ِمينُكَ ۗ َو َكانَ ٱهَّلل ُ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ْى ٍء َّرقِيبًا‬

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan- perempuan sesudah itu dan tidak boleh
(pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya
menarik hatimu." (QS. Al-Ahzab: 52). Maksudnya, kecantikan wanita yang
dipinang tidak diketahui kecuali setelah yang meminang melihatnya.

9
Mafhumah, Skripsi: Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ta’aruf Menuju Pernikahan Melalui AplikasiI
Ta’aruf Online Indonesia, (Surabaya: 2020), hlm 28-31.
10
Dodi Yarli R., Urgensi Fiqih Nadzar Dalam Proses Pernikahan, Vol. 8 No. 1, hlm 108.

19
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Aku pernah bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang laki-laki. Ia mengabarkan
kepada beliau bahwa dirinya akan menikah dengan seorang wanita Anshar. Beliau
bertanya kepadanya, “Apa engkau sudah melihatnya?” Dia menjawab,
“Belum.” Beliau bersabda,

‫فاذهب فانظر إليها فإن في أعين األنصار شيئا‬

“Pergi dan lihatlah wanita tersebut. Sesungguhnya di mata kaum Anshar terdapat
sesuatu.” (HR. Muslim, no. 1424).

Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Seorang wanita pernah
mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata kepada beliau,
'Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.' Kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya ke atas dan ke bawah, lalu beliau
mengangguk-anggukkan kepalanya." (HR. Bukhari, no. 5126 dan Muslim, no. 1425).

Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu


'alaihi wa sallam bersabda,

ْ‫ فَ ْليَ ْف َعل‬،‫ فَِإ ِن ا ْستَطَا َع َأ ْن يَ ْنظُ َر ِم ْنهَا ِإلَى َما يَ ْد ُعوْ هُ ِإلَى نِ َكا ِحهَا‬،َ‫ب َأ َح ُد ُك ُم ْال َمرْ َأة‬
َ َ‫ِإ َذا َخط‬

“Jika salah seorang di antara kalian meminang wanita, lalu ia bisa melihat sebagian
di antara apa yang menarik hatinya, maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ahmad,
3:360; Abu Daud, no. 2082; Al-Hakim, 21165; dan Al-Baihaqi, 7:84. Sanad hadits ini
hasan menurut Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim).

2. Bagian yang boleh dilihat saat nadzhor


Para ulama berbeda pendapat tentang batasan anggota badan wanita yang
boleh dilihat ketika seorang wanita dipinang. Menurut jumhur (mayoritas) ulama,
dibolehkan melihat sebatas wajah dan telapak tangannya, tidak boleh lebih dari itu.

Catatan: Tidak cukup hanya melihat foto wanita yang akan dipinang atau melalui
rekaman video, karena foto dan video bisa direkayasa sehingga termasuk tindak
pemalsuan.

3. Aturan saat nadzor


1. Tidak boleh berkhalwat (berduaan) ketika nazhor. Keduanya hendaknya ditemani
oleh mahram, misalnya mahram wanita dari pihak laki-laki atau setidaknya salah
satu mahram wanita dari wanita yang akan dipinang.
2. Nazhor ini akan menunjukkan tanda kecocokan dan sregnya calon laki-laki pada
calon perempuan.

20
3. Nazhor dilakukan jika sudah ada dugaan kuat bahwa pihak laki-laki bersedia
menikahi si perempuan.
4. Tidak boleh menyentuh si wanita yang akan dipinang karena status wanita
tersebut masih wanita asing (bukan mahram).
5. Jika memungkinkan melihat sebelum meminang itu lebih baik. Karena bisa jadi
pihak laki-laki akan menolak jika ia baru melihat si wanita ketika khitbah, lalu
akhirnya menyakiti pihak Wanita.
6. Dibolehkan berbicara dan bertanya kepada si wanita sesuai batasan-batasan
syariat.
7. Tidak boleh bertemu wanita yang sudah dipinang berulang kali.
8. Tidak dibolehkan pergi berdua tanpa mahram walau sudah meminang.
Lihat bahasan Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim dalam Fiqh As-Sunnah li
An-Nisaa', hlm. 461.
Wanita yang dipinang boleh melihat laki-laki yang meminangnya. Hukumnya
sama sebagaimana laki-laki boleh melihat si wanita. Karena wanita pun butuh tertarik
kepada laki-laki. Bahkan si wanita lebih layak diberi kesempatan untuk melihat calon
pasangannya.. Karena pihak laki-laki bisa saja menceraikan istri yang tidak
disukainya, sementara si wanita tidak bisa melakukan hal itu.
Kenapa sampai syariat memerintahkan laki-laki yang melihat wanita? Karena
laki-laki selalu tampak, sedangkan wanita seringnya di rumah.
Para ulama berbeda pendapat tentang laki-laki yang meminang yang batasan
anggota badan boleh dilihat oleh wanita yang dipinangnya. Pendapat yang benar
bahwa si wanita tidak diharamkan melihat lebih dari wajah dan telapak
tangannya karena aurat laki-laki itu antara pusar hingga lutut.11

D. Khitbah
Khitbah (meminang) adalah meminta (melamar) seorang wanita untuk dinikahi dengan
cara yang sudah makruf. Meskipun telah ada kesepakatan, khitbah hanyalah sebatas janji
untuk menikah, sehingga laki-laki yang meminang belum berhak sedikit pun terhadap wanita
yang dipinangnya tersebut. Status yang dipinang masih sebagai wanita asing bagi
peminangnya sebelum dilakukannya akad nikah.12

Dan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melamar seorang wanita yang
telah dilamar saudaranya, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

‫ َوالَ يَ ْخطُبُ ال َّر ُج ُل َعلَى‬،‫ْض‬


ٍ ‫ض ُكـ ْم َعلَى بَي ِْع بَع‬ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْن يَبِ ْي َع بَ ْع‬
َ ‫نَهَى النَّبِ ُّي‬
ُ‫طبَ ِة َأ ِخ ْي ِه َحتَّى يَ ْترُكَ ال َخا ِطبُ قَ ْبلَهُ َأوْ يَْأ َذنَ لَهُ ْال َخا ِطب‬ْ ‫ِخ‬
11
Muhammad Abduh Tuasikal, Menjemput Jodoh Impian, (Rumaysho: Yogyakarta,2021), hlm 71-74.
12
Ibid. , hlm 75.

21
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sebagian dari kalian membeli sesuatu yang
sedang dibeli oleh orang lain. Dan janganlah seseorang melamar wanita yang masih dilamar
oleh saudaranya sampai orang tersebut meninggalkannya atau mengizinkannya.” [Shahiih
Sunan an-Nasa-i (no. 3037)], Shahiih al-Bukhari (IX/198, no. 5142), Sunan an-Nasa-i (VI/73)

Demikian juga tidak boleh melamar wanita yang sedang dalam ‘Iddah thalaq Raj’i
(masa penantian seorang wanita setelah ditalak dan masih dapat rujuk kembali-penj), karena
statusnya masih sebagai isteri orang lain, sebagaimana ia juga tidak diperbolehkan untuk
tashrih (secara terang-terangan) melamar wanita yang masih dalam ‘iddah thalaq ba’in (masa
penantian seorang wanita setelah talak yang tidak dapat rujuk kembali-pent) atau karena
meninggalnya suami, akan tetapi tidak mengapa baginya untuk ta’ridh (dengan sindiran).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

ْ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّضْ تُم بِ ِه ِم ْن ِخ‬


‫طبَ ِة النِّ َسا ِء َأوْ َأ ْكنَنتُ ْم فِي َأنفُ ِس ُك ْم‬ َ ‫َواَل ُجن‬
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.” [Al-Baqarah/2: 235].13

E. Talak Raj’i
Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang benar-benar
telah dicampurinya dengan ketentuan bebas dari tebusan dan tidak didahului oleh suatu
talakpun, atau hanya boleh oleh sekali talak saja. Atau dapat dikatakan talak yang suami
diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih
dalam masa ‘iddah. Berdasarkan firman Allah,
۟ ‫ُوف َأوْ تَسْري ۢ ٌح ب حْ ٰ َس ٍن ۗ َواَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم َأن تَْأ ُخ ُذ‬
‫وا ِم َّمٓا َءاتَ ْيتُ ُموهُ َّن‬ ‫ِ ِِإ‬ ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬ ٌ ۢ ‫َان ۖ فَِإ ْم َسا‬ ُ َ‫ٱلطَّ ٰل‬
ِ ‫ق َم َّرت‬
ْ ‫َش ْيـًٔا ِإٓاَّل َأن يَ َخافَٓا َأاَّل يُقِي َما ُح ُدو َد ٱهَّلل ِ ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َما ُح ُدو َد ٱهَّلل ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما ِفي َما ٱ ْفتَد‬
‫َت‬
ٰ ٓ
َ‫ك هُ ُم ٱلظَّلِ ُمون‬ َ ‫بِِۦه ۗ تِ ْلكَ ُح ُدو ُد ٱهَّلل ِ فَاَل تَ ْعتَ ُدوهَا ۚ َو َمن يَتَ َع َّد ُح ُدو َد ٱهَّلل ِ فَُأ ۟و ٰلَِئ‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs al-Baqarah [2]:229)

13
https://almanhaj.or.id/2226-siapakah-wanita-pilihan-siapakah-lelaki-pilihan-khitbah-meminang.html
(diakses 12 November 2022).

