Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

PERNIKAN DALAM ISLAM

A.PENGERTIAN DAN HUKUM NIKAH

Kata pernikahan berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘An-nikah’


yang memiliki beberapa makna. Menurut bahasa, kata nikah ini
sendiri berarti berkumpul, bersatu serta berhubungan. Selain
itu, pengertian pernikahan dalam Islam ini kemudian lebih
diperjelas oleh beberapa ahli ulama yang biasa dikenal dengan
empat mazhab fiqih, yaitu:

Imam Maliki
Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang
kemudian menjadikan hubungan seksual seorang perempuan
yang bukan mahram, budak serta majusi menjadi halal dengan
shighat.

Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi pernikahan adalah seseorang
memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual dengan
seorang perempuan. Dalam hal ini, perempuan yang dimaksud
ialah seseorang yang hukumnya tak ada halangan sesuai dengan
syar’i untuk dinikahi.

Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang
membolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij
ataupun lafadz lain dengan makna serupa.

Imam Hambali
Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses
terjadinya akad perkawinan. Nantinya, akan memperoleh suatu
pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki
sinonim.

Pada dasarnya, semua pengertian pernikahan yang telah


disampaikan oleh keempat imam tersebut memiliki kandungan
makna yang hampir sama. Adapun kesamaan yang dimaksud
adalah mengubah hubungan di antara laki-laki serta perempuan
yang sebelumnya tidak halal menjadi halal dengan akad atau
shighat.

B. HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Karena merupakan kegiatan sakral serta bernilai ibadah,


pernikahan kemudian memiliki hukum-hukum yang harus
ditaati. Hukum pernikahan ini sendiri dilaksanakan berdasarkan
pada kondisi yang terjadi pada kedua calon pasangan
pengantin. Hukum pernikahan di dalam Islam kemudian dibagi
kepada beberapa jenis, di antaranya:

1.Wajib
Jika baik pada pihak laki-laki dan perempuan kemudian sudah
memasuki usia wajib nikah, tak ada halangan, memiliki
kemauan untuk berumah tangga serta khawatir terjadi zina.
Kondisi seperti ini kemudian menjadi wajib untuk segera
melangsungkan pernikahan.

2.Sunnah
Menurut pendapat para ulama, sunnah ialah kondisi di mana
seseorang yang memiliki kemauan serta kemampuan untuk
menikah namun belum juga melaksanakannya. Orang ini
kemudian masih dalam kondisi terhindar atau terlindung dari
perbuatan zina, sehingga meskipun belum menikah, tak merasa
khawatir terjadi zina.

3.Haram
Ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki
keinginan serta kemampuan untuk menikah, namun
dipaksakan. Jika hal ini tetap dilanjutkan, maka kehidupan
rumah tangga yang dijalaninya akan dikhawatirkan istri serta
anaknya ditelantarkan.

4.Makruh
Jika seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari
berbagai perbuatan zina. Akan tetapi, belum berkeinginan
untuk dapat melaksanakan pernikahan serta memenuhi
kewajiban sebagai suami.
5.Mubah
Jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki
kemampuan serta keinginan, tetapi jika tidak pun dia bisa
menahan diri dari zina. Jika pernikahan kemudian dilakukan,
orang tersebut juga tidak akan menelantarkan istrinya.

C. AYAT AL-Qur’an DALAM PERNIKAHAN

Pernikahan adalah suatu bentuk keseriusan dalam suatu


hubungan. Selain merupakan bentuk cinta, pernikahan di dalam
Islam juga merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.
Bahkan, disebutkan juga bahwa pernikahan adalah
menggenapkan setengah agama. Penyatuan dua insan, antara
laki-laki dan perempuan ini kemudian diharapkan menjadi
media serta tempat yang sempurna untuk mendapatkan pahala
serta ridho dari Allah SWT.

Oleh karena itu, pernikahan di dalam islam bisa dibilang


sebagai sesuatu yang sakral, jadi sebisa mungkin harus dijaga
bahkan hingga maut memisahkan. Allah SWT juga
memberikan keterangan mengenai keutamaan menikah.
Bahkan, Allah SWT juga akan memberikan karunia-Nya
kepada laki-laki dan perempuan yang menikah karena-Nya.

