Anda di halaman 1dari 71

MUNAKAHAT (PERKAWINAN) A. PERKAWINAN 1.

Arti Perkawinan Perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj . Kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan

sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Kata na-kaha banyak terdapat dalam al-Quran dengan artikawin, seperti dalam surat al-Nisa' ayat 3: Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang... Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam al-Quran dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ay at 37: Maka tatkala 7.aid telah mengakhiri keperluan (mencerai-kan) istrinya; Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka... Secara arti kata nikah atau zawaj berarti "bergabung" dan juga berarti "akad" , "hubungan kelamin"

Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih

banyak diartikan dengan:, yang artinya; akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja. Para ahli fiqih biasa menggunakan rumusan definisi se-bagaimana tersebut di atas dengan penjelasan sebagai berikut: a. Penggunaan lafaz akad untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu

adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan itu dibuat dalam bentuk akad karena ia

adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. b. Penggunaan ungkapan: $.J? Ji k-U .yu/ali (yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang memboleh-kannya secara hukum syara'. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu. c. Menggunakan kata ij_? jl ^l ^"^ , yang berarti menggunakan lafaz naka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas seseorang perempuan atau disebut juga "perbudakan". Boleh-nya hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata "tasarri". Defnisi tersebut di atas begitu pendek dan sederhana dan hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Negara-negara muslim waktu merumuskan undang-undang perkawinannya melengkapi definisi tersebut dengan penambahan hai-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkawinan itu. UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskannya dengan: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Adabeberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan: a. Digunakannya kata "seorang pria dengan seorang wanita" mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negaraBarat.

b. Digunakannya ungkapan "sebagai suami istri" mengadung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah "hidup bersama". c. Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagai-mana yang berlaku dalam perkawinan mut'ah dan perkawinan tahlil. d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Fiqh yang mengatur hal ihwal perkawinan ini disebut fiqh munakahat. Munakahat itu termasuk.dalam lingkup muamalat dalam artian umum, yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Masuknya munakahat itu ke dalam lingkup muamalat karena ia memang mengatur hubungan antara suami dengan istri dan antara keduanya dengan anak-anak yang lahir, dalam kehidupan keluarga menurut keridhaan Allah. Dengan demikian kajian tentang perkawinan ini begitu luas karena menyangkut hal ihwal hubungan-hubungan tersebut, menurut yang dikehendaki oleh agama Islam. Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah ( Rasul berarti sesuatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut: a. Allah menciptakan makhluk ini dalam bentuk berpasang-1 pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zariyat j ay at 49: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. b. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perem-puan dalam surat al-Najm ay at 45: Dan Dia lah yang menriptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan.

c. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan Allah dalam surat al-Nisa' ayat 1: Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan-muyang telah menciptakan kamu dari satu din; dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah metnperkembangbiakan laki-laki dan perempuan jang banyak. d. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat dari kebesaran Allah dalam surat al-Rum ayat 21: Dan di antara tanda-tanda k,ek.uasaan-Nya ialah la mmdptakan untuk kamu istriistri darijenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orangyang mengetahui. Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam hadits yang berasal dari Anas bin Malik sabda Nabi yang bunyinya: 2. Hukum Perkawinan Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam al-Quran untuk melaksanakan perkawinan. Di antaranya firman-Nya dalam surat al-Nur ayat 32: Dan kawinkanlah orang-orangyang sendirian di antara kam dan orang-orangyang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamuyang laki-laki dan hamba-hamba sahayatmt yangperempuan.]ika mereka mis kin Allah akan memberika kemampuan kepada mereka dengan karnia-Nya. Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan. Di antaranya seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disah-kan oleh Ibnu Hibban sabda Nabi yang bunyinya:

Kamnilah perempuan-perempuan yang dicintaiyang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum di hari kiamat. Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunnat menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melingkupi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut: a. Sunnat bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan. b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisik-nyamengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tuabangka dan kekurangan fisik lainnya. c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin; ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin. d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara' untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara', sedang kan dia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya. e. mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada orongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapapun . 3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ada beberapa tujuan dari disyariatkanya perkawinan atas umat islam. Diantaranya adalah: a. untuk mendapat anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan dating. Hal ini terlihat dari surat al-Nisa ayat 1:

wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri yang satu dari padanya Allah menjadikan istri-istri dan dari keduanya Allah menjadikananak keturunn yang banyak, laki-lakin dan perempuan. b. untuk mendapatkan leluatga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih saying. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam srat al-Rum atay 21 yang telah dikutip di atas. Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk mu istri-istri dari jenis mu sendiri, sepaya kamu menemukan keterangan padanya dan menjadikan diantara mu rasa cinta dan kaih sayamg. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar menjadi tanda-tanda bagi kamu yang berfikir. Adapun diatara hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawianan itu adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hakl yang tidak diizinkan syara dan menjaga kehormatan bagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam haditsnya yang muffaq alaih yang berasal dari Abdullah ibn Masud, ucapan Nabi: wahai para pemuda, siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan umtuk kawin, lka kawinlah karena perkanianan itu lebih mengahalalkan penglihtan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerudakan seksual). Siapa yang nelum mampu berkehendaklah berpuasa, karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat. 4.Motivasi Memilih Pasangan Hidup Dalam pendangan islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Ada beberapa motivasi yang mendorong seseorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawianan dan demikian laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah : dank arena kecantikanya sorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki, karena kekayaanya, karena kebangsaamya dan karena

keberagamannya. Di antara alas an yang baik itu maka, yang paling itama dijadikan motivasi adalah karena keberagamannya. Hal ini dijelaskan Nabi dalam haditsnya yang muttafaq alaih berasal dari Abu Hurairah,ucapan Nabi yang bunyinya: Perempuan itu dikawini dengan empat motivasi, karena hartanya, karena kedudukan atau kebangsawanannya. Pilihlah karena keberatanyaanya, kamu mendapat keberuntungan. Yang dimaksud dengan keberagamaan di sini adalah komitmen keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan, suatu ketika akan hilang. 5.Peminangan a. Arti Peminangan Setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dikawini sesuai dengan kriteria sebagaimana disebutkan di atas, langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu disebut dengan khitbah atau yang dalam bahasa Melayu disebut "peminangan". Kata khitbah disyari'atkan adalah bahasa Arab standar yang terpakai dalam pergaulan

sehari-hari; terdapat dalam firman Allah dan terdapat pula dalam ucapan Nabi serta pula dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksa-nakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Di antaranya ada yang pihak laki-laki yang mengajukan peminangan kepada pihak perernpuan dan adakalanya pihak perempuan yang mengajukan pinangan ke pihak laki-laki Syari'at menetapkan aturan-aturan tertentu dalam peminangan ini. Dalam syari'at Islam yang mengajukan pinangan itu adalah dari pihak laki-laki, boleh laki-laki itu sendiri atau

mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada dalam status orang yang menerima pinangan. b. Orang-orang yang boleh dipinang Pada dasarnya peminangan itu adalah proses awal dari suatu perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang secarahukum syara' boleh dikawini oleh seseorang laki-laki, boleh dipinang. Hal ini berarti tidak boleh meminang orang-orangyang secara syara' tidak boleh dikawini (akan dijelas-kan pada tempatnya). Tidak boleh meminang seseorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan syarat akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini; sama dengan menggunakan bahasa terus terang seperti: "Bila kamu dicerai oleh suamirnu saya akan mengawini kamu" atau dengan bahasa sindiran seperti: "Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu". Perempuan-perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj'i, sama keadaannya dengan perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidak bolehannya untuk dipinang baik dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya ialah bahwa perempuan dalam iddah talak raj'i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun dibolehkan meminangnya dengan bahasa sindiran. Kebolehan meminang perempuan yang kematian suami dengan sindiran ini dijelaskan Allah dalam surat al-Raoarah ayat 235: Dan tidak, ada dosa bagimu meminangperempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengaivini mereka) dalam hatimu. Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak bain dalam bentuk f asakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini adalah oleh karena perempuan itu dengan talak bain tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.

Di samping perempuan yang bersuami atau yang telah putus perkawinannya sebagaimana disebutkan di atas, juga tidak boleh meminang perempuan yang sudah dipinang oleh orang lain. Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam haditsnyayang muttafaq alaih yang berasal dari Ibnu Umar, ucapan Nabi yang bunyinya: Janganlah seseorang di antara kamu meminang perempuan yang .telah dipinang

saudaranya hingga peminang pertama telah meninggalkannya atau mengiinkannya untuk, meminang. Hadits Nabi di atas menjelaskan ketentuan tentang memi-nang perempuan yang telah dipinang sebagai berikut: a. Larangan meminang itu berlaku bila jelas-jelas pinangan pertama itu telah diterima dan ia mengetahui diterimanya pinangan tersebut. b. Larangan meminang berlaku bila peminang pertama itu adalah saudaranya dalam arti saudara seagama atau seorang muslim. c Larangan itu tidak berlaku bila peminang pertama telah meninggalkan atau telah membatalkan pinangannya. d. Larangan itu juga tidak berlaku bila peminang pertama telah memberi izin kepada peminang kedua untuk menga-jukan pinangan. c. Melihat perempuan yang dipinang Waktu berlangsungnya peminangan laki-laki yang mela-kukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya, meskipun menurut asalnya seseorang laki-laki haram melihat kepada perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya: Bila seseorang di antara kamu meminangperempuan dan ia mampu melihatnyayang akan mendorong untuk memkahinya, maka lakukanlah. Dalam ibarat lain hadits Nabi mengatakan: Memandanglah kepadanya, karenajang demikian itu akan kbih mdanggengkan perkawinan keduanya.

c. Batas yang boleh dilihat Meskipun hadits Nabi menetapkan boleh melihat perem-iuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh lilihat. Dalam hal ini terdapat beda pendapat di kalangan jlama. Jumhur ulama menetapkan bahwa yang boleh dilihathanyalah muka dan telapak tangan. Ini adalah batas yang umum aurat seseorang perempuan. Yang menjadi dasar bolehnya melihat dua bagian badan itu adalah hadits Nabi dari Khalid ibn Duraik dari Aisyah menurut riwayat Abu Daud: Asma binti Abi Bakar masuk ke rumah Nabi sedangkan dia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling dari-padanya dan berkata: HaiAsma' bila seseorangperempuan telah haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini. Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tangannya. Alasan dipadakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak tangan dapat diketahui kesuburan badannya. Ulama lain seperti al-Awza' iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging. Daud Zhahiri berpendapat boleh melihat semua badan, karena hadits Nabi yang mem-bolehkan melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya. Adapun waktu melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyampaikan pinangan, bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat mening-galkannya tanpa menyakitinya. Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan dan menurut biasanya setelah waktu itu dilangsungkan akad perkawinan. Hubungan antara laid-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya selama masa antara peminangan dan perkawinan itu adalah sebagai mana hubungan lakilaki dan perempuan asing (ajnabi dan ajnabaiyah). Oleh karena itu, belum berlaku hak dan kewajiban di antara keduanya dan di antara keduanya haram melakukan saling melihat sebagaimana haramnya saling melihat di antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami atau mahramnya. 6. Rukun dan Syarat Perkawinan

10

Rukun dan syarat menentukan suatu hukum terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu sendiri. Dengan begitu rukun syarat perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud alam suatu perkawinan, baik yang menyangkut unsur dalam, maupun unsur luarnya.

11

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wall yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu dan mahar. Para ulama jumhur menetapkan akad, keduamempelai, wali si perempuan dan saksi sebagai rukun dari perkawinan, yang bila tidak ada salah satu di antaranya perkawinan itu tidak sah. Sedangkan mahar ditempatkan sebagai syarat dalam arti tidak menentukan kelangsungan 'ikad nikah, namun harus dilaksanakan dalam masa perkawinan. Untuk setiap unsur atau rukun itu berlaku pula beberapa syarat. * Akad nikah Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab penyerahan dari pihak pertama sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya: "Saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab al-Quran". Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: "Saya terima mengawini anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab al-Quran". Syarat-syarat akad adalah: a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Yang melakukan ijab boleh dari pihak laki-laki dan boleh pula dari pihak wali perempuan. Bentuk ijab dari suami umpamanya ucapan suami: "Saya nikahi anak Bapak yang bernama si A dengan mahar satu kitab al-Quran". Qabul dari wali yang bunyinya: "Saya terima engkau menikahi anak saya bernama si A dengan mahar satu kitab al-Quran". b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar. c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. d. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan j terus terang. Dalam lafaz Arab ialah na-ka-ha atau za-ja atau terjemahannya yang dapat dipahami oleh orang yang | berakad, seperti lafaz kawin bagi bahasa Melayu.

12

e. Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan lafaz yang me-1 ngandung maksud membatasi perkawinan untuk masa| tertentu. * Laki-laki dan perempuan yang kawin Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki < perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesamala laki atau sesama perempuan, karena ini yang tersebut dalaj al-Quran. Adapun syarat-syarat mesti dipenuhi untuk laki dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut: a. Keduanya jelas keberadaannya dan jelas identitasnya. b. Keduanya sama-sama beragama Islam (tentang kawin lain agama dijelaskan tersendiri). c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan (tentang larangan perkawinan dijelaskan tersendiri). d. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. Tentang batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh. Tidak adaayat al-Quran yang secara jelas dan terarah menyebut-kan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia. Namun ada ayat al-Quran dan begitu pula ada hadits Nabi yang secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu. Adapun al-Quran adalah firman Allah dalam surat al-Nisa' ayat 6: Ujilah anakjatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempu-nyaibatas umur dan batas umur itu adalah baligh. Adapun hadits Nabi adalah hadits dari Abdullah ibn Mas'ud muttafaq alaih yang bunyinya: Wahai para pemuda siapa dia antaramu telah mempunyc, kmampuan

dalampersiapanperkamnan, maka kaewinlah. Ada seperti persyaratan dalam hadits Nabi ini untuk meimgkan perkawinan yaitu kemampuan persiapan untu Kemampuan dan persiapan untuk kawin ini hany. dapat terjadi bagi orang yang sudah dewasa.

13

Dalam hadits lain dikisahkan Nabi mengawini Aisyah pada waktu berumur 6 tahun dan menggaulinya secara sah setelah berumur 9 tahun. Umur 9 tahun bagi perempuan Arab berarti telah dewasa. Tentang berapa tahun umur dewasa itu ada perbedaan dengan melihat kepada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, begitu pula antara satu budaya dengan budaya lain; antara yang hidup di iklim tertentu dengan lainnya. Dalam hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang di suatu i negara. * Wali 1. Keberadaan wali Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalahl seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan I dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak I yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki I itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya, I Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yangl mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukanl oleh wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hal ini berlakil untuk semua perempuan, yang dewasa atau masih kecil| masih perawan atau sudah janda. Memang tidak ada satu ayat al-Quran pun yang secanl jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinai| Yang ada hanya ayat-ayat yang dapat dipahami menghend adanya wali seperti dalam surat al-Baqarah ayat 221: . janganlah kamu mengamnkan anak-anakperempuw dengan laki-laki musjrik.

Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun dia menarik hati kamu.. tuntunan ini dilemudian Allah kepada para wal untuk tidak mengawini anak perempuannya dengan laki-laki musyrik. Hal ini berarti dalam mengawinilan itu adalah wali. Namun di samping itu terdapat pula ayat al-Quran yang memberikan pengertian perempian itu kawin sendiri tanpa mesti memakai wali, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 232:

14

apabila kamu metalak istri-istrimu dan habis iddahnya maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suami mereka. Ayat ini dengan tegas mengatakan perempuan itu mengewini bakal suami dan wali dilarang mencegahnya. Adanya dua isyarat kemungkianan pemahaman yang berbeda tersebut si atas berbeda paham ilama dalam menetapkan kemestian adanya wali untuk masing-masing 4 kemungkinan perempuan tersebut di atas. Jumhur ulama menggunakan ayat pertama di atas debagai dalil yang mewajubkan wali dalam perkawianan dan menguatkan pendapatnya itu dengan seramgkaian hadisthadist di bawah ini : hadits Nabi dari Abu Burdah bin Abu Nusa menurut ruwayat Ahnad dan lima perawau hadust bunyinya: tidak boleh nikah tanpa wali hadits Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawai hadits selain alNasai perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya adalah batal. hadits dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:

perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirimya sendiri. 2. Orang-orang yang berhak menjadi wali Jumhur ulama membagi wall itu kepada dua kelompok: a. Wall dekat atau wall qarib yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah

kepada kakek. Keduanya mempuny ai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. la dapat mengawinkan anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wait mujbir. Ketidak harusan minta I pendapat dari anaknya yang masih usia muda itu adalahj karena orang yang masih muda tidak mempunyaij kecakapan untuk memberikan persetujuan. b. Wali jauh atau waliab 'ad berurutan adalah: . Yang menjadi wali I jauh ini secara

15

Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah ke-, pada Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada I Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindali J kepada Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindali| kepada Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepa Anak paman seayah. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada. Sultan atau wall hakim yang memegang wilayah umum. 3 Syarat-syarat wali Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali bila memenuhi syarat sebagai berikut: a. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan akad. Hal ini mengambil dalil dari hadits Nabi yang bunyinya: Diangkatkan kalam (tidak diperhitungkan secara hukum) seseorangyangtertidursampaiia bangun, seseorangyangmasih kedlsampai ia dewasa dan oranggila sampai ia sehat. b. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wall. Dalilnya adalah hadits Nabi dari Abu Hurairah yang telah dikutip di atas. c. Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imran ay at 28: janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafirmen-jadi wall dengan meninggalkan orang mukmin. Barangsiapa berbuatdemikian, niscaya lepaslah ia dart pertolongan Allah d. Orang merdeka e. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. f. Berfikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wall, karena dikhawa-tirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.

16

g. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap me-melihara muruah atau sopan santun. Keharusan wali itu adil berdasarkan kepada sabda Nabi dalam hadits dari Aisy ah menurut ri way at dar alQuthniy: Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil. h. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. Hal ini berdasarkan kepada hadits Nabi dari 'Usman menurut riwayat Muslim yang mengatakan: Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak bolehpula dinikahkan oleh seseorang. Pada dasarnya yang menjadi wall itu adalah wali'garifr Bila wall tidak memenuhi syarat baligh, berakal, Islam, merdeka, berfikiran baik dan adil maka perwalian berpindak j kepada wall ab 'ad menurut urutan tersebut di atas. Bila wall qarib sedang dalam ihram haji atau umrah, maka kewalian tidak pindah kepada wali ab 'ad, tetapi pindah kepada wall hakim secara kewalian umum. Demikian pula wali hakifflj menjadi wali nikah bila keseluruhan wali sudah tidak ada,f atau wali qarib dalam keadaan 'adhal atau enggan menga-| winkan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Begitu pulaakailj perkawinan dilakukan oleh wali hakim bila wali qarib sedanj I berada di tempat lain yang jaraknya mencapai dua mar/iflU| (sekitar 60 KM) Pindahnya kewalian kepada wali hakim atau sultan billseluruh wall tidak ada atau bila wall qarib dalam keadaan enggan mengawinkan, dasarnya adalah hadits Nabi dari Aisyah menurut riwayat empat perawi hadits selain al-Nasai, yang mengatakan: Bila wali itu tidak mau menikahkan maka sultan menjadi wali bagi perempuan yang tidak lagi mempunyai wali. Sedangkan yang menjadi dasar berpindahnya kewalian kepada wali hakim pada saat wali qarib berada di tempat lain adalah disamakan kepada wali yang tidak ada. * Kerelaan perempuan untuk dinikahkan Meskipun perempuan waktu akad nikah tidak dapat mela- kukan sendiri pernikahannya tetapi mesti dilakukan oleh wali, namun kerelaan perempuan untuk dinikahkan merupakan suatu keharusan. Wali mesti meminta izin dan kerelaan perempuan yang dinikahkan bila perempuan itu masih perawan; sedangkan bila perempuan itu sudah janda, tidak cukup hanya minta izin, tetapi si perempuan itu sendiri yang minta untuk

17

dinikahkan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi muttafaq alaih dari Abu Hurairah yang bunyinya: perempuan janda tidak boleh dinikahkan hingga ia diminta untuk menyuruh dikamnkan dan tidak boleh peretnpuan perau>an dinikahkan sehingga ia dimintakan i^in. Para sahabat bertanya; "Bagaimana izinnya ya Kasul Allah" Nabi ber kata: "bila ia diam". Saksi 1. Keberadaan saksi Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbul-nya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Dasar hukum keharusan saksi dalam akad pernikahan ada yang dalam bentuk ayat alQuran dan beberapa hadits Nabi, Adapun ayat al-Quran adalah surat al-Thalaq ayat 2: Apabila mereka telah mendekati akhiriddah mereka, mak rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah menh dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksic. antaramu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu. karena Allah. Adapun hadits Nabi adalah sabda Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat alTirmizi sabda Nabi: Pelacur-pelacuritu adalah orangyangmenikahkan dirinyasent tanpa adanya saksi. Hadits Nabi dari 'Amran ibn Husein menurut riwayalf Ahmad sabda Nabi: Tidak adapernikahan kecuali dengan adanya wall dank orang saksijang adil. 2. Syarat-syarat saksi Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syan sebagai berikut: a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang b. Kedua saksi itu adalah beragama Islam c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka d. Kedua saksi itu adalah laki-laki e. Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat g. Dasar dari syarat-syarat tersebut di atas dapat dilihat secara jelas dari firman Allah dan hadits Nabi yang dikutip di atas. :,

18

* Mahar Mahar atau yang disebut juga shadaq ialah pemberian khusus laki-laki kepada perempuan yang melangsungkan perkawinan pada waktu akad nikah. Hukum memberikan mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada istrinya itu. Dalam menempatkannya sebagai rukun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang me-namakannya rukun dan ada yang menamakannya syarat. Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam al-Quran dan dalam hadits Nabi. Dalil dalam ayat al-Quran adalah firman Allah dalam surat al-Nisa' ayat 4 yang bunyi-nya: Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudianjika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan smanghati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makan-nn)yang sedap lagi baik akibatnya. Adapun dalil dari hadits di antaranya adalah sabda Nabi yang berasal dari Sahal bin Sa'ad al-Sa'idi dalam suatu kisah panjang dalam bentuk hadits muttafaq alaih: Ya Kasul A.llah bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkan soya dengannya. Nabi ber-kata: "A.pa kamu memiliki sesuatu". la berkata : "tidak jn Rasul^Allah ". Nabi berkata: "Pergilah kepada keluargam mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu". Kemudian dia pergi dan segera kembali dan berkata: "Tidak soya mem-peroleh sesuatu y a R.asu/ Allah ". Nabi berkata: "carikli walaupun banya sebentuk cincin besi". Mahar itu adalah suatu yang wajib diadakan dan dijelaskan bentuk dan harganya pada waktu akad. Bila tidak disebutkan pada waktu akad, maka kewajibannya itu harus ditunaikannya selama masa perkawinan sampai putus perkawinan dalam bentuk kematian atau perceraian. Mahar yang disebutkan secara jelas dalam akad disebut mahar musamma. Bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya, maka kewajibannya adalah sebesar mahar yang j diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya. MaharJ dalam bentuk ini disebut mahr mitsil

19

Mahar musamma sebaiknya diserahkan langsung secara j tunai pada waktu akad nikah supaya selesai pelaksanaanj kewajiban. Meskipun demikian dalam keadaan tertentudapat I saja tidak diserahkan secara tunai, bahkan dapat pem-j bayarannya secara cicilan. Bila mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian terjadi putus perkawinan setelah berlangsung hubungan kelamin, sewaktu akad maharnya adalah dalam bentuk musamma,maka kewajiban suami yang menceraikan adalah maharsecara penuh sesuai dengan bentuk dan jumlah yang ditetapkan dalam akad. Namun bila putus perkawinan terjadi sebelum berlangsung hubungan kelamin, sedangkan jumlah mahar sudah ditentukan, maka kewajiban mantan suami hanyalah separuh dari jumlah yang ditetapkan waktu akad, kecuali bila yang separuh itu telah dimaafkan oleh mantan istri atau walinya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al- Baqarah ayat 237: jika kamu tnenceraikan istri-istrimu sebelum kamu ber-campur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah separuh dari mahar yang telah ditentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orangyang memegang ikatan nikah. Adapun bila perkawinan putus sebelum hubungan kelarain dan sebelumnya jumlah mahar tidak dijelaskan dalam akad maka tidak ada kewajiban mahar. Sebagai imlialannya Allah mewajibkan apa yang bernama mut'ah, yaitun pemberian tertentu yang nilainya diserahkan kepada bkemampuan mantan suami. Hal ini dijelaskan secara langsung oleh Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 236: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu benampur dengannya dan sebelum kamu menetapkan maharnya. Hendaklah kamu berikan suatu mut'ab (pemberian) kepad mereka. Orangyang mampu menurut kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurutyangpatut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orangyang berbuat kebajikan. Bentuk, jenis dan nilai mahar Pada umumnya mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga lainnya. Namun syari' at Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.

20

Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Quran dan demikian pula dalam hadits Nabi. Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam al-Quran ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seseorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah dalam surat al-Qashash ay at 27: Berkatalah dia (Sju'aib): "Sesungguhnya aku bermaksm ' menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua and perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganb delapan tahun danjika kamu cukupkan sepuluh tahun mak itu adalah usuranmu ". Contoh dalam hadits Nabi adalah menjadikan mengajar-kan al-Quran sebagai mahar sebagaimana terdapat dalatn hadits dari Sahal bin Sa' ad al-Sa' adiy dalam bentuk muttajaq alaih, ujung dari hadits panjang yang dikutip di atas: Nabi berkata: "Apakah kamu memiliki hafalan qyat-qyat al-Quran?" lamenjawab: "Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya". Nabi berkata: "Kamu hafalsurat-suratitu di luar kepala?" Dia menjawab: l(Ya ". Nabi berkata: "Pergi-lah, soya kaivinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan al-Quran ". Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya me-merdekakan Sofiyah tersebut. Kemudian ia menjadi ummu al-mukminin. Hal ini terdapat dalam hadits dari Anas ra. yang muttafaq 'alaih ucapan Anas: Bahwa sesungguhnya NabiMuhammad' SA W. telah memer-dekakan Sofijah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya (waktu kemudian mengamninya). Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau barang berharga makaNabi menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana. Hal ini tergambar dalam sabdanya dari 'Uqbah bin 'Amir yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan disahkan oleh Hakim ucapan Nabi: artinya: Sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah. Hal ini dikuatkan pula dengan hadits Nabi dari Sahal ibn Sa'ad yang dikeluarkan oleh al-Hakim yang mengatakan: Bahwa Nabi Muhammad SA W. telahpernah mengamnkan seseorang laki-laki dengan perempuan dengan maharnya stbentuk cincin best. Bila mahar itu dalam bentuk barang maka syaratnya: a. Jelas dan diketahui bentuknya b. Barang itu miliknya sendiri

21

b. Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjual-belikan c. Dapat diserahkan pada waktunya 7. Beberapa bentuk perkawinan yang terlarang Di atas telah dijelaskan rukun syarat perkawinan yang keduanya mesti dipenuhi dalam suatu perkawinan. Bila salah satu rukun dari rukun-rukun perkawinan itu tidak terjadi maka nikahnya dinyatakan tidak sah. Bila yang tidak terpenuhi itu adalah salah satu syarat dari syarat yang terdapat pada rukun itu maka nikahnya termasuk nikah atau perkawinan yang terlarang. Di antara perkawinan yang terlarang itu adalah: Nikah mut'ah Nikah mut'ah adalah perkawinan untuk masa tertentu; dalam arti pada waktu akad dinyatakan masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan sen-dirinya. Nikah mut'ah itu waktu ini masih dijalankan oleh penduduk Iran yang bermazhab Syi' ah Imamiyah dan disebut dengan nikah munqati'. Bentuk hakiki dari nikah mut'ah itu sebagaimana terdapat dalam literatur fiqh Syi' ah Imamiyah adalah sebagai berikut: a. Ada akad nikah dalam bentuk ijab dan qabul antara pihai yang berakad. b. Ada wali bagi perempuan yang belum dewasa, sedangkan yang telah dewasa tidak perlu ada wali; dan wali itu di-utamakan laki-laki. c. Ada saksi sebanyak dua orang yang memenuhi syarat. d. Ada masa tertentu untuk ikatan perkawinan baik diper hitungkan dengan tahun, bulan, minggu bahkan bilangar hari, yang masa ini disebutkan secara jelas dalam akad. e. Ada mahar yang ditentukan berdasarkan kesepakatan ber-sama. f. Tidak ada peristiwa talak, karena putus perkawinan terjadi dengan sendirinya setelah waktu yang ditentukan berakhir. g. Bila salah seorang dari suami istri mati dalam masa yang ditentukan tidak ada saling mewaris, kecuali bila disyarat-kan dalam akad. Anak yang lahir adalah anak sah dan berhak menerima warisan. h. Perempuan yang telah putus perkawinannya karena berakhirnya waktu mesti menjalani iddah yang bagi perempuan haid selama dua kali haid, bagi yang kematian suami selama 4 bulan sepuluh hari; sedangkan bagi yang hamil melahirkan anak.

22

Dari uraian di atas terlihat bahwa dari segi rukun nikah tidak ada yang terlanggar, namun dari segi persyaratan ada yang tidak terpenuhi yaitu ada masa tertentu bagi umur perkawinan, sedangkan tidak adanya masa tertentu itu merupakan salah satu syarat dari akad. Nikah mut'ah pernah terjadi di kalangan umat Islam dan diridhai oleh Nabi sebagaimana terdapat dalam hadits I Nabi dari Salamah bin al-Akwa' menurut riwayat Muslim yang mengatakan: rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authus intik melkukan muah selama tiga hari, kemudian Nabi melarangmya. Yang dimaksud dengan tahun-tahun authas itu adalah waktu perang Khaibar, umrah qadha, tahun memasuki Mekah, tahun Authas, perang Tabuk dan waktu haji wada'. Dalam kebolehannya waktu ini terdapat perbedaan antara ulama Ahlu Sunnah dengan Syi'ah Imamiyah. Menurut jumhur ulama bahwa kebolehan nikah mut'ah itu sudah dicabut dengan arti sekarang hukumnya telah haram. Ulama Syi'ah berpendapat bahwa tidak ada hadits Nabi yang sahih yang mencabut kebolehan itu; dengan arti masih tetap boleh hukumnya sampai sekarang. Nikah tahlil atau muhallil Nikah muhallil atau nikah tahlil adalah perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan , talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya. Bila seseorang telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ay at 230: kemudian jika suami mentalaknya (setelah telak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali bila dia telah kawin dengan suani lain. suami yang telah mentalak istrinya tiga kli itu sering ingin kembali lagi kepada bekas ietrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut ketentuan perkawinan, mingkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat maksudnya itu ia mencari seseorang laki-laki yang akan mengawini bekas uetrinya itu secara pura-pira, biasanya dengan suatu

23

syarat bahwa setelah berlangsung akad nikah segera diceraikannya sebelum senpat digaulinya. Ini berarti kawin akal-akalan intik cepat menghentikan suatu yang diharamkan. Perkawinan tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan; namun karena niat orang yang mengawini itu tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, perkawinan ini dilarang oleh Nabi dan pelakunya baik laki-laki yang menyuruh kawin atau laki-laki yang menjadi penghalal itu dilaknat Rasul Allah. Hal ini terdapat dalam hadits Nabi dari Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasai dan al-Tirmizi dan keluarkan oleh empat perawi hadits selain al-Nasai yang bunyinya: Rasul Allah SAW. Mengutk orang yang menjadi mihalil (orang yang menyitih kawin) dan muhallal lah (orang yang melakkan perkawinan tahlil). SAW. mengutuk orangyang menjadi muhallil (orangyang menyuruh kawin) dan muhallal lah (orangjang melakukan perkaivinan tahlil). Nikah syigar Nikah syigar ialah perbuatan dua orang laki-laki yang saling menikahi anak perempuan dari laki-laki lain dan masingmasing menjadikan pernikahan itu sebagai maharnya. Dalam bentuk nyatanya ialah sebagai berikut: seseorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang laki-laki lain: "Saya kawinkan anak perempuan saya bernama si A kepadamu dengan mahar saya mengawini anak perempuanmu yang bernama si B". Laki-laki lain itu menjawab dalam bentuk qabul: "Saya terima mengawini anak perempuanmu yang bernama si A dengan maharnya kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B". Yang tidak terdapat dalam perkawinan itu adalah mahar secara nyata dan adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu, perkawinan dalam bentuk ini dilarang. Larangan itu terdapat dalam hadits Nabi dari NafT dari Ibnu Umar dalam kualitas muttafaq'alaih yang bunyinya: melarangperkawinan syigar. Perkawinan syigar itu ialah bahwa seorang laki-laki mengaivinkan anaknya dengan ketentuan laki-laki lain mengawinkan anaknyapula kepadanya dan tidak ada di antara keduanya mahar. Imam Syafi'i menurut yang dikutip dalam Subul al-Salam mengatakan tidak mengetahui secara jelas apakah definisi nikah syigar sebagaimana terdapat pada baris kedua hadits yang disebutkan di atas apakah langsung dari Nabi, atau dirumuskan oleh Nafi; atau dari

24

Ibnu Umar sebagai salah satu sanad, namun ta'rif nikah syigar tersebut begitu populer dalam kitab fiqh. 8. Perkawinan yang diharamkan Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang tidak boleh dikawini oleh seseorang dalam arti perempuan-perem-puan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seseorang laki-laki; atau sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seseorang perempuan. Keseluruhannya diatur dalam al-Quran. Di antaranya haram untuk selamanya yang disebut mahram muabbad dan di antaranya haram untuk sementara waktu dalam arti suatu ketika ia sudah tidak lagi | menjadi haram, yang disebut mahram muaqqat. a. Mahram muabbad Mahram muabbad yaitu orang-orang yang haramj melakukan pernikahan untuk selamanya ada tiga kelompok: j 1. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan. Perempuan-perempuan yang haram dikawini olelj seorang laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungaj kekerabatan atau nasab adalah sebagai berikut: Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas; ibunya ayah dan seterusnya ke atas. Anak; anak dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah; anak dari anak perempuan dan seterusnya ke bawah. Saudara-saudara kandung, seayah atau seibu. Saudara-saudara ayah. Saudara-saudara ibu.

Anak-anak dari saudara laki-laki, anak-anaknya dan seterusnya ke bawah. Anak-anak dari saudara perempuan, anak-anaknya dan seterusnya ke bawah. Keharaman perempuan-perempuan disebutkan di atas sesuai dengan bunyi surat al-Nisa' ayat 23: Diharamkan atasmu (mengamni) ibu-ibumu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, saudara-saudara ayahmu, saudara-saudara ibumu, anak-anak saudara laki-lakimu; anak-anak saudara-saudaraperempuanmu. Sebaliknya seseorang perempuan tidak boleh kawin untuk selama-lamanya karena hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut di bawah ini. * Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas.

25

* Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau perempuan dan seterusnya ke bawah. * Saudara-saudara laki-laki kandung, seayah atau seibu. * Saudara-saudara laki-laki ayah. Saudara-saudara laki-laki ibu. Anak laki-laki saudara laki-laki. Anak laki-laki dari saudara perempuan. 2. Haram perkawinan karena adanya hubungan perkawinan (rnushaharah) Bila seseorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seseorang perempuan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan kerabat si perempuan; demikian pula sebaliknya terjadi pula hubungan antara si perempuan dengan kerabat dari laki-laki itu. Hubungan-hubungan tersebut dinamai hubungan rnushaharah. Dengan terjadinya hubungan rnushaharah timbul pula larangan perkawinan. Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seseorang laki-laki untuk selamanya karena hubungan rnushaharah itu adalah sebagai berikut: Perempuan yang telah dikawini oleh ayah, baik perempuan tersebut telah digauli oleh ayah atau belum. Perempuan yang dikawini oleh anak laki-laki, baik perempuan itu telah digauli oleh anak atau belum. Ibu atau ibunya ibu dari istri, baik istri itu telah digauli atau belum. Anak-anak perempuan dari istri dengan ketentuan istri itu telah digauli. Empat perempuan yang terlarang untuk dikawini sebagai-mana disebutkan di atas sesuai dengan petunjuk Allah dalam surat al-Nisa' ay at 22 dan 23: dan jangan kami\u menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahayahmu kecuali yang sudah berlalu, dan jangan kamu menikhi ibu-ibu dari istri-istri kamu dan anak-anak tirimu yang berada dalam asuhanmu dari istri yang telah kemu gauli. Bila kamu belim menggeulinya, tidak apa kamu mengawininya. Jangan kamu mngawini ietri-istri dari anak-anakmu. Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin dengan laki-laki untuk selamanya disebabkan hubungan mishaharah sebagai berikut: laki-laki yang telah mengawini ibunya

26

ayah-ayah dari suami anak-anak dari suaminya laki-laki yang telah pernag mengawini anak perempuanya

3. karen hubungan persusuan bila seseorang laki-laki menyusu lepada seseorang [erempuan maka air susu perempuan itu menjasi darah dan pertumbuhan bagi anak sehingga perempuan yang menyusukan itu telah seperti ibunya. Ibu tersebut menghasilkan susu karena kehamilan yang disebabkan hunbungan dengan suaminya sehungga suami perempuan itu sudah aeperti ayahnya. Adanya hubungan persusuan ini muncul dengan dua syarat: Anak yang menyususu masuh berumur dua tahun, karena dalam masa tersebut susu ibuakan menjadi pertumnihannya. Batas masa dua tahun ini berdasarkan kepada sabda Nabi dalam haits dari Ibnu Abbas menirit riwayat al-Dar al-Quthniy mengatakan ucapan Nabi yang bunyinya: Tidak. ada hubungan persusuan kecuali dalam masa dua tahun. Si anak menyusu sebanyak lima kali susuan, karena bila kurang dari itu belum akan menyebabkan pertumbuhan. Batas jumlah ini berasal dari 'Aisyah menurut riwayat Muslim yang mengatakan: Pada waktu turunnya al-Quran batas susuan adalah sepuluh kaliyang tertentu, kemudian dinasakhkan dengan lima kali. Kemudian Nahi wafatjumlah tersebut adalah seperti apayang terbaca dalatn al-Quran. Adapun perempuan yang haram dikawini untuk selamanya karena hubungan susuan ini adalah ibu yang menyusukan dan perempuan-perempuan yang menyusu kepada ibu itu. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran pada surat al-Nisa' ay at 23: diharamkan mengamni ibu-ibujang menyusukan kamu dan saudara-saudara sepersusuan dengan kamu. Perempuan yang haram dikawini karena susuan ini diper-luas oleh Nabi dalam ucapannya yang berasal dari Ibnu Abbas yang muttafaq 'alaih: Perempuan itu tidak, boleh soya nikahi karena dia adalah saudaraku sepersusuan. Diharamkan karena kubungan susuan mana-mana yang diharamkan karena hubungan nasab.

27

Berdasarkan hadits Nabi tersebut bila ia menyusu kepada seseorang perempuan maka ia sudah seperti ibunya dan dengan sendirinya perempuan lain yang berhubungan nasab dengan perempuan itu juga haram dikawininya, seperti ibunya, neneknya, saudaranya dan anak-anaknya. Selanjutnya suami dari perempuan yang menyusukan itu sudah menjadi ayahnya; maka perempuan yang berhubungan nasab dengan laki-laki itu telah haram dikawininya. Demikian pula haram menikahi istri-istri dan anak-anak dari laki-laki tersebut. Hubungan susuan ini di sampng berkembang kepada hubungan nasab, juga berkembang kepada hubungan mushaharah. Bila seseorang tidak boleh mengawini ibu tiri, maka keharaman ini juga meluas kepada perempuan yang menyusukan ibu tiri itu. Bila seseorang laki-laki tidak boleh mengawini anak tiri, keharaman ini meluas kepada perempuan yang disusukan oleh anak tiri itu. Bila haram mengawini istri dari anak, maka haram pula mengawini perempuan yang disusukan oleh anak itu. Bila haram mengawini ibu dari istri, haram juga mengawini orang yang menyusukannya. b. Mahram ghairu muabbad Mahram ghairu muabbad ialah larangan kawin yang berlaku untuk sementara berarti tidak boleh kawin dalam waktu tertentu karena sesuatu hal; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal-hal tersebut di bawah ini: 1. Memadu dua orang yang bersaudara. Bila seseorang laki-laki telah mengawini seorang perempuan, dalam waktu yang sama dia tidak boleh mengawini saudara dari perempuan itu. Dengan demikian bila dua perempuan itu dikawininya sekaligus, maka perkawinan dengan kedua perempuan itu batal. Bila dikawininya dalam waktu yang berurutan, maka kawin yang kedua menjadi batal. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Nisa' ayat 23: bahwa (tidak boleh kamu) mengumpulkan dua orang bersaudara, kecuali apayang telah berlalu... Pengertian dua orang bersaudara dalam ayat ini diperjelas oleh Nabi dengan memperluasnya kepada antara perempuan dengan saudara perempuan ayahnya atau saudara perempuan ibunya. Hal ini dijelaskan Nabi dalam haditsnya dari Abu Hurairah menurut riwayat yang muttafaq 'alaih:

28

Tidak boleh dikumpulkan (dimadu) antara seorang perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh dikumpulkan antara seorang perempuan dengan saudara ibunya. Bila istrinya itu telah diceraikannya, boleh dia kawin dengan saudara perempuannya atau dengan saudara ayahnya atau saudara ibunya. 2. Perkawinan yang kelima. Seseorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam masa tertentu, yaitu selama salah seorang di antara istrinya yang empat itu belum diceraikannya. Pembatasan pada empat orang ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Nisa ay at 3: Bila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak perempuan, kawinilah perempuan lainyang kamu senangi dua, tiga atau empat. Bila kamu takut tidak akan berlaku adil cukup seorang... Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam membolehkan adanya kawin poligami, yaitu seseorang mempunyai istri lebih dari satu orang, namun kebolehan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu syarat yaitu kemampuan berlaku adil di antara istri-istri itu. Adil itu bukan suatu yang mudah untuk dilaksanakan. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat al-Nisa' ayat 129: Dan kamu tidak. akan mampu berlaku adil at antara istr -istrimu, walaupun kamu ingin sekali berbuat begitu. Oleh karena itujanganlah kamu terlalu cenderung kepada seorang yang kamu cintai hingga kamu biarkanjang lain terkatung. Para fuqaha terdahulu hanya membatasi adil itu kepada hal yang bersifat zahir seperti adil dalam member! nafkah, adil dalam giliran tidur, adil dalam giliran diajak bepergian dan hal-hal yang bersifat lahir; dan tidak mensyaratkan adil dalam yang bersifat batin seperti dalam cinta kasih. Waktu ini setiap negara yang menetapkan undang-undang perkawinan bagi umat Islam dapat mengembangkan syarat adil tersebut dalam bentuk mempersempit terjadinya poligami dengan syarat yang lebih berat seperti: kemampuan mem-belanjai semua istriistrinya yang dibuktikan kemampuan itu dengan bukti penghasilannya dalam setahun atau sebulan umpamanya.

29

3. Perempuan yang bersuami atau dalam iddah Seseorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan begitu pula yang telah dicerai oleh suami atau kematian suami tetapi masih berada dalam iddah haram dikawini. Keharaman itu berlaku selama perempuan itu belum dicerai oleh suaminya dan yang menjalani iddah belum habis iddahnya. Setelah itu ia boleh dikawini oleh siapa saja. Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam surat al-Nisa' ayat 24 yang bunyinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami, kecualibudakbudakjangkamumiliki .... Hal demikian berlaku juga bagi perempuan yang sedang berada dalam iddah kecuali yang akan mengawininya itu adalah bekas suaminya sendiri. 4. Mantan istri yang telah ditalak tiga bagi mantan suaminya. Seseorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan tiga talak, baik sekaligus atau bertahap, mantan suaminya haram mengawininya sampai mantan istri itu kawin dengan laki-laki lain dan habis pula iddahnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230: Kemudian jika si suami mentalaknya (setelah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halallagi baginya kecuali bila istri itu telah kamn dengan suami lain. 1. Perempuan yang sedang ihram Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji atau ihramumrah, tidak boleh dikawini oleh laki-laki mana pun kecuali sudah lepas masa ihramnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam haditsnya dari Usman ibn Affan menurut riwayat Muslim yang mengatakan: Orangjang sedang ihram tidak boleh kawin dan tidak. boleh dikamnkan. 6. Perempuan pezina sebelum taubat Perempuan pezina haram dikawini oleh laki-laki baik (bukan pezina), sampai ia taubat. Keharaman mengawini pezina ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat alNurayat 3: laki-laki yang berzina tidak kawin kecuali dengan perempuan pezina atau perempuan misyrik perempuan pezina tidak akan dikawini kecuali dengan laki-laki pezina atau yang misyril. Diharamkan yang demikian untuk orang beriman.

30

Bila perempuan pezina itu telah taubat, boleh dikawini karena dengan taubatnya itu sudah menjadi perempuan baik. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surat alFurqan ayat 68 dan 70: Dan orang-orangyang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah; tidak membunuhjirvayang diharamkan Allah kecuali secara hak; dan tidak berzina, barangsiapa yang berbuat demikian, niscqya mendapatkan dosa. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amalshaleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan... 7. Perempuan musyrik Perempuan musyrik yaitu yang percaya kepada banyak tuhan atau tidak percaya sama sekali kepada Allah, haram dinikahi oleh seseorang muslim. Begitu pula sebaliknya laki-laki musyrik haram kawin dengan perempuan muslimah kecuali bila ia telah masuk Islam. Keharaman kawin laki-laki muslim dengan perempuan musyrik atau perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik dinyatakan Allah dalam surat al-Baqarah ay at 221: Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan-perempuan hambayang beriman lebih baik dan perempuan musyrik merdeka, walau ia menakjubkanmu. Janganlah kamu mengawinkan anak perempuanmu kepada laki-laki musyrik sebelum ia beriman. Sesungguhnya perempuan hamba yang beriman lebih baik daripadaperempuan merdekayang musyrik, walau ia menanan hatimu. Mengawini perempuan ahli kitab bagi laki-laki muslim sebenarnya dibolehkan; oleh karena ada petunjuk yang jelas terdapat dalam al-Quran, sebagaimana di antaranya terdapat dalam surat al-Maidah ay at 5: Pada hari ini dihalalkan kepadamuyang baik-baik. Makan-an (sembelihan) orangorangyang diberi kitab itu halaluntuk-mu dan makanan kamu halaluntuk mereka. Dan dihalalkan (mengamni) perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan yang beriman dan perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuanperempuan ahli kitab sebelum kamu, bila kamu telah memberikan mahar mereka...

31

Yang dimaksud dengan ahli kitab dalam ayat ini adalah orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di masa Nabi Muhammad, yang mana waktu itu agama mereka masih diterima oleh Nabi. Dalam hal apakah hukum mengawini perempuan ahli kitab dalam ayat tersebut juga berlaku untuk orang Yahudi dan Kristen sekarang (Katholik atau Protestan dengan segala sectenya), terdapat perbedaan di antara ulama fiqh. Mayoritas ulama mengatakan mereka tidak lagi ter-masuk pada pengertian ahli kitab yang boleh dikawini. Mereka dikelompokkan ke dalam pengertian musyrik yang terdapat dalam ayat tersebut di atas. Adapun perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab disepakati oleh ulama tentang keharamannya, karena tidak ada petunjuk sama sekali yang membolehkannya. 9. PESTA PERKAWINAN Walimah atau lengkapnya walimah al- 'urs yaitu per-helatan yang dilakukan setelah selesai akad nikah. Hukum walimah itu menurut paham kebanyakan ulama adalah sunat. Hal ini dipahami dari sabda Nabi yang berasal dari Anas ibn Malik menurut penukilan yang muttafaq 'alaih: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. melihat ke muka AbdulRahman bin 'Auj'yangmasih ada bekaskuning. Nabi Berkata : "Ada apa ini?". Abdul ULahman berkata: "Soya baru mengawini seorangperempuan dengan maharnya lima dirham". Nabi bersabda: "Semoga Allah memberkatimu". Adakanlah perhelatan, walaupun hanya dengan memotong seekor kambing. Perintah Nabi untuk mengadakan walimah dalam hadits ini, meskipun ada ulama yang mengatakan hukumnya wajib, sebagaimana yang dipahami oleh mazhab Zhahiri, namun jumhur ulama memahaminya hanya sunat. Adapun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah dalam rangka mengumumkan kepada khalayak bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan di kemudian hari. Sunatnya hukum mengadakan walimah mengandung arti sunat mengundang khalayak ramai untuk menghadiri pesta itu dan memberi makan hadirin yang datang. Tentang hukum menghadiri walimah itu bila ia diundang pada dasarnya adalah wajib sesuai dengan perintah Nabi untuk menghadiri undangan itu dalam sabdanya dari Ibnu Umar dalam hadits muttafaq 'alaih:

32

Nabi Muhammad SAW. bersabda: "Eila salah seorang di antaramu diundang menghadiri walimah al- 'urs, hendaklah mendatanginya. Meskipun seseorang wajib mendatangi walimah, namun para ulama memberikan kelonggaran kepada yang diundanguntuk tidak datang dalam hal-hal sebagai berikut: a. Dalam walimah dihidangkan makanan dan minuman yang diyakininya tidak halal b. Yang diundang hanya orang-orang kaya dan tidak mengundang orang miskin c. Dalam walimah itu ada orang-orang yang tidak berkenan dengan kehadirannya d. Dalam rumah tempat walimah itu terdapat perlengkapan yang haram e. Dalam walimah diadakan permainan yang menyalahi aturan agama Bila seseorang diundang oleh dua orang dia harus men-dahulukan orang yang terdekat pintunya dan bila diundang dalam waktu yang sama dan tidak mungkin dia menghadiri keduanya, maka ia harus memenuhi undangan yang pertama. Hal ini dijelaskan Nabi dalam hadits dari seorang sahabat Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dalam sanad yang lemah, ucapan Nabi: Bila bertemti duo. undangan dalam ivaktu yang sama, perkenankanlah manayang terdekatpintunya dan bila salah seorang lebih dahulu, makaperkenankanlah manayang lebih dahulu. 10.Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga hak suami merupakan kewajiban bagi istri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi istri. Dalam kaitan ini ada tiga hal: a. Kewajiban suami terhadap istrinya, yang merupakan hak istri dari suaminya. b. Kewajiban istri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari istrinya. c. Hak bersama suami-istri. d. Kewajiban bersama suami-istri. Adapun kewajiban suami terhadap istrinya dapat dibagi kepada dua bagian: Kewajiban yang bersifat materi

33

Kewajiban materi suami terhadap istri di samping mahar yang diberikannya waktu akad nikah adalah nafaqah dalam bentuk makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kewajiban suami untuk memberikan makanan dan pakaian kepada istrinya berdasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan carayang maksurf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya. ]anganlah seseorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seseorang ayah karena anaknya. Tentang kewajiban memberikan tempat tinggal atau perumahan didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Talaq ayat 6: Beri tempat tinggallah mereka (istri-istri) di mana kamubertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) tnereka. Adapun ukuran pemberian nafkah dalam bentuk tiga hal tersebut di atas adalah menurut kadar kemampuan suami. Hal ini sesuai dengan finnan Allah dalam surat al-Talaq ayat7: Hendaklah orangjang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orangjang disempitkan re^ekinja hendaklah memberi nafkah re^eki jang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang kecuali apajang Allah berikan kepadanya... Kewajiban yang tidak bersifat materi a. Menggauli istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nisa' ayat 19: Pergaulilah tnereka (istri-istrimu) secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikanyang banyak. b. Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibat-kannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan mara bahaya. Tentang menjauhkannya dari perbuatan dosa dan maksiat itu dapat dipahami dari umum firman Allah dalam suratAt-Tahrim ayat 6 yang mengatakan:

34

Peliharalah dirimu dan peliharalab dirt keluargamu dari neraka. Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya adalah: a. Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kudrat-nya. Hal ini dapat dipahami dari ayat yang menuntut suami menggauli istrinya dengan baik yang dikutip di atas, karena perintah untuk menggauli itu berlaku untuk timbal balik. b. Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat. Kewajiban mematuhi suami ini dapat dilihat dari isyarat firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 34: Perempuan-perempuanyang shaleh ialah perempuanyang taat kepada Allah (danpatuh kepada suami) memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka. Tidak adanya kewajiban patuh kepada siapa pun termasuk kepada suami yang menyuruh kepada maksiat dapat dipahami dari sabda Nabi: Tidak. ada kewajiban taat kepada siapa pun bila disuruh untuk berbuat maksiat kepada Allah c. Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah tersebut di atas. d. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya. e. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar. Kesemuanya ini dapat dilihat dari sabda Nabi dalam hadits dari Abu Hurairah menurut yang dikeluarkan oleh al-Nasa i: Nabi ditanya: "Ya RasaJ'Allahperempuan manajang lebih baik?". Nabi berkata: "Bila suami memandangnya, iamenye-nangkan suaminya; hi la suatni menyuruhnya, ia mematuhinya; ta tidak menyalahi suaminya ten tang diri dan hartanya tentang sesuatujang tidak disenanginya. Hak bersama suami istri:

35

Yang dimaksud dengan hak bersama suami istri ini adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut: a. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara kedua-nya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu. b. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah. c. Hubungan saling mewarisi di antara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian. Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan telah terjadinya perkawinan itu adalah: a. a.Memelihara anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut b. Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah B.PUTUSNYAPERKAWINAN Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami-istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami-istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan: 1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan. 2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakannya kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.

36

3.

Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu

yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri ini denga membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut: khulu'. 4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihakketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh. Di samping itu terdapat pula beberapa hal yang menye-babkan hubungan suami istri yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara hukum syara'. Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk: a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya. la dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kafarah. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut zhihar. b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar kafarah atas sumpah-nya itu; namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut: ila'. c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhannya terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai selesai proses li'an dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut: li'an. 1.Talak Arti Talak Secara harfiyah talak itu berarti lepas dan bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun essensinya sama. Al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan:

37

melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnyaah Hukum talak Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sennah Allah dan aunnah Rasul. Ptulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tengga yang sakinah mawadah warohmah. Meskipun demikian bila hubungan pernikahan itu tiak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kenudaratan, maka islam membuka pintu intuk terjadinya perceraian. Dengan demikian pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh. Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya talak itu dengan berbagai pentahapan. Hal ini terlihat dalam surat al-Nisa ayat 34: perempian-perempian yang kamu khawatirkan nusyuznya maka kasehati mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur san pikillah mereka. Kenudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu ,mencari-cari jalan untuk menyusahkanya Adapun ketidaksenangan Nabi lepada perceraian itu terlihat dalam haditsmnya dari Ibnu Majah menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, sabda Nabi: perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. Walaupun hukum asal dari talak itu adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu maka hukum talak itu adalah sebagai berikut: a. Nadab atau sunat; yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahan-kan juga kemudaratan yang lebih banyak akan timbul. b. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada. c. Wajib atau mesti dilakukan. Yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah ber-sumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai

38

masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kaffarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu memudaratkan istrinya. d. Haram talak itu dilakukan tanpa alasan sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli. Hikmah adanya talak Walaupun talak itu dibenci terjadinya dalam suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan. Hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga, rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada dua belah pihak dan orang di sekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan mashlahat. Rukun dan syarat talak Untuk terjadinya talak ada beberapa unsur yang berperan padanya dan masing-masing unsur mesti pula memenuhi per-syaratan tertentu. a. Suami yang mentalak istrinya mestilah seseorang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta ucapan talak yang dikemukakannya itu adalah atas dasar kesadaran dan kesengajaannya. Dengan demikian talak yang dilakukan anak-anak, orang gila, orang terpaksa dan orang yang ter-salah dalam ucapannya tidak sah talak yang diucapkannya. b. Perempuan yang ditalak adalah istrinya atau orang yang secara hukum masih terikat perkawinan dengannya. Begitu pula bila perempuan itu telah ditalak oleh suaminya, namun masih berada dalam masa iddahnya. Dalam keadaan begini hubungan perkawinannya masih dinyatakan masih ada. Oleh karena itu dapat ditalak. Perempuan yang tidak pernah dinikahinya, atau pernah dinikahinya namun telah dicerai-kannya dan habis pula masa iddahnya tidak boleh ditalak-nya; karena wilayahnya atas perempuan itu telah tiada. c. Shigat atau ucapan talak yang dilakukan oleh si suami menggunakan lafaz talak, sarah atau lafaz lain yang semakna dengan itu. Atau terjemahannya yang sama-sama

39

diketahui sebagai ucapan yang memutus hubungan pernikahan, seperti "cerai". Dapat juga ucapan talak itu menggunakan ucapan yang tidak terus terang atau disebut juga kinayah, namun untuk itu dipersyaratkan niat dari si suami yang mengucapkannya. Ucapan talak dapat dilakukan dengan lisan secara langsung, dapat dengan-tulisan yang dapat dipahami, dengan perantaraan orang lain; bahkan dapat pula dengan isyarat orang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang melihat dan mendengarnya. Tentang kehadiran dua orang saksi dalam pengucapan talak itu memang menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Bila melihat kepada kenyataan bahwa perceraian itu adalah mengakhiri masa pernikahan yang dulunya dipersaksikan oleh orang banyak dan untuk menjaga kepastian hukurn, maka kesaksian itu mesti diadakan dan merupakan persyaratan yang mesti dipenuhi. Hal ini telah sejalan dengan zahir ay at al-Quran dalam surat al-Thalaq ayat 2: Apabila mereka tnendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksijang adil di antara kamu dan bendaklab tegakkan kesaksian itu karena Allah. Meskipun ayat tersebut di atas secara jelas menyuruh mengemukakan kesaksian waktu terjadinya rujuk dan perceraian, namun ulamajumhur tidak mewajibkannya. Bagi jumhur ulama hukum mempersaksikan itu hanyalah sunnat. Ulama yang mempersyaratkan adanya kesaksian itu adalah dari Syi'ah yang bagi mereka perceraian yang tidak diper-saksikan dua orang saksi adalah tidak sah. Undang-undang perkawinan di dunia Islam sekarang yang telah menetapkan perceraian itu mesti di pengadilan adalah sejalan dengan pandangan ulama Syi'ah, hanya tempat dilaksanakannya kesaksian itu yang telah dimodifikasi, yaitu mesti di pengadilan.

40

Macam-macam Talak Talak itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada bebe-rapa keadaan. Dengan melihat kepada keadaan istri waktu talak itu diucapkan oleh suami, talak itu ada dua macam: a. Talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Talak macam ini disebut talak sunni atau yang pelaksanaannya telah menurut aturan sunnah. Talak ini boleh dilakukan karena dengan cara itu tidak ada pengaruhnya terhadap penghitungan masa iddah dengan arti segera setelah jatuhnya talak, si istri langsung masuk dalam perhitungan iddah. b. Talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana waktu itu si istri sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam waktu itu telah dicampuri oleh suaminya. Talak dalam bentuk ini disebut talak bid'iy, artinya talak yang pelaksanaannya menyimpang dari sunnah Nabi. Hukumnya haram. Alasannya ialah dengan cara ini perhitungan iddah istri menjadi memanjang, karena setelah terjatuh talak belum langsung dihitung iddahnya. Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada mantan istrinya, talak itu ada dua macam. 1. Talak raj'iy, yaitu talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Talak raj'iy itu adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri. 2. Talak bain, yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru. Talak bain ini terbagi pula kepada dua macam: a.Bain sughra, ialah talak satu atau dua dengan mengguna-kan tebusan dari pihak istri atau melalui putusan penga-dilan dalam bentuk fasakh. Dalam bentuk ini si suami yang akan kembali kepada istrinya dapat langsung melalui pernikahan baru. b. Bain kubra, ialah talak tiga, baik sekali ucapan atau ber-turut-turut. Bain kubra ini menyebabkan si suami tidak boleh kembali kepada istrinya, meskipun dengan nikah baru, kecuali bila istrinya itu telah nikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.

41

2. Khulu' Bila seorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah untuk melanjutkan hubungan perka-winan, sedangkan si suami tidak merasa perlu untuk menceraikannya, maka si istri dapat meminta perceraian dari suaminya dengan kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima dan menceraikan istrinya atas dasar uang ganti itu, maka putuslah perkawinan antara keduanya. Putus perkawinan dengan cara ini disebut khulu'. Khulu' yang secara harfiyah berarti "lepas" atau "copot" itu, oleh ulama didefinisikan dengan: Perceraian dengan tebusan (dari pihak istri kepada pihak suatni) dengan menggunakan lafaz talak atau khulu'. Khulu' itu perceraian dengan kehendak istri. Hukumnya boleh atau mubah. Dasar dari kebolehannya dari al-Quran adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229: Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya. . . Dasar kebolehannya dalam hadits Nabi adalah sabdanya dari Anas bin Malik menurut riwayat al-Bukhari: istri Tsabit bin Qeis datang mengadu kepada Nabi SAW, dan berkata : ya Rasul Allah Tsabit bin Qeis itu tidak ada kuranganya dari segi kelakuanya dan tidak puka ada dari segi keberagamanya. Cuma saya tidak senang akan terjadi lalufuran dalam islam. Rasul Allah SAW barkata maukah kamu mengembalikan kebunya?. Si istri menjawab :ya mau. Nabi berkata kepada Tsabit: terimalah kebun dan ceraikanlah sia satu kali serai. Hikmah dari kebolehan khulu ' itu adalah terhindarnya si istri dari kesulitan yang dirasakannya, tanpa merugikan pihak si suami karena kebun yang dijadikannya mahar dahulu telah diterimanya kembali. Di dalam khulu' itu terdapat beberapa unsur yang merupakan karakteristik dari khulu ' itu dan di dalam setiap unsur terdapat beberapa syarat:

42

a.

Suami yang menceraikan adalah seseorang yang ucapanny a telah dapat

diperhitungkan secara sy ara' , yaitu akil, baligh dan berbuat atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. b. raj'iy. c. Adanya uang ganti dalam bentuk suatu yang berharga dan dapat dinilai, yang nilainya sebanding dengan mahar yang diterimanya waktu akad nikah. Ganti rugi ini diberikan oleh istri sendiri atau oleh pihak ketiga atas persetujuan suami istri. d. Shigat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan "uang ganti" atau 'iwadh. Tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi talak biasa, seperti ucapan suami: "Saya ceraikan kamu dengan tebusan sebuah sepeda motor". Bila telah diucapkan shigat khulu' oleh suami atas per-mintaan sendiri dan telah pula memberikan tebusan, maka perkawinan putus dalam bentuk talak bain shugra, dalam arti tidak boleh rujuk, namun dibolehkan melangsungkan pernikahan sesudah itu tanpa muhallil. Apakah khulu' ini mengurangi jumlah hak menceraikan, terdapat beda pendapat ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu' itu dalam arti talak, oleh karenanya mengurangi jumlah bilangan cerai. 3. Fasakh Dalam masa perkawinan mungkin terdapat sesuatu pada suami atau istri yang menyebabkan tidak mungkin melanjut-kan hubungan perkawinan baik karena diketahuinya bahwa salah satu di antara rukun dan syarat tidak terpenuhi atau terjadi sesuatu kemudian hari, maka perkawinan dihentikan, baik oleh hakim atau dihentikan dengan sendirinya. Dalam hukum perdata disebut juga dengan "pembatalan perkawinan". Salah satu bentuk terjadinya fasakh ini adalah adanya pertengkaran antara suamiistri yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut dengan syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq dapat ditemukan dalam firman Allah pada surat al-Nisa' ay at 35: jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakatn dari keluarga perempuan. ]ika kedua orang Istri yang dikhulu' adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam arti istrinya atau orang yang telah diceraikan, namun masih berada dalam iddah

43

hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscay a Allah memberi taufiq kepada suami-istri itu. Sesungguhnya A.llah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu. Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad: a. Ketahuan kemudian bahwa suami istri itu ternyata punya hubungan nasab atau sepersusuan. b. Waktu dikawinkan masih kecil dan tidak punya hak pilih, tetapi setelah besar dia menyatakan pilihan untuk mem-batalkan perkawinan c. Waktu akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan. Bentuk kesalahan terjadi setelah berlangsung akad perkawinan: a. Salah seorang murtad dan tidak mau diajak kembali kepada Islam. b. Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memung-kinkan melakukan hubungan suami istri. c. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya kehidupan ekonomi si suami. Putus perkawinan disebabkan fasakh, berbeda dengan talak, yang berlangsung hanyalah talak bain sughra; dalam arti suami tidak boleh kembali kepada istrinya dalam bentuk rujuk, namun dapat mengawini bekas istrinya itu tanpa muhallil. Beda lainnya dari talak adalah bahwa fasakh tidak mengurangi bilangan talak yang dimiliki suami dalam arti dapat dilakukan berulang kali tanpa memerlukan muhallil. Pada dasarnya fasakh itu dilakukan oleh hakim atas permintaan dari suami atau dari istri. Namun ada pula yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim seperti antara suami istri ketahuan senasab atau sepersusuaa 4. Zhihar Secara arti kata zhihar berarti punggung. Secara definitif dikemukakan ulama dalam formulasi yang berbeda. Di antara rumusan zhihar itu adalah:

44

Ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya: "Engkau bagi soya seperti punggung ibu soya". Kalau ucapan ini dilakukan hanya sebagai penghormatan sebagaimana ia menghormati ibunya, tidak membawa akibat hukum apa-apa. Namun orang Arab terbiasa menggunakan kata tersebut untuk memutus hubungan perkawinannya dengan istrinya. Zhihar ini adalah merupakan salah satu adat Arab yang dibenci oleh Islam. Hal ini terlihat dalam firman Allah dalam surat al-Mujadilah ay at 2: Orang-orang yang mengzihar istrinnya di antara kamu, (menganggap istnnya seperti ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah orangjang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. . . Hukum zhihar itu adalah haram dan orang yang me-lakukan zhihar tidak diperbolehkan lagi menggauli istnnya, namun yang demikian tidak berarti memutuskan perkawinan. la dimestikan membayar kafarah atas zhihar yang dilakukan-nya itu. Sesudah itu boleh dia kembali pada istrinya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat alMujadilah ayat 3: Dan orang-orangyangmen^hihar istrinya, kemudian mereka menarik kembali apayang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bergaul. . . Kafarah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Bila tidak mampu mendapatkan hamba sahaya yang beriman itu, maka wajib ia menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut. Kalau yang demikian tidak mampu dilakukannya harus mengganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Hal ini disamakan dengan kafarah pembunuhan tidak sengaja yang ditetapkan Allah secara jelas kafarahnya sebagaimana disebutkan diatas. Bila si suami tidak mau membayar kafarah dan tidak pula mau menceraikan istrinya, hakim dapat memaksa si suami menceraikan istrinya; karena perbuatannya itu dapat memberi mudarat kepada istrinya. 5. Ila' Secara arti kata ila ' berarti "tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah". Secara definitif ila ' berarti "sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya".

45

Bersumpah untuk tidak menggauli istri itu merupakan kebiasaan orang Arab jahiliyah dan yang demikian dimak-sudkan untuk memutuskan hubungan perkawinan. Dalam pandangan Islam Ila ' tersebut adalah perbuatan yang terlarang karena menyalahi hakikat dari perkawinan untuk men-dapatkan ketenangan hidup, kasih sayang dan rahmat. Namun melakukan hubungan kelamin setelah sumpah yang diucapkannya itu juga perbuatan terlarang, karena berarti melanggar sumpah. Untuk mengatasi hal itu Allah mernberi tuntunan dalam firmannya pada surat alBaqarah ayat 226-227: Kepada orang-orangjang meng-ila' istrinya diberi tenggang waktu selama empat bulan (lamanya), kemudianjika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Bila mereka berazam (berketetapan hati) untuk talak. maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dari penjelasan tersebut berarti Allah menyuruh orang yang bersumpah untuk kembali kepada istrinya. Namun bila ia kembali maka ia harus membayar kafarah sumpah; yang kafarah sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan pertengahan; atau memberfpakaian sepuluh orang miskin itu; atau memerdekakan hamba sahaya mukmin; kalau tidak mampu berbuat satu di antara yang demikian, mesti berpuasa sebanyak tiga hari. Hal ini dijelas-kan Allah dalam surat alMaidah ayat 89: Allah tidak menghukutn kamu disebabkan oleh sumpah-sumpah kamu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukutn kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja. Maka kafarah (melanggar) sumpah itu adalah memberi makan sepulub orang miskin dengan makananyang biasa kamu berikan kepada keluargamu; atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan hamba sahaya. Bila kamu tidak sanggup melakukanyang demikian, maka kafarahnya adalah puasa tiga hari. . . Bila telah habis tenggang waktu empat bulan yang di-tetapkan Allah dan ternyata si suami tidak mau menggauli istrinya dengan terlebih dahulu membayar kafarah, maka istri wajib menuntut untuk diceraikan. Kalau dia menceraikan dengan baik-baik maka suami mendapat ampunan Allah. Namun kalau suami tidak mau menceraikan dan tidak mau pula kembali kepada istrinya, maka hakim wajib menceraikan suami-istri itu.

46

Cerai dalam bentuk ini berstatus talak bain sughra menurut ulama Hanafiyah, sedangkan menurut Malik dan Syafi'iy, perceraiannya adalah dalam bentuk talak raj'iy karena tidak ada dalil yang kuat yang menyatakan bain. 6. Li'an Secara harfiah li'an berarti saling melaknat. Secara terminologis berarti: "Sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkanempat orang saksi, setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya". Pada dasarnya bila seseorang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, mesti dikenai had qazaf yaitu tuduhan zina tanpa saksi. Had qazaf itu adalah 80 kali dera. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Nur ayat 4: Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berbuat %ina) dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera danjanganlah kamu terima kesaksiannya untuk selamanya dan mereka itulah orangjang fasik. Bila yang melakukan penuduhan itu adalah suami terhadap istrinya dan tidak dapat mendatangkan saksi empat orang kecuali hanya dirinya saja, maka ia harus menyampai-kan kesaksian sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa ia benar atas tuduhannya. Kali yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah atasnya bila ia berdusta dengan tuduhannya itu. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Nur ayat 6 dan 7: orang-orangyang menuduh istri-istri (berzina), padahal mereka tidak dapat mendatangkan saksi-saksi kecuali diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali besumpah karena Allah, sesungguhnya ia adalah benar. (dan sumpah) kalijang kelima: bahiva laknat Allah atasnya,jika dia termasuk kepada orangjang berdusta. Dengan sumpahnya itu maka suami bebas dari sanksi tuduhan zina tanpa bukti. Hal itu berarti bahwa tuduhan zina itu adalah benar. Untuk selanjutnya si istri dikenai sanksi berbuat zina yaitu dera seratus kali bila ia belum dicampuri oleh suaminya dan raj am bila ia telah pernah dicampuri oleh suaminya. Hal ini diatur dalam firman allah dalam surat al-Nur ayat 2:

47

Orang-orang perempuan yang ber^ina dan orang laki-laki yang ber^ina deralah masingmasingnya seratus kali dera. . . Kalau mernang si istri tidak pernah berbuat zina seperti yang dituduhkan suaminya itu, maka ia berhak membela dirinya dengan menolak sumpah suami tersebut. Hal ini juga diatur Allah dalam surat al-Nur ay at 8 dan 9: Istrinya itu terhindar dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang jang berdusta; dan sumpah yang ke lima bahjva kemarahan A.llah atasnya bila suaminya itu termasuk orangyang benar. Dengan sumpah penolakan itu si istri terlepas dari sanksi zina. Sumpah si suami dan penolakan sumpah dari istri itu dilakukan di hadapan hakim di pengadilan. Dengan terjadinya saling sumpah dan saling melaknat itu maka putuslah perkawinan di antara keduanya dan tidak boleh kembali me-langsungkan perkawinan untuk selamanya. Di samping itu anak yang lahir dari perkawinan itu tidak dinasabkan kepada suami yang meli'an istrinya itu, karena li 'an itu di samping menuduh zina, juga sekaligus menafikan anak yangdikandung istrinya. 7. Akibat hukum putusnya perkawinan Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri, maka akibat hukumnya ialah: a. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apa lagi ber-gaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing. b. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah, sebagaimana dijelaskan di bawah. 8. Iddah Secara etimologi, 'iddah yang jamaknya adalah 'idad berarti bilangan. Secaraterminologi diartikan: Masayang mesti dilalui oleh seorangperempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya rahamnya dari kehamilan. Perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah; dalam masa mana ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain . Iddah itu diwajibkan karena padanya terdapat hikmah di antaranya sebagaimana yang tersebut dalam definisi tersebut di atas adalah untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya meninggalkan benih dalam rahim istrinya atau tidak.

48

Dengan begitu dapat terpelihara dari bercampur-nya dengan bibit yang akan disemai oleh suaminya yang baru. Di samping itu iddah memberi kesempatan kepada suami untuk berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan istrinya. Lama masa iddah itu tergantung pada keadaan si istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa iddah ituadalah sebagai berikut: a. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat alBaqarah ayat 234: Qrang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari . . . b. Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahl perempuan-perempuan beriman, kemudian kamu mencerai-kannya sebelum kamu gauli, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimuyang kamu tninta menyempurna-kannya. . . Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat digauli oleh suaminya yang berlaku baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari. Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah di sini bukan untuk mengetahui kebersihan rahimnya dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai peng-hormatan terhadap suaminya yang meninggal itu. c. Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suaminya sedangkan ia masih dalam masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru' , sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 : Perempuan-perempuanyang bercerai dari suaminya hendaklah menjalani iddah selama tiga quru'. Yang dimaksud dengan tiga quru' dalam ay at ini menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan bagi ulama Hanafiyah tiga quru' itu berarti tiga kali masa haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali haid lebih panjang daripada tiga kali suci. d. Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya; dan dia tidak lagi dalam masa haid atau tidak berhaid sama sekali, maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 4:

49

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. e. Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan ini ditetapkan Allah dalam surat al-Thalaq ayat4: Perempuan-perempuan hamil (yang bercerai dari suaminya) iddahnya adalah melahirkan anak. . . Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan anaknya, meskipun masanya belum empat bulan sepuluh hari; dalam arti yang berlaku baginya adalah iddah hamil. Sedangkan menurut ulama lain, di antaranya AH bin Abi Thalib, iddah perempuan hamil yang kematian suami adalah masa yang terpanjang antara empat bulan sepuluh hari dengan melahir-kan anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari; namun bila setelah empat bulan sepuluh hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak. Hak istri dalam masa iddah Istri yang telah bercerai dari suaminya masih men-dapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak boleh melang-sungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya. Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut: a. Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj'iy, hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal. b. Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sughra atau bain kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan hamil. Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal juga mendapat nafkah selama masa hamilnya itu. Inilah pendapat jumhur ulama.

50

c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam iddah, karena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat kawin selama masa itu. Adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyama-kannya dengan cerai dalam bentuk talak bain. c. RUJU Secara lughawi ruju' atau raj'ah berarti kembali. Sedang-kan definisinya menurut al-Mahalli ialah: Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah. Sebagaimana perkawinan itu adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh agama, maka ruju' setelah terjadinya perceraian pun merupakan suruhan agama. Hal ini dapat dilihat dalam firman allah pada surat al-Baqarah ay at 231: Dan bila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka men-dekati akhirmasa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara baik atau ceraikanlah mereka dengan cara baik. . . Adapun unsur yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk setiap rukun itu adalah sebagai berikut: a. Laki-laki yang meruju' istrinya mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju' yang dilakukannya. Bila waktu mentalak istrinya ia berakal sehat kemudian dia gila dan ingin ruju' yang melakukan ruju' itu adalah walinya, sebagaimana yang menikahkannya adalah walinya. b. Perempuan yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus (khulu') dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada dalam masa iddah. c. Ada ucapan ruju' yang diucapkan oleh laki-laki yang akanmerujuk. Di sini tidak diperlukan qabul dari pihak istri; karena ruju' itu bukan memulai nikah, tetapi hanya sekedar melanjutkan pernikahan. Ucapan ruju' itu menggunakan lafaz yang jelas untuk ruju' .

51

Sebagian ulama mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah. Keharusan adanya saksi ini bukan dilihat dari segi ruju' itu memulai nikah atau melanjutkan nikah, tetapi karena adanya perintah Allah untuk itu sebagaimana terdapat dalam surat al-Thalaq ayat 2: Bila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau ceraikanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antaramu; dan tegakkan kesaksian karena A.llah. Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya saksi dalam ruju' itu, maka ucapan ruju' tidak boleh menggunakan lafaz kinayah, karena penggunaan lafaz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang hadir tidak akan tahu niat dalam hati itu. Pendapat lain yang berlaku di kalangan jumhur ulama, ruju' itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju' itu hanyalah melanjutkan perkawinan yang telah terputus dan bukan memulai nikah baru. Perintah Allah dalam ayat tersebut di atas bukanlah untuk wajib. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju' dengan menggunakan lafaz kinayah karena saksi yang perlu mendengarnya tidak ada.

FARAID ATAU KEWARISAN A. PENDAHULUAN Membicarakan faraidh atau kewarisan berarti membi-carakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian fiqh Mawarits mengandung arti ketentuan yang berdasar kepada wahyu Allah yang mengatur hal ihwal peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada orang yang masih hidup. Ketentuan agama berkenaan dengan hal tersebut disebut dengan beberapa nama, baik dalam literatur yang berbahasa Arab maupun dalam bahasa Indonesia, di antaranya: hukum warisan, hukum waris, hukum harta pusaka, hukum kewarisan dalam bahasa Indonesia; mawarits, tirkah, warists, faraidh dalam bahasa Arab. Perbedaan dalam penamaan tersebut tergantung pada apa yang dijadikan titik pandang dalam pembahasan. Bila yang dipandang adalah orang-orang yang berhak menerima harta dari orang yang mati itu, ia disebut hukum waris dalam bahasa Indonesia atau Fiqh al-Warits dalam

52

bahasa Arab. Bila yang dijadikan titik pandang adalah harta yang akan beralih kepada ahli waris, maka ia disebut hukum warisan atau hukum harta pusaka; atau mirats (jamaknya mawarits) atau tirkah. Bila yang dijadikan titik pandang adalah bagian-bagian yang diterima oleh ahli wans, ia disebut faraidh. Faraidh inilah istilah yang lazim digunakan dalam literatur fiqih. Dan bila yang dijadikan titik pandang adalah proses peralihan harta dari orang yang mati kepada ahli warisnya yang masih hidup, ia disebut kewarisan. Dalam istilah hukum yang berlaku di Indonesia disebut dengan kewarisan. Dalam pandangan Islam kewarisan itu termasuk salah satu bagian dari fiqih atau ketentuan yang hams dipatuhi umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah mati. Allah menetapkan ketentuan tentang kewarisan ini adalah karena ia menyangkut dengan harta yang di satu sisi kecenderungan manusia kepada-nya dapat menimbulkan persengketaan dan di sisi lain Allah tidak menghendaki manusia memakan harta yang bukan haknya. Di samping sebagai pedoman, hukum kewarisan yang disebut faraidh itu dalam pandangan Islam juga disebut sebagai ilmu yang mesti dipelajari dan diajarkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Ibnu Majah dan Dar al-Quthniy: Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah dia, karena dia merupakan separuh dari ilmu. Menyelesaikan harta orang yang telah mati sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Allah itu hukumnya adalah wajib. Kewajiban ini dapat dipahami di satu sisi dari pujian Allah terhadap orang-orang yang melaksanakan penyelesaian harta warisan sesuai dengan ketentuan Allah; dan di sisi lain dari celaan Allah terhadap orang yang tidak melaksanakan ketentuan Allah tersebut. Pujian dan ancaman Allah tersebut 03terdapat dalam surat al-Nisa' ayat 13 dan 14: (hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan Allah. Barang-siapa taat kepada Allah dan Rosul/-Nya niscaja Allah mema-sukkannya ke dalam surgajang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenanganjang besar. l&arangsiapayangmendurhakai Allah dan R.asul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuannya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam nerakajang mereka kekal di dalamnya dan baginya siksaan yang menghinakan. B. HUBUNGAN KEWARISAN

53

Harta seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih hidup bila di antara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan. Hubungan tersebut dinamai hubungan ke-warisan. Hubungan kewarisan menurut Islam ada dalam beberapa bentuk: a. Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah. Hubungan di sini bersifat alamiah. Hubungan darah ini ditentukan oleh kelahiran. Seseorang yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang yang berhubungan kerabat dengan ibu itu. Selanjutnya ia mempunyai hubungan kerabat dengan laki-laki yang secara sah menikahi ibu itu dan ia lahir dari hasil pernikahan tersebut (sebagai ayah) dan berhubungan kerabat pula dengan orang-orang yang berhubungan kerabat dengan laki-laki tersebut. Dasar dari hubungan kerabat sebagai hubungan kewarisan itu ditemukan dalam surat al-Nisa' ay at 7: Bagi laki-laki ada bagianyang ditentukan dari apa-apajang ditinggalkan oleh ibu-bapak dan karib kerabatnya; dan bagi perempuan juga ada bagian yang ditentukan dari apaapa yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabatnya . . . b. Hubungan perkawinan. Bila seseorang laki-laki telah me-langsungkan akad nikah yang sah dengan seseorang perempuan maka di antara keduanya telah terdapat hubungan kewarisan; dalam arti istri menjadi ahli waris bagi suaminya yang telah mati dan suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang telah mati. Dasar hukum adanya hubungan kewarisan antar suami istri ini adalah lafaz 'akadat aymanukum dalam firman Allah dalam surat al-Nisa' ay at 33: Bagi tiap-tiap harta Kamijadikan ahli waris dari apa-apa yang ditinggalkan ibu bapak, karib kerabat dan orang-orang yang telah mengikatperjanjian. . . c. Hubungan pemerdekaan hamba; yaitu hubungan seseorang dengan hamba sahaya yang telah dimerdekakannya. Hubungan di sini hanyalah hubungan sepihak dalam arti orang yang telah memerdekakan hamba berhak menjadi ahli waris bagi hamba sahaya yang telah dimerdekakannya; tetapi hamba sahaya yang dimerdekakan tidak berhak mewarisi orang yang memerdekakannya. Dasar hukum dari hubungan pemerdekaan sebagai hubungan kewarisan adalah firman Allah yang tersebut sebelumini ( 'aqadat aymanukum).

54

d. Hubungan sesama Islam dalam arti umat Islam sebagai kelompok berhak menjadi ahli waris dari orang Islam yang meninggal dan sama sekali tidak meninggalkan ahli waris. Harta peninggalannya dimasukkan ke dalam batul maal atau perbendaharaan umat Islam, yang digunakan untuk umat Islam. Adapun dasar hukum dari hubungan kewarisan dalam bentuk ini adalah sabda Nabi dari Abu Umamah bin Sahl yang dikeluarkan Abu Daud dan disahkan oleh al-Hakim yang mengatakan: Yang artinya: "Soya adalah ahli waris bagi orangyang mem-puny ai ahli waris. Yang dimaksud dengan kata "say a" di sini adalah umat lslam. Bila seseorang muslim telah mempunyai hubungan kewarisan dengan seseorang yang mati, maka ia berhak men-dapatkan harta warisan. Namun bila padanya terdapat halangan syara' untuk menerima warisan - walaupun telah ada hubungan kewarisan - ia tidak berhak menerima warisan dalam arti hubungan yang telah ada itu tidak berlaku lagi. Halangan kewarisan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama: halangan beda agama; dalam arti bila orang yang mati beragama Islam yang berhak menjadi ahli warisnya hanyalah orang yang beragama Islam. Non muslim tidak berhak mewarisi muslim dan sebaliknya muslim tidak boleh mewarisi non muslim. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat yang muttafaq ' alaih: Orang Islam tidak dapat mewarisi orang kaftr dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang Islam. Kedua: halangan pembunuhan dengan arti seseorang yang membunuh orang yang berhubungan kewarisan dengannya tidak berhak mewarisi orang yang dibunuhnya itu. Pembunuhan yang menghilangkan hak kewarisan itu yang disepakati oleh ulama adalah pembunuhan sengaja dalam bentuk permusuhan. Yang menjadi dasar hukum dari hilangnya hak kewarisan pembunuh terhadap pewaris itu adalah sabda Nabi dari' Amru bin Syueb menurut riwayat al-Nasai dan al-Dar-al-Quthniy Si pembunuh (terhadap pewaris) tidak berhak sama sekali menerima ivarisan (dariyang dibunuhnya),

55

C. RUKUN DAN SYARAT KEWARISAN Di samping telah adanya hubungan kewarisan dan telah bebas dari halangan kewarisan, seseorang baru berhak menerima warisan bila telah terpenuhi rukun dan syarat kewarisan. Adapun rukun kewarisan itu adalah: a. Orang yang telah mati dan meninggalkan harta yang akan beralih kepada orang yang masih hidup disebut pewaris atau al-muwarrits. b. Harta yang beralih dari orang yang mati kepada yang masih hidup yang disebut harta warisan atau al-mawruts. c. Orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati tersebut yang disebut ahli waris atau al-warits. O Pewaris Pewaris adalah orang yang telah mati dan meninggalkan harta untuk diwariskan. Untuk dapatnya harta tersebut diwarisi, pewaris itu disyaratkan betul telah jelas kematian-nya, baik dalam arti hakiki atau dalam arti sebenarnya yangberarti dapat dipersaksikan kematiannya atau telah diketahui oleh orang banyak, maupun secara hukmi atau dalam arti kejelasan kematiannya itu berdasarkan penetapan pengadilan. Harta Warisan Yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta pening-galan orang yang telah mati yang secara hukum syara' telah berhak dan sah beralih kepada ahli warisnya. Harta pening-galan itu berhak untuk diwarisi bila telah memenuhi syarat berikut: a. Harta tersebut adalah milik dari pewaris secara sempurna dalam arti dia memiliki zat atau materinya dan juga memiliki manfaatnya. Kalau dia tidak memiliki

materinya dan tidak pula manfaatnya seperti barang titipan atau yang dimilikinya hanya manfaatnya saja seperti barang pinjaman atau sewaan; tidak dapat menjadi harta warisan. Demikian pula harta tersebut adalah hartanya secara penuh dalam arti tidak lagi termasuk di dalamnya harta bersama atau serikat. Hal ini mengandung arti bila yang ditinggalkannya itu adalah harta serikat, maka harta tersebut harus dibagi dulu berdasarkan perjanjian waktu melakukan akad serikat dan demikian pula bila harta itu adalah harta bersama perkawinan. b. Harta tersebut telah murni dan terlepas dari tersangkutnya hak orang lain di dalamnya. Untuk maksud memurnikan dan melepaskan ketersangkutan hak lain di 56

dalamnya, ada beberapa kewajiban yang berkenaan dengan harta pening-galan itu: yaitu secara berurutan mengeluarkan dari harta peninggalan itu hal-hal sebagai berikut: * Biaya penyelenggaraan jenazah dari pewaris dan orang-orang yang penyelenggaraan jenazahnya wajib ditanggung oleh pewaris, baik dalam bentuk kain kafan, biaya kuburan dan biaya penguburan itu sendiri; dalam ukuran yang patut dan tidak berlebih-lebihan. Dikeluarkannya biaya penyelenggaran jenazah ini lebih dahulu, karena yang demikian masih termasuk kepen-tingan pewaris. Utang-utang yang belum dilunasi pewaris sewaktu hidupnya, baik hutang kepada Allah dalam bentuk kewajiban agama secara materi yang belum sempat dilaksanakannya semasa hidupnya, seperti zakat; atau utang kepada sesama manusia. Utang yang wajib dikeluarkan dari harta peninggalan hanyalah sebanyak yang dapat dibayarkan dari harta peninggalannya. Kewajiban membayarkan utang pewaris sebelum pembagian harta warisan ini banyak terdapat dalam al-Quran di antaranya pada surat al-Nisa' ayat 1 1 : (pembagian yang demikian) adalah setelah mengeluarkan wasiatyang diwasiatkan dan utang . . . c. Wasiat-wasiat yang telah dilakukan oleh pewaris semasa hidupnya dalam batas yang tidak melebihi sepertiga dari harta yang tinggal setelah biaya jenazah dan utang-utang. Dasar hukum mengeluarkan wasiat terlebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan untuk ahli waris adalah firman Allah S WT dalam surat al-Nisa' ayat 1 1 yang telah dikutip di atas. Ahli Waris Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari pewaris. Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu disyaratkan dia telah dan masih hidup saat terjadi-nya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaanhidup. Hal inijuga berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya. Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dan langsung oleh Allah dalam al-Quran dan oleh Nabi dalam haditsnya; ada yang ditemukan melalui ijtihad dengan

57

meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari al-Quran dan atau hadits Nabi. a. Ahli waris yang secara khusus dan langsung disebutkan Allah dalam al-Quran adalah pada surat al-Nisa' ayat 11, 1 2 dan 176: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmuyaitu bagian seorang anak laki-laki adalah sama dengan bagian dua orang anakperempuan. Jika anak itu semuanya perempuan lebih dan dua orang mereka mendapat duapertiga dan hartajang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja dia menerima setengah. Masing-masing ibu dan ayah menerima seperenam dari hartajang ditinggalkan bilayang meninggalitu ada meninggalkan anak. Jika yang meninggal tidak ada meninggalkan anak dan yang mewarisinya adalah ibu dan ayahnya, maka ibu menerima sepertiga. ]ika yang meninggal itu ada meninggalkan beberapa orang saudara, maka ibu mendapat seperenam. Yang demikian setelah dipenuhi wasiat yang dia wasiatkan nya dan dibayarkan utang-utangnya. Orang tuamu dan anak-anakmu tidak kamu ketahui mana yang lebih dekat kepadamu manfaatnya. hi adalah ketetapan dari Allah Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu (suami) setengah dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu jika dia tidak ada meninggalkan anak. Jika istri-istrimu itu ada meninggalkan anak, maka bagimu adalah seperempat dari apa yang ditinggalkannya sesudah dikeluar-kan wasiat dan dibayarkan utangnya. Bagi mereka (istri-istrimu) adalah seperempat dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak ada meninggalkan anak. Jika kamu ada meninggalkan anak, maka mereka mendapat seperdelapan dari apa yang kamu tinggalkan setelah dikeluarkan wasiat yang kamu buat dan dibayarkan utang-utangmu. Jika seseorang lakilaki atau perempuan meninggal dunia dalam keadaan kalalah dan dia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), masingmasingmenerimasepeerenam. Bi/amerekalebih dariseorang, maka mereka bersama menerima sepertiga; sesudah dikeluar-kan wasiat dan dibayarkan utang; dengan tidak memberi mudharat. Yang demikian adalah syariat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagiMaha Penyantun. (12)

58

Mereka memintafatwa kepadamu (tentang kalalah); katakan bahwa Allah memberifatwa kepadamu tentang kalahyaitu seseorangyang meninggal dan tidak meninggalkan anak dan dia ada meninggalkan saudara perempuan; bagi saudara perempuannya itu adalah setengah dari harta yang ditinggalkannya. Saudaranya yang laki-laki mewarisi saudaranya yang perempuan bila dia tidak meninggalkan anak. Jika saudara perempuan itu ada dua orang maka keduanya menerima duapertiga dari harta'yang ditinggalkan. Jika mereka terdiri dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan maka bagi lagi-laki adalah dua kali bagian perempuanAllah menerangkan hukum itu kepadamu supaya kamu tidak tersesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (176) Dari tiga ayat tersebut di atas, maka yang menjadi ahli waris adalah: anak lakilaki dan perempuan; ayah dan ibu; suami (duda) atau istri (janda); saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu; saudara laki-laki dan perempuan kandung atau seayah. b. Ahli waris yang secara khusus dan langsung ditetapkan Nabi melalui haditsnya adalah kakek dan nenek. Kewarisan kakek disebutkan dalam hadits Nabi dari 'Umran bin Husein menurut riwayat Ahmad dan empat perawi hadits: Umran bin Husein berkata: Seseorang kakek datang kepada Nabi SAW. dan berkata: "Cucu saya telah meninggal dunia, apa warisannyayang soya terima?" Nabi menjau'ab: "Untuk-mu seperenam". Adapun hak warisan nenek dijelaskan dalam hadits dari Qubeishah bin Zueb menurut lima perawi hadits selain al-Nasai dan disahkan oleh al-Tirmizi Mughirah bin Syu'bah berkata: seseorang nenek datang kepada Nabi SAW. menanyakan warisan cucunya yang meninggal. Abu Bakar menjawab: "Soya tidak menemukan hakmu dalam al-Quran dan saya juga tidak mengetahui hakmu dalatn hadits Nabi. Kembalilah dulu nanti saya akan bertanya kepada orang. Kemudian Abu Bakar bertanyapada orangorang. Berkatalah al-Mughirah bin Syu'bah: "Saya pernah menyaksikan Nabi memberinya hak seperenam". Nabi bertanya: 'Adakah yang sama menyaksikan dengan engkau?" Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti apayang dikatakan alMughirah. MakaAbu Bakar melaksanakan hak si nenek sebanyak seperenam c. Ahli waris yang secara tidak langsung disebutkan dalara al-Quran dan juga tidak dalam hadits Nabi, namun dapatdipahami melalui perluasan pengertian lafaz secara ijtihad

59

adalah cucu, baik laki-laki atau perempuan sebagai perluasan dari lafaz walad. Ahli waris melalui ijtihad (menunit versi ulama ahlu Sunnah) ini adalah cucu laki-laki dan cucu perempuan melalui anak laki-laki sedangkan menurut versi ulama Syiah adalah cucu lakilaki atau perempuan melalui anak laki-laki atau perempuan. d. Ahli waris yang ditetapkan secara umum dalam hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut periwayatan muttafaq 'alaih: BerikanLab bagian-bagian yang ditentukan itu untuk orang yang telah ditentukan; selebihnya berikanlah kepada laki-laki dalam garis laki-laki. Ahli waris berdasarkan hadits Nabi di atas selain yang tersebut sebelumnya adalah: anakanak dari cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah melalui laki-laki; ayahnya kakek dan seterusnya ke atas; anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung; anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah; saudara ayah yang laki-laki kandung; saudara ayah yang lakilaki seayah; anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah kandung; anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah seayah dan keturunannya melalui garis laki-laki. d. Penjelasan umum dalam al-Quran yang terdapat dalam surat al-Anfal ay at 75: Orang-orangyang mempunyai hubungan kerabat sebagiannya kbih dekat dari yang lainnya dalatn kitab Allah. Ahli waris berdasarkan petunjuk dalam kelompok a, b, c, dan d tersebut di atas adalah sebagai berikut: Dari kelompok laki-laki: Anak Cucu Ayah Kakek Saudarakandung Saudara seayah Saudara seibu Anak saudara kandung laki-laki Anak saudara seayah laki-laki Saudara kandung dari ayah Saudara seayah dari ayah

60

Anak saudara kandung dari ayah Anak saudara seayah dari ayah Suami Dari kelompok perempuan: + Anak Anak dari anak laki-laki + Ibu Ibu dari ibu Ibu dari ayah Saudarakandung Saudara seayah Saudara seibu Istri Ahli waris yang disebutkan secara umum dalam surat al-Anfal ayat 75 tersebut di atas adalah semua yang mem-punyai hubungan kerabat dengan pewaris yang belum tersebut di atas. Orang-orang yang disebutkan di atas, bila ia sendirian berhak menerima warisan. Namun bila ahli waris terdiri dari beberapa orang dalam garis kerabat yang berbeda, maka hanya sebagian yang berhak sedangkan yang lainnya tidak berhak. Hal ini didasarkan kepada jauh dekatnya hubungan seseorang kepada pewaris; yang lebih dekat menutup kesempatan yang lebih jauh untuk mendapatkan hak kewarisan. Dalam hal ini berlakulah sistem tutup menutup (secara keseluruhan) atau hijab-mahjub (secara hirmari) atau dengan istilah sistem keutamaan. Di antara ahli waris yang tertutup dan orang yang menutup-nya dari golongan laki-laki adalah sebagai berikut: Anak; tidak ada seorang pun yang dapat menutup anak Cucu ditutup oleh anak laki-laki. Ayah; tidak ada seorang pun yang dapat menutupnya Kakek, tertutup oleh ayah. Saudara kandung tertutup oleh anak laki-laki; cucu laki-laki dan ayah. Saudara seayah tertutup oleh saudara kandung dan orang yang menutupnya. Saudara seibu tertutup oleh anak laki-laki dan perem-puan; ayah dan kakek.

61

Anak saudara kandung tertutup oleh saudara seayah dan orang-orang yang menutupnya. Anak saudara seayah tertutup oleh anak saudara kandung dan orang yang menutupnya. Paman kandung tertutup oleh anak saudara seayah dan oleh orang-orang yang menutupnya. Paman seayah tertutup oleh paman kandung dan oleh orang-orang yang menutup paman kandung. Anak paman kandung tertutup oleh paman seayah dan oleh orang-orang yang menutup paman seayah. Anak paman seayah tertutup oleh anak paman kandung dan oleh orang yang menutupnya. Suami; tidak ada seorang pun yang dapat menutupnya. Bila semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang ber-hak menerima warisan hanyalah anak, ayah dan suami. Ahli waris yang tertutup dan yang menutupnya dari kelom-pok perempuan adalah sebagai berikut: Anak; anak perempuan tidak ada yang dapat menutupnya. Cucu perempuan tertutup oleh anak laki-laki dan dua orang anak Ibu; tidak ada yang dapat menutupnya. Ibu dari ibu tertutup oleh ibu. Ibu dari ayah hanya tertutup oleh ibu dan oleh ayah. Saudara kandung tertutup oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dan ayah. Saudara seayah tertutup oleh anak laki-laki; cucu laki-laki; ayah dan dua Saudara seibu tertutup oleh anak laki-laki dan perempuan; cucu laki-laki Istri; tidak seorangpun yang dapat menututpnya.

perempuan.

orang saudara perempuan seayah. dan perempuan; ayah dan kakek.

62

Bila berkumpul seluruh ahli waris perempuan yang dapat menerima warisan adalah anak; cucu; ibu; saudara kandung atau seayah. Bila berkumpul seluruh ahli waris yang tersebut di atas maka yang berhak menerima warisan hanyalah: anak laki-laki, anak perempuan; ayah, ibu dan suami atau istri, D. PENGELOMPOKAN AHLI WARIS DAN HAK MASING-MASING Semua ahli waris ,yang secara hukum syara' berhak menerima warisan, dengan melihat kepada urutan menerimahak dan bagian yang diterima masing-masing dirinci sebagai berikut: 0 Ahli Waris ZaulFurudh. Ahli waris zaulfurudh adalah ahli waris yang bagiannya telah ditetapkan secara pasti dalam al-Quran dan/atau hadits Nabi. Mereka menerima harta warisan dalam urutan pertama. Bagian-bagian tertentu dalam al-Quran adalah: 1/2; 1/4; 1/8; 2/3; 1/3 dan 1/6. Ahli waris yang mendapat menurut angka-angka tersebut dinamai ahli waris zaulfurudh. Ahli waris (yang secara hukum syara' berhak menerima warisan karena tidak ada yang menutupnya) dan bagian masing-masing adalah sebagai berikut: a. Anak perempuan; bagian anak perempuan adalah: 1/2 bila anak perempuan hanya sendirian. 2/3 bila anak perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki. b. Cucu perempuan: bagiannya adalah: 1/2 bila cucu perempuan hanya sendirian. 2/3 bila anak perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai cucu laki-laki. 1/6 bila cucu perempuan disertai oleh seorang anak perempuan. c. Ibu; bagiannya adalah sebagai berikut: 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu atau beberapa orang saudara. 1/3 bila tidak ada bersamanya anak atau cucu atau 2 saudara. 1/3 dari sisa harta bila dia bersama ayah, suami atau istri dan tidak ada bersamanya anak atau cucu. d. Nenek, baik melalui ayah atau ibu; seorang atau lebih mendapat 1/6. e. Ayah: bagian ayah adalah: 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu. Mendapat sisa harta bila bersamanya tidak ada anak atau cucu lakl-laki.

63

1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila bersamanya ada anak atau cucu

perempuan. f. Kakek; bagiannya adalah: 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu. Mendapat sisa harta bila bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki. 1/6 kemudian sisa harta bila bersamanya ada anak atau cucu perempuan. g. Saudara perempuan kandung; bagiannya adalah 1/2 bila dia seorang saja. 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki. Mengambil sisa harta bila bersamanya ada anak perempuan. h. Saudara perempuan seayah; bagiannya adalah: 1/2 bila dia seorang saja. 2/3 bila ada dua atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki. 1/6 bila bersama dengan seorang saudara perempuan kandung. Mengambil sisa harta bila bersama dengan anak perempuan. i. Saudara perempuan seibu; bagiannya adalah: 1/6 bila dia adalah seorang. 1/3 untuk dua orang atau lebih. j. Saudara laki-laki seibu; bagiannya adalah: 1/6 bila dia adalah seorang. 1/3 untuk dua orang atau lebih. k. Suami (duda); bagiannya adalah: 1/2 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu. 1/4 bila bersamanya ada anak atau cucu. 1. Istri ( janda ); bagiannya adalah: 1/4 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu. 1/8 bila bersamanya ada anak atau cucu.

64

Ahli waris zaulfurudh bila dia sendirian, dia mengambil bagian sesuai dengan furudh yang ditentukan. Apabila dia lebih dari satu orang, masing-masing mengambil hak sesuai dengan bagian yang ditentukan; kemudian dijumlahkan. Umpamanya ahli waris adalah anak perempuan, ibu dan istri; maka hak masing-masing adalah: Anak perempuan mendapat 1/4 Ibumendapat Istri mendapat Jumlah : 0 Ahli Waris 'Ashabah: Ahli waris 'ashabah adalah ahli waris yang berhak namun tidak dijelaskan bagiannya dalam al-Quran dan/atau hadits Nabi. Dia menerima hak dalam urutan kedua. Dia mengambil seluruh harta bila tidak ada bersamanya ahli waris zaulfurudh dan mengambil sisa harta setelah diberikan lebih dahulu kepada ahli waris zaulfurudh yang ada bersamanya. Dasar hukum dari kewarisan 'ashabah ini adalah sabda Nabi dari Ibnu Abbas menurut periwayatan yang muttafaq 'alaih: Berikanlah lebih dahulu bagianyang ditentukan itu kepada yang berhak menerima; selebihnya berikanlah kepada kerabat yang lebih dekat dari laki-laki melaluigaris lakilaki. Ahli waris 'ashabah itu ada tiga tingkat: a. 'Ashabah bi nafsih; yaitu ahli waris yang menjadi 'ashabah karena dirinya sendiri. Mereka semua adalah laki-laki. Yang berhak menjadi ahli waris 'ashabah bi nafsih hanyalah satu tingkat menurut urutan sebagai berikut: Anak Cucu Ayah Kakek Saudara kandung Saudara seayah Anak saudara kandung Anak saudara seayah Paman kandung 1/6 1/8 19/24 = = = 12/24 4/24 3/24

65

Paman seayah Anak paman kandung Anak paman seayah Bila ahli waris hanya seorang dalam kedudukan sebagai 'ashabah ia mengambil semua harta dan bila lebih dari seorang dalam tingkat yang sama mereka berbagi sama banyak. Bila bersamanya ada ahli waris lain sebagai zaul furudh lebih dahulu diberikan hak zaulfurudh dan sisanya untuk 'ashabah. Umpamanya ahli waris adalah dua anak laki-laki, ayah, ibu dan istri. Bagian masing-masing adalah: Untuk ayah Untuk ibu Untuk istri Jumlah : 1/6 1/6 1/8 11/24 = = = 4/24 4/24 3/24

Sisanya yaitu 24/24 - 19/24 = 5/24 adalah untuk 2 anak laki-laki. Untuk seorang anak laki-laki 1/2 x 5/24 = 5/48 b. 'Ashabah bi ghairih, yaitu ahli waris yang mulanya bukan ahli waris 'ashabah karena dia perempuan; namun karena didampingi oleh saudaranya yang laki-laki maka dia menjadi 'ashabah. Mereka adalah; Anak perempuan sewaktu didampingi anak laki-laki. Cucu perempuan sewaktu didampingi cucu laki-laki. Saudara perempuan kandung sewaktu didampingi saudara laki-laki kandung. Saudara perempuan seayah sewaktu didampingi saudara laki-laki seayah. Hak keduanya sebagai 'ashabah dibagi di antara keduanya dengan bandingan seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Contohnya: ahli waris adalah anak perempuan, anak laki-laki, ibu dan suami. Bagian masing-masing adalah: Untuk ibu Untuk suami Jumlah : 1/6 = 2/12 1/4 = 3/12 5/12

66

Sisa harta, 12/12-5/12 =7/12, adalah untuk anak-anak Untuk anak laki-laki 2/3 x 7/12 = 14/36 Untuk anak perempuan 1/3 x 7/12 = 7/36 c. 'Ashabah ma 'a ghairih, yaitu ahli waris yang semula bukan 'ashabah\ namun karena ada ahli waris tertentu bersamanya yang bukan 'ashabah, maka dia menjadi 'ashabah, sedangkan ahli waris lain tersebut tidak ikut menjadi 'ashabah. Yang termasuk dalam golongan ini hanyalah saudara perempuan kandung atau seayah bila bersama dengan anak perempuan. Dasar hukum adanya ahli waris 'ashabah ma 'a ghairih ini adalah hadits Nabi dari Ibnu Mas'ud menurut riwayat al-Bukhari Dari Ibnu Masud ra, tentang anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan, Nabi menetapkan hak warisnya untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam untuk melengkapi dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuam. Dalam contoh ahli waris adalah anak perempuan, ibu. istri dan saudara perempuan, hak masing-masing adalah: Untuk anak perempuan Untuk ibu Untuk istri Jumlah : Ahli Waris Zularham Yang dimaksud dengan ahli waris zul arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam al-Quran dan/atau hadits Nabi sebagai zaul furudh dan tidak pula termasuk dalam kelompok 'ashabah. Bila kerabat yang menjadi 'ashabah adalah laki-laki dalam garis keturunan lakilaki, maka zaul arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan. Zul arham itu dapat dikelompokkan pada empat kelom-pok sesuai dengan garis keturunan: a. Garis keturunan lurus ke bawah, yaitu: Anak laki-laki atau perempuan dari anak perempuan dan keturunannya. 1/2 = 12/24 1/6 = 4/24 1/8 = 19/24 3/24

Untuk saudara perempuan adalah sisanya yaitu 24/24-19/24 = 5/24

67

Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan dan keturunannya. b. Garis keturunan lurus ke atas, yaitu: Ayah dari ibu dan seterusnya ke atas. Ayah dari ibunya ibu dan seterusnya ke atas. Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya ke atas. c. Garis keturunan ke samping pertama, yaitu: Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya. Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke bawah. d. Garis keturunan ke samping kedua, yaitu: Saudara perempuan (kandung, seayah atau seibu) dari ayah dan anaknya. Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah. Saudara laki-laki atau perempuan (kandung, seayah, seibu) dari ibu dan seterusnya ke bawah. Tentang hak kewarisannya, menurut sebagian ulama, mereka adalah ahli wans yang berhak atas harta warisan bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris zulfurudh dan tidak ada pula 'ashabah. Dasar permikiran mereka adalah ter-dapatnya zaul arham itu dalam alQuran sebagaimana dikutip di atas (QS al-Anfal ayat 75); Umpamanya ahli warisnya hanyalah seorang kemenakan atau anak dari saudara perempuan. Menurut sebagian ulama - termasuk pendapat yang kuat di kalangan Syafi'iyah - zaul arham tidak berhak menerima warisan. Harta warisan kelebihan dari hak zaul furudh yang tidak mempunyai ashabah atau sama sekali tidak ada ahli waris zul furudh dan ashabah diserahkan ke baitul maal. Adapun cara pembagian harta warisan untuk ahli waris zaul arham itu ada dua pendapat: * Secara penggantian, dalam arti dia menempati kedudukan ahli waris yang menghubungkannya kepada pewaris. Umpamanya ahli waris adalah anak perempuan dari anak perempuan dan anak laki-laki dari saudara perempuan. Anak perempuan dari anak perempuan menggantikan anak perempuan mendapat 1/2. Anak laki-laki dari saudara perempuan menggantikan saudara perempuan yang menjadi 'ashabah ma 'a ghairih yaitu sisa harta (1/2)

68

* Secara kedekatan, dalam arti tali hubungannya kepada pewaris lebih dekat dibandingkan dengan yang lain. Umpamanya ahli waris adalah anak perempuan dari anak perempuan dan anak laki-laki dari saudara perempuan. Dalam contoh ini yang berhak adalah anak perempuan dari anak perempuan, karena hubungannya kepada pewaris hanya melalui satu perantara yaitu anak, sedangkan anak-laki-laki dari saudara perempuan melalui perantara saudara perempuan dan ayah. E. BEBERAPAMASALAH DALAM PEMBAGIAN WARISAN Meskipun dalam pembagian warisan itu telah ada pedoman yang jelas yang ditetapkan oleh Allah dalam al-Quran dan/atau Nabi dalam haditsnya, namun dalam pelaksanaan praktis ditemukan beberapa masalah, terutama bila ahli waris itu lebih dari seorang atau ahli waris itu tidak jelas status hidup matinya. Di antara masalah tersebut adalah: O Masalah M Masalah 'aul ini timbul waktu menjumlahkan bagian dari beberapa orang zaulfurudh, ternyata jumlahnya melebihi kesatuan harta warisan, sehingga bila masingmasing menerima bagiannya sesuai dengan furudh yang ditentukan, akan ada ahli waris yang tidak kebagian. Umpamanya ahli wans adalah dua orang anak perempuan, ayah, ibu dan suami. Bila bagian mereka dijumlahkan ternyata: Untuk dua anak perempuan adalah Untuk ayah Untuk ibu 1/6 = 2/12 1/6 = 2/12 2/3 = 8/12

Untuk suami 1/4 = 3/12 Jumlah keseluruhan adalah 15/12, sedangkan jumlah harta hanya 12/12 Menurut jumhur ulama, kekurangan harta itu dibebankan kepada masing-masing ahli waris dengan cara mengurangi haknya sesuai dengan kadar persentase haknya atau dengan cara menaikkan angka pecahannya; dalam contoh di atas dari per dua belas menjadi per lima belas. Dengan demikian bagian masing-masing berubah menjadi: Dua anak perempuan Untuk ayah Untuk ibu Untuk suami dari dari dari dari 8/12 menjadi 8/15 2/12 menjadi 2/15 2/12 menjadi 2/15 3/12 menjadi 3/15

69

0 Masalah Radd Masalah radd terjadi bila dalam menjumlahkan bagian-bagian dari hak zaulfurudh ternyata masih terdapat kelebihan harta, sedangkan di kalangan ahli waris tidak ada yang 'ashabah. Umpamanya ahli waris adalah ibu, seorang anak perempuan dan cucu perempuan. Untuk ibu adalah Untuk anak perempuan Untuk cucu perempuan 1/6 atau 2/12 1/2 atau 6/12 1/6 atau 2/12

Jumlah seluruh furudh adalah 10/12 sedangkan jumlah harta 12/12 Menurut pendapat kebanyakan ulama kelebihan harta itu dikembalikan kepada ahli waris zaul furudh yang ada berdasarkan kadar persentase haknya atau dengan cara memperkecil angka pecahan yang dalam contoh di atas dari per dua belas menjadi per sepuluh. Dengan demikian hak masing-masing menjadi: Untuk ibu dari 2/12 menjadi 2/10 Untuk anak perempuan dari 6/12 menjadi 6/10 Untuk cucu perempuan dari 2/12 menjadi 2/10 Bayi dalam Kandungan Bayi dalam kandungan berhak menjadi ahli waris bila pada saat kematian pewaris telah jelas hidupnya, meskipun dia belum dilahirkan. Namun hak kewarisannya itu baru menjadi pasti bila waktu lahir dia dalam keadaan hidup yang diketahui dari tangisannya di waktu lahir. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Daud dan disahkan oleh Ibnu Hibban yang bunyinya: Bila menangis anakyang dilahirkan, ia berhak menjadi ahli waris. Keadaan bayi dalam kandungan di antara waktu kematian pewaris dan kelahiran bayi yang sudah pasti itu terdapat suatu tenggang waktu yang tidak pasti bagi bayi yang akan lahir; tidak pasti apakah ia lahir hidup atau mati; tidak pasti yang lahir hidup itu apakah laki-laki dan perempuan. Ketidak pastian itulah yang menyebabkan adanya masalah. Masalah tersebut lebih banyak terletak pada nasib ahli wans yang telah ada. Di antaranya mungkin ada yang tidak dapat menjadi ahli waris karena tertutup oleh anak yang akan lahir. Umpamanya yang hamil adalah istri dari pewaris, sedangkan di kalangan ahli waris, ada saudaranya. Saudara ini mungkin menjadi ahli waris, sekiranya

70

bayi yang lahir dalam keadaan mati; atau tidak menjadi ahli waris sekiranya yang lahir itu hidup dan laki-laki, karena anak laki-laki menutup hak saudara. Mungkin pula hak ahli waris itu berkurang seandainya yang lahir itu dalam keadaan hidup. Umpamanya yang hamil adalah istri sedangkan ahli waris yang telah ada adalah istri itu sendiri. Bila bayi lahir dalam keadaan mati, si istri berhak mendapat 1/4, sedangkan kalau bayi yang lahir itu hidup, maka dia rnendapat 1/8. Cara yang paling baik adalah harta warisan dibagi setelah yang hamil melahirkan. Namun bila sebelum itu ada ahli waris yang telah ada menuntut haknya lebih dahulu, sedangkan dia dalam keadaan apa pun yang lahir itu tetap menjadi ahli waris, diberikan haknya dalam kemungkinan yang paling kecil; umpama diandaikan yang lahir adalah dalam keadaan hidup dalam jenis kelamin laki-laki. Haknya yang pasti akan diketahui setelah nyata lahirnya; dan pem-bagiannya disesuaikan dengan kenyataan. 0 Kewarisan Orang Hilang atau Mafqud Yang disebut mafqud itu adalah orang hilang dan tidak tahu beritanya. Ahli waris mafqud mengandung arti ahli waris yang pada waktu terjadinya kematian pewaris dia dalam keadaan mafqud. Menurut pendapat jumhur ulama ahli waris yang mafqud dinyatakan sebagai orang yang hidup berdasarkan asas istishab al-shifah; yang maksudnya sifat hidup seseorang tetap dipertahankan sampai diketahui secara meyakinkan bahwa dia telah mati. Oleh karena itu dia berhak menjadi ahli waris. Dalam waktu pembagian warisan, haknya - sesuai dengan ketentuan yang berlaku diperhitungkan dan disisihkan sambil menunggu kepastian kematiannya. Bila ternyata kemudian dia memang hidup waktu kematian pewaris, kemudian kembali dalam keadaan hidup, maka hak yang telah disisihkan itu diserahkan kepadanya. Seandainya ternyata kemudian dia juga telah mati, harta yang disisihkan itu diserahkan kepada ahli warisnya. Seandainya ternyata kemudian bahwa sewaktu kematian pewaris dia telah mati lebih dahulu; oleh karenanya tidak berhak mendapat warisan, maka harta yang disisihkan itu dijadikan harta warisan yang dibagikan kepada yang berhak.

71

Anda mungkin juga menyukai