Anda di halaman 1dari 4

Nama : Febi Nur Mayawi

NIM : 1226000055
Kelas : 2A
Mata Kuliah : Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Drs. Anwar Supenawinata M.A

BAB 5
LIMA POKOK KAIDAH FIQIH DAN PENERAPANNYA

Qowaid Fikhiyyah atau Kaidah fikih adalah kaidah atau dasar fikih yang bersifat umum
yang mencakup hukum-hukum syara' secara menyeluruh dari berbagai bab/bagian dalam
masalah - masalah yang masuk di bawah cakupannya. Salah satu manfaat kaidah fikih adalah
menjawab berbagai permasalahan yang rumit dalam waktu singkat, sehingga dapat
menemukan pemecahan berbagai permasalahan yang diinginkan.
Prof. Dr. T.M Hasbi As Shiddieqy dalam bukunya ‘Pengantar Hukum Islam’
menyatakan, “Tak dapat diragukan, bahwa seseorang yang hendak berijtihad memerlukan
kaidah-kaidah kulliyyah (umum) yang perlu dipedomani dalam menetapkan hukum. Ulama-
ulama Ushul berkata, “Apabila kaidah-kaidah kokoh terhunjam di dalam dada, mudah dan
lancarlah lidah-lidah menuturkan furu (hukum fiqih).”Para ulama terdahulu mengatakan,

ِ َ‫ِ َمنْ َراعَى ْاْلُص ُْو َل كَانَ َح ِق ْيقًا ِبا ْل ُوص ُْو ِل َو َمنْ َراعَى ا ْلقَ َوا ِع َد كَانَ َخ ِل ْيقًا ِب ِإد َْراكِ ا ْل َمق‬
‫اصد‬

“Barang siapa yang memperhatikan (memahami dan mengikuti) ilmu ushul fiqih, tentu ia akan
sampai kepada maksud (hukum-hukum fiqih), dan barang siapa yang memperhatikan kaidah
fiqih, tentu dia akan mencapai yang dimaksud (hukum-hukum fiqih).”
Ada banyak sekali kaidah fiqih yang dihasilkan oleh para ulama. Akan tetapi, ada lima
kaidah umum yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-qawaid al-fiqhiyah al-
kubra. <span;>Menurut sebagian ulama, bahwa seluruh masalah fiqih dikembalikan kepada
kaedah yang lima berikut ini:

ِ َ‫اَ ْْل ُ ُم ْو ُر ِب َمق‬


‫اص ِدهَا‬
1. Semua perbuatan tergantung niatnya.
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

ْ ‫ َو ِإنَّ َما ِلكُ ِ ِّل‬،ِ‫ِإنَّ َما اْلَ ْع َما ُل ِبالنِِّيَّات‬


‫ام ِر ٍئ َما نَ َوى‬
“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.”
(Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Maksud kaedah ini adalah setiap perbuatan manusia, baik dalam hubungannya dengan
Allah maupun antara sesama makhluk ditentukan oleh niat dan tujuan dilakukannya. Dalam
ibadah yang kaitannya dengan Allah Azza wa Jalla, niat adalah rukun, sehingga menentukan
sah-tidaknya suatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang kaitannya dengan sesama makhluk,
seperti muamalah, munakahah (pernikahan), jinayat (tindak pidana), niat merupakan penentu;
apakah perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya, dan apakah sebagai
perbuatan yang membawa dosa atau tidak. Niat juga merupakan pembeda antara ibadah yang
satu dengan yang lain, seperti ibadah yang fardhu dan yang sunah. Demikian juga merupakan
pembeda antara ibadah atau sekedar amal kebiasaan. Ini semua yang membedakannya adalah
niat. Dan niat itu tempatnya di hati; bukan di lisan.

‫ِّاَ ْل َي ِق ْي ُن الَ ُيزَا ُل ِبالشَّك‬


2. Keyakinan tidak dapat disingkirkan oleh keraguan.
Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,

ْ ‫علَى َما ا‬
« ‫ستَ ْيقَن‬ ِ ‫صلَّى ثَالَثًا أَ ْم أَ ْربَ ًعا فَ ْليَ ْط َر‬
َ ‫ح الشَّكَّ َو ْليَب ِْن‬ َ ‫َ ِإذَا شَكَّ أَ َح ُدكُ ْم فِى‬
َ ‫صالَتِ ِه فَلَ ْم يَد ِْر َك ْم‬
“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah sudah
shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan dasarilah sesuai
yang diyakini.” (HR. Muslim)
Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang pasti,
dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu) artinya
adalah keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-tengah antara betul atau tidak tanpa bisa
dikalahkan salah satunya. Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan
tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik
menjadi yakin. Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah berwudhu,
kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan yang telah
diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.

