Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

USHUL FIQH

Disusun oleh :

Nama : Rimalia Anggraini

Nim : 1611210236

Kelas : I.G / PAI

Dosen Mata Kuliah : Ernawati, M.Pd

PRODI PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
IAIN BENGKULU
2016/2017

i
ii
i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih
adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas.
Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-
dali, seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari  hadits ahad dan
mendahulukan nash dari zhahir.
Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam
sejak zaman Rasulullah SAW. sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh
sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha
SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia
muncul suatu kasus, Rasulullah SAW.
Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.
Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut
melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan syari’ah, fiqih, dan hukum Islam?
2. Apa pengertian dari fiqih, tujuan dan kegunaannya?
3. Bagaimana sejarah perkembangan fiqih?
4. Apa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi syari’ah, fiqih dan hukum Islam
2. Mengetahui definisi ilmu fiqih, tujuan dan kegunaannya
3. Mengetahui sejarah perkembangan fiqih
4. Mengetahui pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syari’ah, Fiqih dan Hukum Islam


1. Pengertian syari’ah
Secara etimologis (lughawi) syariah berarti “jalan ketempat
pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”.
Arti terakhir ini digunakan orang Arab samapai sekarang. Kata syariah
muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti pada surat al-Maidah (5) :
48, asy-Syura (42) : 13, dan al-Jatsiyah (45) : 18, yang mengandung arti
“jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”.
Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut
syariah, dalam artian lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam
kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam dengan jalan air adalah dari
segi bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan mengalir dan bersih
jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-
tumbuhan dan hewan sebagaimana dia menjadikan syariah sebagai penyebab
kehidupan jiwa insani.
Menurut para ahli, definisi syariah adalah : “Segala tihta Allah yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak”.
Dengan demikian, “syariah” itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah. Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama”
sebagaimana yang telah disinggung Allah dalam surat ayy-Syura (42) : 13,
namun kemudian di khususkan penggunaannya untuk hukum amaliah.
Pengkhususan ini dimaksudkan karena pada dasarnya adalah satu dab
berlaku secara universal, sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing
umat yang berbeda denagn umat sebelumnya. Dengan demikian, kata
“syariah” lebih khusus dari agama. Syariah adalah hukum amaliah yang
berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang

2
datang kemudian mengoreksi yang bdatang lebih dahulu. Sedangkan dasar
agama, yaitu akidah/tauhid, tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan
lainnya.
Di antara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata
“syariah” itu dengan : “Apa yang bersangkutan dengan peradilan serta
pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan
haram”. Qatadah, menurut yang diriwayatkan al-thabari , menggunakan kata
“syariah” kepada hal yang menyangkut kewajiban, had, perintah dan
larangan, tidak termasuk didalamnya akidah, hikmah, dan ibarat yang
tercakup dalam agama.
Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-
aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti dalam
hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia”. Dr.
Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah adalah : “apa-apa yang
ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat hukum yang
menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.
2. Pengertian Fiqih
Fiqh secara etismologi, berarti : mengerti, dan memahami,
pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Arti
kata al-fiqh adalah paham yang mendalam. Salah satu bidang ilmu dala
syariat Islam yanag secara khusus membahas persoalan hukum yang
mengatu beberapa aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan penciptanya.1
Ada beberapa definisi fiqh yang dikemukakan ulama fiqh sesuai
dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya, Imam Abu Hanifah
mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan diri seseorang tentang apa yang
menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Definisi ini meliputi
semua aspek keidupan, yaitu aqidah, syariat dan akhlak.

1
Dr.Mardani : Ushul Fiqh (Jakarta,Raja Wali Pers:2013).Hlm.4

3
Fiqh di zamannya dan di zaman sebelumnya masih dipahami secara
luas, mencakup bidang ibadah, muamalah dan akhlak. Dalam perkembangan
selanjutnya, sesuai dengan pembidangan ilmu tentang hukum syara’ yang
bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang teperinci. Definisi tersebut
dikemukakan oleh Imam al-Amidi, dan merupakan definisi fiqh yang
populer hingga sekarang. Ulama ushul fiqh menguraikan kandungan definisi
ini sebagai berikut :
a. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah
dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha
menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan (memilih
yang lebih baik/lebih kuat), istishab (penetapan hukum yang berlaku
sebelumnya), istislah, dan sadd az-Zari’ah (larangan terhadap syara’
yang dapat mendatangkan perbuatan yang dilarang).
b. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar’iyyah yaitu Kalamullah/kitabullah
yang bekaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah
utnuk berbuat,larangan, pilihan, maupun yang lainnya. Karenanya, fiqh
diambil dari sumberr-sumber syari’at, bukan dari akal atau perasaan.
c. Fiqh diperoleh melalui dalil yang tafsili (terperinci), yaitu dari Al-
Qur’an, sunnah Nabi Saw, qiyas, dan ijma’ melalui proses istidlal,
istinbath, atau nahr (analisis). Yang dimaksudkan dengan dalil tafdili
adalah dalil yang menunjukkan suatu hukum tertentu. Misalnya, firman
Allah Swt dalam surah Al-Baqarah (2) ayat ini disebut tafsili karena
hanya menunjukkan hukum tertentu dari perbuatan tertentu pula, yaitu
shalat dan zakat adalah wajib humunya, dengan demikian menurut para
ahli ushul fiqh, hukum fiqh tersebut tidak terlepas dari an-Nusus al-
Muqaddasah (teks-teks suci). Karenanya, suatu hukum tidak dinamakan
fiqh apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal
atau istinbath kepada salah satu sumber syariat.2

2
Ash Shiddieqy ; Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an an-Tafsir (Jakarta, PT Bulan
Bintang:1987).Hlm 78

4
Berdasarkan hal tersebut, menurutFathi ad-Duraini (ahli fiqh dan
ushul fiqh dari Universitas Damascus), fiqh merupakan suatu
upayamemperoleh hukum syara’ melalui kaidah dan metode ushul fiqh.
Sedangkan istilah fiqh di kalangan fuqaha mengandung dua pengertian,
yaitu:
a. Memelihara hukum furu’ (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara
mutlak (seluruhnya) atau sebagainya.
b. Materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qath’I (pasti) maupun yang
bersifat dzanni (relatif) (Qath’I dan Zanni).
Menurut Mustafa Ahmad az-Zaqra (ahli fiqh dari Yordania), fiqh meliputi :
a. Ilmu tentang hukum, termasuk ushul fiqh
b. Kumpulan hukum furu’
Ilmu fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang
berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunnah,
mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
Produk ilmu fiqh adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath
(mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqh”.
Secara definitif fiqh yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariah yang
bersifat amaliyah yang digali dari sumber-sumber yang terperinci. Atau
koleksi hukum-hukum syariah yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-
dalilnya terperinci.
Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah
hukum juz’iyah (terperinci) pada setiap perbuatan manusia, baik halal,
haram, mkruh, atau wajib disertai dali-dalilnya. Bila digabung kedua kata
tersebut maka ushul fiqh secara etimologis berarti pangkal atau asal dari
ilmu fiqh. Adapun pengertian ushul fiqh secara terminologis menurut Ar-
Raji, seperti yang dikutip oleh Dr.Iyad bin Nami As-Sulmi, yaitu : “koleksi
metode fiqh yang bersifat global, cara mengeluarkan hukum fiqh, dan
keadaan orang yang mengeluarkan hukum fiqh”.

5
3. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata
“Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan
dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an, juga berlaku dalam
bahasa Indonesia. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah
menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan merupakan
kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan dalam Al-
Qur’an juga tidak idak ditemukan dalam literatur yang berbahasa Arab.
Karena itu kita tidak akan menemukan artinya secara definitif. Untuk
memahami pengertian hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu kata
“hukum” dalam bahasa Indonesia, kemudian pengertian hukum itu
disandarkan kepada kata “Islam”. Ada kesulitan dalam memberikan definisi
kepada kata “hukum” karena setiap definisi akan menemukan titik lemah.
Karena itu, untuk memudahkan memahami pengertian hukum,
berikut ini akan diketengahkan definisi hukum secara sederhana, yaitu :
“seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui
sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Definisi ini tentunya masih mengandung kelemahan, namun dapat
memberikan pengertian yang mudah dipahami. Bila kata “hukum” menurut
definisi di atas dihubungkan kepada “Islam” atau “syara’”, maka “hukum
islam” akan berarti : “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah san
sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci
dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Kata “yang berdasarkan wahyu
Allah san sunnah Rasul” menjelaskan bahwa oerangkat peraturan itu digali
dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan sunnah Rasul, atau yang
populer dengan sebutan “syariah”.

6
Kata “tentang tingkah lku manusia mukallaf” mengandug arti bahwa
hukum Islam itu hanya mengatur tindak lahir dari manusia yang dikenai
hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang-
orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunnah Rasul itu, yang dimaksud
dalam hal ini adalah umat Islam.
Bila artian sederhana tentang “hukum Islam” itu dihubungkan kepada
pengertian “fiqh” sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah yang bernama “fiqh”
dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Dengan demikian, setiap kata
“fiqh” dalam bukun ini berarti “hukum Islam”.

B. Pengertian Ilmu Fiqh, Tujuan dan Kegunaannya


1. Pengertian Ilmu Fiqh
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang
muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara estensial, fiqih
sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin
ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu,
langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi
permasalahan bisa tertanggulangi, dengan bersumber pada Al Qur’an
sebagai al wahyu al matlu dan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu.
Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring
dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan
membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat. Generasi penerus Nabi
Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin,
namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai
pada zaman kita sekarang ini.
Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik
sesuai dengan kesepakatan para ulama. Tasyri’ islam, telah melalui beberapa
periode. Para Ulama yang memperhatikan sejarah tasyri’ hukum  islam

7
berbeda pendapat tentang membagi periode-periode yang telah dilalui oleh
hukum islam itu, demikian juga jangka lamanya. Yaitu ada enam fase-fase
Tarikh Tasyrik.
2. Tujuan Ilmu Fiqh
Tujuan ilmu fiqh adalah menerapkan hukum syara’ pada semua
perbuatan dan ucapan manusia. Sehingga imu fiqh menjadi rujukan bagi
seorang hakim dalam putusannya, seorang mufti dalam fatwanya dan
seorang mukhallaf untuk mengetahui hukum syara’ atas ucapan dan
perbuatannya. Ini adalah tujuan dari semua undang-undang yang ada pada
umat manusia.
Ia tidak memiliki tujuan kecuali menerapkan materi dan hukumnya
terhadap ucapan dan perbuatan manusia. Juga mengenalkan kepada mikallaf
tentang hal-hal yang wajib dan yang haram baginya. Dengan ilmu fiqh,
mkita dapat mengetahui bagaimana kita menyelenggarakan nikah, talak,
bagaimana memelihara jiwa, harta dan kehormatan, tegasnya mengetahui
hukum-hukum yang harus berlaku dalam masyarakat umum.3
3. Kegunaan Ilmu Fiqh
Kajian, Axiologi dalam teori Filsafat pendidikan Islam trhadap ilmu
fiqh tentu membawa kita pada sebuah nilai, manfaat, dan fungsi fiqh. Ilmu
fiqh sangat penting sekali bagi setiap muslm, sebab untuk hal-hal yang wajib
dilakukan, hukumnya pun wajib untuk mempelajarinya. Misalnya kita tahu
bahwa shalat lima waktu itunhukumnya wajib. Maka belajar fiqih shalat lim
awaktu itu pun hukumnya wajib juga. Sebab tanpa ilmu fiqih, seseorang
tidak mungkin menjalankan shalat dengan benar sebagaimana perintah Allah
SWT dan Rasul SAW.
Memang ada sebagian orang menganggap remeh ilmu fiqh.
Seringkali mereka mengatakan bahwa belajar fiqih itu hanya sekedar belajar
masalah air dan cebok saja. Padahal yang dipelajarinya hanyalah
mukaddimah belaka. Bila ilmu itu diteruskan, maka fiqih itu akan sampai

3
Munir Amin, Samsul dan Jumantoro Totok : Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta, amzah : 2005).Hlm37

8
kepada masalah yang aktual seperti urusan politik, mengatur negara dan
seterusnya (fiqih siyasah, masalah khalifah, imamah dan imarah, masalah
gelar kepala negara dll). Bahkan bisa dikatakan bahwa fiqh itu mencakup
semua aspek kehidupan manusia, tidak ada tempat untuk berlari dari fiqh.
Beberapa hal yang penting untuk diingat agar kita mengerti betapa
pentingnya ilmu fiqh untuk umat islam adalah sebagai berikut :
a. Tafaqun fid-dien (memperdalam pemahaman agama) adalah perintah
dan hukumnya wajib
Memepelajari islam adalah kewajiban pertama setiap muslim
yang sudah aqil baligh. Ilmu-ilmu keislaman yang utama adalah
bagaimana mengetahui mau-nya Allah SWT terhadap diri kita, dan itu
adalah ilmu syariah.
b. Syariah adalah pengawal Qur’an dan Sunnah
Ilmu syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat
tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu
syariah, mkaa Qur’an dan Sunnah dapat dipahami dengan benar
senagaiman Rasulullah SAW mengajarkannya. Sebaliknya, tanpa
penguasaan ilmu syariah, Al-Qur’an dan Sunnah dapat diselewengkan
dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar.
Munculnya beragam aliran yanga neh dan ucu itu lantaran tidak
dipahaminya nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan benar. Padahal
untuk menjalankan Al-Qur’an dan Sunnah dibutuhkan pemahaman
yangh baik dan benar. Dan metode untuk memehaminya adalah fiqh itu
sendiri. Bila dikatakan bahwa orang yang tidak menguasai ilmu fiqh akn
cenderung menyelewengkan makna keduanya. Paling tidak akan
bertindak persial, karena hanya menggunakan satu dalil dengan
meninggalkan dalil-dalil lainnya.4

4
Amir Syarifuddin : Ushul Fiqih (Jakarta, Logos Wacana Ilmu:1997).Hlm.90

9
c. Syariah adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam
Dibanding dengan masalah aqidah ataupun bidang lainnya,
masalah syariah dan fiqh adalah porsi terbesar dalam khazanah ilmu-
ilmu keislaman. Istilah ulama indentik dengan ahlih syariah ketimbang
ahli dibidang lainnya. Sebab seorang ahli fiqh itu pastilah seorang yang
ahli dibidang tafsir, ilmu hadits, ilmu bahasa, ilmu ushul fiqh dan
beragam disiplin ilmu lainnya. Di masa lalu kita dapat mendapatkan
seorang muhaddits tapi bukan faqih, namun tidak pernah didapat
seorang faqih yang bukan muhaddits.
d. Kehancuran Umat Dapat Ditandai Dari Hilangnya Ilmu Syariah
Islam tidak akan hilang dari muka bumi, sebab janji Allah SWT
terhadap umat ini sudah pasti. Namun umatnya bisa lemah dan runtuh.
Kelemahan itu umumnya terjadi manakala ilmu syariah sudah mulai
ditinggalkan. Dan para ulama-ulama diwafatkan dan tidak ada lagi
ahlisyariah yang dilahirkan, sehingga tidak ada lagi orang yang bisa
mengarahkan jalannya umat ini.
e. Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif Bila Lemah Di
Bidang Syariah
Racun pemikiran orientalis dan sekurelis tidak akan mempan bila
tubuh umat di imunisasi dengan pemahaman syariah setiap individu
muslim pada dasarnya bisa dengan mudah terserang tusukan tajam para
orientalis ini. Maka dengan menguasai ilmu-ilmu syariah, diharapkan
bisa menjadi penangkal semua racun yang merusak dan mematikan.
Rata-rata generasi muda cendekiawan Islam yang tepengaruh
sihir para orientalis itu disebabkan mereka tidak punya latar belakang
keilmuan yang benar dari sisi syariah islam. Sehingga begitu berkenalan
dengan ragam pemikiran barat yang palsu itu, denganmudah bisa
terpengaruh dan merasa jatuh cinta.5

5
Satria Effendi : Ushul Fiqh (Jakarta, Prenada Media:2005).Hlm39

10
Kalau saja mereka mengenal bagaimana kecanggihan para ulama
syariah dari masa ke masa, maka mereka pasti akan memandang bahwa
apa yang diruduhkan orientalis barat itu tidak lebih dari lawakan tidak
lucu.
f. Kelemahan Pergerakan Umumnya Pada Syariah
Umumnya kelemahan gerakan dakwa adalah kurangnya
pemahaman dan aplikasi syariah, baik di jajaran pimpinan atau pun para
kadernya. Kelemahan di sisi syariah ini akan melahirkan banyak
masalah lainnya, seperti saling tuding antar kelompok sebagi ahli
bid’ah, atau saling menjelekkan satu sama lain. Paling tidak ada rasa di
dalam hati masing-masing kelompok itu bahwa dirinya sajalah yang
paling benar.
Sementara kelompok lain itu pasti salah, sesat dan harus dijauhi.
Padahal semua itu tidak perlu terjadi manakala mereka punya
pemahaman ilmu-ilmu syariah yang lumayan. Sebab didalam disiplin
ilmu syariah kita diajari bagaimana etika dan aturan dalam berbeda
pendapat. Sehingga kalau kita mengetahui saudara kita berbeda
pendapat dengan kita, sama sekali tidak pernah merusak persaudaraan
dengannya.
g. Amal Sedikit Dengan Ilmu Lebih Utama Dari Amal Banyak Tanpa Ilmu
Seorang ahli ibadah yang tekun tapi tanpa ilmu syariah jauh
lebih rendah derajatnya dari amalan seorang yang mengerti syariah
meski tidak terlalu banyak. Sebab ibadah yang banyak tidak diiringi
dengan ilmu yang benar, bisa jadi malah berdosa.sebab tidak menutup
kemungkinan dia malah melakukan bid’ah atau hal-hal yang justru
terlarang.6
Sebaliknya, meski ibadah seseorang itu tidak terlalu banyak,
namun bila dikerjakan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW yang
benar, tentu nilainya sangat tinggi di sisi Rasulullah SAW. Batapa rugi

6
Rasyid Sulaiman : Fiqh Islam (Bandung,Sinar Baru Algensindo:2002).Hlm.47

11
dan menyesal seseorang yang merasa sudah beramal banayk tapi
diakhirat tidak mendapat nilai apa-apa di sisi Allah SWT. Sebab yang
diamalkannya ternyata tidak di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
h. Fiqih adalah Ilmu Yang Siap Pakai
Berbeda dengan belajar tafsir, hadits, sirah, dan ilmu-ilmu
lainnya , didalam fiqh kita dikenalkan dengan cara mengembil
kesimpulan hukum dari berbagai dalil yang tesedia. Ada sekian banyak
dalil yang terserak di berbagai literatur. Sehingga tidak mudah bagi
seseorang untuk mengumpulkannya menjadi satu. Belum bila dilihat
sekilas, mungkin saja masing-masing dalil baik dari Al-Qur’an dan
Sunnah berbeda bahkan bertentangan satu sam lain.
Disinilah fungsi ilmu fiqh, yaitu merangkum sekian banyak dalil,
menelusuri kesahihannya dan mengupas istidlalnya serta memadukan
antara satu dalil dengan lainnya menjadi sebuah kesimpulan hukum.
Lalu hukum-hukum itu di susun secara rapi dalam tiap bab yang
memudahkan seseorang untuk melacaknya. Dan biasanya yang baik
adalah adalah dengan mencantumkan juga dalil serta bagaimana istinbat
hukumnya. Dan lebih penting dari semua itu, apa yang dipersembahkan
ilmu fiqih ibarat daftar perintah dan aturan Allah SAW yang sudah rinci
nilainya, apakah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

C. Sejarah dan Perkembangan Fiqih Pada Masa Nabi


Bila kita memahami pengertia fiqh itu sebagai hasil penalaran orang ahli
atas maksud hukum Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, maka
timbul pertanyaan apakah fiqh itu sudah mulai ada pada waktu Nabi Muhammad
SAW masih hidup? Suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat
sehubungan dengan turunya ayat-ayat Qur’an yang mengandung hukum (ayat-
ayat hukum).
Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah
dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak

12
Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat
hukum itu kepada umatya., sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk
petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi
memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang
kemudian disebut Sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah
yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada Al-Qur’an itu dapat disebut
fiqh?
Telah dijelaskan bahwa fiqh adalah hasil penalaran seseorang yang
berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang
dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad,. Apabila penjelasan
dari Nabi yang berbentuk Sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat
hukum, maka apa yang dikemukakakn Nabi itu dapat disebut fiwh atau lebih
tepat disebut “Fiqh Sunnah”.
Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya
diperselisikan para ulama. Perbedaan pendapat itu dipangkal pada pemahaman
ayat 3-4 surat al-Najm (53), yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu
menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan kepadanya”.
Ada ulama yang memahami ayat ini secara umum, bahwa semua yaang
diucapkan Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan
adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain yang memahaminya bahwa yang
dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat al-Qur’an yang diterima Nabi dan
disampaikan kepada umatnya; itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua
yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.
Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kenudian
berkembang, pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad. Perbedaan para
ulama itu adalah:
Pertama, jumhur ahli ushul berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh
berijtihad sebagaimana berlaku pada manusia lainnya. Mereka menguakan
pendapatnya dengan dalil sebagai berikut:

13
1. Allah SWT telah menyampaikan pesan kepada Nabi sebagaimana juga
berlaku pada hamba-Nya yang lain.
2. Nabi beberapa kali mendapat kritikan Allah atas tindakan yang
dilakukannya.
3. Sunnah Nabi yang berbunyi: “Sesunggunya aku menetapkan hukum
berdasarkan apa-apa yang lahir, dan kamu minta penyelesaian
permusuhanmu kepadaku. Barangkali seseorang di antaramu lebih lihai
dalam berpekara dibandingkan yang lain.siapa yang aku putuskan untuknya
sesuatu berkenaan dengan harta orang lain, janganlah dimakan,.
Sesungguhnya aku memberikan kepadanya potongan api neraka”.
Riwayat tersebut menujukkan bahwa Nabi sendiri terkadang
memutuskan perkara yang mungkin tidak betul secara materil. Hal ini berarti
tindakan itu semata didasarkan kepada ijtihadnya, bukan dari wahyu.
Kedua, ulama kalam Asy’ariyyah, mayoritas ulama Mu’tazilah, Abu Ali
al-Jubbai dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad
dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah:
1. Nabi SAW berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara meyakinkan
melalui wahyu.
2. Sering terjadi Nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang
dilakukan sahabatnya tentang sesuatu kasus.
Ketiga, pendapat “jalan tengah” dari kedua pendapat diatas, menyatakan
bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masalah peperangan, tetapi tidak dalam
masalahhukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan dalil-dalil-dalil
yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa fiqh sudah mulai
ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan
kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fiqh pada waktu itu.

14
Dibawah ini dikemukakan beberapa contoh fiqh Nabi dalam beberapa bidang
hukum.7
1. Shalat
Perintah melakukan shalat banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an
dengan berbagai cara dan berbagai bentuk. Tidak ada satu ayat pun yang
menjelaskan apa dan bagaimana praktik shalat itu. Dalam keadaan begitu
perintah shalat menurut apa adanya tidak mungkin dilaksanakan. Nabi
mengetahui maksud perintah Allah itu, karena itu Nabi menjelaskan kepada
umatnya dengan menggunakan Sunnahnya.
Nabi mengrahkan oerbuatan “shalat” itu kepada perbuatan tertentu
dengan tindakan yang berisi beberapa ucapapan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir dan disudahi dengan salam di hadapan para sahabatnya.
Kemudian beliau berkata “Iinilah yang dimaksud dengan shalat”.
2. Zakat
Perintah untuk melaksanakan zakat begitu banyak muncul dalam al-
Qur’an dengan berbagai cara dan bentuk yang sebagian besar di antaranya
dirangkaikan dengan perintah shalat. Menurut pemahaman luqhawi, zakat
mengarahkan penggunaan kata “zakat” itu untuk “pemberian tertentu dari
harta tertentu, menurut cara tertentu”.
3. Puasa
Perintah Alah yang menyuruhkan melakukan puasa banyak terhadap
dalam al-Qu’an yang kadang-kadamg beriringan dengan kewajiban shalat
dan zakat.

D. Sejarah dan Perkembangan Fiqh Pada Masa Sahabat


Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW sempurnalah turunya ayat-ayat
al-Qur’an dan Sunnah Nabi, juga dengan sendirinya sudah terhenti. Kemudian

7
Prof. Dr. H. Alaidin Koto, M.A; Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada:2004).Hlm13

15
terjadi perubahan yang besar sekali dalam kehidupan masyarakat, karena telah
meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Keimanan umat yang sudah tinggi dan kepatuhannya akan perintah
agama, menuntut mereka untuk selalu menghubungkan tingkah lakunya sehari-
hari dengan nilai agama. Karena itu umat memerlukan jawaban hukum dalam
menghadapi setiap persoalan dalam kehidupannya. Ada tiga hal pokok yang
berkembang waktu itu sehubungan dengan hukum:
1. Begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban
hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-
Qur’an maupun penjelasan dari Sunnah Nabi.
2. Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan
hukumnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, namun ketentuan itu
dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman
baru agar relavan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
3. Dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan dalam suatu kejadian secara jelas
dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat
menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Ketiga pokok masalah diatas memerlukan pemikiran mendalam atau nalar
dari para ahli yang disebut ijtihad dalam menghadapi hal tersebut berkembanglah
pemikiran para sahabat.
1. Dalam menghadapi bentuk pertama, yaitu masalah yang baru terjadi para
sahabat mencari jawabannya dari zhahir ayat al-Qur’an, kemudian mencari
dari penjelasan yang pernah diberikan Nabi. Bila tidak menemukan
jawabanya secara jelas, mereka mencoba mencari jawaban dari balik zhahir
lafaz hukum yang ada.
2. Persoalan dalam bentu kedua, yaitu perubahan keadaan yang menghendaaki
perubahan pemikiran walupun jarak waktu periode Nabi dengan periode
sahabat relatif pendek dan bersambungm namun perkembangan kehidupan
begitu cepat yang menuntut adanya perubahan pemikiran.

16
3. Persoalan ketiga adalah mengenai pemahaman terhadap dua ayat yang
terpisah. Ayat al-Qur’an menetapkan hukum untuk setiap kejadian dengan
hukum tertentu secara terpisah. Untuk penerapan ayat tersebut, Nabi telah
memberikan penjelasan, sehingga hukum itu dapat dilaksanakan menurut
apa adanya.

E. Sejarah dan Perkembangan Fiqh Pada Masa Imam Mujtahid


Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah al-aqur’an, maka pada masa
sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai
sumber penetapan fiqh. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqh dengan
menggunakan Sunnah dan ijtihad ini sudah begiru berkembang dan meluas.
Dalam kadar penerimaan dua suber itu terlihat kecenderungan mengarah pada
dua bentuk.
1. Dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan hadist Nabi
dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun keduanya tetap
dijadikan sumber. Kelomok yang menggunakan cara ini biasa disebut “Ahl
al-Hadist”. Kelompok ini banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya
Madinah.
2. Dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau
ijtihad ketimbang hadist, mekipun hadist juga banyak digunakan. Kelompok
ini disebut “Ahl al-Ra’yi”. Kelompok ini lebih banyak mengambil tempat di
wilayah Irak, khususnya Kufah dan Basrah. 8
Munculnya dua kecendrungan ini dapat dipahami, terutama karena
adanya dua latar belakang historis dan sosial budaya yang berbeda. Ahl al-
Hadits muncul di wilayah Hijaz adalah karena Hijah khususnya Madinah
dan Mekkah adalah wilayah tempat Nabi bermukmin dalam
mengembangkan Islam. Dengan demikian, orang-orang Islam di wilayah ini
lebih banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi dan dengan sendirinya
banyak mendengar dan mengetahui hadits Nabi. Sebaliknya, Irak atau

8
Syaikh Muhammad al-Khudhari Biek, Ushul Fiqh (Jakarta, Pustaka Amani: 2007).Hlm16

17
Kufah, karena jauhnya lokasi dari wilayah kehidupan Nabi, maka
pengetahuan mereka akan hadits Nabi tidak sebanyak yang diperoleh orang
Islam di Hijaz.
Di samping itu, kehidupan sosial dan muamalat begitu luas serta
kompleks karena lokasinya yang lebih maju dari Hijaz. Untuk mengatasi itu
semua mereka lebih banyak dan lebih sering menggunakan ijtihad dalam
penetapan fiqh. Ijtihad itu pun tidak lagi terbatas pada penggunaan metode
qiyas sebagaimana berlaku pada masa sebelumnya. Kedua aliran ini sama-
sama berkembang dengan pesat. Masing-masing melahirkan madrasah-
madrasah fiqh dan menghasilkan para ahli fiqh.
Stiap aliran fiqh tersebut mengembangakan paham dan metode
pemikirannya yang kemudian tersebar luas melalui murid-murid mujtahid
dan dikalangan para pengikutnya. Suatau hal yang patut dipahami dan
digarisbawahi bahwa mereka itu berbeda pandangan (pendapat) hanya dalam
masalah furu (cabang, bukan pokok), dan mereka tidak berbeda dalam
masalah pokok/inti agama yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an
secara jelas dan pasti.
Periode ini ditandai oleh beberapa kegiatan ijtihad yang menghasikan
fiqh dalam bentuknya yang mengagumkan. Pertama, kegiatan menetapkan
metode berpikir dalam memahami sumber hukum. Untuk maksud ini para
ulama menyusun kaidah-kaidah yang dapat mengarahkan mereka dalam
usaha menginstinbath-kan hukum dari dalil yang sudah ada.
Kedua, kegiatan penetapan istilah-istilah hukum yang digunakan
dalam fiqh. Pada mulanya umat Islam dengan taat melaksanakan perintah-
perintah Allah dalam Qur’an atau suruhan Nabi yang tersebut dalam sunnah-
Nya, meskipun belum mengenal istilah-istilah hukum. Demikian pula
ketaatan mereka dalam menjahui semua yang dilarang syara’.
Ketiga, menyusun kitab fiqh secara sistematis, yang tersusun dalam
bab dan pasal bagian dan subbagian yang mencakup semua masalah hukum,
baik yang berkenaan dalam hubungannya dengan Allah, maupun dalam

18
hubungannya dengan manusia dan alam lingkungannya masing-masing
sesuai dengan metode dan cara berpikir imam mujtahidnya.

F. Fiqih Masa Kemunduran Islam


Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai
penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa
kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah
perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang
berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid
mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan
seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain
sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang
mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits.
Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada,
dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah.
Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam ke alam taklid, kaum
Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.Disamping kondisi
sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya ikut
mendorong lahirnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama
sebelumnya, baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau
diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk
semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.
2. Fanatisme mazhab yang sempit
Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran
pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat
pengaruh arus keidakstbilan kehidupan politik, dimana frekuensi sikap

19
curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau antar kelompoknya
dengan mencari-cari argumentasinya yang pada umumnya apologetic serta
menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang tinggi.
Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh
dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang
sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.
3. Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa
mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode
sebelumnya para penguasa memilih dan mengangkat hakim-hakim dari
kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil
ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut
mazhab tertentu, termasuk penguasa.Umat islam menyadari kemunduran
dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin lama itu.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan
fiqih. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang
berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat
Islam meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan
mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut sebagai
golongan salaf. Periode ini ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-
Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai tahun 1293
H (1869-1876 M).
4. Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan
Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas
pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial
politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh
pemimpin dan para ulam’nya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut
untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang
frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang

20
mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi
berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

G. Fiqih Masa Kebangkitan Islam


Fase ini dimulai dari akhir abad ke-13 H sampai pada hari ini. Oleh
karena itu fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat
menghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman,
dapat memberi saham atau masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap
permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus
taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.Indikasi kebangkitan
fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek pertama  pembahasan fiqh islam
dan kedua kodefikasi fiqh islam.
1. Pembahasan Fiqh Islam
Pada zaman ini para ulama’ memberikan perhatian yang sangat besar
pada fiqh islam baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga
fiqh islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan ulama’
apabila kita ingin melihat kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dapat kita
rincikan sebagai berikut:
a. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzab utama
dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengantetap
mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara
satu madzhan dengan madzhab yang lain.
b. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang tematik
(terperinci).
c. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi
(perbandingan antara madzhab fiqh islam)
d. Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan
ensiklopedia fiqh.

21
H. Perkembangan Fiqih Di Indonesia
1. Perkembangan Fiqh di Kerajaan-Kerajaan Islam Di Nusantara
Hukum islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya
agama islam yang dibawa oleh para saudagar muslim dari timur
tengah.seminar masuknya islam ke Indonesia yang di selenggarakan
dimedan tahun 1963 menyimpulakn bahwa islam masuk ke Indonesia sejak
abad k2-7M sebelum islam masuk keindonesia,hukum yang berlaku
diindonesia adalah hukum adat masing-masing yang sangat majemuk,di
samping pengaruh agama hindu budha yang sangat kuat tertanam di jawa9
Penerapan hukum islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sebelum kedatangan colonial(masa kerajaan-kerajaan islam),dalam hal
penyelesaian masalah muamalah,munakahat,dan uqubat diselesaikan melalui
peradilan agama.walaupun secara yuridis lembaga peadilan agama belum
ada,tetapi dalam praktiknya telah ada penerapan peradilan agama daam
proses penyelesaian perkara-perkara tersebut.
a. Islam di Sumatra
Pada pertengahan abad ke-13, di Sumatera telah berdiri kerajaan
Islam Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia, kerajaan ini terletak di pesisir timur laut aceh yang sekarang
merupakan wilayah Kabupaten Lhouksumawe. Samudera Pasai adalah
sebuah kerajaan maritim, samudera pasai telah mengadakan hubungan
dengan Sultan Delhi di India pada pelayaran kerajaan Samudra Pasai
merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para
ulama dari berbagai negara Islam. kerajaan islam di Sumatra yakni:
1) Kerajaan samudra pasai(pertengahan abad ke-13)
2) Kerajaan aceh,mazhab yang berkembang dikerajaan aceh adalah
mazhab syafi’I,yang pada masa pemerintahan sultan iskandar muda
memiliki seorang mufti yang terkemuka syekh abdur ra’uf

9
Abdul manan,etika hakim dalam penyelenggaraan peradilan:suatu kajian dalam sistem peradilan
islam, (Jakarta: kencana,2007), hlm. 149.

22
singkel,selain itu juga terdapat seorang ulama besar nuruddin al-
raniri adalah seorang mufti kerajaan,ahli tasawuf,dan fiqih3 dengan
karya monumentulnya ssebuah kitab “ shirath al-mustaqiim.” Kitab
tersebut digunakan sebagai penyebaran islam dan sebagai pedoman
bagi guru-guru agama dan qadhi.10
b. Kerajaan islam di jawa
Perkembangan di Jawa tidak bisa dipisahkan dari peranan wali,
jumlah wali yang terkenal sampai sekarang adalah sembilan, yang
dalam bahasa dikenal dengan sebutan wali songo Para wali yang
termasuk dalam wali songo adalah sebagai berikut:
1) Krajaan demak,merupakan kerajaan islam pertama di jawa.sebelum
sultan agung berkuasa hukum islam tidak banyak berpengaruh
dikalangan kerajaan.
2) Kerajaan Cirebon, Hukum  islam di kerajaan cirebon dapat
berkembang dengan baik, terutama hukum-hukum yang
berhubungan dengan masalah kekeluargaan.
3) Kerajaan banten, banten adalah sebuah kerajaan islam yang aling
ketat melaksanakan hukum islam dan tidak lagi dipengaruhi oleh
hukum adat,budha atau hindu.5Keberhasilan politk dari kerajaan
banten untuk penyebaran islam itu mekipun  menurut cerita
dilakukan dengan kekerasan, ternyata memiliki pengaruh yang
besar bagi perluasan daerah raja-raja islam di jawa tengah dan jawa
timur
c. Perkembangan hukum islam di Sulawesi
Masuknya islam di Sulawesi tidak terlepas dari peranan Sunan
Giri di Gresik. Hal itu karena Sunan Giri menyelenggarakan pesantren
yang banyak didatangi oleh santri dari luar Jawa, seperti ternate dan hiu.
Pada abad ke-16 di sulsel telah berdiri kerajaan hindhu gowa dan tallo.
33
mahsun fuad, op.cit., hlm 36
10

55
musyirifah sunanto, op.cit., hlm. 133-134

23
Penduduknya banyak yang memeluk agama islam karena hubungannya
dengan kesultanan Ternate.
d. Perkembangan hukum islam di Maluku dan Irian Jaya
Penyebaran islam di Maluku tidak lepas dari jasa para santri
Sunan Drajat yang berasal dari Ternate dan Hitu. Di Maluku ada 4
kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama yaitu
Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Raja Tidore masuk islam dan
mengganti nama menjadi Sultan Jamalludin. Demikian juga raja Jailolo,
ia masuk isalm dan mengganti nama menjadi Sultan Hassanudin. Peran
kesultanan Ternate dalam penyebaran islam baru dimulai pada masa
Sultan Zaenal Abidin. Ia juga berhasil mengambangkan islam ke
Maluku dan Irian Jaya bahkan sampai ke Filipina.
2. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai
dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur,
atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang,
VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini
sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur.
Misi VOC sebagai perpanjang tangan pemerintah belanda
mempunyai dua fungsi,pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan
pemerintah.sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi
tersebut,VOC menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan
belanda.11
3. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat
kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret
1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah
satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang

11
alaidin koto , sejarah peradilan islam. Hlm 213

24
menegaskan bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan
baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum
Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan  Belanda.
4. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru
kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan
semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang
kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan
Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian
berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat
kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan
Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara
Islam.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-
samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini
dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih
diliputi kabut rahasia.suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
5. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Sepanjang orde baru hukum islam tidak pernah menjadikan
kebijaksanaan tersendiri secara khusus.tak ada satu pointer pun dalam teks-
teks politik hukum orde baru yang berkenaan denganeksisensi bukum
islam.namun egitu,tidak berarti hukum islam tidak mendapatkan
perhatian.dalam kenyataannya praktis-empiris hukum islam mempunyai
tempat dalam tata hukum nasional,bahkan secara formal posisinya lebih baik
dari masa sebelumnya.12

12
marzuki wahid,rumadi. “fiqh madzhab negara”(Yogyakarta: lkis,2001) hlm 86

25
Dalam kontek itu,tampaknya orde baru mengaggap hukum islam
adalah bagian dari agama,bukan sebagai hukum yang otonom,yang secara
mandiri dapat dikembangkan asalkan dengan tetap mengacu pada sumber
dasarnya.asumsi tersebut tidak salah,tetapi bisa terjadi penyempitan makna
apabila agama dipahami dalam kerangka berfikir skularistik,seperti presepsi
yang tengah berlangsung.13
6. Hukum Islam di Era Reformasi
Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang
lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama
pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang
didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa
peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang
bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya
kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan
peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini.
7. Pembaruan fiqih di Indonesia
Para pemuka-pemuka umat Islam mulai memikirkan bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali.Dari perkembangan
ini mulai menyebar ke seluruh dunia Islam termasuk. Indonesia, walaupun
pada tahun dan waktu yang tidak sama, akan tetapi tetap memberikan
semangat itu dari waktu ke waktu dan akhirnva telah tiba di Indonesia
dengan berbagai perubahan oleh murid-murid Imam Syafii. Sebagai telah
disebut pembaharuan dalam fikih Islam timbul di periode sejarah Islam yang
disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada
kemajuan.

I. Pengertian Dalil Hukum dan Pembagiannya

13
pardoyo,sekularisasi dalam polemic,sekapur sirih nurcolish madjid,cet.I,(Jakarta: PT Pustaka Utama
Graafiti,1993) hlm. 173-242

26
1. Pengertian Dalil Hukum
Dalil secara etimologis berarti sesuatu yang dapat memberi petunjuk
kepada yang dirasakan atau yang dipahami.14 Sedangkan secara
terminologiushul fiqih, dalil hukum adalah : “Dalil adalah segala sesuatu
yang dapat dijadikan petunjuk yang dengan menggunakan pemikiran yang
benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara
qath’I maupun dzanni. Dalil hukum, ushul al-ahkam, al-mashadir al-
tasyri’iyah li al-ahkam. Lafaz-lafaz tersebut mempunyai arti yang sama”.
Yang dimaksud dengan dalil hukum yaitu dalil-dalil syariah yang
dapat mengistinbathkan hukum syariah. Dari pengertian yang dikemukakan
diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya, yang disebut dalil hukum
adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang
benar dan tepat.15
2. Pembagian Sumber Dalil Hukum
Syaikh Khudari Biek menegelompokkan sumber dalil hukum Islam
kepada dua bagian, yaitu sumber dalil berbentuk naqli atau (Adillah al-
ahkam al-Manshushah) dan sumber dalil berbentuk aqli/al-ra’yu (adillah al-
ahkam ghairu manshushah atau adillah al-ahkam fima la nasha fiha), sumber
dalil berbentuk naqli, terdiri dari :
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
Sedangkan sumber dalil berbentuk aqli, terdiri dari:
a. Al-Ijma
b. Al-Qiyas
c. Al-Istihshan
d. Al-Mashlalah al-Mursalah
e. Al-Istishab

14
Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Lgos, 1986).Hlm.81
15
Ramli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999).Hlm.42

27
f. Al-Urf
g. Syar’un Man Qablana
h. Qaul Shahabi
Antara kedua bentuk dalil tersebut mempunyai hubungan yang sangat
erat, karena dalil naqli membutuhkan kreasi akal untuk memahaminya dan
untuk memetik hukum daripadanya, sedangkan dalil naqli/ijtihadi tidak
diakui syara’ jika tidak bertopang/bersandar kepada dalil naqli, karena akal
murni tidak memadai untuk mengetahui hukum syara’.
Bahkan apabila ditinjau dari segi maknanya, maka sebenarnya dalil
aqli sudah dicakup oleh dalil naqli karena dalil naqli lah yang menunjukkan
kebolehan menggunakannya. Jadi dalil naqli adalah pokok yang menjadi
landasan dalil-dalil aqli. Selanjutnya dalil naqli itu bertumpu/terpulang
kepada Al-Qur’an karena kebolehan menggunakannya mendapat
pembenaran dalam Al-Qur’an.16
Prof. Dr. Satria Effendi M. Zein membagi sumber hukum Islam
kepada dua, yaitu sumber hukum Islam yang disepakati ulama dan sumber
hukum Islam yang diperdebatkan (diperselisihkan). Sumber hukum yang
disepakati menurutnya yaitu : Al-Qur’an, Suunah, Ijma, dan qiyas,
sedangkan sumber hukum yang tidak disepakati yaitu : istihsan, maslahah
mursalah, urf(adat istiadat), istishab, syar’u man qablana, mazhab sahabi, dan
sadd az-zari’ah.
Menurut fatwa Ridwan, maksud sumber dalil yang diperselisihkan
yaitu dalam hal mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut adalah
istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, mazhab sahabat, syariat sebelum
Islam(syar’u man qablana).17 Dalam buku ini penilis akan menjelaskan
sumber-sumber dalam bentuk sumber hukum dan disepakati dan sumber
hukum yang diperselisihkan, sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
16
Sulaiman Abdullah. Sumber Hukum Islam Permasalahannya Fleksibilitasnya (Jakarta:Sinar Grafika,
cetakan ketiga,2007).Hlm.4
17
Fatwa Ridwan, Min Filsafah al-tasyri’ al-Islami, (TT : Dar al-Kitab).Hlm 9

28
1) Pengertian Secara Etimologis
Secara etimologis, kata Al-Qur’an merupakan isim madshar
dan fi’il madli yang artinya, membaca, menelaah, mempelajari,
menyampaikan, mengumpulkan, mmelahirkan, bunting; artinya
membacakan pelajaran kepadanya; artinya menyampaikan salam
kepadanya; artinya mengumpulkan; artinya yang hamil melahirkan;
artinya unta itu bunting, Al-qira’ah dan Al-Qur’an, keduanya
merupakan isim mashdar dari qara’a yang artinya pembacaan atau
bacaan.
Hal ini sesuai dengan firmn Allah dalam surah Qiyamah (75) :
17-18: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya
(didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu”.
2) Pengertian Secara Terminologis
a) Menurut Istilah Ahli Kalam
Di bawah ini di beberapa definisi yang dikemukakan para
ahli ilmu kalam (mutakallimin) :
(1) “Al-Qur’an adalah sifat yang qadim yang hubungan dengan
kalimat-kalimat yang hikamiyah (penuh hikmah) yang
tersusun dari awal surat al-fatihah sampai surat al-Nas.”
(2) “Al-Qur’an itu adalah kalimat-kalimat yang penuh hikmah
yang ‘azali, yang tersusun rapi tanpa berurutan yang bebas
dari huruf sebagai lafaz, pemikiran dan kejiwaan.”
(3) “al-Qur’anitu adalah lafaz yang diturunkan kepada Nabi
Saw, dari Surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.”
Lafaz tersebut merupakan mudhahir (gambaran yang tampak
bagi kalimat-kalimat yang hikamiyah yang azaliyah pada
definisi-definisi sebelumnya).
b). Menurut istilah ahli ushul fiqh dan ahli fiqih

29
“Al-Qur’an itu adalah kalam Allah, yang menjadi
mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Saw, yang dituliskan di
mushhaf, yang dinukilkan secara mutawatir, dan dipandang
sebagai ibadah bagi yang membacanya.” Menurut Abdul
Wahhab Khallaf, Al-Qur’a adalah Kalamullah yang diturunkan
oleh Allah melalui malaikat jibril ke dalam hati Rasulullah Saw.
Muhammad bi Abdullah dalam bahasa Arab barikut
maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah (dalil) bagi
Rasulullah.bahwa beliau itu utusan-Nya, sebagai undang-undang
bagi manusia, sebagai petunjuk sebagai pendekatan diri kepada
Allah dengan membacanya, dan di kodifikasi dalam satu mushaf,
dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.
Diriwayatkan secara mutawir secara tulisan maupun lisan,
tejaga dari perubahan dan penggantian, dan sebagai pembenar
dari firman Allah dalah surah Al-Hajar (15): 9: “Sesungguhnya
kami telah menurunkan Al-Qur’an dan kami pula yang
menjaganya.”
b. Hadits Rasul Saw
1) Pengertian hadits secara etimologis
Secara etimologis hadits artinya kabar, kejadian, sesuatu yang
baru, perkataan hikayat dan cerita.
2) Pengertian hadits secara terminologis
“Hadis menurut istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari
Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
ketetapannya setelah beliau diangkat menjadi Nabi.” Selain hadis
ada juga ulama menggunakan Sunnah sebagai sumber hukum Islam.
Pengertian Sunnah lebih umum dari pada pengertian Hadis,
sedangkan pengertian Sunnah secara etimologis yaitu : “Sunnah
secara etimologis yaitu perjalanan hidup, jalan/cara, tabiat, Syariah,
yng jamaknya adalah al-sunan.”

