Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam didefinisikan sebagai Agama yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur segenap urusan
manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah),
ataupun hubungan manusia dengan sesama manusia atau makluk yang
lain. Sudah barang tentu dalam setiap interaksi dengan Allah ataupun
dengan sesama pasti akan dipertemukan dengan beberapa permasalahan
yang memerlukan solusi dengan berdasarkan berbagai kajian tentang
hukum Islam. Permasalahan dalam menetapkan hukum Islam adalah
sebuah permasalahan yang sering muncul dan perlu adanya sebuah
penyelesaian yang mana penyelesaian tersebut tidaklah keluar dari sebuah
ketetapan hukum Allah SWT yang sudah tercantum dalam firman-Nya
yakni Al-Quran dan Sunnah.
Manusia di zaman modern ini seringkali dihadapkan pada masalah
ketetapan hukum yang cukup serius. Maka oleh sebab itu khazanah
pemikiran dan pandangan dalam menyikapi perlu adanya suatu
pengembangan pola pikir yang lebih baik. Dengan demikian, menjadi
sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan suatu
permasalahan yang banyak dialami oleh masyarakat modern saat ini.
Namun penjabaran dalam mempelajari sebuah ketetapan hukum seseorang
tidaklah mudah, oleh sebab itu diperlukan beberapa pendekatan untuk
melahirkan hitam putih hukum yang dibutuhkan, agar proses penetapan
hukum tidak mengalami stagnasi, dalam artian Islam mampu menjawab
berbagai persoalan dari masa ke masa.
Memahami aturan yang telah disyari‟atkan Allah SWT harus
disertai dengan upaya pemahaman terhadap alasan-alasan yang
melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut. Persoalan ini
merupakan suatu hal yang penting dan harus dilakukan agar bersinergi

1
antara pemberlakuan ketentuan hukum dengan nilai-nilai dibalik ketentuan
tersebut. Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa ada hubungan
antara faktor pendorong atau tautan logis dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang telah ditetapkan, karena dengan adanya hubungan diantara
keduanya akan bisa diketahui hikmah ataupun juga Maqashid Syari‟ah
dibalik pemberlakuan suatu ketentuan. Dengan kata lain, dapat dinyatakan
bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah pasti terkait
dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang
hendak dicapai.
Pada dasarnya sumber terjadinya hukum ada dua macam. Pertama,
Maqashid (Tujuan), yaitu adakalanya bernilai maslahat dan adakalnya
bernilai mafsadat. Kedua, Wasail (perantara), yaitu jalan untuk menuju
pada maksud yang dituju. Bagian kedua ini tidak memiliki konsistensi
hukum, akan tetapi tergantung pada dampat atau konsekuensi adanya
wasail tersebut.1
Untuk memahami faktor pendorong atau tautan logis dari semua
ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka dalam ilmu Usul Fiqh
terdapat satu istilah yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara
suatu ketentuan hukum yang dikenal dengan nama „illat hukum.
Secara bahasa „Illat berarti sakit, penyakit, sebab dan alasan.2
sementara dalam pengertian bahasa yang lain „Illat juga bermakna
penyakit yang menyusahkan. Terkait dengan ketersinggungannya dengan
dunia hukum Islam, kamus Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A‟lam juga
memberikan definisi sebagai berikut, „Illat merupakan sesuatu yang
dengan keberadaannya bisa menyebabkan keberadaan sesuatu yang lain
dan dia merupakan aspek eksternal yang berpengaruh “Kharijan
Muastiran” terkait dengan penyebab keberadaan sesuatu tersebut.
Sehingga tidak heran kemudian penjelasan itu dilanjutkan dengan uraian

1
Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh. (Bairut: Daru Al-Fikri Al-Muasir). hlm. 873
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidayah Agung Jakarta: 1990), hlm. 276

2
kalimat "‫( "علة الشيئ هو سببه‬faktor pendorong atau tautan logis itulah yang
menyebabkan kemunculan sesuatu yang lain).3
„Illat merupakan sebuah sifat dasar yang dikarenakan atas
keberadaan sifat dasar tersebut dapat diketahui adanya sebuah ketentuan
hukum, seperti memabukkan menjadi sifat dasar pelarangan khamer,
munculnya rasa permusuhan menjadi sifat dasar terhadap pelarangan
penjualan barang yang sudah ditawar oleh orang lain dan serta terhadap
pelarangan memberikan manfaat layanan jasa kepada orang lain
dikarenakan pada saat yang sama ada orang lain yang sudah berakad untuk
memanfaatkannya terlebih dahulu.4
Kedudukan „Illat dalam proses ijtihad sangatlah penting, pada
awalnya keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
metode Qiyas. Dalam hal ini urgensitas keberadaannya adalah berfungsi
sebagai sebuah barometer khusus untuk mengetahui mengapa suatu hukum
itu ditetapkan sehingga bisa dan dapat dipergunakan dengan sebuah
perbandingan terhadap kasus lain yang serupa tapi baru.5 Pembahasan
„Illat dalam hal ini tidaklah sama dengan penjelasan rukun ketiga dalam
metode Qiyas tersebut, karena rukun ketiga dalam metode ini sudah ada
dan melekat pada rukun pertamanya, yaitu Al-Asl, kasus yang sudah ada
ketentuan hukumnya dalam nash yang akan digunakan sebagai
pertimbangan keputusan hukum pada al-Far‟u (rukun kedua) apabila
memiliki kesamaan „Illat dengan rukun pertama.
Di antara metode atau pendekatan dalam kajian hukum Islam yang
erat kaitannya dengan „Illat tersebut di atas yang dikembangkan oleh para
ulama adalah Sadd Adz-Dzari‟ah. Metode Sadd Adz-Dzari‟ah ini
merupakan upaya preventif (mencegah) agar tidak terjadi sesuatu yang
menimbulkan dampak negatif.

3
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A‟lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 523
4
Abd al-Wahhab Khallaf, „Ilm Usul al Fiqh (Kairo: Maktabah Dakwah Islamiyyah Syabab Al-
Azhar, 1942), hlm. 63.
5
Ibid. 50

3
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang
sudah dilakukan tetapi juga berkaitan dengan perilaku yang belum
dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung
mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan
(Maqashidu Asy-Syari‟ah) hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Dan apabila terjadi
sebuah peristiwa yang mengandung dua potensi yang berlawanan, yaitu
antara kemaslahatan dan kemudlaratan maka yang lebih diutamakan
adalah mencegah kemudlaratan tersebut, daripada mewujudkan
kemaslahatan, sebagaiana kaidah fiqih menyebutkan:

“ ِ ِ‫ا‬ ِ ِِ
َ َ ْ‫” َ ْ ُ اْ َ َ ا َْ َ ْ َ ْ ِ ا‬
Artinya: Mencegah kerusakan lebih utama daripada membangun
kemaslahatan6
Begitu juga dengan sabda Nabi yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah yang berbuyi:
ِ‫ََِسعت او ُل هللا‬ ‫ص ْخ ٍر َ ِض َي هللاُ تَ َع َ َعْنوُ ق َ َل‬ ِ
ُْ َ ُ ْ َ ِ ْ‫َِب ُىَريْ َرةَ َعْب َّار ْْحَ ِ ب‬ ْ ِ‫َع ْ أ‬
‫ َ َ أََ ْرتُ ُك ْم بِِو فَأْتُ ْو ِ ْنوُ َ ْاتَطَ ْعتُ ْم‬،ُ‫ملسو هيلع هللا ىلص يَ ُق ْو ُل َ نَ َهْي تُ ُك ْم َعْنوُ فَ ْ تَنِبُ ْوه‬
)‫ ( ه ابخ ي س م‬.........
Artinya: Diceritakan dari Abu Hurairah Abdur Rahman ibnu
Shahr r.a. berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW.
bersabda : “ Apa yang aku larang bagimu (untuk
dilakukan) maka tinggalkanlah, dan apa yang aku
perintahkan kepadamu (untuk dilakukan) maka
lakukanlah semampumu .......( H.R. Al-Bukhari dan
Muslim7)
Adapun hubungan antara Hadits ini dengan kaidah di atas dapat
ditinjau dari sistematika kalimatnya, yang mana kalimat perintah untuk
meninggalkan perkara yang dilarang lebih didahulukan daripada kalimat
perintah melakukan sesuatu. Jika ditinjau dari filosofi sistematikanya, ini

6
Muhammad Az-Zarqa, Syarah Qawaidul Fiqhiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1994). hlm. 205
7
Yahya An-Nawawi, Syarh Arba‟in An-Nawawi. (Bairut: Daru Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2017). hlm.
37

4
menunjukan bahwa meninggalkan suatu larangan yang berpotensi pada
kemudlaratan lebih ditekankan daripada melaksanakan perintah.8
Al-Syatibi membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi
tiga urutan peringkat, yaitu: Daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.9 Yang
dimaksud maslahat menurutnya yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu:
Agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.10
Secara garis besar tujuan syari‟ah adalah untuk kemaslahatan
(kebaikan) umat manusia di dunia dan di akhirat, baik dengan menarik
manfaat maupun mencegah adanya kerusakan. Oleh karena itu, erat
kaitannya dengan hal tersebut, di dalam penulisan makalah ini penulis
lebih spesifik pada pembahasan tentang pendekatan hukum Islam yang
lebih mengarah pada mencegah pada kerusakan, yaitu melalui pendekatan
Saddu Adz-Dzari‟ah, dengan beberapa rumusan masalah yang akan
disajikan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana uraian definisi tentang Saddu Adz-Dzari‟ah ?
2. Apa dasar hukum dan pengelompokan Saddu Adz-Dzari‟ah ?
3. Bagaimana kedudukan Saddu Adz-Dzari‟ah sebagai sumber hukum
Islam ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Saddu Adz-Dzari‟ah
2. Mengetahui dasar hukum dan dapat mengklasifikasikan Saddu Adz-
Dzari‟ah
3. Mengetahui kedudukan Saddu Adz-Dzari‟ah sebagai sumber Hukum
Islam

8
Syarah Qawaidul Fiqhiyah, hlm. 205
9
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, jilid. II (Bairut: Daru Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2004).
hlm.7
10
Ibid. hlm. 5

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Saddu Adz-Dzari’ah


Secara bahasa kata ِ ‫ َا ُّد َّال ِيْ َع‬merupakan gabungan dua kata dalam

bentuk Mudlaf-mudlaf Ilaih yang terdiri dari dua kata, yaitu ‫ َا ٌّد‬dan ‫ ال يع‬. Kata

yang pertama berasal dari kata kerja َّ ‫–ا‬


َ ‫ يَ ُس ُّد‬, yang berarti kebalikan dari
membuka11, sedangkan kata yang kedua bermakna sarana atau wasilah12.
Terkait dengan penggunaan kata Adz-Dzari‟ah dalam metode
penetapan hukum Islam, Muhammad Abu Zahra dalam bukunya mengutip
bahwa Adz-Dzari‟ah menurut Ulama Ushul ialah sesuatu yang menjadi jalan
menuju pada perkara Haram atau halal, oleh karena itu hukum yang diambil
tergantung pada jalan yang dilalui. Oleh karena itu, adapun jalan yang dilalui
menuju pada perkara haram maka hukumnya haram, dan begitupun
seterusnya. Begitu juga dengan sesuatu yang dapat menghindarkan dari
perkara yang wajib ditinggalkan maka hukumnya wajib, seperti hukum
keharaman melakukan zina, maka melihat aurat perempuat yang dapat
menimbulkan hasrat ingin melakukan perbuatan zina hukumnya haram13.
Ibnu Qayyim juga berpendapat bahwa Adz-Dzari‟ah adalah sebuah
media yang mengantarkan pada suatu perkara yang hanya berkaitan dengan
ketaatan dan kemaksiatan.14
Dalam literatur lain, Wahbah Zuhaili dalam hal ini menguraikan
dalam dua bentuk, yaitu Sad Adz-Dzari‟ah dan Fath Adz-Dzari‟ah,
dikarenakan apabila dikatikan dengan cakupan pembahasan dalam aspek
Hukum Syari‟ah, maka kata Adz-Dzari‟ah itu sendiri terbagi dalam 2
kategori, yaitu:15

11
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughah Wa Al-A‟lam. (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986). hlm. 326
12
Ushulul Fiqh. hlm. 288
13
ibid,
14
Ibnu Qayyim, A‟lamul Muwaqqi‟in, Juz III. Bairut: Darul Al-Kutub Ilmiyah, 1991. hlm. 147
15
Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz II (Beirut: Dar Al-Fikri Al-Muasir, 1986), hlm.
173

6
1. Ketidakbolehan untuk menggunakan sarana tersebut, dikarenakan akan
mengarah pada kerusakan, dengan kata lain apabila hasilnya itu satu
kerusakan, maka penggunaan sarana adalah tidak boleh, dan inilah yang
dimaksud dengan Sadd Adz-Dzari‟ah.
2. Kebolehan untuk menggunakan dan mengambil sarana tersebut,
dikarenakan akan mengarah pada kebaikan dan kemaslahatan, dengan
kata lain apabila hasilnya itu kebaikan dan kemaslahatan, maka
penggunaan sarana adalah boleh, hal ini dikarenakan realisasi aspek
kebaikan dan kemaslahatan merupakan sebuah keharusan yang harus ada.
Inilah yang dimaksud dengan Fath Adz-Dzari‟ah.
Al-Qarafi dalam bukunya yang berjudul “Syarhu Tanqihul Fushul”
sebagaimana dilansir dari pendapat Imam Malik, demikian juga pendapat
Hanabilah, mendefisinikan Saddu Adz-Dzari‟ah dengan:
ِ‫صل ِِبَ ِ َ فِ ْع ِل اْ ْحظُْو‬ ِ ِ َّ ِ ِ َّ
َ ُ َّ ‫َال يْ َع ُ ى َي َ ْسئَ َ ُ ا ِ ِْت ظَ ى ُرَى ْْل ََب َح ُ َ يَتَ َو‬
Artinya: Adz-Dzari‟ah adalah media yang secara tampak itu boleh, dan
mendorong pada perkara yang diharamkan.16