22
Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan Allah ialah talak yang
dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara
kembali mantan istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah
talak kedua.14
Talak raj’i yaitu talak dimana seorang suami masih tetap berhak untuk
mengembalikan isterinya ke bawah perlindungan selagi iddahnya belum habis, dan hal itu
bisa dilakukan semata-mata keinginan untuk rujuk. Talak raj’i dijatuhkan dengan lafal-lafal
tertentu dan isteri benar-benar sudah digauli. Jelasnya talak raj’i talak yang dijatuhkan suami
kepada isterinya sebagai talak satu atau talak dua. Sebagaimana firman Allah,

َ َ‫ت يَت ََربَّصْ نَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٍء ۚ َواَل يَ ِحلُّ لَه َُّن َأن يَ ْكتُ ْمنَ َما خَ ل‬
‫ق ٱهَّلل ُ فِ ٓى َأرْ َحا ِم ِه َّن ِإن‬ ُ َ‫َو ْٱل ُمطَلَّ ٰق‬
‫ق بِ َر ِّد ِه َّن فِى ٰ َذلِكَ ِإ ْن َأ َرا ُد ٓو ۟ا ِإصْ ٰلَحًا ۚ َولَه َُّن ِم ْث ُل‬
ُّ ‫ُك َّن يُْؤ ِم َّن بِٱهَّلل ِ َو ْٱليَوْ ِم ٱلْ َءا ِخ ِر ۚ َوبُعُولَتُه َُّن َأ َح‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ِ ‫ال َعلَ ْي ِه َّن د ََر َجةٌ ۗ َوٱهَّلل ُ ع‬ ِ ‫ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه َّن بِ ْٱل َم ْعر‬
ِ ‫ُوف ۚ َولِل ِّر َج‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. AL Baqarah/2: 228).15

F. Talak Ba’in
Talak ba'in, ialah talak yang terjadi sehubungan dengan adanya syiqaq yang mengarahkan
suami dan istri mendatangkan hakim dari keluarga masing-masing sebagai juru damai sesuai
dengan Surah An-Nisa' ayat 35. Oleh sebab itu, jika terjadi perselisihan tidak semestinya
langsung mengajukan perceraian, tetapi harus ditempuh berbagai cara yang dapat
mendamaikan dengan mendatangkan hakim keluarga. Jika hakim keluarga tidak mampu
menyelesaikan perkaranya baru kemudian di- ajukan ke hakim di pengadilan. Apabila istri
ditalak syiqaq disebut talak ba'in sughra. Akan tetapi, di samping itu sebelum perselisihan
ditangani hakim keluarga suami terlebih dahulu mengadakan usaha-usaha, yaitu menasehati,
jika istri tidak memperhatikan suami memisahkan tempat tidur, dan jika kedua cara itu belum
juga terselesaikan suami dapat memukul dalam batas-batas kewajaran. Jadi menurut tuntutan
Alquran tindakan tersebut tidak melampaui batas sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-
Nisa ayat 35. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ٰ
ُ ‫وا َح َكمًا مِّنْ َأهْ لِهِۦ َو َح َكمًا مِّنْ َأهْ لِ َهٓا ِإن ي ُِريدَٓا ِإصْ َلحً ا ي َُو ِّف ِق ٱهَّلل‬ ۟ ‫اق َب ْين ِِه َما َفٱب َْع ُث‬
َ ‫َوِإنْ ِخ ْف ُت ْم شِ َق‬
‫ان َعلِيمًا َخ ِبيرً ا‬ َ ‫َب ْي َن ُه َمٓا ۗ ِإنَّ ٱهَّلل َ َك‬

14
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Seluk Beluk Perkawinan Dalam Islam II) (Bandung: Araz, 1981), hlm 158.
15
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. 63 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), hlm. 402.

23
“(Dan jika kamu khawatir timbulnya persengketaan di antara keduanya) maksudnya di
antara suami dengan istri terjadi pertengkaran (maka utuslah) kepada mereka atas kerelaan
kedua belah pihak (seorang penengah) yakni seorang laki-laki yang adil (dari keluarga laki-
laki) atau kaum kerabatnya (dan seorang penengah dari keluarga wanita) yang masing-
masingnya mewakili pihak suami tentang putusannya untuk menjatuhkan talak atau
menerima khuluk/tebusan dari pihak istri dalam putusannya untuk menyetujui khuluk. Kedua
mereka akan berusaha sungguh-sungguh dan menyuruh pihak yang aniaya supaya sadar dan
kembali, atau kalau dianggap perlu buat memisahkan antara suami istri itu. Firman-Nya:
(jika mereka berdua bermaksud) maksudnya kedua penengah itu (mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberikan taufik kepada mereka) artinya suami istri sehingga ditakdirkan-
Nyalah mana-mana yang sesuai untuk keduanya, apakah perbaikan ataukah perceraian.
(Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) segala sesuatu (lagi Maha Teliti) yang batin seperti
halnya yang lahir.” (QS. An-Nisa' 4: Ayat 35)

