Anda di halaman 1dari 8

1.

DEFINISI FIQIH

Secara bahasa, Fiqih berasal dari kalimat: 1) Faqaha, yang bermakna: paham secara mutlak, tanpa
memandang kadar pemahaman yang dihasilkan. Kata Fiqih secara arti kata berarti: “paham yang
mendalam”.1 Fiqih menurut istilah artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan tentang
sesuatu biasanya tentang ilmu agama Islam karena kemuliaannya. 2

Adapun secara istilah, berikut ini pengertian fiqih menurut para ulama :

1. Al-Utsaimin
ِ ‫ْرفَةُ اَأْلحْ ك َِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة بَِأ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬
‫ص ْيلِيَّ ِة‬ ِ ‫َمع‬
3
Mengenal hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci.

2. Az-Zarkasyi
ِ ‫ْال ِع ْل ُم بِاَأْلحْ ك َِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة ْال ُم ْكتَ َسبُ ِم ْن َأ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬
‫صيلِيَّ ِة‬

Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah yang digali dari dalil-dalilnya yang
terperinci.4

3. Imam Al-Haramain
‫ه َُو ْالعلم بَِأحْ كَام َأف َعال ْال ُمكَلّفين ال َّشرْ ِعيَّة دون ْال َع ْقلِيَّة‬

Adalah ilmu tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf secara syar’i bukan secara akal. 5

Dari definisi ketiga ulama tersebut dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
 Ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum syar’i
 Pembahasan fiqih hanya yang bersifat amaliyyah, seperti tata cara sholat, zakat, haji dan
semisalnya
 Ilmu fiqih hanya membahas hukum syar’i, tidak membahas hukum akal dan hukum adat
 Dalam pembahasannya, ilmu fiqih digali dari dalil-dalilnya yang terperinci
 Ilmu fiqih juga membahas hukum perbuatan mukallaf6, seperti wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram

2. DEFINISI TAQLID, ITTIBA, IJTIHAD


1
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Predana Media, 2003), hlm. 4.
2
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 9.
3
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Al-Ushul min Ilmi Al-Ushul, (Daaru Ibni Al-Jauziy) hlm. 7
4
Az-Zarkasyi, Al-Bahr Al-Muhiith fi Ushul Al-Fiqh, (Daarul Kutubi, 1994), juz 1, hlm 34.
5
Abdul Malik Al-Juwaini, At-Takhlish fi Ushul Al-Fiqh, (Daarul Basyaair Al-Islamiyyah), hlm 105.
6
Hamba yang telah dibebankan hukum syariat
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal
menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya
seperti kalung7

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana
dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad. 8

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui
dalilnya.9

ITTIBA

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak
bagimu keshahihannya.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Allah
jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan
jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya”

Ibnu Katsir

Menurut Ibnu Katsir, ittiba’ adalah mengikuti syariat dan agamanya (Al-Sunnah) dalam setiap
perkataan dan amal perbuatannya, serta dalam berbagai keadaan yang dialaminya.

Muhammad Al-Amin Al-syinqithi

Berkaitan dengan ittiba ini, Beliau pernah berkata bahwa “Imam Ahmad berkata: Al-Ittiba’ berarti
seseorang mengikuti ajaran yang bersumber dari Rasulullah dan para sahabatnya atau yang berasal
dari para tabi’in, tetapi ittiba’ pada yang terakhir bukan sebagai kewajiban mutlak, hanya bersifat
pilihan.