Tujuan penetapan hukum secara Sadd Al-Dhari'ah adalah


memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauh kemungkinan terjadinya
kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan berbuat maksiat. Hal ini
sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas para mukallaf, yaitu untuk
mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai
tujuan ini Syari'ah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan.
Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat
dikerjakan langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara
langsung perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Demikian pula halnya dengan larangan, ada perbuatan itu dilarang
secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Perbuatan yang
dilarang secara langsung ialah seperti minum khamer, berjudi, kriminalitas
dan sebagainya. Perbuatan yang dilarang secara tidak langsung, seperti

16
Amir Abdul Aziz, Ushul Al-Fiqhi Al-Islami. Juz II (Darus Salam : 1997). hlm. 486

7
warung yang menjual minuman khamer, berkhalwat antara laki-laki dan
perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamer hakikatnya
tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu menuju kepada minum
khamer, maka perbuatan itupun dilarang. Demikian pula halnya dengan
berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun
dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang
sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju ke arah perbuatan-
perbuatan maksiat itu.
B. Dasar Hukum Saddu Adz-Dzari’ah
Dasar hukum dari Sadd Adz-Dzari'ah sebagai sumber pengambilan
hukum, seperti yang diuraikan oleh Ibnu Al-Qayyim bahwa banyak sekali
dalil yang menjadi dasar dalam mencegah perbuatan yang mengarah pada
hukum haram. Bahkan beliau menyebutkan ada 99 macam dalil yang
berkaitan dengan hal tersebut.17 Akan tetapi dalam makalah ini hanya
disebutkan beberapa dasar hukum saja, yang berdasarkan literatur Al-Qur'an,
Hadits dan Kaidah Fiqh.
1. Al-Quran

َٰ َ ِ‫ك َزيَّنَّ اِ ُك ِّل أَُّ ٍ َع َ َ ُه ْم ُُثَّ إ‬ ِ ِ ِ


َ ‫ََْل تَ ُسبُّدو اَّلي َ يَ ْ ُعو َن ِ ْ ُ ِن ََّّلل فَيَ ُسبُّدو ََّّللَ َع ْ ً بِغَ ِْْي ِع ْ ٍم ۗ َك ََٰلا‬
‫َ ِّبِِ ْم َ ْرِ ُع ُه ْم فَيُنَ بِّئُ ُه ْم ِ َ َك نُو يَ ْع َ ُو َن‬

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka


sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan. (Q.S. Al-An‟am :108)18

Ayat di atas menunjukkan bahwa menghina berhala tidak dilarang


Allah Swt, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan
menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah
17
As-Syathibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul Asy-Syari‟ah. (Maktabah Al-Usrah : 2006) hlm. 490
18
Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Al-Qolami, 2014), hlm. 141

8
tindakan orang-orang musyrik mencaci dan menghina Allah secara
melampaui batas.

......... ۚ َّ ‫ني ِ ْ ِزينَتِ ِه‬ ِ ِ ِ


َ ْ‫ض ِربْ َ ِِبَْ ُ ِه َّ ايُ ْعَ َم َ ُُي‬
ْ َ‫ ََْل ي‬......
Artinya: ........ Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ...... (Q.S. An-
Nur : 31)19

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa wanita menghentakkan


kaki waktu berjalan sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya
tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-laki
lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula
sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju ke arah perbuatan zina.

‫يم‬ِ ‫أَيُّده اَّ ِلي نو َْل تَ ُقواُو ِعن قُواُو نْظُر َْسعو ۗ اِْ َك فِ ِري ع َل‬
ٌ ‫ا أَا‬
ٌ َ َ َ َُ َ َ ْ َ َ َ َُ َ َ َ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah:
"Undhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih. (Q.S. Al-Baqarah : 104).20

Penjelasan pada Al-Baqarah ayat 104 di atas, dapat dipahami


bahwasannya suatu dampak negatif itu akan terjadi apabila melakukan
perbuatan dikhawatirkan dapat menyebabkan pelanggaran jika
melakukannya. Kata Ra‟ina berarti “Sudilah kiranya kamu
memperhatikan kami” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap
Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek
dan menghina Rasulullah SAW.21 Mereka menggunakannya dengan
maksud kata Ra‟inan sebagai bentuk Isim Fail dari Masdar kata Ru‟unah
yang berarti bodoh atau tolol.22

19
Ibid, hlm. 353
20
Ibid. hlm. 16
21
Ushul Fiqh Islami. hlm. 889
22
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi, Mafatih al-
Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, 26. Dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2, 09

9
2. Hadits Nabi SAW.

..... ‫ك َ ْن يَ َق َ فِْي ِو‬ ِ َِ ‫ََْل ِ َّن‬....


ُ َ ‫ْح َي هللا َ َع ِصْي ِو فَ َ ْ َح َا َح ْو َل ْاِ َ يَ ْو‬ َ
Artinya : .....”Ketahuilah, batasan Allah adalah perbuatan maksiat yang
dilakukan kepadaNya. Barangsiapa yang menggembalakan
(ternaknya) sekitar batasan itu, ia akan terjerumus ke
dalamnya”..... (H.R. Bukhari dan Muslim).23
Hadis ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat
mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan
terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu dari pada kemungkinan dapat
memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah
melarang perbuatan yang mengarah pada perbuatan maksiat itu.

‫صَّ هللاُ َعَْي ِو َ َاَّ َم ِ َّن ِ ْ َ ْكبَ َر‬ ِ


َ ‫ قَ َل َ ُا ْو ُل هللا‬:‫قَ َل‬
ِ ِ ِ
ُ‫َع ْ َعْب هللا بْ ِ عُ َ َر َض َي هللاُ َعْنو‬
‫ف يَْ َع ُ َّار ُ َل َ اِ َ يِْو قَ َل يَ ُس ُّد َّار ُ َل‬ ِ
َ ‫َ ُا ْو َل هللا َ َكْي‬
ِ ِ ِ
َ ‫َكبَ ئ ِر َ ْن يَْ َع َ َّار ُ َل َ ا َ يْو قَ ْي َل‬
)‫ه ابخ ي‬ ( ُ‫ًََب اَِر ُ ٍل فَيَ ُس ُّد َََبهُ َ يَ ُس ُّد ُُّد و‬
Artinya: Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda: ‚Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya.‛ Beliau kemudian ditanya,
‚Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya?‛ Beliau menjawab, ‚Seorang lelaki mencaci maki ayah
orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut. (H.R. Al-
Bukhori).24

Hadits tersebut menurut Ibnu Taimiyyah dalam tulisan Nasrun


Haroen, menunjukan bahwa Sadd Adz-dzari‟ah termasuk salah satu
alasan untuk menetapkan hukum Syara‟ karena sabda Rasulullah di atas
masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itulah Rasulullah SAW
melarangnya.25
3. Kaidah Fiqh

23
Ibnu Rajab, Syarh Al-Hadits Jami‟ul Ulum Wa Al-Hikam Juz I (Kutubul Ummah 2001). hlm.
193)
24
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, Al-Jami‟ Ash-Shahih Al-Mukhtashar,
(Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, 2228.
25
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 164

10
‫َ أَ َى ِ َ ْاََرِا فَ ُه َو َحَر ٌا‬
Artinya: Sesuatu yang mengarah pada perbuatan haram maka hukumnya
haram.26
ِ ِ‫َ ْ ُ اْ َ َ ِا ِ أَْ َ ِ ْ َ ْ ِ اْ َ َ ا‬
Artinya: Menolak keburukan (Mafsadah) lebih utama daripada meraih
kebaikan (Maslahat).27

Dari kaidah diatas adalah bahwa segala perbuatan dan perkataan


yang dilakukan Mukallaf yang dilarang Syara‟ terkadang menyampaikan
dengan sendirinya kepada kerusakan tanpa perantara, seperti zina,
perncurian, dan pembunuhan. Namun terkadang tidak menyampaikan
dengan sendirinya, tetapi dia menjadi wasilah kepada sesuatu yang lain
yang menyampaikan kepada kerusakan tersebut, seperti Khalwat yang
tidak menjadi sebab terjadinya percampuran keturunan, tetapi dia
menjadi perantara kepada zina yang menimbulkan kerusakan.28
C. Macam-macam Saddu Adz-Dzari’ah
Pada dasarnya yang menjadi Dzari‟ah adalah semua perbuatan
ditinjau dari segi akibatnya sehingga memerlukan batasan yang bersifat
preventif (mencegah). Oleh karena itu maka Asy-Syathibi mengelompokkan
Dziari‟ah menjadi 4 macanya, yaitu:29
1. Dzari‟ah yang secara pasti membawa mafsadat.
Bagian yang pertama ini adalah perbuatan yang jelas dilarang
mengerjakannya, karena dipastikan akan terjadi mafasadat, seperti
menggali sumur di belakang pintu rumah yang gelap yang dapat membuat
orang yang melewati pintu tersebut jatuh kedalamnya. Maka bagian yang
pertama ini tidak masuk pada pembahasan Saddu Adz-Dari‟ah, karena
sudah pasti perbuatan tersebut dilarang.