Talak ba'in kubro oleh seorang suami, maka dalam hal ini suami tidak izinkan lagi
untuk rujuk dan atau kawin lagi dengan istri yang telah ditalaknya. Talak ba'in kubro terdiri
dari beberapa macam, yaitu karena li'an atau karena penjatuhan talak untuk ketiga kalinya.
Talak ba'in kubro dapat terjadi karena li'an (menuduh zina). Jika perceraian terjadi karena
tuduhan zina/li'an, maka suami istri untuk selama-lamanya tidak boleh kawin lagi. Talak ba'in
dapat pula terjadi karena penjatuhan talak yang ketiga kalinya. Apabila hal ini terjadi, maka
suami tidak dapat kembali (rujuk lagi tidak dapat menikahi lagi bekas istrinya, kecuali si
bekas istrinya telah dinikahi orang lain dan kemudian ternyata dicerai oleh suami yang
belakangan sebagai muhallil. Talak ba'in kubro sebagaimana diuraikan di atas, ditegaskan
dalam Surah Al-Baqarah ayat 230. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َفِإن َطلَّ َق َها َفاَل َت ِح ُّل َلهُۥ م ِۢن َبعْ ُد َح َّت ٰى َتنك َِح َز ْوجً ا َغي َْرهُۥ ۗ َفِإن َطلَّ َق َها َفاَل ُج َنا َح َع َلي ِْه َمٓا َأن‬
‫ُون‬ َ ‫اج َعٓا ِإن َظ َّنٓا َأن ُيقِي َما حُ ُدودَ ٱهَّلل ِ ۗ َوت ِْل‬
َ ‫ك ُح ُدو ُد ٱهَّلل ِ ُي َب ِّي ُن َها لِ َق ْو ٍم َيعْ َلم‬ َ ‫َي َت َر‬
“(Kemudian jika ia menceraikannya lagi), maksudnya si suami setelah talak yang kedua,
(maka wanita itu tidak halal lagi baginya setelah itu), maksudnya setelah talak tiga (hingga
dia kawin dengan suami yang lain) serta mencampurinya sebagaimana tersebut dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. (Kemudian jika ia menceraikannya pula)
maksudnya suaminya yang kedua, (maka tidak ada dosa bagi keduanya), maksudnya istri
dan bekas suami yang pertama (untuk kembali) pada perkawinan mereka setelah
berakhirnya idah, (jika keduanya itu mengira akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah), maksudnya semua yang telah disebutkan itu (peraturan-peraturan Allah yang
dijelaskan-Nya kepada kaum yang mau mengetahui) atau merenungkan.” (QS. Al-Baqarah 2:
Ayat 230).16
Talak ba'in adalah talak yang suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang
ditalaknya, yang mencakup beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini disepakati oleh semua Para Pihak).
16
Muhammad Syarifuddin,dkk. Hukum Penceraian,Jakarta Timur : Sinar Grafika,2014, hlm 124-125.

24
2. Wanita yang dicerai tiga (juga ada kesepakatan pendapat).
3. Talak khulu. Sebagian ulama mazhab mengatakan bahwa khulu' adalah faskh nikah,
bukan cerai.
4. Wanita yang sudah memasuki masa menopause, khususnya pendapat Imamiyah,
karena mereka mengatakan bahwa wanita menopause yang diceraikan tidak memiliki
iddah. Hukumnya sama dengan hukum wanita yang belum dicampuri.
5. Hanafi mengatakan: khalwat dengan istri tanpa percampuran, menyebabkan
kewajiban iddah. Namun, laki-laki yang menceraikannya tidak dapat merujuknya
ketika wanita tersebut dalam masa iddah, karena talak tersebut adalah talak ba'in.
Hambali berkata: khalwat sama saja dengan mencampuri kewajiban iddah bagi
perempuan, dan kebolehan bermusyawarah bagi laki-laki Jaki.
6. Hanafi mengatakan: ketika seorang suami berkata kepada istrinya “Kamu talak
dengan talak ba’in atau talak berat, atau talak gunung, talak yang paling buruk, atau
talak yang paling besar, dan ungkapan-ungkapan serupa lainnya, maka talak yang
gugur adalah talak ba'in yang tidak memungkinkan pihak laki-laki untuk merujuk
kembali pada saat si wanita dalam masa iddahnya. Demikian pula ketika suami
membatalkan talak dengan kata-kata kiasan yang sama sekali mengandung makna
perpisahan, seperti, "Kamu biarkan aku pergi setelah itu", "Kamu putus denganku",
atau "Kamu memberitahuku sepenuhnya".17
Talak ba'in, adalah talak yang ketiga kalinya atau talak sebelum istri dicampuri atau talak
dengan tebusan istri kepada suami. Talak ba'in terdiri atas:
1. Talak bain shugra, adalah talak yang tidak dapat dirujuk, tetapi dapat dilakukan akad
nikah baru dengan bekas suami meskipun dalam iddah. Yang termasuk talak ba'in
shugra adalah talak yang terjadi sebelum qabla ad-dukhul, talak dengan uang tebusan
atau khuluk dan talak yang diputus oleh Pengadilan Agama:
2. Talak bain kubra, yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Perceraian jenis ini
tidak dapat disebut dan tidak dapat dikawinkan kembali, kecuali apabila perkawinan
tersebut dilakukan setelah mantan istri menikah dengan orang lain dan kemudian
terjadi pemisahan ba'da al dulchul dan berakhirnya masa iddahnya.18

G. KHULU'
Khulu' atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan
jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri
yang menginginkan cerat dengan khulu' itu. Untuk maksud yang sama dengan kata khulu itu,
ulama menggunakan beberapa kata, yaitu fidyah, shuth, mubaraah. Walaupun dalam makna
yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila
ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan
waktu nikah disebut khulu! Bila ganti rugi adalah separuh dari mahar disebut shuth, bila ganti
17
Ibid....hlm 126.
18
Ibid....hlm 163 -164.

25
rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti
rugi disebut mubaraah."
Menurut Muhammad Thalib, jika istri membenci suaminya karena fisiknya, akhlaknya,
agamanya, usianya yang tua, kelemahannya atau yang semisalnya, dan ia takut tidak
menjalankan hak Allah untuk menaati suaminya, maka ia boleh melakukan khulu' terhadap
suaminya dengan memberikan kompensasi untuk menebus dirinya. Ketentuan ini berdasarkan
firman Allah, dalam QS. Al-Baqarah (2): 229, yang artinya: "Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Jadi, sang
istri dapat membebaskan dirinya dari perjanjian perkawinan dengan mengembalikan
sejumlah uang tebusan atau mahar, sedangkan suaminya memberikan kepada istrinya suatu
khulu.'
Di jelaskan bahwa khul' (K) dalam arti loghatul arabiyah (bahasa Arab) ialah
menanggalkan pakaian, dalam peristiwa ini artinya melepaskan kekuasaannya sebagai suami
dan memberikan kepada istrinya dalam bentuk talak. Sedangkan mubara'ah artinya baik
suami maupun istri sama-sama membebaskan diri, yaitu sang suami membebaskan dirinya
dari kekuasaan sebagai suami, sedangkan istrinya membebaskan dirinya pula se- bagal istri,
dengan syarat-syarat pertama, harus ada persetujuan bebas dari suami dan istri tersebut;
kedua, pemberian iwadh (pembayaran sejumlah uang) oleh istri kepada suami sebagai
penebus/pengembalian mahar yang dulu pernah diterima. Apabila hasrat bercerai dari istri
karena tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah dinamakan khulu, sedangkan bila
persetu juan itu oleh suami istri, keduanya hendak bercerai dinamakan mubara'ah.19
khulu' bertujuan untuk menghilangkan bahaya yang menimpa istri akibat pergaulan buruk
dan hidup bersama orang yang dibencinya. Hal itu bahaya yang lebih besar dibandingkan
dengan bahaya lamanya iddah, sehingga bahaya yang lebih tinggi boleh ditolak dengan
bahaya yang lebih rendah. Karena itu Nabi SAW. tidak menanyakan kondisi istri yang
melakukan khulu'. Khulu terjadi atas permintaan istri, ,sehingga khulu' merupakan sikap
ridha istri dan bukti akan kuatnya maslahat istri di dalam khulu'.
jika seorang istri melakukan khulu' tanpa marah atau takut tidak menjalankan hukum
Allah, maka khulu' adalah keji. Jika dia melakukannya, maka tafsirnya menurut pendapat
mayoritas ulama, termasuk Abu Hanifah, Ats-Tsuari. Malik, Al Auza'i dan Syafi'i. Tsauban
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wanita mana saja yang meminta cerai dari
suaminya tanpa alasan apapun, maka diharamkan aroma surga baginya.” (HR. Abu Daud,
Ahmad, Ad-Darimi dan Tirmidzi. Menurut Al Albani, isnad hadits ini shahih).
Selain itu, diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi, bahwa beliau bersabda, “Wanita
yang melakukan khulu' dan tanazu' (perselisihan) adalah wanita munafik”. (HR. Abu Hafs
dan Ahmad dalam Musnadnya).
Imam Ahmad menyebutkannya sebagai argumen bahwa hadits ini mengarah pada
pengharaman khulu' tanpa hajat. Karena khulu' merugikan dirinya dan suaminya, serta

