Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

IJTIHAD SEBAGAI HUKUM ISLAM


disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushulul Fiqh

Di Susun Oleh :

1. Naili Faizaturrohmah
2. Raihan Hisyam
3. Ikhwan Imam Saputra

Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) FakultasTarbiyah


Sekolah Tinggi Agama Islam Wali Sembilan
Semarang
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ijtihad sebagai sumber hukum Islam merupakan sebuah kaidah


tatanan kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan umat manusia
pada umumnya yang diberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya
sebagai kaidah langsung dari Allah tersebut, dalam pelaksanaannya,
manusia baik disadari maupun memerlukan penafsiran akan kaidah-kaidah
tersebut. Hal ini tidak lain karena syariat Islam sebagai “ Hukum Tuhan”
akan sulit dicerna oleh manusia yang kemampuannya terbatas, sehingga
untuk dapat mengaplikasikannya maka diperlukan penafsiran-penafsiran
yang tepat dan sesuai.

Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang


dihadapi oleh umat Islam sekarang dan yang akan datang, hal inilah yang
membuat Islam dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman.

Ijtihad muncul disebabkan karena adanya masalah-masalah yang


kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak membicarakannya secara
khusus.

Makalah ini bermaksud membahas terhadap salah satu keilmuan


Islam yaitu metode ijtihad dilihat dari sudut pandang epistemologinya.
Yakni tentang strukrtur, metode, dan cara kerja ilmu fiqih ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ijtihad ?
2. Apa saja macam-macam Ijtihad?
3. Sebutkan beberapa syarat-syarat mujtahid ?

4. Sebutkan macam-maca mujtahid ?


5. Sebutkan fungsi dan hikmah dalam berijtihad ?

C. Tujuan Pembahasan Masalah


1. Memahami pengertian dari Ijtihad
2. Mengetahui macam-macam Ijtihad
3. Mengetahui syarat-syarat Mujtahid
4. Mengetahui macam-macam Mujtahid
5. Memahami fungsi dan hikmah dalam berijtihad

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijtihad

Ditinjau dari segi etimologi (ta’riful al-llugha) atau yang dikenal


dengan pengertian secara bahasa, kata ( ‫ ) اِجْ تِهَا ًد‬bersumber dari akar kata (
‫دًا‬A‫ ُد – َج ْه‬Aَ‫ َد – يَجْ ه‬Aَ‫" ) َجه‬bersungguh-sungguh".1 Kata dasar tersebut mengikuti
pola dari timbangan ( ً‫ ُل – فَ ْعال‬AA‫ َل – يَ ْف َع‬AA‫)فَ َع‬.2 Perubahan pola tersebut yang
kemudian di tarik ke kata masdar sehingga bermakna kesungguhan.

Tidak cukup sampai pola dari timbangan (‫) َجهَ َد – يَجْ هَ ُد – َج ْهدًا‬, namun
perlu dikuatkan dengan mengalihkan atau merubah bentuk kata dasar ke
bentuk tsulatsi maziid atau kata dasar yang memiliki tambahan huruf
sehingga bertumpu pada kata ( ً‫اال‬AA‫ ُل – ا ْفتِ َع‬AA‫ل – بَ ْفتَ ِع‬AA
َ ‫ ) اِ ْفتَ َع‬dengan memiliki

1
Akbar Syamsul Arifin, Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 51;
Warson Munawwir, Al Munawwir Kamu Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), hal 217.
2
Syekh Muhammad Ma’shum Ibnu A’liy, al- Amtsilatul at-Tashrifiyyah (Surabaya: Matbaah
Saalim Nabhan,t.t), 6-7.
beberapa arti seperti: Musyarakah (menunjukkan saling), Mubalagah
(menyatakan sangat atau penekanan), Mujarrad (Fi'il biasa)3.