26
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 32
27
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, hlm. 39
28
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), hlm.
322.
29
Al-Muwafaqat Juz II. hlm. 358

11
2. Dzari‟ah yang dapat mendatangkan keburukan, namun biasanya jarang
terjadi.
Bagian yang kedua ini dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu
diperbolehkan, karena hukum syari‟at tidak hanya melihat pada hilangnya
maslahat atau jarangnnya akan mafsadat. Seperti contoh menggali sumur
di sebuah tempat yang biasanya tidak menimbulkan mafsadat (bahaya
terhadap orang lain), akan tetapi bisa saja mejadikan orang jatuh ke
dalamnya.
3. Dzari‟ah yang mengandung dampak mafsadat (bahaya) yang besar,
namun jarang terjadi dan ada dugaan yang kuat bahwa Dzari‟ah tersebut
akan menimbulkan keburukan (Mafsadat). Seperti menjual senjata kepada
orang yang tukang perang, menjual anggur kepada orang yang
memproduksi minuman keras.
Dalam hal ini dugaan yang kuat disamakan dengan mengetahui
secara pasti karena beberapa alasan, antara lain:
a. Dugaan yang dalam konteks hukum amaliah kedudukannya sama
seperti mengetahui yang sebenarnya.
b. Adanya Nass yang secara jelas menghendaki adanya Saddu Adz-
Dzari‟ah. Sedangkan maksud dari Saddu Adz-Dzari‟ah itu sendiri
adalah antisipasi terhadap terjadinya keburukan, sedangka antisipasi
itu sendiri diambil dari dugaan yang kuat.
c. Karena bagian yang ke tiga ini ada unsur Ta‟awanu „Alal Itsmi Wal
Al-„Udwan (menolong dalam perbuatan dosa dan kejahatan).
4. Dzari‟ah yang berpotensi menimbulkan Mafsadah yang besar, akan tetapi
jarang terjadi. Seperti menjual barang dengan akad hutang (Bai‟ul Ajil),
yang dapat mengarah pada riba yang besar namun jarang terjadi.
Di bagian ke empat ini terjadi Ikhtilaf (kontrofersi) dikalangan
Ulama. Seperti contoh jual beli di atas, Imam As-Syafi‟i dan Imam Abu
Hanifah membolehkan melakukan transaksi tersebut sebagaimana hukum
asal jual beli, karena tidak adanya dugaan yang kuat dan tidak
pengetahuan secara pasti dengan adanya mafsadat atau tidak ada indikasi

12
yang menunjukkan bahwa transaksi tersebut menimbulkan mafsadat.
Beda dengan Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal yang
menghukumi transaksi tersebut hukumnya haram dan akadnya batal,
karena meskipun hukum asalnya boleh namun dalam transaksi tersebut
dapat berpotensi menimbulkan Mafsadat, karena menolak keburukan
lebih didahulukan dari pada meraih kemaslahatan.30
Ditinjau dari potensi dan dampak atas terjadinya kemaslahatan dan
kerusakannya, Dzari‟ah adakalanya Mubah seperti bekerja dengan pekerjaan
halal untuk mendapatkan rizki yang baik. Adakalanya Wajib, seperti wudlu‟
sebelum shalat. Sebagaimana yang terurai dalam Kaidah Fiqh yang berbunyi
Ma Laa Yatimmu Al-Wajib Illa Bihi Fahua Wajibun (seuatu kewajiban yang
tidak sempurna kecuali dengan perantara yang lain maka perantara itu
hukumnya juga wajib). Dan adakalanya Haram seperti mencuri untuk
menafkahi keluarga yang pada hakikatnya ia mampu untuk mencari nafkah
dengan jalan yang halal.31
Berdasarkan tingkat besar dan kecilnya dampak Maslahat atau
mafsadat yang akan terjadi, dalam hal ini Wahbah Zuhaili mengklasifikasikan
Adz-Dzari‟ah ke dalam dua macam, antara lain:32
1. Tingkat kemaslahatannya lebih tinggi daripada keburukannya;
2. Tingkat keburukannya lebih tinggi daripada kemaslahatannya,
dalam hal ini ada empat macam:
a. Pekerjaan yang secara pasti berpotensi menimbulkan
kerusakan atau keburukan. Seperti meminum minuman keras
yang dapat memabukkan, melakukan perbuatan zina yang
dapat menimbulkan bercampurnya sperma melalui jalan yang
haram dan lain-lain yang berdampak pada ketidakjelasan
status anak yang terlahir dari hubungan zina tersebut.
b. Pekerjaan yang sejatinya diperbolehkan, akan tetapi pekerjaan
tersebut dimaksudkan untuk mengantarkan pada mafsadah
30
Abu Zahra, Ushul Al-Fiqh. hlm. 231
31
Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami. hlm. 873
32
Ibid. hlm. 884

13
(keburukan). Seperti melakukan akad jual beli yang
dimaksudkan pada sampainya terhadap perkara riba.
c. Pekerjaan yang sejatinya diperbolehkan dan tidak
dimaksudkan untuk meraih keburukan, akan tetapi pekerjaan
tersebut pada umumnya menimbulkan keburukan. Seperti
secara terang-terangan mencaci atau menghina sesembahan
orang-orang non muslim di hadapan mereka.
d. Perkerjaan yang sejatinya diperbolehkan dan berdampak pada
keburukan, namun nilai kemaslahatannya lebih tinggi dari
pada keburukannya. Seperti memandang wajah perempuan
yang hendak dinikahi.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa penerapan metode
Saddu Adz-Dzari‟ah diukur dari sejauh mana seseorang memahami atau
meyakini terjadinya dampak negatif (Mafsadat) yang jika sebuah perbuatan
(Dzari‟ah) dilakukan. Oleh sebab itu konsekuensi hukum Adz-Dari‟ah
tidaklah sama, tergantung pada tujuan yang dimaksudkan dalam Adz-
Dzari‟ah tersebut.
D. Kedudukan Saddu Adz-Dzari’ah
Sebagaimana halnya dengan Qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya,
Saddu Adz-Dzari‟ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan
hukum (Istinbath Al-Hukmi) dalam Islam. Namun dilihat dari sisi produk
hukumnya, Sadd Adz-Dzari‟ah adalah salah satu sumber hukum yang
eksistensinya tidak semua ulama Fiqh menerimanya sebagai sumber hukum.
Saddu Adz-Dzariah merupakan metode pengambilan hukum yang
menjadi perbincangan hangat di kalangan Ulama, disebabkan mereka tidak
seluruhnya menyepakati adanya Saddu Adz-Dzari‟ah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum, berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu: 1) yang menerima sepenuhnya;
2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
1. Kelompok yang Menerima Sepenuhnya

14
Kelompok yang menerima sepenuhnya terhadap Saddu Adz-
Dzari‟ah sebagai metode penetapan hukum Islam adalah antara lain
Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab
Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan
Fiqh dan Ushul Fiqh mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam
Al-Qarafi, misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya yag
berjudul Anwar Al-Buruq Fi Anwa‟ Al-Furuq. Begitu pula Imam Asy-
Syathibi yang juga menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya Al-
Muwafaqat.
2. Kelompok yang Tidak Menerima Sepenuhnya
Kelompok yang tidak menerima sepenuhnya terhadap Saddu Adz-
Dzari‟ah sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah antara lain
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i. Dengan kata lain, kelompok ini
menolak Saddu Adz-Dzari‟ah sebagai metode Istinbath Al-Hukmi
(Pengambilan Hukum) pada kasus tertentu, namun menggunakannya
pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafi‟i menggunakan
Sadd Adz-Dzariah ketika beliau melarang seseorang mencegah
mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan
menjadi sarana (Dzari‟ah) kepada tindakan mencegah memperoleh
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga sarana (Dzari‟ah) kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air
adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.33
3. Kelompok yang Menolak Sepenuhnya
Kelompok yang menolak Saddu Adz-Dzari‟ah sepenuhnya sebagai
metode dalam menetapkan hukum adalah Mazhab Zahiri. Hal ini sesuai
dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan
makna tekstual (Dhahir Al-Lafdh). Sementara Sadd Adz-Dzariah adalah
hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan
dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat.

33
Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh. hlm. 888

15
Pada dasarnya para Fuqaha memakai dasar Sadd-Adz-Dzari‟ah, jika
dinilai ia adalah merupakan satu-satunya Washilah (perantara) untuk
mencapai tujuan tertentu. Walaupun mereka berbeda pendapat dalam
penerapannya, sebagaimana yang telah terurai di atas. Menurut Imam Asy-
Syafi‟i, Dzari‟ah masuk kedalam Qiyas, dan menurut Abu Hanifah Dza-
Dzariah masuk ke dalam Istihsan.
Ada beberapa Ulama Ushul yang menyebutkan:
1. Saddu Adz-Dzari‟ah digunakan apabila menjadi cara untuk
menghindarkan dari mafsadat yang telah dinashkan.
2. Fathhu Adz-Dzari‟ah digunakan apabila menjadi cara atau jalan untuk
sampai kepada maslahat yang dinashkan. Karena maslahat dan mafsadat
yang dinashkan adalah Qath‟i, maka Adz-Dzariah dalam hal ini
berfungsi sebagai pelayan terhadap nash.
3. Tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan amanat (tugas-tugas
keagamaan) telah jelas bahwa kemadharatan meninggalkan amanat,
lebih besar daripada pelaksanaan sesuatu perbuatan atas dasar Saddu
Adz-Dzari‟ah
Jadi, seperti tidak memelihara harta anak yatim karena takut
dhalim atas dasar Saddu Adz-Dzariah, hal ini dipstikan menyebabkan
terlantarnya harta-harta anak yatim. Contoh lain, menolak jadi saksi
karena takut dusta, menyebabkan hilangnya kemashlahatan untuk
manusia. Karena itu prinsip Saddu Adz-Dzari‟ah tidak hanya melihat
kepada niat dan maksud perorangan, tetapi juga melihat kepada
kemanfaatan umum dan menolak kemafsadatan yang bersifat umum pula.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Saddu Adz-Dzari‟ah secara bahasa adalah sebuah istilah yang terdiri dari
dua kata yaitu “Saddu” yang berarti menutup dan “Adz-Dzari‟ah” yang
berarti jalan, perantara dan atau media. Sedangkan menurut Istilah Ulama
Ushul terdapat beberapa uraian yang cakupannya mengarah pada
substansi yang sama, yaitu upaya menutup jalan atau perkara yang
menimbulkan pada sesuatu yang membahayakan (Mafsadat). Seperti
contoh larangan mencaci atau menghina sesembahan orang-orang non
muslim secara terang-terangan di hadapan mereka.
2. Dasar hukum yang digunakan oleh para ulama dalam memberlakukan
Saddu Adz-Dzari‟ah sebagai sumber hukum Islam adalah antara lain Al-
Quran, Hadits dan Kaidah-kaidah Fiqhiyah. Meskipun secara eksplisit
tidak menunjukkan eksistensinya sebagai dasar hukum Saddu Adz-
Dzari‟ah, namun secara implisit terdapat sebuah indikasi yang mengarah
pada hal tersebut.
Adapun pengelompokan Adz-Dzari‟ah secara umum ada empat macam:
a. Tindakan yang secara pasti dapat menimbulkan Mafsadat;
b. Tindakan yang dapat mendatangkan keburukan, namun biasanya
jarang terjadi;
c. Tindakan yang mengandung dampak mafsadat (bahaya) yang besar,
namun jarang terjadi dan ada dugaan yang kuat bahwa Dzari‟ah
tersebut akan menimbulkan keburukan (Mafsadat);
d. Tindakan yang berpotensi menimbulkan Mafsadah yang besar, akan
tetapi jaran terjadi.
3. Kedudukan Saddu Adz-Dzari‟ah sebagai sumber hukum Islam tidak
semua ulama menyepakatinya. Di antara mereka ada yang menerima
secara keseluruhan, ada yang menerima sebagian dan menolak sebagian
yang lain dan menolak secara keseluruhan. Maka metode Saddu Adz-

17
Dzari‟ah bisa digunakan sewaktu-waktu jika bisa dijadikan solusi untuk
menghindarkan dari Mafsadat.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Al-Qolami, 2014

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidayah Agung Jakarta, 1990

Ma‟luf, Louis, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A‟lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986

Khallaf, Abd al-Wahhab. „Ilm Usul al Fiqh. Kairo: Maktabah Dakwah Islamiyyah
Syabab Al-Azhar, 1942).

Az-Zarqa, Musthafa Ahmad. Syarah Qawaidul Fiqhiyah. Bairut: Darul Qalam.

An-Nawawi, Yahya. Syarh Arba‟in An-Nawawi. Bairut: Daru Al-Kutub Al-


Ilmiyah, 2017

Al-Syatibi, Ibrahim, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, Bairut: Daru Al-Kutub


Al-Ilmiyah, 2004

Muhammad Abu Zahra, Ushulul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Ibnu Qayyim, Muhammad, A‟lamul Muwaqqi‟in, Bairut: Darul Al-Kutub


Ilmiyah, 1991

Az-Zuhaili, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami. Bairut: Dar al-Fikri al-Muasir, 1986

Amir Abdul Aziz, Ushul Al-Fiqhi Al-Islami. (Darus Salam : 1997

Muhammad, Abu Abdillah. Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi). Dalam Kitab


Digital Al-Maktabah Asy-Syamilah

Ibnu Rajab, Syarh Al-Hadits Jami‟ul Ulum Wa Al-Hikam Juz. Kutubul Ummah
2001.

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Al-Jami‟ Ash-Shahih Al-Mukhtashar. Beirut:


Dar Ibn Katsir, 1987

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos, 1996

Djazuli, Ahmad. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana, 2011

Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih,

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang,


1993

19

Anda mungkin juga menyukai