Di bawah ini akan dijelaskan Beberapa ayat Al-Quran tentang


pernikahan ini yang perlu kamu ketahui, antara lain:

Ayat Al-Quran mengenai Hidup Harus Berpasang-pasangan


‫َوِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َخ َلْقَنا َز ْو َج ْيِن َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُروَن‬

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami Ciptakan Berpasang-


pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS Az-
Zariyat: 49).

Ayat Al-Quran mengenai Pernikahan dan Jodoh


‫َيا َأُّيَها الَّناُس اَّتُقوا َر َّبُك ُم اَّلِذ ي َخ َلَقُك ْم ِم ْن َنْفٍس َو اِحَدٍة َو َخ َلَق ِم ْنَها َز ْو َجَها َو َبَّث ِم ْنُهَم ا‬
‫ِر َج ااًل َك ِثيًرا َو ِنَس اًء َو اَّتُقوا َهَّللا اَّلِذ ي َتَس اَء ُلوَن ِبِه َو اَأْلْر َح اَم ِإَّن َهَّللا َك اَن َع َلْيُك ْم َرِقيًبا‬

Artinya: “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu Yang


menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya Dia
menciptakan jodohnya, dan mengembang-biakan dari
keduanya banyak laki-laki dan perempuan; dan bertakwalah
kepada Allah SWT yang dengan nama-Nya kamu saling
bertanya, terutama mengenai hubungan tali kekerabatan.
Sesungguhnya Allah SWT adalah pengawas atas kamu.” (QS
An-Nisa: 1).

Ayat Al-Quran mengenai Pernikahan dan Qodrat


‫َفَجَعَل ِم ْنُه الَّز ْو َج ْيِن الَّذ َك َر َو اُأْلْنَثٰى‬

Artinya: “Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-


laki dan perempuan.” (QS Al-Qiyamah: 39).

Ayat Al-Quran mengenai Pernikahan dan Kewajiban Menikah


‫َو َأنِك ُحوْا ٱَأۡلَٰي َم ٰى ِم نُك ۡم َو ٱلَّٰص ِلِح يَن ِم ۡن ِعَباِد ُك ۡم َو ِإَم ٓاِئُك ۚۡم ِإن َيُك وُنوْا ُفَقَر ٓاَء ُيۡغ ِنِهُم ٱُهَّلل ِم ن‬
‫م‬ٞ‫َفۡض ۗۦِلِه َو ٱُهَّلل َٰو ِس ٌع َع ِلي‬

Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di


antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkahwin) dari
hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya
yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS An-Nur:
32).

Ayat Al-Quran mengenai Pernikahan dan Perjanjian


‫َو َك ۡي َف َتۡأ ُخ ُذ وَن ۥُه َو َقۡد َأۡف َض ٰى َبۡع ُض ُك ۡم ِإَلٰى َبۡع ٖض َو َأَخ ۡذ َن ِم نُك م ِّم يَٰث ًقا َغ ِليٗظ ا‬

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,


padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An-
Nisa: 21).

D.TUJUAN PERBIKAHAN DALAM ISLAM

Banyak tujuan yang ingin dicapai oleh suatu pasangan saat


akan mengarungi bahtera rumah tangga. Tentunya salah
satunya ialah ingin memiliki keluarga yang bahagia di dunia
dan akhirat bersama seseorang yang dicintainya.

Selain itu, dalam Islam, ada beberapa tujuan pernikahan, antara


lain:

1. Memenuhi Kebutuhan Manusia


Pernikahan di dalam Islam ialah hal yang suci serta menjadi
pertalian antar manusia yang kemudian disaksikan oleh Allah.
Melalui pernikahan, kebutuhan manusia terutama dalam hal
kebutuhan biologis akan tersalurkan dengan benar serta sesuai
dengan aturan Allah.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Wahai para pemuda,


barang siapa dari kamu yang telah mampu memikul tanggung
jawab keluarga, hendaknya kamu segera menikah, karena
dengan pernikahan engkau akan lebih mampu untuk
menundukkan pandangan serta menjaga kemaluanmu.”
(Bukhari Muslim).

2. Membangun Rumah Tangga


Pernikahan juga bertujuan membangun sebuah keluarga yang
tentram, nyaman, damai, serta penuh dengan cinta juga
mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Allah pernah Berfirman: “Dan di antara tanda-tanda


(kebesaran)-Nya ialah Dia yang menciptakan pasangan-
pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu kemudian
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan diantaramu rasa kasih serta rasa sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi para kaum yang berpikir.” (Ar
Ruum: 21).

3. Meningkatkan Ibadah
Dengan pernikahan, diharapkan juga akan meningkatkan
ibadah, lebih taat serta saling meningkatkan ketaqwaan.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila seorang hamba


menikah, maka telah sempurnalah separuh agamanya. Maka
takutlah kamu kepada Allah SWT untuk separuh sisanya.”
(HR. Baihaqi).

4. Mendapatkan Keturunan
Tujuan pernikahan dalam Islam selanjutnya adalah
mendapatkan generasi yang akan meneruskan nasab keluarga.
Anak-anak soleh dan solehah kemduian akan terlahir dari
pasangan yang selalu taat beribadah kepada Allah.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda “Nikahilah


perempuan-perempuan yang bersifat penyayang serta subur
(banyak anak), karena aku akan berbangga-bangga dengan
(jumlah) kalian di hadapan umat-umat lainnya kelak saat
datang hari kiamat.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani)

E. RUKUN NIKAH DALAM ISLAM

Rukun nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan


oleh Rasulullah. Rukun asal nikah adalah sunah bagi seseorang
yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya
sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779
berikut ini

‫ فإنه أغض للبصر وأحصن‬،‫يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج‬
‫ فإنه له وجاٌء‬،‫ ومن لم يستطع فعليه بالصوم‬،‫للفرج‬

Artinya, "Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka


menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata
dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah
karena puasa bisa menjadi tameng baginya."

Berikut Rukun Menikah:

1. Mempelai laki-laki

Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki. Pernikahan


dimulai pada saat akad nikah.

2. Mempelai Perempuan

Sahnya menikah kedua yakni ada mempelai perempuan yang


halal untuk dinikahi. Dilarang untuk memperistri perempuan
yang haram untuk dinikahi seperti pertalian darah, hubungan
persusuan, atau hubungan kemertuaan.

3. Wali Nikah Perempuan

Syarat sah menikah berikutnya adanya wali nikah. Wali


merupakan orangtua mempelai perempuan yakni ayah, kakek,
saudara laki-laki kandung (kakak atau adik), saudara laki-laki
seayah, saudara kandung ayah (pakde atau om), anak laki-laki
dari saudara kandung ayah.

4. Saksi Nikah

Menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang
bila tidak ada saksi. Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam,
baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Dua orang saksi ini
diwakilkan oleh pihak keluarga, tetangga, ataupun orang yang
dapat dipercaya untuk menjadi seorang saksi.

5. Ijab dan Qabul

Terakhir, syarat sah nikah yakni ijab dan qabul. Ijab dan qabul
adalah janji suci kepada Allah SWT di hadapan penghulu, wali,
dan saksi. Saat kalimat "Saya terima nikahnya", maka dalam
waktu bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah
untuk menjadi sepasang suami istri.

F.KEWAJIBAN SUAMI KEPADA ISTRI MUNURUT AL-


Qur’an

Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad


kepemilikan. akad pernikahan diikat dengan memperhatikan
adanya kewajiban-kewajiban di antara keduanya. Dalam hal ini
suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan
istrinya berdasarkan firman-Nya “akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya”. Kata
satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”
(QS. An-Nisa ayat 34).
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri,
sehingga jika berbicara tentang kewajiban suami terhadap
isteri, maka bisa juga berarti hak isteri atas suami.
Kewajiban adalah segala hal yang harus dilakukan oleh setiap
individu, sementara hak adalah segala sesuatu yang harus
diterima oleh setiap individu.
Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kewajiban
adalah segala perbuatan yang harus dilaksanakan oleh individu
atau kelompok sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua
macam yaitu hak Allah dan hak Adam. Dan hak isteri atas
suami tentunya merupakan dimensi horizontal yang
menyangkut hubungan dengan sesama manusia sehingga dapat
dimasukkan dalam kategori hak Adam. Adapun yang menjadi
hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap
isteri adalah sebagai berikut:
1.MAHAR
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang
harus diberikan oleh seorang laki-laki (calon suami) kepada
perempuan (calon isteri) karena pernikahan.
Pemberian mahar kepada calon istri merupakan ketentuan
Allah SWT. bagi calon suami sebagaimana tertulis dalam Al-
Qur’an surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
‫َفِاْن ِط ْبَن َلُك ْم َع ْن َش ْی ٍء ِّم ْنُه َنْفًسا َفُك ُلْو ُه َهِنْٓی ــًٴـا َّم ِرْٓی ــًٴـا‬-‫َو ٰا ُتوا الِّنَس آَء َص ُد ٰق ِتِهَّن ِنْح َلًؕة‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa kata ‫الِنْح َلًؕة‬menurut
lbnu ‘Abbas artinya mahar/maskawin. Menurut ‘A’isyah,
‫الِنْح َلًؕة‬adalah sebuah keharusan. Sedangkan menurut Ibnu Zaid
‫الِنْح َلًؕة‬dalam perkataan orang Arab, artinya sebuah kewajiban.
Maksudnya, seorang laki-laki diperbolehkan menikahi
perempuan dengan sesuatu yang wajib diberikan kepadanya,
yakni mahar yang telah ditentukan dan disebutkan jumlahnya,
dan pada saat penyerahan mahar harus pula disertai dengan
kerelaan hati sang calon suami.
Senada dengan tafsir ath Thabari juga menjelaskan bahwa
Perintah memberikan mahar (dalam surat An-Nisa ayat 4)
merupakan perintah Allah SWT. yang ditujukan langsung
kepada para suami dengan jumlah mahar yang telah ditentukan
untuk diberikan kepada isteri.
Praktik pemberian mahar tidak semua dibayarkan tunai ketika
akad nikah dilangsungkan, ada juga sebagian suami yang
menunda pembayaran mahar istrinya ataupun membayarnya
dengan sistem cicil, dan ini dibolehkan dalam Islam dengan
syarat adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, hal ini
selaras dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi, “sebaik-baik
mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-
Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih
berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)
2.NAFKA PAKAIAN DAN TEMPAT TINGGAL
Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya
pengeluaran. Yakni Pengeluaran yang biasanya dipergunakan
oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Fuqaha telah sependapat bahwa nafkah terhadap istri itu wajib
atas suami yang merdeka dan berada di tempat. Mengenai
suami yang bepergian jauh, maka jumhur fuqaha tetap
mewajibkan suami atas nafkah untuk istrinya, sedangkan Imam
Abu Hanifah tidak mewajibkan kecuali dengan putusan
penguasa.Tentang kewajiban nafkah ini telah dijelaskan Allah
SWT. dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 233.
‫َو َع َلى‬-‫َو اْلَو اِل ٰد ُت ُیْر ِض ْع َن َاْو اَل َد ُهَّن َح ْو َلْیِن َك اِم َلْیِن ِلَم ْن َاَر اَد َاْن ُّیِتَّم الَّر َض اَعَؕة‬
‫اَل ُتَك َّلُف َنْفٌس ِااَّل ُو ْس َعَها‬-‫اْلَم ْو ُلْو ِد َلٗه ِر ْز ُقُهَّن َو ِك ْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِؕف‬
Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
Maksud dari kata ‫ اْلَم ْو ُل ْو ِد َل ٗه‬pada ayat di atas adalah ayah
kandung si anak. Artinya, ayah si anak diwajibkan memberi
nafkah dan pakaian untuk ibu dari anaknya dengan cara yang
ma’ruf. Yang dimaksud dengan ‫ ِب اْلَم ْع ُرْو ِف‬adalah menurut
kebiasaan yang telah berlaku di masyarakat tanpa berlebih-
lebihan, juga tidak terlalu di bawah kepatutan, dan disesuaikan
juga dengan kemampuan finansial ayahnya.
Adapun menyediakan tempat tinggal yang layak adalah juga
kewajiban seorang suami terhadap istrinya sebagaimana Firman
Allah SWT berikut:
‫…َاْس ِكُنْو ُهَّن ِم ْن َح ْیُث َس َك ْنُتْم ِّم ْن ُّو ْج ِد ُك ْم‬
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu
(suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS.
Ath Thalaaq: 6).
3. MENGGAULI ISTRI SECARA BAIK
Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu
kewajiban suami terhadap istrinya. Sebagaimana Firman Allah
dalam Alquran surat an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:
‫ٰا‬ ‫ٰۤی‬
‫َاُّیَها اَّلِذ ْیَن َم ُنْو ا اَل َیِح ُّل َلُك ْم َاْن َتِرُثوا الِّنَس آَء َكْر ًهؕا َو اَل َتْعُض ُلْو ُهَّن ِلَت ْذ َهُبْو ا ِبَبْع ِض‬
‫َف ِاْن َك ِر ْهُتُم ْو ُهَّن‬- ‫َم ۤا ٰا َتْیُتُم ْو ُهَّن ِاۤاَّل َاْن َّی ْاِتْیَن ِبَفاِح َش ٍة ُّم َبِّیَن ٍۚة َو َعاِش ُرْو ُهَّن ِب اْلَم ْع ُرْو ِۚف‬
‫َفَع ٰۤس ى َاْن َتْك َر ُهْو ا َش ْیــًٴـا َّوَیْج َعَل ُهّٰللا ِفْیِه َخْیًرا َك ِثْیًرا‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Maksud dari kata ‫ َو َعاِش ُرْو ُهَّن ِب اْلَم ْع ُرْو ِف‬adalah ditujukan kepada
suami-suami agar berbicara dengan baik terhadap para istri dan
bersikap dengan baik dalam perbuatan dan penampilan.
Sebagaimana suami juga menyukai hal tersebut dari istrinya,
maka hendaklah suami melakukan hal yang sama. Sebagaimana
hadist dari riwayat ‘A’isyah ra., bahwasanya Rasulullah saw.
bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap
keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap
keluargaku”. Dan di antara akhlak Rasulullah saw. adalah
memperlakukan keluarganya dengan baik, selalu bergembira
bermain dengan keluarga, bermuka manis, bersikap lemah
lembut, memberi kelapangan dalam hal nafkah, dan bersenda
gurau bersama istri-istrinya.
Adapun Imam Asy-Sya’rawi Rahimahullah mengatakan,
‫ َو َعاِش ُرْو ُهَّن ِب اْلَم ْع ُرْو ِف‬, Kata ‫ اْلَم ْع ُرْو ف‬memiliki pengertian yang
lebih tinggi tingkatannya dari kata al–mawaddah. Karena
makna kata al-mawaddah berarti perbuatan baik kita kepada
orang lain hanya didasarkan karena rasa cinta (al-hubb) atau
karena kita merasa senang dan bahagia dengan keberadaan
orang itu. Adapun kata ‫ اْلَم ْع ُرْو ف‬maknanya kita berbuat baik
kepada seseorang yang belum tentu kita sukai atau kita
senangi.Artinya jika suatu saat istri kita sudah tidak lagi
menarik secara fisik atau keberadaannya sudah tidak
menyenangkan lagi bahkan membangkitkan kebencian dihati,
maka tetaplah berlaku makruf terhadapnya dan bergaul
dengannya dengan sebaik-baiknya perlakuan sebagaimana
perintah ayat tersebut, karena bisa jadi satu sisi dia buruk
namun pada sisi lainnya banyak kebaikan-kebaikannya yang
bisa menutupi keburukannya tersebut.
4.MENJAGA ISTRI DARI DOSA
Sudah menjadi kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk
memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya
agar taat kepada Allah dan RasulNya. Dengan ilmu agama
seseorang mampu membedakan baik dan buruknya prilaku dan
dapat menjaga diri dari berbuat dosa. Selain ilmu agama,
seorang suami juga wajib memberikan nasehat atau teguran
ketika istrinya khilaf atau lupa atau meninggalkan kewajiban
dengan kata-kata bijak yang tidak melukai hati sang istri,
sebagaimana Firman Allah SWT. surah At-Tahrim ayat 6
berikut :
‫ٰۤی َاُّیَها اَّلِذ ْیَن ٰا َم ُنْو ا ُقْۤو ا َاْنُفَس ُك ْم َو َاْهِلْیُك ْم َناًرا َّو ُقْو ُدَها الَّن اُس َو اْلِح َج اَر ُة َع َلْیَه ا َم ