Tidak cuma akidah dan ibadah, Islam juga menetapkan berbagai atauran dan kaidah-kaidah
dasar dalam mu’amalah.
Hal ini bertujuan agar seluruh aktivitas ekonomi tetap berjalan di atas rel kebenaran.
Sekaligus menjadi standard an pijakan dalam mengukur keabsahan aktivitas usaha dan
kehalalan hasil yang diperoleh.
Kaidah-kaidah dan aturan dasar tersebut sangat banyak jumlahnya. Ini terlihat dalam karya-
karya ulama. Namun berikut beberapa kaidah-kaidah tersebut;
Kaidah Pertama
Al-ashlu fi al-mu’amalaati al-ibahatu wa al-hillu hatta ya’tiya ad-daliilu ‘al at-tahriim
(Prinsip dasar segala aktivitas mu’amalah adalah halal dan boleh, hingga ada dalil
pengharamannya)
Kaidah ini, diakui sebagai pedoman hokum mu’amalah oleh jumhur ulama, dari kalangan
madzhab hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Ibnu Rajab Al-Hanbali ra berkata; “Ulama
telah berijma’ (sepakat) menerima kaidah ini sebagai dasar hokum.
Kaidah ini di dasarkan pada dalil umum yang menghalalkan transaksi jual beli, sewa
menyewa dan semacamnya. Dengan berpatokan padanya, maka ruang inovasi dan kreativitas
terbuka selebar-selabrnya. Dengannya, manusia dapat menyediakan segala sarana dan media
pemenuhan kebutuhan dan keinginan ekonomi .
Atas dasar kaidah ini juga, setiap orang yang melarang sebuah jenis atau model usaha, wajib
menjelaskan dalil pelarangannya secara rinci. Tidak sebatas menyebutkan alas an umum
tanpa mengurai dimana letak pelarangan dan mengapa alasan tersebut menjadi dasar
pengharaman.
Kaidah Kedua
Al-‘ibratu al-maqashid wa al-ma’ani la fi al-alfadzi wa al-mabani
(Status hukum sebuah praktik muamalah ditentukan oleh substansi akad, dan bukan
berdasarkan labeling atau bangunan kata)
Mayoritas ulama dalam semua aliran yurisprudensi (madzhab) Islam menjadikannya sebagai
dasar hokum, yakni Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’I dalam persoalan-persoalan tertentu.
Mereka berdalilkan sebuah hadits: “Sesungguhnya setiap aktivitas dan tindakan dinilai
berdasarkan motif pelaku (niat).” (HR. Bukhari)
Dalil lainnya dalah hadits: “Hasil tangkapan berupa hewan darat halal kalian makan
walaupun saat ihram, selagi bukan kalian menangkapnyaa atau ditangkap untuk kalian.” (HR.
An-Nasa’i)
Ibnul Qoyyim ra berkata; “Rasulullah SAW melarang seorang yang berihram memakan
tangkapan berupa hewan darat jika sejak awal diniatkan untuk konsumsi mereka, hal ini jadi
bukti kuat akan pengaruh motif (niat) terhadap hokum”.
Berdasarkan kaidah ini ini, setiap muslim diharapkan dapat terhindar dari berbagai jebakan
praktik mu’amalah apakah dengan labeling Islam atau syar’I maupun praktek pengelabuan
lainnya. Sebab, kreativitas, dan inovasi usaha terkadang melalaikan. Sebuah perkara haram
sering dipoles hingga tampak sebagai praktik bisnis Islami.
Betapa pun sebuah pelanggaran dihiasi dengan label Islami, namun ia tetap dianggap haram
dan tidak sah. Karena status hukum halal dan haram berkaitan erat dengan substansi akad dan
operasional usaha.
Sebagai contoh, kerjasama yang menggunakan instrument murabahah yang banyak digeluti
saat ini, mesti memenuhi standard an criteria murabahah Islami. Tanpa itu, maka kerjasama
tersebut dianggap illegal dan haram. Para pelaku transaksi tidak dapat berlindung di balik
nama murabahah sebagai salah satu bentuk bisnis Islami.
Contoh lain: Jika si A berkata kepada si B: “Saya hadiahkan motor saya kepada Anda dengan
syarat Anda serahkan uang sebesar 13 juta.” Hakikat transaksi tersebut adalah jual beli
sekalipun menggunakan lafadz hadiah. Konsekuensinya, transaksi tersebut harus memenuhi
semua syarat-syarat dan aturan jual beli agar dianggap sah dan legitimate menurut syariat
Islam.
Kaidah Ketiga
Al-Hukmu ‘ala asy-syai’ far’un ‘an tashwwurihi
(Penetapan hokum atas satu perkara merupakan gambaran akan pengetahuan tentangnya)
Kaidah ini bersifat anjuran moral dan sering dijadikan pedoman oleh para ulama, terutama
dalam menyikapi dan menentukan hokum terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang
muncul belakangan ini.
Berdasarkan kaidah ini, sebelum seseorang menetapkan status hokum atas sebuah perkara, ia
mesti mengetahui segala hal yang berkaitan dengan persoalan tersebut.
Sungguh keliru jika menjatuhkan vonis hokum berdasarkan asumsi atau pengetahuan yang
bersifat parsial. Hal ini berlaku untuk semua persoalan agama, baik terkait urusan akidah,
ibadah, terlebih mu’amalah yang seluk beluknya, corak dan kompleksifitasnya sangat tinggi.
Firman Allah SWT: “Dan janganlah kalian mengikuti (memutuskan) sesuatu, padahal kalian
tidak mengilmuinya, sesungguhnya pedengaran, penglihatan dan bisikan hati akan dimintai
pertanggung jawaban kela.” (Al-Israa: 36)
Kaidah ini juga dapat dimaknai, bahwa penetapan hokum oleh seseorang terhadap pesoalan-
persoalan agama atau selainnya, merupakan gambaran atas pengetahuan dan penguasaannya
terhadap persoalan tersebut.
Makin tinggi nilai kebenaran hukum yang ditetapkan pertanda makin luas dan tinggi
penguasaannya. Demikian pula sebaliknya, semakin jauh ketetapan hukumnya dari kebenaran
isyarat minimnya penguasaan dan pengetahuan.
Kaidah Keempat
Tahrimu ma ahallahullahu a’dzamu min tahliili ma harramahullahu
(Mengharamkan perkara halal lebih besar dosanya dibandingkan menghalalkan yang haram)
Maksudnya, kendati keduanya termasuk dosa besar, namun mengharamkan yang halal
dosanya lebih besar dari menghalalkan yang haram.
Kaidah yang merupakan dalil istiqraa’ (kesimpulan hokum berdasarkan nalarisasi sejumlah
dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah) ini patut direnungkan setiap muslim. Sebab, sebagian kaum
muslimin tanpa sadar terjebak dalam kekeliruan.
Mereka mudah memfatwakan haram terhadap aktivitas usaha dan bisnis, walau terkadang
dalil yang dugunakan belum dikaji lebih dalam. Utamanya kesesuaian antara objek fatwa
dengan pijakan fatwa.
Muhammad Ibnu Shalih Al-‘Utsaimin ra berkata: “Mengharamkan perkara halal dan
menghalalkan yang haram merupakan pelanggaran berat dalam Islam. Orang yang sekedar
bermodalkan semangat beragama yang tinggi, sering terjebak dalam mengharamkan perkara
halal. Sebaliknya, mereka yang cuek beragama lebih banyak menghalalkan yang haram.
Keduanya adalah sikap yang salah. Namun perlu diketahui, bahwa mengharamkan yang halal
dosanya lebih besar dibandingkan menghalalkan yang haram.”
Mengapa demikian? Karena, mengharamkan sesuatu yang halal berefek pada: (1) Hialangnya
kesempatan banyak orang menikmati karunia, rezeki dan rahmat Allah SWT secara sah, (2)
Ada unsur mempersempit dan mempersulit perkara agama yang mengakibatkan
kemudharatan bagi orang lain.
Lain halnya dengan menghalalkan sesuatu yang haram, Ia membuka ruang bagi orang lain
merasakan ciptaan Allah (kendati itu juga merupakan pelanggaran).
Di samping itu, (3) status halal merupakan hokum asal aktivitas mu’amalah. Sedangkan
status haram merupakan hukum “baru” yang disematkan pada satu perkara mu’amalah.
Prinsip hukum mengatakan bahwa hukum asal lebih kuat dari hukum baru. Olehnya itu,
diperlukan alasan kuat, jelas dan tegas dalam menetapkan hukum baru jika bertentangan
dengan hukum asal.
Frman Allah SWT: “Dan janganlah lisan kalian berdusta dan mudah menetapkan yang ini
halal dan yang itu haram, untuk memmbuat hukum baru atas nama Allah, sungguh setiap
orang berdusta tidak akan selamat.” (An-Nahl: 116)
Kaidah Lima
Al-hukumu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman
(sebuah ketetapan hukum sangat bergantung pada ada atau tidak adanya alasan yang
mendasarinya)
Kata ‘illat yang diartikan alasan hukum adalah segala factor yang menjadi pijakan dan dapat
mempengaruhi sebuah ketetapan hukum, baik berupa motiv, substansi atau selainnya.
Bentuknya pun bermacam-macam, terkadang berupa fisik, sifat, karakter, ata fungsi sesuatu.
Persoalan ‘Illat penting dipahami dengan baik. Sebab, cakupannya sangat luas dan
pengaruhnya begitu kuat terhadap hukum. Akan tetapi, terkadang ia tak Nampak jelas dan
menuntut kejadian dan ketelitian ekstra untuk menemukannya.
Berdasarkan kaidah ini, diketahui bahwa penetapan hukum tidak sebatas menyebutkan dalil.
Lebih dari itu, kenapa dalil tersebut dijadikan dasar penetapan hukum, dimana letak
pendalilannya, kenapa bukan dalil lain yang digunakan, dimana letak kesesuaian antara dalil
dan persoalan hukumnya dan bagaimana dalil itu menyanggah dalil lain, dan sebagainya.
Kaidah Keenam
(Ungkapan) hukum yang benar ditentukan oleh dua hal pokok yaitu, dalil yang shahih dan
penempatan (penggunaan) dalil secara proporsional. Dalam istilah penulis, teks arabnya;
Al-hukmu ash-shahiih manuthun ‘ala ad-daliil ash-shahih wa tauszifuhu ash-shahiih.
Persoalan-persoalan mikro Islam terutama terkait dengan mu’amalah, mengundang
perdebatan di kalangan fuqaha’. Silang pendapat sanggah menyanggah dalil dan alasan ramai
mengisi karya-karya mereka. Persisnya kitab-kitab fikih muqaran (perbandingan madzhab),
baik oleh ulama klasik maupun ulama kontemporer. Tidak jarang kita temukan, sebagian
pendapat mereka terhitung salah, lemah, kuat, dan paling kuat.
Merujuk pada perbedaan pendapat mereka, penulis menarik sebuah kesimpulan mendasar.
Bahwa sebuah hukum yang benar mesti memenuhi dua syarat utama, yaitu:
Pertama, al-adillah ash-ashahihah atau dalil yang dijadikan dasar harus shahih. Bukan
shahih dalam pengertian ulama hadits tapi menurut ulama ushul fikhi. Yakni segala dalil bisa
dijadikan dasar hukum.
Kedua, at-taudzhif atau tanzilu al-adillah. Maknanya penggunaan atau penempatan dana dalil
haruslah tepat dan proporsional.
Berdasarkan kedua syarat tersebut, setidaknya ada empat kemungkinan hukum yang dapat
terjadi, yaitu:
1. Dalil yang digunakan tidak sahih dan penggunaanya juga tidak tepat. Hasilnya hukum yang
dikeluarkan juga akan keliru.