IJTIHAD

Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dari dalil-dalil
syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang mampu melakukannya karena Allah telah
berfirman,

َ‫فَا ْسَألُوا َأ ْه َل ال ِّذ ْك ِر ِإ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬

7
Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.314
8
Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178
9
Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 314
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [An-
Nahl/16 : 43, Al-Anbiya/21 : 7]

3. SHOLAT

Pengertian
Shalat menurut bahasa berarti do'a, kemudian menurut istilah syara' ialah ibadah
yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam menurut syarat-syarat tertentu. Ibadah shalat diperintahkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad SAW pada saat beliau melakukan Isra Mi'raj pada tanggal
27 Rajab 11 kenabian, tepatnya satu tahun sebelum Nabi Muhammad SAW dan para
shahabatnya hijrah ke kota Madinah. Dasar kewajiban shalat ini disebut sebanyak 67 kali
dalam kitab Al-Qur'an, diantaranya adalah :
‫وأقيموا الصالة وأتوا الزكاة واركعوامع الراكعين‬

"Dan dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat, dan tunduklah/ruku lah bersama-sama


orang yang ruku" (QS. Al Baqarah: 43).

‫أقم الصالة إن الصالة تنهى عن الفحشاء والمنكر‬


Dan dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar (QS. Al Ankabuut :45)

Syarat Shalat Wajib


Syarat wajib ialah persyaratan yang berhubungan dengan kewajiban seseorang
untuk melakukan ibadah, termasuk shalat. Adapun syarat wajib shalat adalah :
1. Islam Orang yang tidak beragama Islam tidak wajib melaksanakan shalat. Di dunia
ini dia tidak dituntut melaksanakannya karena meskipun ia mengerjakannya, shalatnya
tetap tidak sah, dan diakhirat kelak ia akan mendapatkan siksa.

2. Suci dari Haid dan Nifas Wanita dalam keadaan haid atau setelah melahirkan
(nifas) tidak sah melaksanakan shalat, bahkan haram hukumnya.
3. Berakal Orang yang hilang akalnya, karena mabuk, gila dan sebagainya tidak wajib
melaksanakan shalat.
4. Baligh (Dewasa) Seseorang dapat dianggap baligh apabila telah memenuhi salah
satu dari tanda berikut ini:
a. Cukup berumur 15 tahun.
b. Keluar mani
c. Mimpi bersetubuh.
d. Keluar darah haid bagi wanita.
Orang yang belum baligh tidak wajib melaksanakan shalat. Tetapi apabila kita
bermaksud melaksanakan shalat sedangkan kita masih berumur 9 tahun, maka shalat itu
dianggap sebagai latihan, sehingga setelah baligh, kita tidak kaku lagi dalam
melaksanakannya.
5. Telah sampai da'wah Orang yang belum pernah mendengar dan menerima perintah,
tidak wajib shalat. Tetapi apabila ia telah mengetahui perintah itu, dia wajib shalat.
6. Melihat dan mendengar Syarat ini diambil dari kebiasaan, bahwa orang yang buta
dantuli sejak dilahirkan, tidak dapat mengetahui hukum hukum syari'at Islam. Namun
demikian, untuk masa sekarang, persyaratan ini tidak begitu menentukan, karena orang
yang buta (tuna netra) atau orang yang tuli (tuna rungu) dapat menerima pengetahuan,
termasuk pengetahuan agama Islam.
7. Jaga (tidak tidur) Orang yang tidur tidak dikenai kewajiban shalat sehingga ia bangun,
begitu pula orang yang lupa sampai ia ingat. Orang-orang yang telah memenuhi
persyaratan seperti itu, wajib melaksanakan shalat. Jika mereka tidak melaksanakannya,
berarti mereka menanggung dosa.10

Waktu- Waktu Shalat

Waktu Shalat Fardu Dalam Al-Qur'an sudah menegaskan bahwa shalat itu ditentukan
waktunya :

‫إن الصالة كانت على المؤمنين كتاباموقوتا‬

"Bahwa sanya shalat itu adalah fardlu yang telah ditentukan waktunya untuk
semua orang-orang yang beriman" (QS. An Nisan'103).