30
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “Sunnah” dalam 16 tempat
yang tersebar dalam bebrpa surah dengan arti “kebiasaan yang
berlaku” dan jalan yang diikuti. Misalnya firman Allah dalam surah
Ali Imran 930 : 137 : “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu
sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).”
Hadis merupakan sumber ke dua bagi hukum Islam, dan
hukum-hukum dibawa oleh hadis ada tiga macam : a) sebagai
penguat hukumyang dimuat dalam Al-Qur’an, b) sebagai penjelas
(keterangan) terhadap hukumhukum yang dibawa oleh Al-Qur’an,
dengan macam-macamnya penjelas, seperti pembatasan arti yang
umum, merincikan persoalan-persoalan pokok san sebagainya, c)
sebgai pembawa hukum baru yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an
secara tersendiri.
c. Ijma’
Secara etimologis, ijma’ atau ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ dalam artian pengambilan
keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus (10) :
“Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentag Nuh
diwaktu ia berkata kepada kaumnya : “Hai kaumku, jika terasa berat
bagimu tinggal (bersamaku) dan perngatanku (kepadamu) dengan ayat-
ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu
bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan,
lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu member tangguh
kepadaku.”
Definisi yang dikemukakan oleh Abu Zahra, senada dengan yang
diungkapkan oleh Abd. Al Wahhab Khalaf, yaitu : “Ijma’ adalah

31
kesepakatan semua mujtahid muslim dari masa ke masa setelah wafat
Rasul Allah Saw, tentang hukum syara’ dalam beberapa kasus.”
Dari rumusan itu dijelaskan bahwa ijma’ itu adlah kesepakatan, dan
yang sepakat disini adalah semua mujtahid Muslim, berlaku dalam suatu
masa tertentu sudah wafatnya Nabi.
Di sini ditekankan “sesudah Nabi”, karena selama Nabi masih
hidup, al-Qur’an lah yang akan menjawab persoalan hukum karena ayat
Al-Qur’an kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri sebagai tempat
bertanya tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlakukan adanya
ijma’. Ijma’ itu berlaku disetiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada
pada masa itu dan bukan berarti kesepakatan semua mujtahid sampai hari
kiamat.
d. Qiyas
Secara etimologis, qiyas artinya mengukur, dan membandingkan
sesuatu dengan yang semisalnya. Kalau seseorang yang berbahasa Arab
mengarikannya saya megukur pakaian itu dengan hasta. Secara
terminologis, qiyas yaitu :
“Ulama ushul mendefinisikan qiyas, yaitu menjelaskan hukum
suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dianalogikan dengan
masalah yang telah diketahui hukumnya melalui nash (Al-Qur’an atau
sunnah). Dan merea juga mendefinisikan qiyas dengan redaksi lain yaitu
menganalogikan Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah
lain yang ada nash hukumnya, Karena kesamaan ‘ilat hukumnya.”
Menurut Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, qiyas yaitu :
“menyamakan cabang dengan yang pokok didalam suatu hukum
disebabkan berkumpul ilat (sebab) yang sama antara keduanya.”
Menurut definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf,
bahwa qiyas : “Qiyas adalah menyamakan sesuatu kasus yang tidak
terdapat hukumnya dalam nash dengan kasus yang hukumnya terdapat
dalam nash, karena adanya persamaan ilat dalam kedua kasus itu.”

32
J. Ahlussunnah dan Syi’ah
1. Pengertian Ahlussunnah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti
apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah dan para Sahabatnya. Disebut
Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan ber-ittiba’
(menegikuti) Sunnah Nabi dan para Sahabatnya.
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah
jalan itu baik atau buruk. Sedangkan menurut ulama aqidah (terminologi).
As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan para
Sahabatnya, baik tentang ilmu, I’tiqad (keyakinan), perkataan maupun
perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang
mengikutinya akan dipuji dan yang menyalahinya akan dicelah.18
Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795
H) : “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup didalamnya
berpegang teguh pada apa yang dilaksanakan Nabi dan para khalifahnya
yang tepimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan
perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf
terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang
mencakup ketiga aspek tersebut.
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak
mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah
kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran),
tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa ayng telah menjadi
kesepakatan Salaful Ummah.19
Al-Jama’ah menurut ulama aqidah (terminologi) adalah generasi
pertama dari ummat ini, yaitu kalangan sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in

18
Buhuts fi Aqidah Ahlis Sunnah (hlm.16)
19
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal-Jama’ah fil Aqidah

33
serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat,
karena berkumpul di atas kebenaran.
Imam Abu Syammah asy-Syafi’I (wafat tahun.665 H) berkata:
“Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang
kepada kebenaran serta mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan
Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa
yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan
Rasulullah dan para sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang
menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka”.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnuy Mas’ud: “Al-Jama’ah adalah
yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” Jadi, Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikutu
Sunnah Nabi dan menjahui perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam
agama.20
2. Pengertian Syi’ah
Syi’ah (Bahasa Arab: ‫شيعة‬, Bahasa Persia: ‫ )شیعه‬ialah salah satu aliran
atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah
Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk
tunggal dari Syi'ah adalah Syī`ī (Bahasa Arab: ‫يعي‬UU‫ش‬.) menunjuk kepada
pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia
merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para
Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam,
guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta
penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib,
yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait,
adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan

20
Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Syarah Aqidah ahlus Sunnah Wal Jama’ah.( Jakarta: Pustaka Imam
asy-Syafi’i:2010)

34
khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya
bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan
perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan
perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran
Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh
perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait,
sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui
otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang
otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa
pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Dalam Syi'ah, ada Ushulud-din (perkara pokok dalam agama) dan
Furu'ud-din (perkara cabang dalam agama). Syi'ah memiliki lima perkara
pokok, yaitu:
a. Tauhid, bahwa Tuhan adalah Maha Esa.
b. Al-‘Adl, bahwa Tuhan adalah Mahaadil.
c. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para
nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
d. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam yang senantiasa
memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
e. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya Hari Kebangkitan.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli,H.A. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana Prenamedia Group


http://viosixwey.blogspot.co.id/2013/04/apa-itu-syiahpengertian-syiah.html
(diakses 13 Desember 2016)
Koto,Alaiddin. 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers

35
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers
Suwarjidin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras
Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenamedia Group
Yazid bin Abdul Qadir Jawas. 2010. Syarah Aqidah ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i

36

Anda mungkin juga menyukai