Anda di halaman 1dari 9

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah an-nikah. an-Nikah yang
bermakna al-wat’u dan ad-dammu wa at-tadakhul, kadangkala juga disebut dengan ad-dammu
wa al-jam’u yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Bahkan perkawinan dalam
literatur fiqh disebut dengan zawaj, Kedua kata ini yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-
hari dan banyak terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Rasulullah Muhammad saw. Sebagai
contoh, kata na – ka – ha( ‫ ) نكح‬dalam al-Qur’an yang berarti kawin sebagaimana terdapat dalam
al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 3.1

‫َو ِاْن ِخ ْفُتْم َااَّل ُتْقِس ُطْو ا ِفى اْلَيٰت ٰم ى َفاْنِكُحْو ا َم ا َطاَب َلُك ْم ِّم َن الِّنَس ۤا ِء َم ْثٰن ى َو ُثٰل َث َو ُر ٰب َع ۚ َفِاْن ِخ ْفُتْم َااَّل َتْع ِد ُلْو ا‬
)3 :4/‫َفَو اِح َد ًة َاْو َم ا َم َلَك ْت َاْيَم اُنُك ْم ۗ ٰذ ِلَك َاْد ٰٓنى َااَّل َتُعْو ُلْو ۗا ( النسۤا ء‬

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika
2
kamu takut tidak akan berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.”( An-Nisa:/3:4)
Para ahli fikih mendefinisikan nikah dengan beragam definisi. Pasalnya, setiap mazhab
memiliki definisi khusus yang berbeda-beda. Berikut adalah penjelasannya:
Ulama Hanafiyah mengatakan: “pernikahan adalah perjanjian yang diselengggarakan
untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan disengaja.” Maksudnya untuk
menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta’) dari seorang wanita. Defenisi ini
menghindari kerancuan dari akad jual beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang
dilakukan untuk memilki budak wanita.
Ulama Hanabilah berkata: “akad pernikahan maksudnya adalah sebuah perjanjian yang di
dalamnya terdapat lafazh inkah atau tazwij atau terjamahan (dalam bahasa lain)nya yang
dijadikan sebagai pedoman.”
Ulama Malikiyah mendefinisikan: “pernikahan adalah akad perjanjian untuk
menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram , atau wanita majusiyah,
wanita ahli kitab melalui sebuah ikrar.”
ulama As-Syafiiyah mendefinisikan: “pernikahan merupakan akad perjanjian yang
mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan menggunakan lafazh “inkah” (aku
menikahkanmu wahai fulan dengan fulanah) atau “tazwij” (aku mengkawinkan engkau wahai
fulan dengan fulanah)”3

1
Kmedi Ja'far, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (bandar lampung: Arjasa Pratama, 2020). h. 1
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Cordoba, (Bandung: PT Cordoba Internasional Indonesia, 2016) h.354.
3
Abdurrahman Al-Jazair, Kitab ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, juz IV (t.kp, Dar Ihya Al-Turas Al-Arabi, tt), h. 3.
Bedasarkan defenisi yang dikemukakan oleh para ulama bahwa perkawinan semata-mata
hanya untuk memenuhi hasrat biologis saja. Karena pada dasarnya arti dari nikah itu adalah
bersenggama atau bersetubuh. Biasanya, para ulama mendefenisikan sesuatu itu tidak jauh
berbeda dari arti aslinya. Selain itu, juga tidak bisa dipungkiri bahwa perkawinan mengakibatkan
ketertarikan antara seorang pria dan wanita untuk menjalin hubungan salahsatunya adalah
hubungan biologis dengan tujuan baik untuk mendapat keturunan maupun hanya memenuhi
kebutuhan seksual saja
Pengertian perkawinan juga disebutkan dalam peraturan perundangundang yaitu dalam
pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sama halnya dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 4
Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya
antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU Perkawinan tidak terdapat
perbedaan prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan ialah: “ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga).5
Bedasarkan beberapa defenisi di atas menyatakan bahwa prinsip definisi tersebut tidak
berbeda hanya berbeda secara rasional tetapi intinya tetap sama baik definisi dari kalangan para
ulama maupun definisi dari peraturan perundangan-undangan. Dari definisi di atas penulis dapat
menyimpulkan bahwa perkawinan adalah sebuah akad yang dapat menghalalkan
sebuahhubungan yang haram antara seorang pria dan seorang wanita yang ajnabi sebagai bentuk
ketaatan atas perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta memenuhi kewajiban dan memeberikan
hak antara satu sama lain sebagai suami dan istri..
Perkawinan di syari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan dan menuju kehidupan
bahagia dinia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT dan hal ini telah
disyari’atkan sejak dahulu. Hal ini tersebut dalam sabda Rasulullah SAW

, ‫ َو َيْنَهى َع ِن الَّتَبُّتِل َنْهًيا َش ِد يًدا‬, ‫ ( َك اَن َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا عليه وسلم َيْأُم ُر ِباْلَباَءِة‬: ‫َو َع ْنُه َقاَل‬
‫ َو َص َّح َح ُه ِاْبُن ِح َّباَن‬, ‫ َتَز َّو ُجوا َاْلَو ُد وَد َاْلَو ُلوَد ِإِّني ُم َك اِثٌر ِبُك ُم َاَأْلْنِبَياَء َيْو َم َاْلِقَياَم ِة ) َر َو اُه َأْح َم ُد‬: ‫َو َيُقوُل‬
Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat
melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur

4
Pratama and Lampun Pasal 3, Instruksi presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
yang disingakat dengan KHI .
5
Jama Luddin, Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan (Sulawesi: Unimal Pres, 2016) h. 19.
dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di
hadapan para Nabi pada hari kiamat. (HR:ahmad dan Soheh Ibnu Hibban).”6

B. Rukun Dan Syarat Nikah

Rukun dan syarat perkawinan terdapat beberapa ragam perspektif. Pertama, Perspektif
Fiqh. Rukun dan syarat keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa. Rukun itu
adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang
mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan
unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlalu untuk setiap
unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria
dari unsur-unsur rukun.7
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu
memiliki syarat-syarat tertentu. Yakni:
1. Calon suami, dengan syarat:
a. Beragama islam
b. Balik
c. Berakal
d. Laki-laki
e. Tidak beristri empat
f. Jelas orangnya
g. Dapat memberikan persetujuan
h. Tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon istri, dengan syarat:
a. Beragama islam
b. baligh
c. Perempuan
d. Jelas orangnya
e. Dapat dimintai persetujuannya
f. Tidak terdapat halangan perkawinan

6
Kahar Masyhur, Bulughul Maram Jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1992) h. 5.
7
Ach Puniman, ‘Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974’, Jurnal Yustitia,
19.1 (2018).
3. Wali nikah, dengan syarat:
A. Laki-laki
B. Dewasa
C. Mempunyai hak perwalian
D. Tidak terdapat halangan perwalian
4. Saksi nikah, dengan syarat:
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab qabul
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa
5. Ijab Qabul, dengan syarat:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata tersebut
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
g. Majlis ijan dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai
atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.8
Yang kedua yaitu perspektif peraturan perundang- undangan di Indonesia. Yang Sebelum
perkawinan dilangsungkan. Syarat perkawinan itu banyak dan telah dirinci dalam Undang-
Undang Perkawinan9, yang tertulis didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974. Berikut ini penulis akan menguraikan tentang Rukun dan syarat
Perkawinan Menurut peraturan per Undang-undangan di Indonesia :
1. Rukun Dan syarat Perkawinan menurut kompilasi Hukum Islam
Rukun dan syarat perkawinan didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tertulis didalam
BAB VI yang dibagi kepada Lima (5) bagian.

8
Armia, Fikih Munakahat, (Medan: CV Manhaji, 2016) h. 10-1.
9
Abdulkadir Muhamad, ‘Hukum Perdata Indonesia" (Citra Aditya,2000. h. 78).
 Bagian kesatu mengenai rukun Nikah, pasal 14 Kompilasi Hukum Islam KHI)
menyebutkan: “Untuk Melasanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon Istri
c. Wali Nikah
d. Ijab dan Kabul
 Bagian kedua Mengenai Calon Mempelai, pasal 15 ayat Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyatakan:
1) “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
pasal 7 Undang-undang No.l tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang- kurangnya berumur 16 tahun”.
2) : “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati
izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No.l
Tahun 1974”
 Bagian ke Tiga mengenai wali Nikah, Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam(KHI)
Menyatakan: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhibagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”
Selanjutnya Pasal (20) Kompilasi Hukum Islam (KHI) Menyatakan:
1) ”Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh”.
2) Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab.
b. Wali hakim.
 Bagian Keempat mengenai Sangsi Nikah, pasal 24 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyatakan:
1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Selanjutnya Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam (HKI) Menyatakan: “Yang dapat
ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh,
tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”
Pasal 26 Kompilasi Hukum Islam (HKI) Menyatakan: “Saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu
dan ditempat akad nikah dilangsungkan.”
 Bagian kelima mengenai akat Nikah, Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam(KHI)
Menyatakan: “Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak berselang waktu”
Pasal 28 menyatakan: “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali
nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain”
selanjutnya dalam Pasal 29 Kompilasi Hukum islam Menyatakan:
1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis
bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.10
2. Rukun Dan syarat Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
perkawinan terdapat didalam Bab II Pasal 6 ditemukan ayat-ayat perkawinan, sebagai
berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam
ayat (2), (3), dan (4) dalam pasal ini.

10
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pada Bab IV.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Selanjutnya pada pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang
perkawinan menyatakan:
1) Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahu.
2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau
pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).11
Jika diliht dari Dari Undang-undang dan Menurut Jumhur Ulama diatas hanya memiliki
sedikit perbedaan tentang Rukun Dan syrat Perkawinan,misalnya tentang batas usia Seseorang
yang hendak Melakukan Perkawinan’ Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur usia untuk laki-
laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, sedangkan Menurut jumhur Ulama hanya menyebutkan
yang sudah Baligh dam berakal , sedangkan Undang-undang No 1 Tahun 1974 mengatur Usia
Bagi ornag yang belum Mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin Kedua orang tua.
Perlu diketahui bahwasanya Kompilasi Hukum Islam (KHI), hanya berlaku bangi
Ummat islam saja oleh karena itu peraturan ini mengatur rukun dan syarat Perkawinan yang
sama dengan fikih, sedangkan peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku untuk
seluruh Rakyat Indonesia, dan Undang-Undang ini hanya mengatur tentang Syarat-syarat
perkawinan saja,
C. Hukum Perkawinan
Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu anjuran yang di syari’atkan, sebagai mana yang
disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi SAW, adapun dalil al-Qur’an yang
mwnganjurkan pernikahan terdapat didalam surah An-Nur: 32:

‫َو َاْنِكُحوا اَاْلَياٰم ى ِم ْنُك ْم َو الّٰص ِلِح ْيَن ِم ْن ِعَباِد ُك ْم َو ِاَم ۤا ِٕىُك ْۗم ِاْن َّيُك ْو ُنْو ا ُفَقَر ۤا َء ُيْغ ِنِهُم ُهّٰللا ِم ْن َفْض ِلٖۗه َو ُهّٰللا َو اِس ٌع َع ِلْيٌم‬
12
)32 :24/‫( الّنور‬

Artinya: “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka
11
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab II pasal 6 dan 7’.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Cordoba, (Bandung: PT Cordoba Internasional Indonesia, 2016) h.354’.
dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-
Nur/24:32)
Sedang dalam Hadist Nabi SWA:

( ‫ َفِاَّنُه َاَغُّض‬، ‫ َيا َم ْعَش َر الَّش َباِب َمِن اْسَتَطاَع ِم ْنُك ُم ْالَباَء َة َفْلَيَتَز َّو ْج‬:‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا ص‬: ‫َع ِن اْبِن َم ْس ُعْو ٍد َقاَل‬
‫ الجماعة‬. ‫ َو َم ْن َلْم َيْسَتِط ْع َفَع َلْيِه ِبالَّص ْو ِم َفِاَّنُه َلُه ِو َج اٌء‬.‫رواه البخاري ومسلم ) ِلْلَبَص ِر َو َاْح َص ُن ِلْلَفْر ِج‬13
Artinya: “dari ibnu Mas’ud, ia berkata: Rasulullah SWA bersabda. Wahai para pemuda
siapa saja diantara kalian yang sudah mampu menikah, maka Menikah lah, karena
sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga
kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karna
puas itu baginya me (menjadi) pengekang sahwat” (HR. Bukhari & Muslim).
Dalil-dalil diatas menjelaskan macam-macam ketentuan hukum yang dilihat dari alasan
dan tujuan seseorang yang ingin menikah, dan dalil-dalil tersebut Menjelaskan bahwa
perkawinan sangatlah di anjurkan dalam Syari’at islam.
Melakukan perkawinan menurut prndapat mayoritas ulama Hukumnya adalah Sunnah.
Sedangkan pendapat golongan zahiri mengatakan Hukum perkawinan itu wajib. Ulama mazhaf
maliki mutaakhirin Berpendapat bahwa Hukum menikah itu adalah wajib untuk sebahagian
orang dan Sunnah Untuk sebahagian lainya dan bagi golongan lain yanag yng didasarkan pada
kekhawatiran terhadap kesusahan atau kesulitan dirinya serta berdasarkan pertimbangan
kemaslahatanya, Hukumnya adalah Mubah.14 Oleh sebab itu Hukum melakukan pernikahan
dapat berubah sesuai kondisi karena pertimbangan kemaslahatan.
Adapun macam-macam hukum perkawinan adalah:
1. Wajib
yaitu bagi orang yang sudah mampu dan nafsunya telah mendesak, serta apabila
dia tidak segera kawin dikhawatirkan akan terjerumus kedalam perzinahan.
2. Sunnah
Yaitu bagi orang yang mau enikah dan nafsunya kuat, tetapiia masih mampu
mengendaliakan diri dari perbuatan zina.
3. Mubah
Yaitu bagi orng yang tidak tendesak oleh alasan-alasn yang tidak mewajibkan dia
segera melakukan perkwinan atau tidak. Ulama Hambali mengatakan bahwa
hukum melakukan perkawinan bagi orang yang tidak mempunyai ke inginan untuk
melakukan perkawinan hukumnya adalah Mubah.
4. Makruh

13
Kahar Masyhur, Bulughul Maram Jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1992) h. 5.
14
Ahmad Rafi Baihaqi, ‘Membangun Syurga Rumah Tangga’, (Surabaya: Gita Media, 2006) h. 10-12.
Mngenai hukum melakukan perkawinan ini ada dua pendapat yaitu:
a. Imam malik perpendapat, hukumnya melakukan perkawinan makruh bagi
orang bagi orang yang tiak memiliki keinginan dan takut tidak mampu
memenuhi kewajibannya terhadap istrinya.
b. Imam Syafi’i berpendapat, makruh Hukumnya Melakukan perkawinan bagi
orang yang mempunyai kekhawatiran tidak mamapu memberikan kewajiban
pada istrinya.
5. Haram
Yaitu bagi orang yang tidak ingin melakukan perkawinan karna ia tidak mampu
memberi nafkah lahir maupun batin serta nafsunya tidak mendesak atau dia
mempunyai tujuan atau niat yang tidak baik dari pernikahanya.15

15
Rahmi Ria Wati dan uhammad Zulfikar, , (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 2017), h. 49-50.

Anda mungkin juga menyukai