19
Ibid....hlm 131-132.

26
menghilangkan kemaslahatan perkawinan tanpa ada hajat, maka hukumnya haram
berdasarkan sabda Nabi. “Jangan mencelakai diri sendiri dan jangan mencelakai orang lain”
(hadits Hasan).20
Kemudian barang siapa mempersulit, menyusahkan, menganiaya atau tidak
memberikan hak-hak istri dengan tujuan agar istri menebus dirinya dari suami, lalu istri
melakukannya, maka khulu tidak sah dan kompensasi dikembalikan menurut mayoritas
ulama. Apabila istri menggauli suami dengan buruk lalu suami menyusahkannya agar istri
menebus dirinya, kemudian istri melakukannya, maka khulu ini sah. Selanjutnya, di dalam
khulu tidak ada rujuk menurut pendapat mayoritas ulama, antara lain Hasan, Atha', An
Nakha'i, Ats Tsauri, Al Auza't, Malik, Syafi'i, Ishaq, dan Ahmad dituturkan oleh Az-Zuhri
dan Sa'id bin Musayyib bahwa keduanya berkata, "Suami diberi pilihan antara mengambil
kompensasi dan tidak berhak rujuk atau mengembalikan kompensasi dan berhak rujuk". Dalil
pendapat pertama adalah firman Allah SWT. "Tentang bayaran yang diberikan istri untuk
menebus dirinya (QS. Al-Baqarah (2): 229) Disebutkan tebusan bila dengannya istri keluar
dari kekuasaan suami. Apabila suami berhak rujuk, maka istri masih berada di bawah
kekuasaannya. Di samping itu, karena maksud khulu adalah menghilangkan bahaya dari istri,
sehingga jika suami boleh merujukinya maka bahaya itu akan Kembali.21
Di jelaskan bahwa khulu memiliki beberapa unsur yang sekaligus rukun, serta menjadi
karakteristik dari khulu'
a. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan, Suami hendaklah seseorang yang
ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara, yaitu akil baligh dan bertindak
atas kehendaknya sendiri secara sengaja. Dengan kata lain, suami dalam keadaan gila
atau d bawah pengampuan tidak sah melakukan khulu'
b. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan Istri selaku pihak yang
mengajukan khulu' kepada suaminya disyaratkan memenuhi hal-hal sebagai berikut:

a. Dia adalah orang yang berada dalam wilayah suami, dalam aru istrinya atau
yang telah diceraikannya, tetapi masih dalam sinar iddah.

b. la adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta. Karena untuk
keperluan pengajuan khulu' ini ia harus menyerahkan harta Untuk syarat ini ia
harus seseorang yang telah baligh, berakal sehat, tidak berada di bawah
pengampuan, dan cakap hertindak atas harta Kalau syarat ini tidak dapat
dipenuhi, maka yang melakukan khulu adalah walinya, sedangkan wadh
dibebankan kepada hartanya sendiri, kecuali keinginan datang dari pihak wall.
Khulu dapat dilakukan atas kehendak pihak ketiga dengan persetujuan istriatal
yang dikenal dengan khulu ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khu ini
ditanggung oleh pihak ketiga tersebut.

20
Ibid....hlm 135-136.
21
Ibid....hlm 136.

27
c. Uang tebusan atau iwadh. Mayoritas ulama menempatkan wadh sebagai rukun
yang tidak boleh ditinggalkan untuk keabsahan khulu

d. Sighat atau pidato Khulu'


Menurut para ulama ucapan khulu' terdiri dari dua macam, yaitu menggunakan
lafaz yang jelas dan terang (sharih) dan menggunakan ucapan hujatan yang
harus disertai dengan niat.

e. Alasan terjadinya khulu


Alasan utama terjadinya khulu' adalah adanya kekhawatiran istri tidak dapat
melaksanakan tugasnya sebagai istri yang menyebabkan tidak dapat
menegakkan hukum Allah.22

F. Rukun dan Syarat dalam Talak


Rukun ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tersebut
bergantung pada ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Kemudian pada masing-masing
rukun itu ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Di antara persyaratan itu ada
yang menjadi kesepakan ulama dan ada pula yang masih diperdebatkan. Adapun rukun talak
yang menjadi kesepakatan ulama ada empat yakni suami, istri, sighat talak, dan qasad.
1. Suami
Suami adalah orang yang memilki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya.
Adapun syarat sahnya talak yang melekat pada suami ada 3 yakni berakal, balig dan atas
kemauan sendiri. Ketiga syarat ini memberi konsekuensi bahwa talak yang dijatuhkan oleh
anak kecil, orang gila, dan orang yang dipaksa tidak sah.
2. Istri
Rukun yang kedua dari talak adalah istri. Hal ini menunjukan bahwa talak tidaklah
sah apabila dijatuhkan pada wanita yang bukan istrinya.79 Adapun yang menjadi dalil tidak
sahnya talak yang dijatuhkan kepada wanita yang bukan istrinya adalah hadis Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari Amru bin Syu’aib;

