Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH AGAMA

SYARI’AH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama

DOSEN PENGAMPU: Dr. H. Rusyja Rustam, M. Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 10

1. M. Hegel irfansyach 2210422024


2. Dimas Rizky Ananda 2210343030
3. Mu’awiya Alty 2210112230
4. Cinta Ghaniyyah Bond 2210422028
5. Anisa Amara 2210113015
6. Melati Ramadhani 2210421004
7. Nur Laila Indah Sari Siregar 2210611043

KELAS MKWU AGAMA


UNIVERSITAS ANDALAS 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul“SYARI’AH” ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Dr. H. Rusyja Rustam, M. Ag. selaku Dosen Agama. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Rusyja Rustam, M. Ag. selaku
dosen pengampu mata kuliah ini yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari makalah
ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami menantikan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 5 November 2022

Penulis (Kelompok 10)


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir,
mempunyaikeunikan tersendiri. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau
komprehensif, tetapi juga universal. Karakter istimewa ini diperlukan sebab tidak
akan ada syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya. Komprehensif berarti
syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalat.
Syariah berisi peraturan dan perundang-undangan yang mengatur aktivitas
yang seharusnya dikerjakan manusia. Syariah adalah sistem nilai yang merupakan inti
ajaran Islam. Syariah atau sistem nilai Islam ditetapkan oleh Allah sendiri. Dalam
kaitan ini Allah disebut Syaari’ atau pencipta hukum.
Disamping itu ada syariah yang mengatur hubungan manusia secara
horizontal, yakni hubungan sesama manusia dan makhluk lainnya yang disebut
mu’amalah. Adanya subsistem mu’amalah ini membuktikan bahwa Islam tidak
meninggalkan urusan dunia, bahkan tidak pula melakukan pemisahan antara persoalan
dunia dan akhirat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Syariah?
2. Apa perbedaan Syariah dengah Fiqh?
3. Apa saja prinsip umum Syariah Islam?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syari’ah

Secara etimologis, syari’ah berarti “jalan”, “aturan”, “hukum”. Ketiganya berkonotasi


positif , yakni “jalan” yang baik, “aturan” yang menenteramkan, dan “hukum” yang
melindungi. Dari pengertian secara etimologis ini, muncul pengertian secara terminologis
bahwa syari’ah adalah jalan, aturan, dan hukum yang diciptakan Allah SWT yang harus
ditegakkan oleh manusia. Didalam Lisanul Arab, kata syari’ah bermakna sumber mata air
yang dijadikan tempat untuk minum. 

Dalam sumber lain ada juga yang mengatakan bahwa pengertian syari’ah secara
etimologis adalah “jalan yang harus diikuti”. Syari’ah juga bisa dikatakan sebagai segala titah
Allah SWT yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar tentang akhlak, apa-apa
yang berhubungan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak
mencakup kepada halal dan haram.

Pengertian syari’ah menurut para ulama, yaitu:

1. Qatadah
Syari’ah adalah segala hal yang menyangkut kewajiban, had, perintah, dan
larangan. Tidak termasuk akidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam
agama.
2. Mahmud Syaltut
Syari’ah adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah SWT
bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan
hubungannya dengan sesama manusia.
3. Farouk Abu Zeid
Syari’ah adalah apa-apa yang ditetapkan Allah SWT melalui lisan Nabi-Nya.
Syari’ah islam adalah hukum dan aturan islam yang mengatur seluruh sendi
kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim. Selain berisi
hukum dan aturan, Syari’ah islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh
kehidupan manusia. Maka oleh sebahagian penganut islam, syari’ah islam
merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup
manusia dan kehidupan dunia ini.
4. Abdul Wahab Khallaf
Titah Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik
berupa tuntutan (untuk melaksanakan atau meninggalkan), pilihan, maupun
berupa wadh`i (syarat, sebab, halangan, sah, batal, dan rukhshah).