Perubahan kata (‫ ) َجهَ َد – يَجْ هَ ُد – َج ْهدًا‬menjadi ( ‫ادًا‬AAَ‫ اجْ تِه‬- ‫ ُد‬A‫ َد – يَجْ تَ ِه‬Aَ‫) اِجْ تَه‬
apabila mengandung makna seperti Musyarakah maka artinya menjadi
"saling bersungguh-sungguh", apabila mengandung Mubalagah maka
artinya menjadi " kesungguhan yang sangat dalam yang memiliki penekanan
pada arti ”, adapun bentuk mashdar di atas terdapat kandungan yang
memiliki arti “ kesungguhan atau kemampuan yang maksimum ”.4

Melihat kata ijtihad secara terminologi atau (ta’riful al-Istilahi) yang


di kenal dengan pengertian secara istilah. Kata ijtihad memiliki beberapa
definisi yang dikemukakan para ulama yang saling berhubungan dan
menunjukkan pemaknaan yang hampir sama.

Dalam perspektif ilmu ushul fiqh, ijtihad diidentifikasi sebagai berikut :

‫استفراغ الجهد وبدل غاية الوسع اما في درك األحكام الشرعية و اما تطبقيها‬

Artinya : Mengerah-kan segala kesungguhan dan mencurahkan segala


kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syarak atau untuk
mengimplementasikannya.5

Menurut asy- Syaukani:

‫بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملّي بطريق اإلستنباط‬

“Pengerahan kemampuan di dalam menemukan hukum sayara’ yang


bersifat amaliyah dengan menempuh jalan istibath (menggali dalil)”.6

Menurut Muhammad Abu Zahra:

‫بذل الفقيه في استنباط األحكم العمليّة من أدلّتها التفصيليّة‬

3
Abu Hudzaifah Ahmad, Mudah Memahami Tashrif Istilahi (Sanggarahan: Adz-Dzahabi,
2017), 57-58.
4
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: AMZAH, 2014), 339-340.
5
Moh. Baharudin, Ushul Fiqh (Bandar Lampung: AURA, 2019), 159.
6
Muhammad bin Ali bin Muhammd asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq Min
Ilmi al- Ushul (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), 250.
“Pengerahan kemampuan seseorang ahli didalam istinbath (menggali dalil)
hukum syara’ yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci”.7

Dari berbagai pengertian di atas, ijtihad dapat di artikan sebagai


jalan oleh seseorang yang bersungguh-sungguh (Mujtahid) untuk menggali
hukum syara’ yang bersifat masalah-masalah amaliyah (bukan masalah
akidah dan akhlak) dengan menggunakan metode istibath (menggali hukum)
melalui dalil-dalil yang terperinci.

2.Dasar Ijtihad

Dasar diperbolehkannya melakukan ijtihad dijelaskan dalam al Qur’an dan


al-Hadist, sebagai berikut:

a. Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 59, yang berbunyi :

َ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْٓوا اَطِ ْيعُوا هّٰللا َ َواَطِ ْيعُوا الرَّ س ُْو َل َواُولِى ااْل َمْ ِر ِم ْن ُك ۚ ْم َفاِنْ َت َن‬
‫ازعْ ُت ْم فِيْ َشيْ ٍء َف ُرد ُّْوهُ ِالَى‬
ࣖ ‫هّٰللا ِ َوالرَّ س ُْو ِل اِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن ْو َن ِباهّٰلل ِ َو ْال َي ْو ِم ااْل ٰ خ ۗ ِِر ٰذل َِك َخ ْي ٌر وَّ اَحْ َسنُ َتأْ ِو ْياًل‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.8

b. Sabda Nabi SAW.

‫ إِ َذا‬: ‫وْ ُل‬AAُ‫لّ َم يَق‬A‫ ِه َو َس‬A‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي‬


َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ أَنَهُ َس ِم َع َرسُوْ ُل هللا‬ ِ ‫َوع َْن َع ْم ِرو ْب ِن ْال َع‬
ِ ‫اص َر‬
ٌ َ‫ ُمتَّف‬. ‫اب فَلَهُ أَجْ َرا ِن َوإِ َذا َح َك َم فَاجْ تَ َح َد ثُ َّم أَ ْخطَأ َ فَلَهُ أَجْ ٌر‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ص‬َ َ‫الحا ِك ُم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم أ‬
َ ‫ح َك َم‬.
َ
Artinya: Dari Amr bin Ash bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallahu
alaihi wa sallam bersabda: “apabila seorang hakim bersungguh-sungguh
dalam memutuskan suatu perkara dan keputusan itu sesuai dengan