1. Shalat Dhuhur Awal waktunya setelah cenderung matahari ke barat dari pertengahan
langit dan akhir waktunya apabila bayang-bayang telah sama panjangnya dengan benda
itu.
2. Shalat Ashar Waktunya mulai dari habis dhuhur, sampai terbenam matahari.
3. Shalat Maghrib Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenamnya yang merah
(cahaya merah di kaki langit sebelah barat).
4. Shalat Isya Waktunya dari hilangnya Syafaq merah sampai terbit fajar Shaddiq
(Rasulullah SAW kerapkali mntakhirkan shalat Isya hingga sepertiga malam.
5. Shalat Subuh Waktunya dari terbit fajar shiddiq sampai terbit matahari. 11

Shalat adalah ibadah yang sudah diketahui diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam. Shalat
adalah rukun Islam yang sangat ditekankan setelah 2 kalimat syahadat. Di antara manfaat shalat
adalah dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Namun benarkah hal itu?
10
Ust. Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S, FIQIH ISLAM LENGKAP, (Surabaya: Terbit Terang Surabaya: 2005) hal.146-
148

11
Abdurrahman al-jaziry, Al-Fiqih Al Madzhib Arba’ah,juz1,(Bairut Dar Al-Kutub AL-ILMIAH,2006), Hal. 442
Allah Ta’ala berfirman,
‫شا ِء وَ ا ْل ُم ْن َك ِر‬
َ ‫ِإنَّ الصَّ اَل َة تَ ْن َهى عَ ِن ا ْل َف ْح‬
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut:
45).
Perbuatan fahisyah yang dimaksud pada ayat di atas adalah perbuatan jelek yang disukai oleh jiwa
semacam zina, liwath (homoseks dengan memasukkan kemaluan di dubur) dan semacamnya.
Sedangkan yang namanya munkar adalah perbuatan selain fahisyah  yang diingkari oleh akal dan
fitrah. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman  karya Syaikh As Sa’di, hal. 632 dan Syarh Riyadhis Sholihin karya
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 5: 45).
Shalat Mencegah dari Perbuatan Mungkar dan Kesesatan
Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seseorang yang biasa memperlama shalatnya. Maka kata
beliau,
‫ال تَ ْن َفعُ ِإالَّ مَنْ َأطَاعَ َها‬
َ ‫ِإنَّ الصَّ الَ َة‬
“Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” (HR. Ahmad
dalam Az Zuhd, hal. 159 dengan sanad shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 13: 298
dengan sanad hasan dari jalur Syaqiq dari Ibnu Mas’ud).
Al Hasan berkata,
ِ َ‫ لَ ْم يَزْ َد ْد ِب َها ِمن‬،‫شا ِء وَ الم ْن َك ِر‬
‫هللا ِإالَّ بُ ْعدًا‬ َ ‫مَنْ صَ لَّى صَ الَ ًة لَ ْم تَ ْن َه ُه عَ ِن ال َف ْح‬
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji
dan mungkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah.” (Dikeluarkan oleh Ath Thobari dengan
sanad yang shahih dari jalur Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qotadah dari Al Hasan)
Abul ‘Aliyah pernah berkata,
d، ُ‫الص‬ َ ْ‫ اِإلخ‬:ٍ‫الة‬ َ َ‫َت ِبص‬ْ ‫شيْ ٌء ِمنْ َه ِذ ِه الخَ الَل َفلَ ْيس‬ َ َ‫ث ِخصَ ا ٍل َف ُك ُّل ص‬
َ ‫ال ٍة‬
َ ‫ال يَ ُكوْ نُ ِف ْي َها‬ ُ َ‫ِإنَّ الصَّ الَ َة ِف ْي َها ثَال‬
.ُ‫آن يَْأ مُرُ ُه وَ يَ ْن َهاه‬
ِ ْ‫ وَ ِذ ْكرُ القُر‬،‫شيَ ُة تَ ْن َها ُه عَ ِن الم ْن َك ِر‬
ْ َ‫ وَ الخ‬،‫ف‬ ِ ْ‫ َفاِإلخْ الَصُ يَْأ مُرُ ُه ِب ْالمعْرُ و‬.‫هللا‬
ِ ُ‫ وَ ِذ ْكر‬،‫شيَ ُة‬ ْ َ‫وَ ا ْلخ‬
“Dalam shalat ada tiga hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal
tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang memerintahkan pada
yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui
Al Qur’an yang memerintah dan melarang sesuatu.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 65).
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhohullah  berkata, “Siapa yang merutinkan shalat dan
mengerjakannya di waktunya, maka ia akan selamat dari kesesatan.” (Bahjatun Nazhirin, 2: 232).
Jika ada yang sampai berbuat kemungkaran, maka shalat pun bisa mencegahnya dari perbuatan
tersebut.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, ia mengatakan,
َ ‫ “ِإنَّ ُه‬:َ‫ ِإنَّ ُفالَنًا يُصَ لِّيْ ِباللَّ ْي ِل َفِإ َذا َأصْ بَحَ س َِر َق؟ َف َقال‬:َ‫سلَّ َم َف َقال‬
‫سيَ ْن َها ُه‬ َ َ‫هللا عَ لَ ْي ِه و‬
ُ ‫َجا َء رَ ُج ٌل ِإلَى النَّبِّي صَ لَّى‬
‫مَا يَقُوْ ُل‬
“Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ada
seseorang yang biasa shalat di malam hari namun di pagi hari ia mencuri. Bagaimana seperti itu?”
Beliau lantas berkata, “Shalat tersebut akan mencegah apa yang ia katakan.” (HR. Ahmad 2: 447,
sanadnya shahih  kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Kapan Shalat Bisa Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah  mengatakan, “Shalat bisa mencegah dari
kemungkaran jika shalat tersebut dilakukan dalam bentuk sesempurna mungkin.
Ternyata kita dapati bahwa hati kita tidaklah berubah dan tidak benci pada perbuatan fahisyah atau
mungkar setelah shalat kita laksanakan atau keadaan kita tidak berubah menjadi lebih baik, mengapa
demikian? Itu bisa jadi karena shalat kita bukanlah shalat yang dimaksud yaitu yang bisa mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar. Ingatlah bahwa firman Allah itu benar dan janji-Nya itu pasti yaitu
shalat itu memang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Sebenarnya, shalat itu demikian yaitu jika engkau bertekad untuk bermaksiat atau hatimu condong
pada maksiat, lalu engkau lakukan shalat, maka terhapuslah semua keinginan jelek tersebut. Namun
tentu saja hal itu dengan syarat, shalat itu adalah shalat yang sempurna. Wajib kita meminta pada
Allah agar kita diberi pertolongan untuk mendapat bentuk shalat seperti itu. Marilah kita
sempurnakan shalat tersebut sesuai dengan kemampuan kita dengan memenuhi rukun, syarat, wajib,
dan hal-hal yang menyempurnakan shalat. Karena memang shalat itu bisa mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar.
Sebagian ulama salaf sampai berkata, jikalau shalat yang kita lakukan tidak mencegah dari yang
mungkar, maka sungguh itu berarti kita semakin jauh dari Allah. Nas-alullah al ‘afiyah, kita mohon
pada Allah keselamatan. Karena bisa jadi shalat yang kita lakukan tidak sesuai yang dituntut. Lihatlah
para ulama salaf dahulu, ketika mereka masuk dalam shalat mereka, mereka tidak merasakan lagi apa-
apa, semua hal di pikiran disingkirkan kecuali hanya sibuk bermunajat dengan Allah Ta’ala.” (Syarh
Riyadhis Sholihin, 5: 45-46).
Terhanyut dalam Shalat yang Khusyu’
Coba perhatikan bagaimana shalat dari para ulama salaf yang sangat konsentrasi ketika shalatnya.
Ada seorang fuqoha tabi’in yang bernama ‘Urwah bin Zubair. Beliau terkena penyakit akilah pada
sebagian anggota tubuhnya di mana penyakit tersebut dapat menggerogoti seluruh tubuh. Akibatnya,
dokter memvonis anggota tubuh yang terkena akilah tersebut untuk diamputasi sehingga anggota
