Ilmu fiqih merupakan produk dari ushul fiqih. Ilmu Fiqih berkembang karena
berkembangnya ilmu ushul fiqih. Ilmu fiqih akan bertambah maju manakala
ilmu ushul fiqih mengalami kemajuan karena Ilmu ushul fiqih semacam alat
yang menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-
dalil naqli maupun aqli. Ilmu ushul fiqih adalah ilmu alat-alat yang
menyediakan bermacam-macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh
ketetapan hukum syariat yang harus diamalkan manusia.
Ushul fiqih lahir lebih dulu dari fiqih karena fiqih diciptakan dari ushul
fiqih. Peran ushul fiqih untuk menciptakan hukum dan dalil-dalil yang terinci
dan kuat. Kedudukan ushul fiqih sebagai dasar dari fiqih Islam, artinya ushul
fiqih merupakan sumber-sumber/ dalil-dalil dan bagaimana cara menunjukkan
dalil tersebut kepada hukum syariat secara garis besar. Tanpa pembahasan
mengenai ushul fiqih, maka Fiqh tidak dapat diciptakan karena dasar ushul
fiqih harus dipahami lebih dahulu.
Al Qur’an, hadits rasul dan ijtihad adalah bahan yang diselidiki oleh ilmu ushul
fiqh, hasil penyelidikannya berupa fiqh. Ilmu khusus untuk mengolah sumber
hukum dan mencabut serta melahirkan garis hukum daripadanya yang
disebut ilmu ushul fiqh.1
1
(Mahardika, n.d.)
4. Agar mengetahui bagaimana para ulama yang berijtihad dapat sampai
pada pendapat ijtihadnya
5. Agar dapat mengambil pendapat-pendapat yang benar dan
memilihnya.2
3. Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-
fiqhiyah. Al-qawa‟id merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah
yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum.
Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah
secara kebahasaan berarti fondasi atau dasar (al-Ashfihani, 1961: 409). Kata
alqawa`id dalam Al-Qur`an ditemukan dalam surat alBaqarah ayat 127 dan
surat an-Nahl ayat 26 juga berarti tiang, dasar atau fondasi, yang menopang
suatu bangunan. Sedangkan kata al-fiqhiyah berasal dari kata al-fiqh yang
berarti paham atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-„amiq) yang
dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan
atau pengkategorian. Dengan demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah
fiqh adalah dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-patokan yang bersifat
umum mengenai jenis-jenis atau masalahmasalah yang masuk dalam
kategori fiqh.3
4.
َو ِإَّن َم ا ِلُك ِّل اْم ِر ٍئ َم ا َن َو ى،ِإَّن َم ا اَألْع َم اُل ِبالِّن َّي اِت
Dalam ibadah yang kaitannya dengan Allah Azza wa Jalla, niat adalah rukun,
sehingga menentukan sah-tidaknya suatu amal. Sedangkan dalam perbuatan
yang kaitannya dengan sesama makhluk, seperti muamalah, munakahah
(pernikahan), jinayat (tindak pidana), niat merupakan penentu; apakah
2
(Bahtiar, n.d.)
3
(Ibrahim, n.d.)
perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya, dan apakah
sebagai perbuatan yang membawa dosa atau tidak.
Niat juga merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lain,
seperti ibadah yang fardhu dan yang sunah. Demikian juga merupakan
pembeda antara ibadah atau sekedar amal kebiasaan. Ini semua yang
membedakannya adalah niat. Dan niat itu tempatnya di hati; bukan di lisan.
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,
« ِإَذ ا َش َّك َأَح ُد ُك ْم ِفى َص َالِتِه َفَلْم َي ْد ِر َك ْم َص َّلى َث َالًث ا َأْم َأْر َبًع ا َفْلَي ْط َر ِح الَّش َّك َو ْل َيْب ِن َع َلى َم ا اْس َت ْي َقَن
Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang
pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan
syak (ragu-ragu) artinya adalah keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-
tengah antara betul atau tidak tanpa bisa dikalahkan salah satunya.
Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak
dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang
meragukan itu naik menjadi yakin.
ُيِر يُد ُهَّللا ِبُك ْم اْلُيْس َر َو اَل ُيِر يُد ِبُك ْم اْلُعْس َر
Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup
berdiri, boleh tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka
puasa, dsb.
Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa
Ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan
sengaja karena mengira shalatnya telah selesai, maka dia tidak batal
shalatnya.
Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu
hukumnya, maka shalatnya tidak batal.
Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat
dengan terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang
tersebar di masjid, dsb.4
4
(Mengenal 5 Kaidah Pokok Dalam Hukum Fiqih, n.d.)
Daftar pustaka