َ ‫َواَل طَاَل‬
‫ق لَهُ فِي َما اَل يَ ْملِك‬
Artinya; “tidak ada talak pada wanita yang tidak dimilikinya,” (HR Tirmizi: Hasan Sahih.
Al-Albani: Hasan Sahih, dalam Jamiut Tirmizi lil Albani: 1181)
3. Sighat Talak
Jumhur ulama berpendapat bahwa talak terjadi bila suami yang ingin menceraikan
istrinya mengucapkan ucapan tertentu yang menyatakan bahwa istrinya itu telah lepas dari
wilayahnya. Dengan kata lain, apabila suami hanya berkeinginan atau meniatkan tetapi belum

22
Ibid....hlm 134-135.

28
mengucapkan apa-apa, maka belum terjadi talak. Hal ini berdasrkan hadis Nabi Saw yang
berbunyi;
Artinya; “Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim Telah menceritakan kepada
kami Hisyam Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Zurarah bin Aufa dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi Saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah memaafkan
apa yang dikatakan oleh hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya."
Qatadah berkata."Bila ia menceraikan dengan suara hatinya saja, maka hal itu tidaklah
berpengaruh sedikit pun." (Muttafaq ‘alaih)
Adapun persyaratan yang melekat pada sighat ini sebagimana yang disebutkan oleh
Wahbah az-Zuhailī dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū sebagai berikut.
a. Penggunaan lafal talak memiliki makna, yakni dapat dimengerti dan dipahami baik
secara bahasa, tradisi, tulisan, atau dengan isyarat.
b. Orang yang melafalkan talak harus memahami maknanya meskipun dengan
menggunakan bahasa asing. Jadi apabila seseorang mengucapkan talak dengan bahasa
asing secara terang-terangan maka jatuhlah talak darinya.
c. Penyandaran lafal talak kepada istri atau disandarkan kepadanya secara bahasa. Cara
menentukannya ialah dengan salah satu cara penentuan seperti dari sifat, nama
panggilan, atau dengan isyarat dan dhamir. Misalkan ia berkata, “istriku tertalak” atau
ia isyaratkan kepada istrinya dengan ucapan “kamu ditalak”.
d. Jangan sampai dia merasa ragu pada jumlah talak atau atau lafalnya. Sebab talak
secara terang-terangan tetap terjadi meski dengan lafal yang disimpangkan, seperti
perkataan aku talakh, atau dengan menggunakan huruf hijaiah tha, lam, dan qaf.
4. Qasad
Qasad atau kehendak yakni ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh orang yang
mengucapkannya untuk talak bukan untuk yang lain. Oleh karena itu salah ucap yang tidak
dimaksudkan untuk talak dianggap tidak terjadi. Menurut hemat penelit”i rukun yang
keempat ini sejalan dengan kaidah fikih yang berbunyi;
“Tiap-tiap perkara itu tergantung dengan maksud dan tujuannya.” Meskipun demikian
ternyata para ulama mengecualikan apabila talak itu diucapkan untuk main-main atau senda
gurau. Menurut mereka talak seperti itu tetap terjadi talak. Hal tersebut berdasarkan hadis
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi;
Artinya; Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh-sungguhdan senda
guraunya menjadi sungguh-sungguh; nikah, talak, dan rujuk”.
Empat rukun dan termasuk juga persyaratannya di atas merupakan kesepakatan
jumhur ulama. Selain yang telah peneliti sebutkan ada beberapa persyaratan-persyaratan yang
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Berikut akan peneliti uraikan persyaratan-
persyaratan tersebut,
a. Saksi dalam Talak

