Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN HASIL BELAJAR

PERTEMUAN KE 6

Nama Shela Aprilia Pratiwi


NIM 190711637271
Pertemuan ke 6
Hari/Tanggal Senin, 15 Maret 2021
Materi Kuliah 1. Pengertian hukum menurut Islam; perbedaan antara hukum,
fiqih, dan syariah.
2. Tujuan hukum menurut Islam.
Sumber Pustaka 1. Nashr, A. S. 2018. Antara Fiqih dan Syariah. Rumah Fiqih
Publishing. Jakarta Selatan.
2. Shidiq, G. 2009. Teori Maqashid Al-Syari’ah. Sultan Agung.
Vol XLIV No. 118.
3. Sulistiani, L. S. 2018. Perbandingan Sumber Hukum Islam.
Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1 No.1.

Catatan Hasil Belajar:


1. Pengertian hukum menurut Islam; perbedaan antara hukum, fiqih, dan syariah.
Hukum merupakan seperangkat peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, dan
bersifat mengikat untuk seluruh anggotanya. Hukum menurut Islam ialah seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul yang mengatur tingkah laku manusia
(mukalaf) yang bersifat mengikat untuk semua yang beragama Islam. Hukum tersebut biasa
dikenal dengan Hukum Islam. Hukum Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia,
baik sebagai individu maupun anggota berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga seorang Muslim dapat melaksanakan ajaran
Islam secara utuh.
Pada dasarnya Hukum Islam merupakan hukum yang memiliki watak dan ciri khas
yang tidak berubah. Berikut merupakan watak dan ciri khas Hukum Islam:
 Takamul, yaitu sempurna, bulat dan tuntas serta komprehensif. Artinya Hukum Islam
membentuk umat dalam suatu kesatuan yang bulat meskipun umat Islam berbeda-beda
bangsa dan suku.
 Wasathiyah (moderat). Hukum Islam menjadi jalan tengah, artinya seimbang, tidak
terlalu berat ke kanan mementingkan kejiwaan dan tidak berat pula ke kiri mementingkan
kebendaan. Sehingga Hukum Islam mampu menyelaraskan antara kenyataan dan fakta
dengan ideal dan cita-cita.
 Harakah (bergerak, berkembang, dan dinamis). Hukum Islam mempunyai kemampuan
bergerak dan berkembang, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan zaman. Sehingga Islam dapat memberikan sejumlah hukum positif yang
digunakan untuk kepentingan manusia.
 Universal. Akidah dan hukum Islam tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau bangsa
tertentu saja, melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hukum Islam diturunkan oleh
Allah, untuk dijadikan sebagai pedoman hidup seluruh manusia yang bertujuan
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, hukum Islam itu berarti
bersifat universal yang berguna untuk seluruh umat manusia di muka bumi serta dapat
diberlakukan di setiap bangsa dan negara.
 Elastis dan Manusiawi. Hukum Islam berisi peraturan-peraturan yang diberlakukan
kepada setiap umat muslim. Peraturan-peraturan tersebut wajib dilaksanakan oleh setiap
umat muslim dan apabila melanggarnya maka berdosa. Meskipun jalurnya sudah jelas,
namun dalam keadaan tertentu Hukum Islam dapat elastis, luwes, dan manusiawi.
Sehingga terdapat adanya qiyas, ijtihad, istihsan, dan mashlahah mursalah, sebagai salah
satu jalan keluar dari kesempitan.

Adapun fiqih secara bahasa bermakna faham. Sedangkan dalam istilah syar’i, maka
dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap syariah. Namun perlu dipahami bahwa
pemahaman yang dimaksud bukanlah pemahaman semua orang, melainkan pemahaman dari
mujtahid melalui proses panjang dan melelahkan dengan mengerahkan segala kemampuan
serta keterampilan. Proses tersebut dikenal dengan ijtihad. Objek pembahasan fiqih telah
mengalami penyempitan hanya terbatas pada amaliyah saja. Inilah fiqih yang dikenal
sekarang.

Selanjutnya mengenai syariah. Syariah secara bahasa bermakna sumber air, jalan yang
lurus, hukum dan lain sebagainya. Sedangkan secara terminologi ulama, syariah bisa
diartikan sebagai agama Islam beserta semua ajaran-ajarannya yang Allah turunkan kepada
manusia melalui Nabi-Nya. Ajaran-ajaran tersebut meliputi i'tiqadiyah (tauhid), khuluqiyyah
(akhlak) dan amaliyah (aktivitas lahir) yang tertuang dalam Al Qur’an dan As. Sunnah.
Makna bahasa (etimologi) dan makna terminologi dari kata syariah memiliki korelasi.
Korelasi yang paling nampak adalah bahwa keduanya merupakan sumber kehidupan. Jika air
merupakan sumber kehidupan jasmani, maka syariah adalah sumber kehidupan rohani.

Dengan melihat pengertian fiqih dan syariah diatas, dapat simpulkan bahwa syariah
dengan fiqih itu berbeda. Sisi-sisi perbedaan tersebut dapat dihimpun dalam beberapa poin
sebagai berikut :
 Syariah Tidak Akan Pernah Salah
Syariah tidak akan pernah salah, dikarenakan syariah merupakan sesuatu yang
langsung diturunkan oleh Allah SWT, itulah Al Qur’an dan As Sunnah. Dimana
keduanya adalah wahyu. Sedangkan fiqih mengandung kemungkinan benar dan salah.
Karena fiqih adalah pemahaman manusia terhadap syariah.