7
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Qahiroh: Dar al-Fikri al-Arabi, t.t), 357.
8
An Nisaa : 59
kebenaran berarti telah mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka dia
mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).9
Dari dalil-dalil di atas, bisa difahami bahwa adanya keleluasaan
yang diberikan oleh Allah dan Rasulnya kepada seseorang (mujtahid) untuk
mengeluarkan hukum atau memtus sebuah perkara melalui ketetapan hukum
dengan cara berusaha sekuat tenaga, akal dan pikiran menggali sumber-
sumber nash baik al-Qur’an maupun al-Hadist agar mencapai sebuah
kebenaran bersifat adil.
3. Macam-macam Ijtihad
Ijtihad ditinjau dari segi jumlah pelakunya, maka akan terbagi
menjadi dua keteogri yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad jama’i. Menurut al-
Thayyibi Khuderi al-Sayyid, adapun yang di maksud dengan ijtihad fardhi
yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa mujtahid.
Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar : Imam Abu
Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Sedangkan ijtihad jama’i merupakan apa yang dikenal dengan ijma’ di
dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat
Rasululllah setelah beliau wafat dalam menjawab masalah-masalah hukum
tertentu.

Dalam perkembangannya ijtihad jama’i hanya melibatkan ulama-


ulama tertentu dalam berbagai disiplin ilmu, meskipun ilmu fiqh menjadi
salah satu permasalahan yang dibahas. Hal yang perlu di ingat, bahwa
perubahan zaman masalah-masalah yang bermunculan, ada berkaitan
dengan selain ilmu fiqh atau membutuhkan ilmu lain yang dalam hal ini
membutuhkan jawaban berkaitan hukum syara’. Misalnya dengan
menentukan hukum syara’ berkaitan dengan rekayasa genetik seperti,
cloning, aborsi. Persoalan ini membutuhkan alasan ilmiah dari sisi ilmu
lainnya sebelum menentukan hukum syara’ yang di tetapkan oleh para
mujtahid.

9
H.R Bukhari dan Muslim, , al-Hafizh ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min
Adillatil Ahkam,trans. Ahmad Najieh (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2018), 391-392.
Nomor. 1411; at-Tarmidzi, Sunan at-Tarmidzi. “Babu ma Jaa fil Qadhi Yushibu wa Yuhktha”
(II, Baerut: Dar al-Fikri, 1794M/1394H), hal, 393. Nomor Hadist . 1341.
Macam-macam ijtihad ditinjau dari jenis mujtahid dapat di bagi
dalam:

a. Mujtahid Mutlaq: (mujtahid fi syari’) orang-orang yang melakukan ijtihad


langsung secara keseluruhan dari al-Qur’an dan hadist, serta seringkali
mendirikan mazhab sendiri seperti halnya dengan para sahabat dan para
imam mazhab.

b. Mujtahid Mazhab: (mujtahid fi mazhab atau fatwa Mujtahid), yakni orang


yang mengikuti salah satu pendapat mazhab dan meskipun dalam beberapa
hasil ijtihad berbeda dengan imam atau guru.

c. Mujtahid fi Masa’il: yaitu mujtahid hanya berijtihad pada beberapa


masalah saja, dan tidak bergantung pada mazhab tertentu. Misal A. Hasan
berijtihad tentang hukum kewarisan dan lain-lain, Prof. Dr. Rasyidi
berijtihad tentang filsafat Islam.

d. Mujtahid Mugaiyyad: yaitu orang-orang berijtihad dengan mengikatkan


diri pada ulama salaf tertentu serta dengan kesanggupannya untuk menilai
pendapat lebih utama di antara pendapat berbeda yang ditemukan serta
mampu menetapkan riwayat yang lebih kuat. Misal Nasaruddin al-Bani. 10

4. Syarat-syarat Mujtahid

Para ulama berselisih paham tentang istilah mujtahid, secara umum


mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan
dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Ada juga yang
memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi.Kedua pendapat tersebut
sebenarnya mempunyai kesamaan bahwa yang dimaksud dengan mujtahid
adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan
mampu mengistinbath hukum dari dalilnya. Dengan demikian, kesepakatan
orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid
tidak bisa dikatakan ijma’, Begitu pula penolakan mereka. Karena mereka
tidak ahli dalam menelaah hukum syara’.11

10
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta, Sinar Grafika, 1997), 148-149.
11
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 70.
Secara bahasa mujtahid adalah:

‫المجتهد هو الفقيه المستفرغ لوسعه لتحصيل ظن بحكم شرعى بطريق اإلستنباط منهما‬

Artinya: Mujtahid adalah ahli fiqih yang menghabiskan seluruh


kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap
sesuatu hukum agama dengan jalan istinbath dari Al-Qur’an dan
Sunnah.

