Anda di halaman 1dari 5

Nama : Khelzi Novita Zakia

NIM : 23329012
Matkul : Ushul Fiqh

“Qiyas dan Mashlahah Al-Mursalah Sebagai Dalil Hukum Islam”

Pengertian
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah
dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahat, yang berarti
mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan (manfa‟ah) dan
menolak kerusakan (mafsadah) (Kholil, 1995). Karena pada hakikatnya syari‟at
diturunkan di dunia ini hanya untuk kemaslahatan manusia (innama unzilati
syari‟atu litahqiqi mashalihil anam) (Hadi, 2014). Menurut bahasa aslinya kata
maslahah berasal dari kata salaha, yasluhu, salahan, (‫ لح ص‬,‫ لح ص ي‬, ‫ )لحا ص‬artinya
sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat. Sedang kata mursalah artinya terlepas
bebas, tidak terikat dengan dalil agama (Sirat et al., 2016). (Alqur‟an dan al-Hadits)
yang membolehkan atau yang melarangnya.
Sedang mengenai definisinya menurut ulama ushul fiqh, qiyas berarti
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang
ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya
kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya (Abdul Wahab Khallaf,
2002:74).Para ulama Hanabilah berpendapat bahwaillat merupakan suatu sifat yang
berfungsi sebagai pengenalsuatu hukum. Sifat pengenal dalam rumusan definisi
tersebut menurut mereka sebagai suatu tanda atau indikasi keberadaan suatu
hukum. Misalnya, khamer itu diharamkan karena ada sifat memabukkan yang
terdapat dalam khamer.
Macam-macam Mashlahah
Macam-macam mashlahah dapat dibagi dari dua segi yaitu dari segi
kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum dan juga dari segi keserasian
dan kesejalanan anggapan baik oleh akal dengan tujuan syara‟. Dari dua segi
tersebut, dari segi kekuatannya sebagai hujjah terbagi tiga macam yaitu:
1. Mashlahah dharuriyah
Mashlahah dharuriyah yakni kemaslahatan yang keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Artinya, kehidupan manusia
tidak ada artinya bila satu dari lima prinsip pokok kehidupan manusia itu
tidak ada Lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia yaitu: agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Segala usaha yang secara langsung menjamin
keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik.
2. Mashlalah hajiyah
Mashlalah hajiyah,yakni kemaslahatan yang tingkat kebutuhan
hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Namun, jika
tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung
mengakibatkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak
lanngsung mengakibatkan perusakan.
3. Mashlahah Tahsiniyah
Mashlahah Tahsiniyah, yakni kebutuhan hidup manusia yang tidak
sampai pada tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat haji. Namun
perlu dipenuhi untuk memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup
manusia serta masih berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.

Dari segi pembuat hukum (syari‟) memperhatikan atau setidaknya,


mashlahah terbagi menjadi tiga, yaitu:
a) Mashlalah mu‟tabarah
Yakni mashlahah yang diperhitungkan oleh syari‟. Maksudnya, ada
petunjuk dari syari‟, baik langsung maupun tidak langsung yang memberi
petunjuk pada adanya mashlahah yang menjadi alasan menetapkan hukum.
Mashlahah mu‟tabarah terbagi menjadi dua, yaitu:
• Munasib mu‟atstsir
Yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari‟) yang
memerhatikan mashlahah tersebut. Maksudnya, ada petunjuk syara‟ dalam
bentuk nash atau ijma‟ yang menetapakan mashlahah tersebut dapat
dijadikan alasan dalam menetapkan hukum. Contoh, tidak baik mendekati
wanita yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit.
• Munasib mulaim
Yakni tidak ada petunjuk langsung dari syara‟ baik dalam bentuk
nash maupun ijma‟ tentang perhatian syara‟ terhadap mashlahah tersebut,
namun secara tidak langsung ada. Umpamanya:
- Bolehnya jama‟ sholat bagi orang yang muqim (penduduk setempat)
karena hujan.
- Menetapkan keadaan “dingin” menjadi alasan untuk halangan shalat
berjamaah.
b) Mashlahah al-Mulghah atau mashlahah yang ditolak, yakni mashlahah yang
dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara‟ dan ada
petunjuk syara‟ yang menolaknya. Maksudnya, akal menganggapnya baik
dan telah sejalan dengan tujuan syara‟, namun ternyata syara‟ menetapkan
hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh mashlahah itu.
Umpamanya, ada seorang raja atau orang kaya yang melakukan
pelanggaran hukum yaitu mencampuri isterinya di siang hari di bulan
Ramadhan.
• Mashlahah al-Mursalah
Yakni apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan
syara‟ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara‟ yang
memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara‟ yang menolaknya.
Jumhur ulama sepakat menggunakan mashlahah mu‟tabarah, sebagaimana
mereka juga sepakat menolak mashlahah al-mulghah.
Kehujjahan Mashlahah
Dalam kehujjahan mashlahah, di kalangan para ulama ushul memiliki
perbedaan pandapat, di antaranya :
• Mashlahah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil. Pendapat ini
menurut ulamaulama Syafi‟iyah, Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah
seperti Iibnu Haajib dan Ahli Tahir.
• Mashlahah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama Maliki
dan sebagian ulama Syafi‟i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh ulamaulama ushul.
• Imam al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah: “Sesungguhnya
berhujjah dengan mashlahah mursalah dilakukan semua mazhab, karena
mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan
lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat”.
Kaidah-Kaidah Mashlahah
Kaidah dalam bahasa Indonesia berarti patokan, dasar, rumusan yang
menjadi hukum.Dalam hukum islam mengenal dua kaidah yang sangat penting.
Yaitu, kaidah Ushul Fiqh dan kaidah Fiqh. Kaidah Ushul fiqh merupakan kaidah
yang bersifat umum. Sedangkan kaidah fiqh adalah kaidah yang bersifat khusus.
Kaidah yang sangat signifikan dalam kaitan mashlahah adalah kaidah fiqh
(qawa‟id fiqh). Kaidah tersebut ialah:
“Kemudaratan (harus) dihilangkan”.
Hal ini berlandaskan atas Q.S. Al Qhasas 77, Al A‟raf 55, Al Baqarah 195,
dan beberapa hadis nabi. Ini merupakan kaidah terpenting dalam masalah hukum
islam khususnya metode mashlahah.
Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara’
Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat
dijadikan dalil syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang
membolehkan mujtahid menetapkan hukum syara‟ di luar yang ditetapkan oleh
nash. Tentang perbedaan pendapat mengenai kedudukan qiyas, dikalangan ahli
fiqih terbagi menjadi tiga kelompok seperti berikut:
• Pertama, Kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas sebagai dasar hukum
pada hal-hal yang tidak jelas nashnya dalam Qur‟an, hadits, pendapat
sahabat dan ijma‟ ulama.
• Kedua, kelompok Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, kelompok ini menolak
qiyas secara penuh dan tidak mengakui illat nash, juga tidak berusaha
mengetahui sasaran dan tujuan nash.
• Ketiga, kelompok yang memperluas penggunaan qiyas, mereka berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara
keduanya.
Alasan ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas dapat dibagi lagi
kedalam dua kelompok yaitu kelompok yang menerima dan menolak menggunakan
qiyas, yang masingmasing mengemukakan dalil al Qur‟an, sunnah, ijma‟ ulama
atau sahabat dan dalil akal.
Dasar Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum
Keabsahan qiyas sebagai landasan hukum, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama ushul fiqh. Jumhur ulama ushul fiqh sepakat, bahwa qiyas dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam dan sekaligus sebagai dalil
hukum Islam yang bersifat praktis.
Rukun dan Syarat Qiyas
Para ahli Ushul yang mempergunakan qiyas sebagai dalil dalam
menetapkan ketika qiyas itu telah memenuhi rukunnya. Rukun qiyas ada empat:
• Ashlun, yaitu merupakan hukum pokok yang diambil persamaan atau
sesuatu yang ada nash hukumnya.
• Far‟un, yaitu merupakan hukum cabang yang dipersamakan atau sesuatu
yang tidak ada nash hukumnya.
• ‘Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar persamaan antara hukum cabang
dengan hukum pokok.
• Hukum, yaitu merupakan hasil dari qiyas tersebut. Lebih jelasnya biasa
dicontohkan bahwa Allah telah mengharamkan arak, karena merusak akal,
membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang
memabukkan dihukumi haram.
Macam-Macam Qiyas
Ulama ushul diantaranya al-Amidi dan asy-Syaukani, mengemukakan
bahwa qiyas terbagi kepada beberapa segi, antara lain :
a) Dilihat dari segi kekuatan `illat yang terdapat pada furu‟
• Qiyas aulawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum.
Dan hukum yang disamakan (cabang) mempunyai kekuatan hukum
yang lebih utama dari tempat menyamakannya (ashal). Misalnya,
berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “buset”,
atau kata -kata lain yang menyakitkan maka hukumnya haram.
• Qiyas musawi, yaitu qiyas yang `illat-nya mewajibkan adanya hukum
yang sama antara hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada
furu` (cabang).
• Qiyas adna, yaitu `illat yang ada pada far`u (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan `illat yang ada pada ashal.
b) Dilihat dari segi kejelasan `illat hukum
• hukum ashal, atau `illat-nya itu tidak ditegaskan oleh nash, tetapi dapat
dipastikan bahwa tidak ada pengaruh dari perbedaan antara ashal dan
furu`. Contohnya, dalam kasus dibolehkannya bagi musafir laki-laki dan
perempuan untuk mengqashar shalat ketika perjalanan, sekalipun
diantara keduanya terdapat perbedaan (kelamin).
• Qiyas khafy, yaitu qiyas yang `illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Contohnya mengqiyaskan pembunuhan dengan menggunakan benda
berat kepada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam
pemberlakuan hukum qiyas, karena `illat-nya sama-sama yaitu
pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja.

Anda mungkin juga menyukai