Imam Maliki
Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang
kemudian menjadikan hubungan seksual seorang perempuan
yang bukan mahram, budak serta majusi menjadi halal dengan
shighat.
Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi pernikahan adalah seseorang
memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual dengan
seorang perempuan. Dalam hal ini, perempuan yang dimaksud
ialah seseorang yang hukumnya tak ada halangan sesuai dengan
syar’i untuk dinikahi.
Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang
membolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij
ataupun lafadz lain dengan makna serupa.
Imam Hambali
Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses
terjadinya akad perkawinan. Nantinya, akan memperoleh suatu
pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki
sinonim.
1.Wajib
Jika baik pada pihak laki-laki dan perempuan kemudian sudah
memasuki usia wajib nikah, tak ada halangan, memiliki
kemauan untuk berumah tangga serta khawatir terjadi zina.
Kondisi seperti ini kemudian menjadi wajib untuk segera
melangsungkan pernikahan.
2.Sunnah
Menurut pendapat para ulama, sunnah ialah kondisi di mana
seseorang yang memiliki kemauan serta kemampuan untuk
menikah namun belum juga melaksanakannya. Orang ini
kemudian masih dalam kondisi terhindar atau terlindung dari
perbuatan zina, sehingga meskipun belum menikah, tak merasa
khawatir terjadi zina.
3.Haram
Ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki
keinginan serta kemampuan untuk menikah, namun
dipaksakan. Jika hal ini tetap dilanjutkan, maka kehidupan
rumah tangga yang dijalaninya akan dikhawatirkan istri serta
anaknya ditelantarkan.
4.Makruh
Jika seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari
berbagai perbuatan zina. Akan tetapi, belum berkeinginan
untuk dapat melaksanakan pernikahan serta memenuhi
kewajiban sebagai suami.
5.Mubah
Jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki
kemampuan serta keinginan, tetapi jika tidak pun dia bisa
menahan diri dari zina. Jika pernikahan kemudian dilakukan,
orang tersebut juga tidak akan menelantarkan istrinya.
3. Meningkatkan Ibadah
Dengan pernikahan, diharapkan juga akan meningkatkan
ibadah, lebih taat serta saling meningkatkan ketaqwaan.
4. Mendapatkan Keturunan
Tujuan pernikahan dalam Islam selanjutnya adalah
mendapatkan generasi yang akan meneruskan nasab keluarga.
Anak-anak soleh dan solehah kemduian akan terlahir dari
pasangan yang selalu taat beribadah kepada Allah.
فإنه أغض للبصر وأحصن،يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج
فإنه له وجاٌء، ومن لم يستطع فعليه بالصوم،للفرج
1. Mempelai laki-laki
2. Mempelai Perempuan
4. Saksi Nikah
Menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang
bila tidak ada saksi. Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam,
baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Dua orang saksi ini
diwakilkan oleh pihak keluarga, tetangga, ataupun orang yang
dapat dipercaya untuk menjadi seorang saksi.
Terakhir, syarat sah nikah yakni ijab dan qabul. Ijab dan qabul
adalah janji suci kepada Allah SWT di hadapan penghulu, wali,
dan saksi. Saat kalimat "Saya terima nikahnya", maka dalam
waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah
untuk menjadi sepasang suami istri.
2. Iddah
Iddah ialah “masa menanti yang diwajibkan atas perempuan
yang diceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati),
gunanya supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak.
Perempuan yang ditinggalkan suaminya tadi adakalanya hamil
adakalanya tidak. Maka ketentuan iddah nya adalah sebagai
berikut:
a. Bagi perempuan yang hamil, iddahnya adalah sampai lahir
anak yang dikandungnya itu, baik cerai mati maupun cerai
hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah
At-Talaq:4 yang artinya: “Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya”
b. Perempuan yang tidak hamil, adakalanya cerai mati atau
cerai hidup. Cerai mati iddah nya yaitu 4 bulan 10 hari. Firman
Allah SWT yang artinya “Orang-orang yang meninggal dunia
diantara mu, dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istriitu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) 4 bulan 10 hari”(Al-
Baqarah:234) Ayat pertama (At-Talaq ayat 4) bersifat umum,
meliputi cerai hidup atau cerai mati. Apabila ia hamil, iddahnya
adalah sampai lahir anaknya. Ayat kedua (Al-Baqarah ayat
234) juga umum meliputi perempuan yang hamil ataupun tidak.
Apabila cerainya cerai mati iddah nya selama 4 bulan 10 hari
. Cerai hidup: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya cerai
hidup, kalau dia dalam keadaan haid, iddahnya adalah tiga kali
suci. Firman Allah SWT yang artinya: “ Wanita-wanita yang di
talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci.” (Al-
Baqarah:228)
Kalau perempuan itu tidak sedang haid, iddahnya selama tiga
bulan. Firman Allah SWT yang artinya: “ Dan mereka yang
telah putus haid karena usia diantara perempuan-perempuanmu,
jika kamu ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka
adalah tiga
bukan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak
haid.” (At-Talaq:4) Ada beberapa hak perempuan dalam masa
iddah, yaitu:
a. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima
tempat tinggal (rumah), pakaian dan segala keperluan
hidupnya, dari yang menalak nya (bekas suaminya), kecuali
istri yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.
b. Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung, ia
berhak juga atas kediaman, nafkah dan pakaian. Firman Al- lah
SWT yang artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin.”(At-Talaq:6)
c. Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain
dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, hanya berhak
mendapatkan tempat tinggal,tidak yang lainnya. Firman Al-lah
SWT yang artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (At-Talaq:6)
d. Perempuan yang dalam iddah wafat, mereka tidak
mempunyai hak sama sekali meskipun dia mengandung, karena
dia dan anak yang berada dalam kandungannya telah mendapat
hak pusaka dari suaminya yang meninggal dunia itu. Sabda
Rasulullah SAW yang artinya: “Janda hamil yang kematian
suaminya tidak berhak mendapat nafkah”
3. Rujuk
Yang dimaksud dengan rujuk adalah “mengembalikan istri
yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum
diceraikan.” Perceraian ada tiga cara
a. Talak tiga, dinamakan “bain kubra”. Laki-laki tidak boleh
rujuk lagi dan tidak sah menikah lagi dengan bekas istrinya itu,
kecuali apabila perempuan itu sudah menikah dengan orang
lain serta sudah campur, sudah diceraikan, dan sudah habis pula
masa iddahnya, barulah suami yang pertama boleh
menikahinya kembali
b. Talak tebus, dinamakan pula “bain sugra”. Dalam talak ini
suami tidak sah rujuk lagi, tetapi boleh menikah kembali, baik
dalam iddah maupun sesudah habis iddahnya.
c. Talak satu atau talak dua, dinamakan “talak raj’i”, artinya
sisuami boleh rujuk kembali kepada istrinya selagi istrinya
masih dalam iddah.
Hukum rujuk:
a. Wajib, terhadap suami yang menalak salah seorang istrinya
sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhad istri
yang ditalak
b. Haram, apabila rujuknya itu menyakiti si istri
c. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi
keduanya (suami istri) d. Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk
yang asalnya
e. Sunat, jika maksud suami adalah untuk memperbaiki
keadaan istrinya, atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya
(suami-istri)