Adapun Mujtahid secara etimologi adalah bentuk isim fa’il dari fi’il
madhi ijtahada yang artinya orang yang berijtihad. Merujuk kepada imam
as-Syaukani, secara terminologi mujtahid berarti orang yang bersungguh
sungguh mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hukum
syara’ dengan cara melakukan istinbath hukum.

Meninjau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid,


Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan kriteria syarat yang harus
dimiliki dan di penuhi oleh mujtahid :

a. Mengerti dengan makna-makna ayat ahkam yang terdapat di dalam al-


Qur’an. Memahami kandungan ayat ahkam baik secara bahasa maupun
secara istilah. Seorang mujtahid mengerti tentang lafal-lafal yang
mengandung: mantuq (makna tersurat), mafhum muwafaqah (makna
tersirat), mafhum muhkalafah (mkna kebalikan dari makna tersurat), serta
paham tentang lafal yang mengandung segi jumlah seperti lafal-lafal umm
(umum) dan khas (khusus), dan cara menyamakan illah (sebab) dengan
menyatukan lafal-lafal yang di anggap sejalan dalam sesuatu lafal-lafal
perintah maupun lafal-lafal yang mengandung larangan.

b. Mengatahui hadist-hadist hukum baik secara bahasa maupun secara


pemakaian syara’. Menjadi seorang mujtahid sangat penting untuk mengerti
dengan seluruh hadist-hadist hukum yang oterdapat di dalam kitab induk
hadist yang diakui, seperti: al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Daud, at-Tarmidzi,
an-Nasay, Ibnu Majah dan lain-lain.

c. Mengatahui ayat-ayat ahkam ataupun hadist-hadist ahkam yang sudah di


mansukh (di hapus atau dinyatakan oleh Allah dan Rasulnya tidak berlaku
dan di ganti dengan dalil lain ), serta mengatahui ayat-ayat ahkam maupun
hadist-hadist ahkam yang menggantikan atau lafadz nasikh.

d. Mempunyai pengatahuan tentang masalah-masalah yang sudah


mempunyai sifat hukum syara’ melalui dari hasil ijtima’para ulama.

e. Mengatahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti: syarat-syarat qiyas, rukun-


rukunya, tentang illah hukum dan cara menemukan illah itu dari ayat
maupun hadist.

f. Menguasai bahasa arab serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

g. Menguasai ilmu ushul fiqh baik dari ilmu qaidah maupun ushulnya.

h. Mampu membuat rumusan yang berkaitan dengan tujuan syariat (maqasid


al-Syari’ah) dalam membuat ketetapan hukum.12

5. Macam-macam Mujtahid

Dalam literatur ilmu ushul fiqh, secara teoretis, kriteria mujtahid dapat
diklasifikasikan menjadi empat tingkatan sebagai berikut :

a. Mampu mengistinbatkan hukum suatu masalah secara langsung dan


independen dari sumber hukum aslinya, yaitu nas Alquran dan
Sunah melalui penalaran normatif secara deduktif-makro. Apabila
tidak mendapati sumber hukumnya dalam nas Alquran dan Sunah,
maka ia akan menggunakan segala metode ijtihad seperti metode
analogi (kias), istihsan, mashlahah al-mursalah, dan sadd al-dzari‘ah.
Mereka berijtihad dengan menggunakan manhaj-nya sendiri, tidak
mengikuti manhaj orang lain. Di antara para ulama yang termasuk
kategori ini dari kalangan Tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab dan
an-Nakha’i. Adapun dari kalangan mujtahid mazhab adalah Ja’far
ash-Shadiq, al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal, al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, dan lain sebagainya.
b. Mujtahid muntasib, yaitu orang-orang yang dalam berijtihad
bergantung dan menggunakan manhaj ulama lain tetapi memiliki