2. Dalil yang digunakan tidak shahih namun penggunaannya tepat. Hasilnya, hukum yang
dikeluarkan juga keliru.
3. Dalil yang digunakan shahih namun penggunaannya tidak tepat. Hasilnya , hukum yang
dikeluarkan juga keliru.
4. Dalil yang digunakan shahih dan penggunaannya juga tepat. Maka hukum yang dihasilkan
akan benar.
Sampai kapan pun, persoalan-persoalan keagamaan akan terus tumbuh dan berkembang yang
terkadang tidak ditemukan pijakan hukumnya secara tekstual. Olehnya, ia
membutuhkan ijtihad (nalar hukum) dengan benar.
Karenanya, kedua syarat di atas perlu diperhatikan, utamanya para aktivis Islam, Kiyai,
Ustadz dan selainnya. Sebab, mereka adalah sandaran utama muslimin dan ketepatan hukum
yang mereka keluarkan memiliki pengaruh besar pada kualitas keagamaan masyarakat.
https://www.mitrawakaf.or.id/2017/12/26/kaidah-kaidah-fiqhi-muamalah/
Artinya : “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan
Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS Al Maidah(5) : 120 )7
Dari kedua ayat di atas menunjukkan bahwa hanya Allah-lah yang mutlak dan berhak
mengatur segala jenis harta yangada dalam kehidupan ini. Jadi bukan manusia yang menjadi
pemilik mutlak seperti pada sistem ekonomi kapitalis. Maka berkenaan dengan kepemilikan
harta ini, Allah telah memberikan aturan-aturan tentangnya, yakni :
a. Kepemilikan Perseorangan (al-Milkiyah al-Fardiyah)
Kepemilikan Individu adalah hak seseorang untuk memanfaatkan sesuatu harta. Harta ini
didapat dari usaha yang dijalankan yakni bekerja. Kepemilikan perseorangan adalah hukum
syariah yang berlaku pada barang baik zat (‘ayn) maupun manfaat, yang memungkinkan
seseorang untuk menggunakan barang tersebut atau mendapatkan kompensasi baik karena
barangnya diambil manfaatnya oleh orang lain. Hak kepemilikan perseorangan merupakan
hak syar’i bagi individu. Hak ini dijaga dan diatur oleh hukum islam. Perlindungan
kepemilikan perseorangan adalah kewajiban negara. Karena itu, hukum syara’ menetapkan
adanya sanksi-sanksi sebagai preventif (Pencegahan) bagi siapa saja yang menyalahgunakan
hak tersebut.
Hukum Syariah menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan sebagai
cara tertentu yang disahkan oleh
syariah untuk seseorang memiliki sesuatu. yakni :
1. Ihrazul Mubahat yaitu memiliki sesuatu harta yang belum dimiliki oleh orang lain seperti
mengambil air pada sumber mata air;
2. Khalafiah yaitu kepemilikan harta melalui pewarisan
3. Tawallud minal mamluk yaitu kepemilkan harta disebabkan oleh beranak pinak atau
penambahan harta tersebut, seperti anak sapi karena kepemilikan induknya;
4. Aqad yaitu kepemilikan harta disebabkan oleh terjadinya akad, contoh
melalui jual beli, pinjam meminjam dan lain sebagainya.
Sementara itu Islam melarang cara perolehan harta melalui usaha-usaha yang batil seperti
judi, pelacuran, korupsi dan perbuatan maksiat lainnya. Sebab kegiatan ini akan membawa
pada kehancuran dan kenistaan hidup manusia itu sendiri. Selain itu akan membawa pihak-
pihak lain yang tidak bersalah.
b. Kepemilikan umum (al-Milkiyah al-Fardiyah)
Pemilikan umum merupakan pemilikan harta atau sesuatu dimana setiap masyarakat secara
bersama memanfaatkannya, berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam
kehidupan sehari-hari seperti, air, api, padang rumput,sungai, jalan dan lain sebagainya.
Pengelolaan milik umum ini dilakukan hanya oleh negara untuk seluruh rakyat. Sebab jika
diserahkan secara mutlak kepada masyarakat, hal ini bisa mengakibatkan ketimpangan
anatara rakyat yang kuat dan rakyat yang lemah. Oleh karena itu upaya pemerintah untuk
mengelola kekayaan ini haruslah adil untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat semua.
c. Kepemilikian Negara.
Kepemilikan negara merupakan pemilikan sesuatu atau harta yang hak pemanfaatnya berada
di tangan seorang pemimpin sebagai kepala negara (pemerintahan). Harta ini misalnya harta
ghanimah, fa’I , khusus, kharaj, jizyah dan lain-lain. Harta milik negara ini digunakan untuk
berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara seperti mengaji pegawai, belanja negara
dan biaya-biaya kenegaraan lainnya.
Sebab-sebab Kepemilikan.
Memiliki harta tentu saja melalui proses, yakni berusaha dengan bekerja dimana harta akan
diperoleh dan diakui oleh masyarakat umum bahwa harta tersebut telah kita miliki, Untuk
memiliki harta banyak sebab dan aturan yang mengaturnya.
Menurut Ghufron A Mas’adi, bahwa sebab-sebab kepemilikan darta dalam Islam antara lain :
1. Ihraz al mubahat (penguasaan harta bebas), artinya penguasaan harta yang belum dikuasai
oleh orang lain.
2. Al Tawallud (anak pinak atau berkembang biak), artinya sesuatu yang dihasilkan dari
sesuatu yang lain.
3. Al Khalafiyah (Penggantian), yakni penggantian seseorang atau sesuatu yang baru
menempati posisi pemiliki yang lama.
4. Al Aqd, yakni pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan ketentuan syara’.
Menurut Taqyudin An-Nabhani sebab-sebab kepemilikan harta dalam Islam antara lain :
1. Bekerja, dengan cara menghidupkan tanah mati, manggali kandungan bumi, beerburu,
mekelar (samsarah), perseroan antara harta dan tenaga (muhlarabah), mengairi lahan
pertahian (masaqat) dan kontrak tenaga kerja (ijarah)
2. Warisan
3. Kebutuhan akan harta yang menyambung hidup, maksudnya bila seseorang tidak mampu
mendapatkan harta karena alasan syara’, maka ia mendapatkan harta untuk beertahan hidup
dari negara.
4. Pemberian harta negara kepada rakyat, artinya rakyat diberi harta oleh negara dari baitul
maal.
5. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta/tenaga, misal hibah, hadiah, barang temuan
dan lain-lainnya.
Kedua pendapat tersebut di atas menunjukkan persamaan bahwa pada prinsipnya individu
untuk memperoleh harta haruslah dengan cara bekerja, atau cara-cara yang lain yang
diperbolehkan syara’, jadi bukan menurut kehendak dan kemauan masing-masing individu.
Pendapat lain yakni Ibrahim Lubis menyatakan bahwa sebab-sebab manusia memperoleh
harta antara lain melalui cara :
1. Perdagangan
2. Pertanian
3. Perindustrian
4. Bangunan.
Bahkan dalam memiliki harta individu harus memiliki prinsip memberi lebih baik dari pada
menerima (yadul ‘ulya khairan min yadissulfa), hal ini mengisyaratkan tentang betapa
penting kerja keras mencari harta guna kebutuhan hidup individu.
Jadi dapat diambil pengertian, bahwa memiliki harta menurut Islam mengandung kewajiban-
kewajiban atau hak-hak untuk orang yang berhak menerimanya atau lebih terkenal dengan
istilah sadaqah.
file:///C:/Users/BAROK/Downloads/1281-37-4082-1-10-20190219.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/274429-time-value-of-money-dalam-perspektif-
huk-8eb85ec8.pdf