Kata syari’ah (syari’at) adalah bentuk mashdar (gerund) dari syara’a. Dalam bahasa
Indonesia kata syari’ah kadang-kadang diterjemahkan dengan undang-undang, peraturan
atau hukum bahkan diartikan juga dengan agama. Syari’ah menurut bahasa berarti sumber
air yang dituju atau (didatangi) untuk minum. TM. Hasbi Ash Shiddieqy mengemukakan
bahwa syari’ah asalnya bermakna jalan yang dilalui air terjun, kemudian kata syari’ah
berkembang menjadi jalan lurus.
Lanjutan.
Kata Syari’ah yang berarti jalan dapat ditemui dalam Alqur’an, Allah berfirman :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas syari’at (jalan yang lurus/peraturan) dari
urusan (agama) maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Jatsiyah:18).
Menurut istilah syari’at adalah aturan atau undang-undang Allah yang berisi tata cara
pengaturan perilaku hidup manusia dalam melakukan hubungan dengan Allah, sesama
manusia dan alam sekitarnya untuk mencapai keridhoan Allah yaitu keselamatan dunia
dan akherat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S asy-Syuro:13.
Asas-Asas Hukum Islam
Meminimalisir beban (taklif). Perintah dan larangan dalam hukum Islam tidak
memberatkan umat, sehingga perintah dan larangan tersebut dapat dijalankan tanpa
menimbulkan kesusahan dan penderitaan. Asas ini ditetapkan oleh Allah, dalam Alqur’an
disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu”. (Q.S. Al-
Maidah;101). Ayat ini menerangkan bahwa para sahabat tidak banyak bertanya di saat
wahyu sedang turun mengenai masalah-masalah yang belum diterangkan hukumnya,
sebab hal itu menyusahkan kamu sendiri. Kenyataan telah membuktikan bahwa alqur’an
yang berisi lebih dari 6324 ayat, hanya kurang dari 330 ayat saja yang berhubungan
dengan soal-soal hukum dan dari jumlah yang sedikit inipun hanya sebagiannya saja
berisi tuntutan.
Berangsur-angsur
Perubahan hukum (syari’at) hanya terjadi selama masa rasulullah, yakni pada fase
pembinaan dasar-dasar hukum yang lengkap, sehingga tidak lagi perubahan dan
pembatalan syari’at Islam, meskipun demikian –pembuat syari’at dalam hal ini Allah
SWT dan Rasulnya telah banyak menjelaskan bahwa penetapan suatu hukum berdasarkan
illatnya (alasan), sehingga hukum dapat juga berubah sesuai dengan perubahan
illatnya/alasannya.Perubahan yang dimaksud lebih pada sisi teknis pelaksanaan syari’at
bukan pada prinsipnya. Contohnya mengenai perubahan arah kiblat dari baitul maqdis ke
baitulloh yaitu ka’bah; esensi syari’atnya tetap yaitu menghadap kiblat, tapi praktek
menghadap kiblatnya yang diubah. Dalil tersebut terdapat dalam surat Al-baqoroh ayat
144.
Mewujudkan keadilan yang merata
Mewujudkan keadilan yang merata. Dalam Islam manusia mempunyai kedudukan yang
sama, tidak ada yang membedakan kecuali ketaqwaannya kepada Allah. Pelaksanaan
syari’at Islam tidak mengenal status sosial, antara orang kaya dan orang miskin, penguasa
dan rakyat biasa, semuanya berkedudukan yang sama dihadapan Allah, dan semua
manusia diperlakukan sama dalam hal keadilan. Menegakkan keadilan adalah ciri orang
yang bertakwa, sebagaimana firman Allah swt: Hai orang orang yang beriman hendaklah
kamu menjadi orang yang selalu menegakkan (kebenara) karena Allah, menjadi saksi
yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
(Q.S. al-maidah :8).
PERBEDAAN SYARIAH DAN FIKIH
Syari’at terdapat di dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis, sedang Fikih terdapat dalam
kitab-kitab Fikih. Kalau seseorang berbicara tentang syari’at, maka yang dimaksud adalah
Firman Allah dan Sunnah Nabi Muhammad, sedang bila berbicara tentang fikih, maka
yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at.
Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari pada fikih.
Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur
perbuatan manusia, yang biasanya disebut perbuatan hukum
Lanjutan.