12
Moh. Baharudin, Ushul Fiqh (Bandar Lampung: AURA, 2019), 162.
ketetapan hukum yang berbeda. Mereka ini adalah para ulama
pengikut mazhab tertentu, seperti pengikut Abu Hanifah, Malik, Al-
Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Di antara ulama yang termasuk
kategori ini adalah Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar
dari pengikut Abu Hanifah; al-Muzni dari pengikut Mazhab al-
Syafi’i; Abd ar-Rahman bin al-Qasim, Ibn ‘Abd al-Hakam, dan lain
sebagainya.
c. Mujtahid fi al-madzhab, yaitu para ulama yang mengikuti pendapat
para imam mujtahid mutlak, baik dalam hal matodologi (manhaj)
ijtihad yang digunakan maupun dalam produk pemikiran hukumnya.
Teknis pelaksanaannya, langkah pertama adalah mencermati kaidah-
kaidah ushul fiqh yang digunakan para imam mazhab sebelumnya dan
kaidah-kaidah fiqh, kemudian secara induktif kaidah-kaidah tersebut
diterapkan dalam kasus hukum yang terjadi di masyarakat dan belum
pernah ditemukan sebelumnya. Menurut ilmu ushul fiqh, praktik ijtihad
yang demikian dikenal dengan istilah tahqiq al-manath. i

6. sebagai sumber hukum Islam

Para ulama memahami pengertian ijtihad dalam tinjauan bahasa dan


istilah sebagai berikut: Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib.
Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan
merumuskan hukum syara' dalam hal-hal yang syara.

7.Fungsi dan hikmah ber ijtihad

Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan


suatu hukum di mana hal tersebut tidak dibahas dalam Al-quran dan hadits.
Jadi, bisa dikatakan, ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran
dan Hadits.

PENUTUP

Simpulan

* Ditinjau dari segi etimologi (ta’riful al-llugha) atau yang dikenal dengan
pengertian secara bahasa, kata ( ‫ ) اِجْ تِهَا ًد‬bersumber dari akar kata ( ‫َجهَ َد – يَجْ هَ ُد‬
‫دًا‬A ‫" ) – َج ْه‬bersungguh-sungguh". Kata dasar tersebut mengikuti pola dari
timbangan (ً‫)فَ َع َل – يَ ْف َع ُل – فَ ْعال‬. Perubahan pola tersebut yang kemudian di tarik
ke kata masdar sehingga bermakna kesungguhan.

* Dasar diperbolehkannya melakukan ijtihad dijelaskan dalam al Qur’an dan al-


Hadist.

*Ijtihad ditinjau dari segi jumlah pelakunya, maka akan terbagi

menjadi dua keteogri yaitu ijtihad fardhi dan ijtihad jama’i.

*Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai
kemampuan dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Ada juga
yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi.

* Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan suatu
hukum di mana hal tersebut tidak dibahas dalam Al-quran dan hadits. Jadi, bisa
dikatakan, ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan
Hadits.

Daftar pustaka

Akbar Syamsul Arifin, Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 51;
Warson Munawwir, Al Munawwir Kamu Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), hal 217.
Syekh Muhammad Ma’shum Ibnu A’liy, al- Amtsilatul at-Tashrifiyyah (Surabaya: Matbaah
Saalim Nabhan,t.t), 6-7.
Abu Hudzaifah Ahmad, Mudah Memahami Tashrif Istilahi (Sanggarahan: Adz-Dzahabi,
2017), 57-58.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: AMZAH, 2014), 339-340.
Moh. Baharudin, Ushul Fiqh (Bandar Lampung: AURA, 2019), 159. Muhammad bin
Ali bin Muhammd asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq Min Ilmi al-
Ushul (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), 250. Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Qahiroh:
Dar al-Fikri al-Arabi, t.t), 357.

An Nisaa : 59

H.R Bukhari dan Muslim, , al-Hafizh ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min

Adillatil Ahkam,trans. Ahmad Najieh (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2018),
Nomor. 1411; at-Tarmidzi, Sunan at-Tarmidzi. “Babu ma Jaa fil Qadhi Yushibu wa
Yuhktha” (II, Baerut: Dar al-Fikri, 1794M/1394H), hal, 393. Nomor Hadist . 1341.

Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta, Sinar Grafika, 1997), 148-
149.

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 70.
Moh. Baharudin, Ushul Fiqh (Bandar Lampung: AURA, 2019), 162.
i

Anda mungkin juga menyukai