Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Telah diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah,
bahwa makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-
laki maupun perempuan (Q.S.Dzariat :49).
   
 
 
“dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu
mengingat akan kebesaran allah”.
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan
dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan
tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan
hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn
perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan,
keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi
keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang
sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan
dalam kitab suci. Negara Indonesia misalnya, masalah perkawinan merupakan
suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga
sekarang menaruh perhatian yang sangat serius dalam hal perkawinan ini.

1
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Nikah?
2. Apa saja dasar hukum Nikah?
3. Apa saja rukun nikah?
4. Bagaimana perempuan yang boleh untuk dinikahi?
5. Bagaimana perempuan yang diharamkan untuk dinikahi?
6. Siapa pihak-pihak yang dapat menjadi wali nikah dan syarat-syaratnya?
7. Apa pengertian nika sirri dab mut’ah dan status hukumnya?
8. Apa saja hukum nikah?
9. Apa tujuan Nikah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian Nikah
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum Nikah
3. Untuk mengetahui apa saja rukun nikah
4. Untuk mengetahui bagaimana perempuan yang boleh untuk dinikahi
5. Untuk mengetahui bagaimana perempuan yang diharamkan untuk dinikahi
6. Untuk mengetahui Siapa pihak-pihak yang dapat menjadi wali nikah dan
syarat-syaratnya?
7. Untuk mengetahui apa pengertian nika sirri dab mut’ah dan status
hukumnya
8. Untuk mengetahui apa saja hukum nikah
9. Untuk mengetahui apa tujuan Nikah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian pernikahan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu
nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan
arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan
hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2
perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik
untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.
Dapat disimpulkan bahwa Pernikahan adalah upacara pengikatan janji
nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud
meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan
norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi
menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan
atau hukum agama tertentu.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat
dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara
pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk
melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan
untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang

3
sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah
upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan
perkawinan.

B. Dasar Hukum Perkawinan


1. Menurut Fiqh Munakahat
a) Dalil Al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :

  


  
   
  
   
  
   
  
   
Artinya :” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak
yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua,
tiga atau empat dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu
orang.” (An - Nisa : 3).

Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu
untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah
adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain
- lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam
memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.

4
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat 189 :

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan


daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf :
189).

    


  
 
  
  
  
   
  
  
 
 

189. Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari
padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka
setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan
teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa
berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya
berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah
Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".

b) Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang
bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki

5
kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan
pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki
kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan
kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).
2. Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2)
UU Perkawinan yang rumusannya :Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap –
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan
yang berlaku.
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3
disebutkan bahwa :Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.

C. Rukun Nikah
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Pengantin laki-laki
2. Pengantin perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi laki-laki
5. Mahar
6. Ijab dan kabul (akad nikah)

D. Perempuan yang boleh dinikahi


1. Wanita itu shalihah

6
2. Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu
atau saudara perempuannya yang telah menikah.
3. Wanita tersebut masih gadis, yang dengannya akan dicapai kedekatan
yang sempurna.

‫ار َية فَ َهلا‬


ِ ‫َوتُلَ ِعبُكَ ؟ تُلَ ِعبُ َها َج‬

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa


mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”

4. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.


5. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau
tidak ada serta menjaga harta suaminya,

E. Perempuan yang Haram dinikahi


Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan
karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa:
Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu,
saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara
perempuan bagi saudara perempuan.”:
1. Ibu
2. Nenek dari ibu maupun bapak
3. Anak perempuan & keturunannya
4. Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
5. Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu semua
anak saudara perempuan
Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh
susuan ialah:
a) Ibu susuan

7
b) Nenek dari saudara ibu susuan
c) Saudara perempuan susuan
d) Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
e) Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan

F. Pihak- pihak yang dapat menjadi wali dan Syarat wali


1. Pihak-pihak yang dapat menjadi wali
a) Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang
mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu
perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan
kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)
b) Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan
berhak menjadi wali
c) Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi
wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini akan
digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut
susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
d) Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau
pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik
menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
2. Syarat wali6.Syarat-syarat saksi
a) Sekurang-kurangya dua orang
b) Islam
c) Berakal
d) Telah pubertas
e) Laki-laki
f) Memahami isi lafal ijab dan qobul
g) Dapat mendengar, melihat dan berbicara

8
h) Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak
melakukan dosa-dosa kecil)
i) Merdeka

G. Nikah sirri dan mut’ah dan status hukumnya


1. Pengertian nikah Sirri
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bercampur, sedangkan
menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz
adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih,
karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam
kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij
(perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang berarti
rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri
diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada
umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah siri sah secara agama dan atau adat istiadat, namun tidak
diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak dicatatkan secara
resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan Agama
(KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi
yang beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu
membiayai administrasi pencatatan; ada juga disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih
dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan, dan sebagainya. Ketiga;
Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu,
misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang
terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-
pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
Nikah siri kadang-kadang diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada
ulama yang menyamakan pengertian kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit

9
pula yang membedakannya. Nikah siri kadang-kadang diartikan dengan
nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan pada adat istiadat, seperti yang
terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah urfi jarang dipakai dalam
konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah itu terletak pada
kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk Nikah
yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara
resmi melalui pejabat yang berwenang.
Nikah siri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga
pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan.
Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut
hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap
Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan
dan perlindungan hukum.
2. Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya
bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah menurut istilah adalah
perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan
sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah
ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-
lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam
al-Auzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram”.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits:
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut’ah,
maka ia berkata: hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan
kamu sekalian kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah
mengharamkannya sampai hari kiamat”. (H.R. Ibnu Majjah).

10
Imam Zufar berkata: perkawinan mutah hukumnya sah, meskipun
syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran Islam.
Dikatakan sah karena keterangan hadits yang dikemukakan oleh pengikut
kaum Syi’ah (“bahwasanya ‘Umar berkata: dua macam perkawinan
mut’ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah
aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya?
(keduanya itu) adalah perkawinan mut’ah terhadap wanita (diwaktu tidak
bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah
hajji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat
tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-
menyewa.), tetapi syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin
untuk selama-lamanya, kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari
beberapa pendapat di atas, maka penulis mengikuti pendapat Imam Abu
hanifah beserta Imam Madzhab yang sependapat dengannya, karena
memandang bahwa kebolehan kawin mut’ah telah dihapus oleh larangan
melakukannya, sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majjah dan An-Nasaa’i di atas.

H. Hukum nikah
1. Sunah
Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh
Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang
sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-
Bukhari nomor 4779 berikut ini:
Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka
menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin.
Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi
tameng baginya.”

11
2. Sunah Ditinggalkan
Nikah dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku
bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki
kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri.
Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya
untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah
mecukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini senada dengan firman
Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:

Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah


menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya.”

Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri


menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula,
yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik
untuk dirinya.

3. Makruh
Nikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak
menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena
penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan
keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan
kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan.
4. Lebih Utama Jika Tidak Menikah
Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan
untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak
membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.
5. Lebih Utama jika Menikah

12
Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk
menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu
atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah.
I. Tujuan nikah
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk
memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang
pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti
cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur,
berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan
diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan


Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di
antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor
dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur.
Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana
efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan.
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya
thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat
berikut:
  
  
   

13
   
 
    
    
   
   
   
   
   
   
 
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.[Al-
Baqarah : 229]
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan
beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama
manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur
bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih
yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah (sedekah)

14
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan
yang shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam,
sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
   
  
   
  
 
 
  
 
Artinya:Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"(an-nahl:72)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu
nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan
arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Salah satu hikmah perkawinan adalah bisa menghindarkan perbuatan
maksiat dan melanjutkan keturunan.
Dasar hukum perkawinan menurut fiqh salah satunya yaitu disebutkan
dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 dan dalil As-Sunnah diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah. Perkawinan diatur dalam UU

15
Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) dan menurut KHI diatur
dalam Pasal 2 dan 3.
Apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan
menurut UU Perkawinan. KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi
dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah
bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak
seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang
dianut selama ini mazhab Syafi’iy.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan
arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan
makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Slamet, Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat I. Bandung : CV Pustaka


Setia

Al-Utsaiin Muhammad Sholeh, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud. 1991.
Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga. Surabaya : Risalah Gusti

16
Idris ramulyo Muh. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan


Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika

Rasjid Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo

17

Anda mungkin juga menyukai