Syari’at adalah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. Fikih adalah
karya manusia yang dapat berubah atau diubah dari masa ke masa, dapat berbeda dari satu
tempat dengan tempat yang lain.
Syari’at hanya satu, sedang fikih lebih dari satu, seperti yang terlihat pada aliran-aliran
hukum yang disebut mazhab-mazhab.
Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan adanya
keragaman dalam hukum Islam.
IBADAH
https://www.youtube.com/watch?v=hpkXKFC0bRI
Sebenarnya semua yang kita lakukan di dunia ini harus berlandaskan ibadah.
Ibadah punya pengertian mencakup ibadah mahdhoh (ritual) dan ibadah ghoiru mahdahoh
(social)
Ibadah mahdhoh lebih prinsip daripada ibadah ghoiru mahdhoh.
Ibadah ghoiru mahdhoh lebih luas daripada ibadah mahdhoh.
Keduanya saling berkaitan dan tidak bias dipisahkan. Coba teliti surat al-Mukminun 1-9
MUAMALAH
Muamalah adalh hubungan antar sesame manusia, istilah alquran untuk ini adalah hablum
minan nas.
Muamalah adalah tuntunan hidup manusia sebagai makhluk psiko fisik yang berada di
tengan manusia lainnya.
Muamalah merangkum seluruh dimensi social manusia seperti aturan pernikahan,
warisan, ekonomi, pidana dan sebagainya yg menyangkut hokum dalam hubungan antar
manusia.
RUANG LINGKUP MUAMALAH
HUKUM KELUARGA
HUKUM PERDATA
HUKUM PIDANA
HUKUM ACARA
HUKUM PERUNDANG UNDANGAN
HUKUM KENEGARAAN
HUKUM EKONOMI DAN KEUANGAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Hubungan intern ummat Islam. Umat Islam itu adalah saudara, bagaikan satu bangunan.
Jika satu sakit, yang lain ikut sakit.
Hubungan antar umat beragama.Islam tidak melarang kaum muslimin untuk berhubungan
dengan non muslim.
MAZHAB DALAM ISLAM
Mazhab-mazhab tersebut lahir antara lain karena adanya perbedaan diantara mereka
dalam memegang prinsip hukum, sistim hukum, metode pengkajian, dan pendekatan
dalam memahami ajaran keagamaan yang terangkum dalam Alqur’an dan As-sunnah
(hadits), yang tidak bersifat absolut atau zanni, yang merupakan lapangan ijtihad, dan
dalam hal-hal yang bersifat furuiyah (cabang) bukan dasar Islam. Perbedaan tersebut
dapat diterima sebagai sesuatu yang benar dan tidak keluar dalam riil agama Islam.
Meskipun kadang-kadang perbedaan tersebut sangat sengit dan bahkan bertentangan sama
sekalli, asal fondasinya semata-mata mencari kebenaran, hal itu tidak menjadi masalah
Perbedaan pendapat dari para ulama sebagai berikut:
Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Imam Nu’man bin Tsabit dan bergelar Abu Hanifah.
Ia dilahirkan pada tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H. Ia berasal dari
Kufah (Irak). Di sana pula beliau belajar dan mulai menyusun mazhabnya. Dasar-dasar
mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istihsan. Berkata Imam
Syafi’i tentang beliau, “Semua manusia dalam ilmu fikih pasti membutuhkan Abu
Hanifah.”. Dalam mengembangkan intelektualnya di bidang hukum Islam, Ia berguru
pada Imam Hammad bin Abu Sulaiman (W,120 H) selama 18 tahun.
Lanjutan.