tubuh yang lain tidak terpengaruh. Bayangkan saat itu belum ada obat bius supaya bisa
menghilangkan kesadaran ketika diamputasi. Lalu ia katakan pada dokter untuk menunda sampai ia
melakukan shalat. Tatkala ia melakukan shalatnya barulah kakinya diamputasi. Dan ia tidak merasakan
apa-apa kala itu karena hatinya sedang sibuk bermunajat pada Allah. Demikianlah, hati jika sudah
tersibukkan dengan sesuatu, maka tidak akan merasakan sesuatu yang terkena pada badan.
Itu yang diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhis Sholihin (5:
46) ketika melanjutkan penjelasan sebelumnya. Lihatlah shalat para ulama begitu sempurna, segala
macam kesibukan dibuang jauh-jauh, hingga kakinya diamputasi pun, mereka tidak merasakan apa-
apa karena sedang terhanyut dalam shalat. Itulah shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar.
Bagaimana Bentuk Shalat yang Sempurna?
Kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melanjutkan, “Ketika shalat, seharusnya seseorang mengkonsentrasikan diri
untuk dekat pada Allah. Jangan sampai ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebagaimana kebiasaan
sebagian orang yang shalat. Jangan sampai terlintas di hati berbagai pikiran ketika sudah masuk
dalam shalat.” (Idem)
Syaikh As Sa’di rahimahullah  berkata, “Bentuk shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar ditandai dengan menyempurnakan shalat yaitu memenuhi rukun, syarat, dan berusaha
khusyu’ dalam shalat. Hal ini ditandai dengan hati yang bersih, iman yang bertambah, semangat
melakukan kebaikan dan mempersedikit atau bahkan menihilkan tindak kejahatan. Lantas hal-hal
tersebut terus dijaga, maka itulah yang dinamakan shalat yang mencegah perbuatan keji dan
mungkar. Inilah di antara manfaat  terbesar dan buah dari shalat.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 632).
Kesimpulannya dari judul yang disampaikan di awal. Shalat memang bisa mencegah dari perbuatan
dosa dan maksiat, serta bisa mengajak pada kebaikan. Namun dengan syarat shalat tersebut
dilakukan dengan:
1- Memenuhi rukun, syarat, wajib dan melakukan hal-hal sunnah yang menyempurnakan shalat.
2- Membuang jauh-jauh hal-hal di luar shalat ketika sedang melaksanakan shalat.
3- Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri ketika sedang melaksanakan shalat.
4- Menghadirkan hati saat shalat dengan merenungi setiap ayat dan bacaan yang diucap.
5- Bersemangat dalam hati untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Jika ternyata tidak demikian shalat kita, maka patutlah kita mengoreksi diri. Dan tidak perlu jadikan
shalat tersebut sebagai “kambing hitam”. Dari sahabat Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫َفمَنْ وَ َج َد خَ يْرً ا َف ْلي َْح َم ِد اللَّ َه وَ مَنْ وَ َج َد َغيْرَ َذ ِلكَ َفالَ يَلُومَنَّ ِإالَّ نَ ْف‬
‫س ُه‬
“Barangsiapa yang mendapati kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang
mendapati selain dari itu, janganlah ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim no. 2577).
Semoga kita dianugerahi bentuk shalat yang benar-benar dapat mencegah kita dari dosa dan maksiat
serta mudah membawa kita pada kebajikan.

Sumber https://rumaysho.com/3773-benarkah-shalat-dapat-mencegah-dari-perbuatan-keji-dan-

mungkar.html

Anda mungkin juga menyukai