B. Perbedaan Syari’ah dengan Fiqih


1. Ruang Lingkup Syari’ah

Dari segi ruang lingkup, ternyata syariah lebih luas dari ruang lingkup fiqih.
Karena syari’ah mencakup masalah akidah, akhlaq, ibadah, muamalah, dan segala
hal yang terkait dengan ketentuan Allah SWT kepada hambanya. Sedangkan
ruang lingkup fiqih terbatas masalah teknis hukum yang bersifat amaliyah atau
praktis saja, seperti hukum-hukum tentang najis, hadats, wudhu’, mandi janabah,
tayammum, istinja’, shalat, zakat, puasa, jual-beli, sewa, gadai, kehalalan
makanan dan seterusnya. Objek pembahasan fiqih berhenti ketika kita bicara
tentang hal-hal yang menyangkut aqidah, seperti kajian tentang sifat-sifat Allah,
sifat para nabi, malaikat, atau hari qiyamat, surga dan neraka. Objek pembahasan
fiqih juga keluar dari wilayah hati serta perasaan seorang manusia, seperti rasa
rindu, cinta dan takut kepada Allah. Termasuk juga rasa untuk berbaik sangka,
tawakkal dan menghamba kepada-Nya dan seterusnya. Objek pembahasan fiqih
juga keluar dari pembahasan tentang akhlak mulia atau sebaliknya. Fiqih tidak
membicarakan hal-hal yang terkait dengan menjaga diri dari sifat sombong, riya’,
ingin dipuji, membanggakan diri, hasad, dengki, iri hati, atau ujub. Sedangkan
syari’ah, termasuk didalamnya semua objek pembahasan dalam ilmu fiqih itu,
plus dengan semua hal diatas, yaitu masalah aqidah, akhlak dan juga hukum-
hukum fiqih.

2. Syari’ah bersifat universal

Syari’ah adalah ketentuan Allah SWT yang bersifat universal, bukan hanya
berlaku buat suatu tempat dan masa yang terbatas, tetapi menembus ruang dan
waktu. Kita menyebut ketentuan dan peraturan dari Allah SWT kepada Bani Israil
di masa nabi-nabi terdahulu sebagai syari’ah, dan tidak kita sebut dengan istilah
fiqih. Misalnya ketika mereka melanggar aturan yang tidak membolehkan mereka
mencari ikan di hari Sabtu. Aturan itu di dalam Al-Quran disebut dengan istilah
syurra’a (‫ ) ُشرَّع‬yang akar katanya sama dengan syariah.

ً ‫ت ِإ ْذ تَْأتِي ِه ْم ِحيتَانُهُ ْم يَوْ َم َس ْبتِ ِه ْم ُشرَّعا‬


ِ ‫اض َرةَ ْالبَحْ ِر ِإ ْذ يَ ْع ُدونَ فِي ال َّس ْب‬ ْ ‫واَ ْسَأ ْلهُ ْم َع ِن ْالقَرْ يَ ِة الَّتِي َكان‬
ِ ‫َت َح‬

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut
ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu. (QS. Al-A’raf : 163)

Didalam ayat yang lain juga disebutkan istilah syari’ah dengan pengertian bahwa
Allah SWT menetapkan suatu aturan dan ketentuan kepada para nabi di masa lalu.

َّ ‫َش َر َع لَ ُكم ِّمنَ الدِّي ِن َما َوصَّى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي َأوْ َح ْينَا ِإلَ ْيكَ َو َما َو‬
‫ص ْينَا بِ ِه ِإ ْب َرا ِهي َم َو ُمو َسى َو ِعي َسى‬
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. (QS. As-Syura : 13)

Karena itulah maka salah satu istilah dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan dalil
syar’u man qablana, bukan fiqhu man qablana. Apa yang Allah SWT berlakukan
buat umat terdahulu disebut sebagai syari’ah, tetapi tidak disebut dengan istilah
fiqih. Semua ini menunjukkan bahwa syari’ah lebih universal dibandingkan
dengan fiqih.

3. Fiqih adalah apa yang dipahami

Perbedaan yang juga sangat prinsipil antara fiqih dan syari’ah, adalah bahwa fiqih
itu merupakan apa yang dipahami oleh mujtahid atas dalil-dalil samawi dan
bagaimana hukumnya ketika diterapkan pada realitas kehidupan, pada suatu
zaman dan tempat. Jadi pada hakikatnya, fiqih itu adalah hasil dari sebuah ijtihad,
tentunya yang telah lulus dari penyimpangan kaidah-kaidah dalam berijtihad, atas
suatu urusan dan perkara. Sehingga sangat dimungkin hasil ijithad itu berbeda
antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya. Sedangkan syari’ah lebih sering
dipahami sebagai hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam
kehidupan ini. Pembicaraan tentang syari’ah belum menyentuh wilayah perbedaan
pendapat dan pemahaman dari para ahli fiqih.