 Syariah Lebih Umum dan Luas


Syariah lebih umum dan luas cakupannya dari pada fiqih. Syariah meliputi aqidah,
akhlak dan amaliyah. Sedangkan fiqih hanya mencakup sisi amaliyah saja.

 Syariah Mengikat Semua Manusia


Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia. Maka siapapun yang telah
melengkapi syarat-syarat taklif, maka wajib mengikuti aturan syariah. Baik berupa aturan
aqidah, akhlaq maupun ibadah. Sedangkan fiqih yang merupakan pemahaman para
mujtahid maka tidaklah mengikat.

 Syariah Bersifat Tetap dan Tidak Berubah


Syariah bersifat tetap dan tidak berubah. Sedangkan fiqih bisa berubah sesuai dengan
perubahan zaman, tempat, kondisi, dan lain-lain. Namun perlu diperhatikan, bahwa
perubahan fiqih karena adanya salah satu atau beberapa faktor yang hanya boleh terjadi
atas rekomendasi seorang mufti atau mujtahid.
Untuk memudahkan memahami perbedaan di atas, berikut terdapat satu contoh perbedaan
antara syariah dan fiqih dalam shalat. Shalat lima waktu hukumnya wajib maka termasuk
sebagai syariah. Jumlah rakaat dalam masing-masing shalat lima waktu tersebut juga syariah.
Hal tersebut karena dalam hukum shalat lima waktu tidak mengenal adanya madzhab-
madzhab. Semuanya sepakat bahwa shalat lima waktu hukumnya adalah fardhu. Karena
syariah, maka hal tersebut tidak akan pernah salah, mengikat semua umat muslim, dan tidak
akan pernah berubah. Begitupun dengan jumlah rakaat masing-masing shalatnya. Akan tetapi
ketika bila menelusuri lebih detail mengenai gerakan, bacaan shalat dan cara melakukannya,
maka akan ditemukan bahwa setiap gerakan dan bacaan shalat lima waktu itu berbeda sesuai
dengan perbedaan madzhab yang ada. Dimulai dari hukum niat shalat itu sendiri apakah
termasuk syarat atau rukun. Kemudian mengenai membaca basmalah sebelum al Fatihah dan
pembacaannya secara pelan atau keras. Turun sujud apakah lutut atau tangan terlebih dahulu.
Qunut dalam shalat subuh, apakah sunnah atau bukan? Dan lain sebagainya yang jumlahnya
jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan yang sudah disepakati. Hal-hal tersebut
semuanya adalah fiqih. Dan sesuai dengan karakternya, masing-masing mengandung
kemungkinan salah, sehingga diperbolehkan memilih yang menentramkan hati tanpa paksaan
dari siapapun, dan bisa jadi pilihan itu suatu saat berubah karena satu dan lain hal.

2. Tujuan hukum menurut Islam


Tujuan penetapan hukum atau sering dikenal dengan istilah Maqashid al-syari'ah
merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu
pentingnya sehingga para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai
sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori
maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat. Istilah yang sepadan dengan
inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam
Islam harus bermuara kepada maslahat.
Dalam kajian ushul fiqh, hikmah merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau
maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Maslahat
secara umum dapat dicapai melalui dua cara :
a. Memiliki manfaat, kebaikan dan kesenangan bagi manusia. Manfaat tersebut dapat
dirasakan secara langsung saat itu juga atau pada waktu yang akan datang (tidak
langsung).
b. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan. Adapun yang dijadikan tolak
ukur dalam menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang
dilakukan adalah kebutuhan dasar kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi
kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan
tersier.

Maqashid al-syari'ah berasal dari dua kata, yaitu maqashid dan syari'ah. Maqashid
merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari'ah
mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani
untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian,
maqashid al-syari'ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum atau
tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum. Tujuan dari manfaat hukum
tidak lain adalah untuk kepentingan manusia. Kajian mengenai teori maqashid al-syari'ah
dalam hukum Islam sangatlah penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
a. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Allah SWT dan diperuntukkan
bagi umat manusia. Oleh sebab itu, Hukum Islam akan selalu berhadapan dengan
perubahan sosial. Sehingga dalam posisi seperti itu, hukum Islam yang sumber utamanya
(Al-Qur'an dan sunnah) harus mampu beradaptasi dengan perubahan sosial. Namun bila
masih ditemukan ketidakcocokan maka perlu diadakan kajian terhadap berbagai elemen
hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-syari'ah.
b. Dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian terhadap maqashid al-syari'ah telah
dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya.
c. Pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam
ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum tersebut setiap persoalan dalam
bermuamalah antar sesama manusia dapat diatur. Selain itu, Abdul Wahhab Khallaf
(1968:198), seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu tidak
dapat dipahami secara benar bila oleh seseorang belum mengetahui maqashid al-syari'ah
(tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqih lainnya, yaitu
Wahbah al-Zuhaili (1986:1017), yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid
al-syari'ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami
nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui
rahasia-rahasia syari'ah.

Anda mungkin juga menyukai