Pemikiran Hanafi cenderung rasional. Hal ini karena di kuffah problem sosial (hukum)
sangat kompleks, sementara hadits Nabi jarang dijumpai di kota ini, sehingga dalam
memecahkan persoalan masyarakat mereka menggunakan pendekatan rasional atau nalar
seperti qiyas dan istihsan
Dalam mazhab ini penggunaan nalar/rasio lebih dominan dalam proses pengambilan
hukum Islam dari pada penggunaan al-Hadits. Hal ini karena di Iraq banyak terjadi
pemalsuan hadits yang terjadi karena pertikaian beberapa aliran teologi seperti syiah,
khawarij yang masing-masing banyak memalsukan hadits untuk membenarkan pendapat
masing-masing. Hanafi sendiri juga menegaskan akan keharusan nash (Al-Hadits) tunduk
pada analisis rasional yang tercermin dalam ucapannya; “seandainya Rasulullah berjumpa
denganku, Beliau akan mengambil banyak dari pendapatku, bukankah agama itu ra’yu
yang baik”
Maliki
Mazhab ini didirikan oleh Malik bin Anas Al Ashbahi. Ia dilahirkan pada tahun 93 H dan
wafat pada bulan Safar 170 H. Beliau berasal dan belajar di Madinah. Di Madinah pula
beliau menulis kitab Al Muwaththa’. Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As
Sunnah, Ijma’, Qiyas, perbuatan ulama Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddu
dzarai, mura’ah al khilaf, istishab, mashalih mursalah dan syariat terdahulu. Berkata
Imam Syafi’i tentang beliau, “Malik adalah guruku, darinya aku mandapatkan ilmu. Ia
adalah hujjah antara aku dan Allah SWT. Tak seorangpun yang lebih kupercayai
daripada beliau. Jika berbicara tentang para ulama, beliau seperti bintang yang
cahayanya paling terang.”
Lanjutan.
Dalam proses pengambilan hukum Maliki lebih cenderung literal. Hal itu karena Al-
Hadits begitu banyak bertebaran di Madinah, sehingga dalam memecahkan persoalan
sosial (hukum), tidak memerlukan jawaban di luar Al-Hadits yang sudah ada, karena
semua hampir peristiwa hukum terdapat kesamaannya dengan peristiwa yang dialami
masa sahabat.
Disamping itu Imam Malik sangat teguh memegang tradisi penduduk Madinah, karena ia
menilai bahwa tradisi penduduk Madinah adalah warisan tradisi Nabi, dan bahkan ia tidak
menerima ijma’ kecuali yang diambil oleh penduduk Madinah yang dinilainya sah
keberlakuannya
Syafii
Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Idris As Syafi’i Al Hasyimi. Ia dilahirkan pada
tahun 150 H di Palestina dan wafat pada tahun 204 H di Mesir.
Corak pemikiran Syafi’i cenderung moderat, konvergensi, yaitu berusaha
mempertemukan antara tradisi tekstual dan rasional. Dalam menerima dua corak
pemikiran tersebut ia bersikap kritis, selektif, sehingga bisa menarik suatu wawasan baru.
Hal itu karena di masa kehidupan Syafi’i, ilmu pengetahuan dan budaya mencapai
kemajuan pesat dengan berdirinya bait Al Hikmah oleh Khalifah Makmun
Lanjutan.
Mazhab ini didirikan oleh Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani atau Imam Ahmad (164 – 241
H). Ia lahir dan wafat di Baghdad.
Dasar dari mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, perkataan sahabat, Ijma’, Qiyas,
Istishab, Mashalih mursalah, dan Adz Dzarai’. Beliau mengarang kitab Al Musnad
mengenai hadist dan berisi sekitar 45. 000 hadist. Reputasinya sebagai ahli hadits dan
teologi lebih besar dari pada ahli hukum, ia sama sekali tidak menerima hasil pemikiran
manusia.
Contoh perbedaan mazhab.
Contoh perbedaan furu’ lainnya adalah hanya diberikan sebagai contoh karena sangat banyaknya.
Beberapa diantaranya adalah:
Fardhu wudhu. Imam syafi’i berpendapat ada tujuh yaitu: membasuh lima anggota wudhu, niat dan
tertib, (memulai dengan urutan sebagaimana dalam Al-qur’an surat Al-maidah: 6. Imam ahmad
menambahkan niat, tartib dan muwalah (bersambung tidak ada jeda waktu), sedang Imam ahmad
menambahkan niat, muwalah dan tadlik (menggosok).
Shalat qoshor. Menurut imam Abu Hanifah hukumnya fardhu ‘ain, menurut Imam Malik hukumnya
sunnah muakkadah, menurut Imam Ahmad, sunnah, sedang menurut imam Syafi’I sunnah, jika lebih
dari tiga hari.
Shalat jama’, menurut Imam Abu hanifah hanya boleh di Arafah dan Muzdalifah. Menurut Imam
Malik boleh dalam berpergian walaupun dekat dalam kondisi kuatir. Menurut Imam Sya fi’i boleh
dalam bepergian, dan hujan. Menurut Imam Ahmad boleh dalam bepergian, sakit menyusui, tua dan
takut melarat.