Dari penjelasan mengenai perbedaan syari’ah dan fiqih diatas dapat kita ambil contoh
sederhana. Kewajiban shalat itu merupakan syari’ah. Siapapun, di manapun, dan kapanpun,
seseorang wajib melaksanakan shalat, tetapi untuk persoalan apa baju yang dipakai saat
shalat, apa saja bacaannya, dan lain-lain, hal itu merupakan bahasan fiqih yang tentu saja ada
berbagai macam perbedaan pendapat.

C. Prinsip Umum Syari’ah Islam

Syariat Islam yang diberlakukan oleh Allah kepada manusia, memiliki


beberapa tujuan utama guna menjaga dan menarik kemaslahatan serta menolak dan
mengantisipasi timbulnya berbagai kerusakan pada lima hal pokok yang menjadi
sendi-sendi kehidupan seorang Muslim atau Muslimah yaitu:
1. Menjaga Jiwa (Hifzhun Nafsi)
Kedudukan jiwa dalam agama mendapat perhatian yang sangat besar dan vital untuk
dijaga dan dipelihara kelangsungannya serta mencegah segala hal yang dapat
mengancam atau menghilangkan jiwa/nyawa seseorang. Bahkan untuk kepentingan
ini, syariat membolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang pada saat seseorang
mengalami kondisi darurat; seperti orang yang tersesat di hutan dan menderita
kelaparan yang parah, namun ia tidak menjumpai makanan apapun selain bangkai.
Maka dibolehkan baginya memakan daging bangkai tersebut sekedar menjaga
nyawanya agar tidak melayang, sehingga tidak boleh berlebih-lebihan hingga
kenyang. Begitu juga saat seseorang merasakan sangat haus yang mencekik
kerongkongannya, tapi tidak didapati minuman apapun selain khamr (minuman
keras). Sementara jika khamar itu tidak segera diminum, berakibat nyawanya akan
hilang. Maka diperbolehkan baginya minum khamar itu sekedar menghilangkan
dahaganya. Jadi walaupun kondisi darurat itu dapat memperbolehkan sesuatu yang
semula diharamkan, namun dalam penerapannya tidak boleh berlebihan alias sekedar
mengisi perut yang sangat kelaparan atau membasahi kerongkongan yang sangat
kehausan.
2. Menjaga Akal (Hifzhul Aqli)
Akal adalah nikmat terbesar setelah nikmat kehidupan (nyawa). Dengan akal itulah
seseorang dapat memisahkan antara yang haq dan bathil, dapat memilah dan memilih
mana yang baik (maslahat) dan bermanfaat serta mana yang merusak (mafsadat) dan
merugikan (madharat). Dengan akal, manusia bisa terbang melebihi kecepatan burung
dengan diciptakannya pesawat terbang, mengalahkan singa, beruang, buaya, hiu, paus
dan lain sebagainya yang kekuatannya dan ukuran tubuhnya jauh lebih besar daripada
manusia. Bahkan luar angkasa pun bisa ditembus dan perut bumi bisa dieksploitasi
kandungannya untuk kepentingan manusia secara luas. Akal ini pula yang dapat
mengantarkan manusia menemukan kebenaran, serta menjemput hidayah. Karena itu
eksistensi akal harus senantiasa dijaga dan dirawat kemaslahatannya. Untuk tujuan
inilah, maka syariat mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu, menganjurkan
untuk banyak berpikir bagi kebaikan diri, keluarga, agama, bangsa dan negara. Selain
itu melarang mereka dari konsumsi narkoba, minum-minuman memabukkan
(khamar), menonton film porno, banyak main game dan semacamnya, karena dapat
merusak otak manusia.
3. Menjaga Agama (Hifzhud Diin)
Agama sebagai penuntun hidup manusia agar teratur, tertib, seimbang lahir dan batin,
serta mengarahkan manusia agar hidup bahagia, selamat dan mulia dunia dan
akhiratnya. Karena itulah Syariat menetapkan berbagai tuntunan untuk menjaga,