29
Mengenai saksi dalam talak, ulama terbagi menjadi dua golongan. Satu golongan
mengatakan bahwa saksi merupakan syarat sahnya talak dan satu golongan lagi mengatakan
bahwa saksi bukan termasuk syarat sahnya talak. Mereka yang mengatakan bahwa saksi
merupakan syarat sahnya talak berpegang pada surah ath-Thalaq ayat 2 yang berbunyi;
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik
atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”(QS. ath-Thalaq : 2)
Ayat di atas dipahami oleh sebagian ulama sebagai ayat yang menunjukan bahwa
saksi merupakan syarat sah dari rujuk dan talak. Oleh sebab itu menurut pendapat ini talak
tidak sah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan berkumpul saat penjatuhan
talak.Adapun mereka yang mengatakan bahwa saksi bukanlah syarat sahnya talak
memandang bahwa ayat tersebut di atas adalah ayat tentang kesaksian dalam hal rujuk.
b. Kondisi Suami Saat Menjatuhkan Talak
Sebagian ulama menyebutkan bahwa saat menjatuhkan talak suami dituntut dalam
keadaan sehat akalnya, tidak dalam paksaan, tidak dalam keadaan mabuk, dan tidak dalam
kondisi marah. Memang para ulama sepakat bahwa sehat akal dan tidak dalam keadaan
dipaksa termasuk dalam syarat sahnya talak. Namun untuk persyaratan suami tidak boleh
dalam keadaan mabuk dan tidak boleh dalam keadaan marah mereka sedikit berbeda
pendapat. Menurut ulama Syafi’iyah sebagaimana disebutkan dalam Fathul Mu’in apabila
suami mabuk karena sebab yang disengaja, kemudian ia mengucapkan kata-kata talak kepada
istrinya makajatuhlah talak atas istrinya. Berbeda halnya jika mabuknya tidak disengaja maka
kata-kata talak tersebut tidak dinilai sebagai talak. Adapun mengenai suami tidak boleh
dalam keadaan marah Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menyebutkan bahwa talak yang
dijatuhkan suami dalam keadaan marah adalah tidak sah karena dilakukan tanpa keinginan
orang yang menjatuhkan talak. Lebih lanjut Wahbah az-Zuḥailī menyebutkan bahwa marah
yang menyebabkan talak suami tidak diakui keabsahannya adalah marah yang sampai
menyebabkan seseorang tidak sadar akan ucapannya. Apabila marah tersebut hanya dalam
tingkatan biasa saja maka tetap diakui keabsahannya.
c. Kondisi Istri Saat Terjadinya Talak
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa saat suami mengucapkan talak selain ia harus
memperhatikan kondisinya ia juga harus memperhatikan kondisi istrinya. Menurut Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, dan Ibnu Hazm talak yang dijatuhkan suami terhadap
istrinya yang dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci namun sudah digauli dihukumkan
tidak berlaku. Untuk itu menurut pendapat ini jika suami ingin mentalak istrinya maka harus
menunggu istrinya dalam keadaan suci dan belum digauli.23

23
A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul, Studi Pendalaman Al-Qur’an..., h. 506.

30
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk
saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah
tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.

31
2. ta’aruf dalam konteks menuju pernikahan adalah proses untuk saling mengenal antara
laki-laki dan perempuan yang saling memiliki ketertarikan dan keduanya menyatakan
pertanyaan mengenai visi dan misi dalam menjalin rumah tangga untuk kedepannya
sebelum keduanya memutuskan untuk menikah.
3. Nadzar dari aspek bahasa berasal dari kataNadzara – yandzuru – nadzran, Munawir
mengartikan; melihat, memandang kepada. (Ahmad Warson Munawir: 1433). Jika
seorang laki-laki ingin meminang seorang wanita, ia boleh melihat wanita tersebut
atau melakukan nazhor.
4. Khitbah (meminang) adalah meminta (melamar) seorang wanita untuk dinikahi
dengan cara yang sudah makruf.
5. Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang benar-benar
telah dicampurinya dengan ketentuan bebas dari tebusan dan tidak didahului oleh
suatu talakpun, atau hanya boleh oleh sekali talak saja. Atau dapat dikatakan talak
yang suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru,
selama istrinya itu masih dalam masa ‘iddah.
6. Talak ba'in, ialah talak yang terjadi sehubungan dengan adanya syiqaq yang
mengarahkan suami dan istri mendatangkan hakim dari keluarga masing-masing
sebagai juru damai sesuai dengan Surah An-Nisa' ayat 35. Oleh sebab itu, jika terjadi
perselisihan tidak semestinya langsung mengajukan perceraian, tetapi harus ditempuh
berbagai cara yang dapat mendamaikan dengan mendatangkan hakim keluarga.
7. Khulu' atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan
jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak
istri yang menginginkan cerat dengan khulu' itu. Untuk maksud yang sama dengan
kata khulu itu, ulama menggunakan beberapa kata, yaitu fidyah, shuth, mubaraah.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Tuasikal Muhammad. 2021. Menjemput Jodoh Impian. Rumaysho: Yogyakarta.
Jabir, Abu Bakar. 2006. Minhajul Muslim. Darul Haq: Jakarta.
Rosyidah, Abu Rosyid. Ebook; Panduan Ringkas Pra Nikah. Naseeha.
Mafhumah. 2020. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ta’aruf Menuju Pernikahan
Melalui Aplikasi Ta’aruf Online Indonesia. Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel.

32
R., Yarli Dodi. 2017. Urgensi Fiqih Nadzar Dalam Proses Pernikahan. Vol. 8 No. 1
Hafidho, Nisa. 2020. Pemilihan Pasangan Hidup Melalui Biro Jodoh Rumaysho Semanu
Gunung Kidul Yogyakarta Dalam Perspektif Hukum Islam. Salatiga: Institut Agama Islam
Negeri Salatiga.
Hidayat, Taufik. Meraih Surga Dalam Pernikahan.
arifuddin, Muhammad,dkk.(2014),Hukum Penceraian,Jakarta Timur : Sinar Grafika

33

Anda mungkin juga menyukai