ُ ‫شقَّةُ تَجْ ل‬
ِ ‫ِب التَّ ْي‬
‫سيْر‬ َ ‫َاَ ْل َم‬
3. Kesulitan mendatangkan kemudahan.
Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta’ala berikut,

‫َّللا بِكُ ْم ا ْليُس َْر َو َال يُ ِري ُد بِكُ ْم ا ْلعُسْر‬


ُ َّ ‫َيُ ِري ُد‬
“Allah menginginkan kemudahan untukmu dan tidak mengingikan kesulitan.” (Qs. Al
Baqarah: 185)
Para ulama menerangkan, bahwa dari kaedah di atas keluar segala bentuk rukhshah atau
keringanan. Di antaranya:
• Ketika safar, seseorang boleh mengqashar (mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi
2), boleh berbuka, boleh mengusap khuff lebih dari sehari-semalam, dsb.
• Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup berdiri,
boleh tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka puasa, dsb.
• Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa Ramadhan,
atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan sengaja karena mengira
shalatnya telah selesai, maka dia tidak batal shalatnya.
• Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan agar
dirinya tidak binasa.
• Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu hukumnya,
maka shalatnya tidak batal.
• Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat dengan
terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di masjid, dsb.
‫ُاَلض ََّر ُر يُزَال‬
4. Bahaya harus disingkirkan
Dalil kaedah ini adalah hadits,

«‫» ََال ض ََر َر َو َال ِض َرار‬


Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain. (Hr. Ibnu Majah)
Contoh penerapan kaedah ini dalam masalah muamalah adalah, diperbolehkan
mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada cacat. Demikian pula dalam transaksi
jual beli karena terdapat perbedaan sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati,
disyariatkannya hajr (pencegahan melakukan transaksi pada harta) bagi orang yang safih
(dungu/kurang akal), anak yatim yang belum cerdas atau orang yang hilang akalnya. Dasar
pertimbangan diberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindarkan sejauh
mungkin madharat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Dalam masalah jinayat, Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga ditetapkan
hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan, adanya kaffarat,
mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas para pengacau
keamanan dan menindak para pelaku kriminalitas, dsb. Dalam masalah munakahat
(pernikahan), Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan kondisi rumah tangga yang
sudah tidak teratasi agar kedua suami istri tidak mengalami penderitaan batin terus-menerus.
Demikian pula dizinkan faskh (pembatalan pernikahan) karena aib.

‫ٌاَ ْلعَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬


5. Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.
Dalil kaedah ini adalah pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu,

«‫سن‬ ِ َّ ‫سنًا فَه َُو ِع ْن َد‬


َ ‫َّللا َح‬ ْ ‫»ٌ َما َرآهُ ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ُمونَ َح‬
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik pula di sisi
Allah.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa adat dapat menjadi rujukan hukum dalam beberapa keadaan.
Maksud ‘adat’ menurut para Ahli Fiqih adalah,
‫س ِل ْي َمة‬ َّ ‫س مِ نَ ْاْل ُ ُم ْو ِر ا ْل ُمتَك ِ َِّر َر ِة ا ْل َم ْعقُ ْولَ ِة ِع ْن َد ال‬
َّ ‫طبَائ ِِع ال‬ ِ ‫ستَق ُِّر فِي النُّفُ ْو‬ َ ٌ‫َارة‬
ْ ‫ع َّما َي‬ َ ‫ِ ِعب‬
Istilah untuk sesuatu yang berulang kali yang telah menetap dalam jiwa karena sejalan dengan
akal menurut tabiat yang masih sehat.
Berdasarkan definisi di atas, adat merupakan perkara yang berulang-ulang dikerjakan
oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan tabiat yang
masih sehat. Adat menjadi hujjah adalah ketika bermanfaat dan tidak bertentangan dengan
syariat. Oleh karena itu, tidak termasuk adat sama sekali hal-hal yang membawa kepada
kerusakan, kemaksiatan, dan tidak ada faedahnya sama sekali, seperti muamalah secara riba,
berjudi, menyabung ayam, dan sebagainya meskipun perbuatan-perbuatan itu menjadi
kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasakan lagi keburukannya.
• Contoh penerapan kaedah di atas adalah tentang usia haidh dan baligh, batas minimal
darah haidh dan nifas, lamanya jeda yang bertentangan dengan muwalah (berurutan)
dalam wudhu, banyaknya gerakan menurut adat yang dianggap membatalkan shalat,
dsb.

Anda mungkin juga menyukai