merawat dan mempertahankan eksistensi agama, seperti menegakkan sholat lima
waktu sebagai tiangnya agama, berjihad melawan penjajah yang dapat
membahayakan kelangsungan agama, menyebarkan dakwah Islam baik dengan lisan
(dakwah bil lisan), tulisan (dakwah bil kitabah), maupun aksi-aksi sosial (dakwah bil
hal). Selain itu juga syariat melarang berbuat syirik (musyrik), kufur (kafir), nifaq
(munafiq), keluar dari Islam (murtad), kawin dengan non muslim, di mana semua itu
dapat menggerogoti bahkan bisa meruntuhkan ketahanan agama seorang Muslim/ah.
Juga tidak boleh menghina Tuhan dan agama lain, karena sama saja dengan menghina
Tuhan dan agama Islam itu sendiri.
4. Menjaga Keturunan (Hifzhun Nasli)
Keturunan ibarat separuh jiwa keberlangsungan hidup manusia yang diberi anugerah
berupa naluri seksual. Dengan berketurunan, manusia akan dapat melanjutkan tugas
kekhalifahannya untuk memakmurkan bumi dengan berbagai hal yang bermanfaat
bagi sesama sesuai dengan tuntunan ilahiyah. Maka menjaga keturunan menjadi
perhatian penting dalam Syariat Islam agar tercipta harmonisasi kehidupan sosial
mulai dari lingkungan rumah tangga, komunitas masyarakat hingga tatanan bangsa
yang mendukung ketahanan sebuah negara. Untuk tujuan itu, maka Islam mengatur
sistem pemeliharaan keturunan berupa disyariatkannya pernikahan agar naluri seksual
dapat tersalurkan secara sah dan halal, serta reproduksi manusia dapat terjaga
kemaslahatannya dengan melahirkan keturunan yang baik (saleh-salehah). Begitu
pula Islam melarang perzinaan dan penyimpangan seksual lainnya yang dapat
merusak kemaslahatan keturunan serta mencegah penyebaran penyakit kelamin akibat
penyimpangan seksual. Jika tidak dicegah, maka tentu saja akan mengganggu
kesehatan dan kenyamanan hidup bermasyarakat. Selain itu juga ditetapkannya
pelarangan aborsi, vasektomi dan tubektomi tanpa alasan yang dibenarkan,
disebabkan perbuatan-perbuatan tersebut terkategori upaya pemutusan keturunan.
5. Menjaga Harta (Hifzhun Maal)
Harta merupakan wasilah (perantara) tercapainya berbagai keinginan, hidup bahagia
(meski sifatnya relatif), juga bisa mendukung pelaksanaan ibadah. Dengan harta orang
bisa membeli pakaian untuk menutup aurat-yang notabene salah satu syarat sahnya
sholat, digunakan untuk bersedekah, berzakat, wakaf, hibah, berhaji, mendukung
kesuksesan acara-acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan lain sebagainya.
Karena itulah harta harus dilindungi eksistensinya karena bisa mendukung tegaknya
atau suksesnya perjuangan agama. Terkait manfaat harta yang sangat besar ini, maka
syariat mewajibkan umat Islam untuk mencarinya dengan cara yang halal, bahkan
menggolongkan pencarian nafkah halal itu sebagai bentuk jihad, yang bila mati saat
mencari nafkahnya, maka matinya termasuk mati syahid. Kemudian setelah
harta/uang itu diperoleh, hendaklah di-tasharufkan (digunakan) untuk memenuhi
kepentingan pokok seperti sandang, pangan, papan, serta kebutuhan lain yang
statusnya halal. Juga tidak lupa untuk berbagi kepada sesama lewat sedekah, zakat,
infaq, sedekah, yang bermanfaat untuk melindungi harta dari kejahatan dan musibah
sekaligus melipatgandakannya. Selain itu tidak diperkenankan pula harta tersebut
dipakai secara berlebih-lebihan atau untuk sesuatu yang sia-sia seperti berfoya-foya,
merusak barang sendiri dan semacamnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga dapat terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai