1
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 2008).
2
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006).
3
Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang (Jakarta: Pustaka Azam, 2001).
4
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, n.d.
perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus
dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling
mengetahui.5
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak
untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu
perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad
nikah.6
Al-Hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-
laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah
perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.7
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah)
adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang
dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun
dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan
dilangsungkan.
menurut ilmu fiqh, peminangan artinya “permintaan”. Secara terminologi
adalah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang
wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh lakilaki itu secara langsung atau
lewat perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama. 8 Tentu
hal itu dilakukan berdasar pada kaidah-kaidah umum yang telah berlaku di
masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal untuk menuju ke jenjang
serius pernikahan. Allah SWT menggariskan agar masing-masing pasangan yang
hendak menikah lebih awal saling mengenal sebelum dilakukan akad nikahnya
sehingga pelaksanaan perkawinan benar-benar berdasarkan pada pandangan dan
penilaian yang jelas.9
5
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2 (Beirut: Darul Fikri, 1998).
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007).
7
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).
8
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995).
9
Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995).
Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya peminangan adalah Surat Al-
Baqarah ayat 235 :
َواَل ُج َنا َح َع َل ْي ُك ْم فِ ْي َما َعرَّ ضْ ُت ْم ِبهٖ ِمنْ خ ِْط َب ِة ال ِّن َس ۤا ِء اَ ْو اَ ْك َن ْن ُت ْم ف ِْٓي اَ ْنفُسِ ُك ْم ۗ َعلِ َم
ۗهّٰللا ُ اَ َّن ُك ْم َس َت ْذ ُكر ُْو َنهُنَّ َو ٰل ِكنْ اَّل ُت َواعِ ُد ْوهُنَّ سِ ًّرا ِآاَّل اَنْ َتقُ ْولُ ْوا َق ْواًل مَّعْ ر ُْو ًفا ە
Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat
perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan kata-kata yang baik.”10
Dalam bahasa Al-Qur’an, peminangan disebut Khitbah, seperti pada ayat
diatas. Mayoritas ulama menyatakan bahwa peminangan tidak wajib. Namun praktik
kebiasaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa peminangan merupakan
pendahuluan yang hampir pasti dilakukan. Karena didalamnya, ada pesan moral dan
tatakrama untuk mengawali rencana membangun rumah tangga yang ingin
mewujudkan kebahagiaan, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ini sejalan dengan
pendapat Dawud Ad-dhahiry yang menyatakan meminang hukumnya wajib. 11
betapapun juga, meminang adalah merupakan tindakan awal menuju terwujudnya
perkawinan yang baik.
Adapun sabda nabi yang diisyaratkan terkait dengan khitbah dan diriwayatkan
oleh Abu Hurairah adalah sebagai berikut:
َ َق
ال صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِ ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ َر
َ ع َْن النَّبِ ِّي،ُض َي هَّللا ُ َع ْنه
ك ْ َِّين ت َِرب
َ ت يَدَا ِ اظفَرْ بِ َذا
ِ ت الد ْ َ َولِ ِدينِهَاف، َو َج َمالِهَا، َولِ َح َسبِهَا، لِ َمالِهَا:تُ ْن َك ُح ْال َمرْ َأةُ ِالرْ بَ ٍع
Artinya:
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi SAW, beliau
bersabda:Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena
10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, n.d.
11
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Juz 2 (Semarang: Usaha Keluarga, n.d.).
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena
agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. (Muttafaq ‘Alaih)12
2. Syarat-syarat khitbah
Meskipun sebagian besar Ulama tidak menghukumi wajib terhadap
peminangan, akan tetapi di dalam peminangan mengandung suatu akad (perjanjian)
antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, sehingga dalam melakukan peminangan
harus melalui syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Fiqh Islam telah
menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya peminangan, yaitu:
a. Syarat lazimiah
Syarat lazimiah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan:
1) Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari laki-laki
yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram mushaharah,
maupun mahram radla’ah (sepersusuan).
2) Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain,
kecuali laki-laki yang telah meminangnya telah melepaskan hak
pinangannya atau memberikan izin untuk dipinang oleh orang lain.
3) Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan ‘iddah.13
Selain syarat yang ketiga ini masih ada beberapa ketentuan, yaitu:
a) Perempuan yang dalam keadaan iddah raj’i, tidak boleh dipinang
karena yang berhak merujuknya adalah bekas suaminya.
b) Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat boleh dipinang
tetapi dengan sindiran.
c) Perempuan dalam masa iddah bain sughra boleh dipinang oleh bekas
suaminya.
12
Shahih al-Bukhari no. 4.700, n.d.
13
Hady Mufaat Ahmad, ., n.d.
d) Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh bekas
suaminya, setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki lain,
didukhul dan diceraikan.14
b. Syarat Muhtahsinah
Maksud dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan yang
apabila dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang disyaratkan.
Syarat mustahsinah tidak harus dipenuhi dalam peminangan, tetapi lebih
bersifat anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang
perempuan, agar rumah tangga yang akan dibangunnya berjalan dengan
sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-syarat mustahsinah antara lain:
1) Sejodoh (kafa’ah)
2) Subur dan mempunyai kasih sayang
3) Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan budi
pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian
hari.15
3. Akibat hukum khitbah
Khitbah merupakan langkah awal dalam proses pernikahan. Di mana melalui
khitbah ini seorang yang meminang dan yang dipinang dapat mengenal lebih dalam,
sehingga kelak setelah menjadi suami isteri tidak menimbulkan penyesalan serta
kekecewaan di kedua belah pihak. Khitbah yang telah dilakukan oleh pihak yang
meminang maka akan timbul konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 3 ed. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
15
Hady Mufaat Ahmad, ., n.d.
b. Setelah terjadi peminagan maka laki-laki yang meminang boleh melihat
muka dan tangan perempuan yang dipinangnya serta saling mengenali antara
keduanya. Dalam istilah Arab disebut nadhar dan ta’aruf. Pernikahan dalam
Islam didasarkan pada kerelaan, kesukaan, serta persetujuan dari kedua belah
pihak. Maka dari itulah diperlukan bagi masing-masing pihak untuk
melakukan nadhar dan ta’aruf, sehingga setelah menikah terhindar dari
kemungkinan terjadinya kekecewaan-kekecewaan.
c. Akad peminagan tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan perempuan
yang melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti layaknya suami isteri.
d. Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat yang sepi,
kecuali ditemani oleh muhrimnya.16
16
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, 10 ed. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983).
Daftar rujukan
———. ., n.d.
Athar, Abd. Nashir Taufik al-. Saat Anda Meminang. Jakarta: Pustaka Azam, 2001.
Idhamy, Dahlan. Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: Al-
Ikhlas, 2008.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. 3 ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. 10 ed. Jakarta: Hidakarya Agung,
1983.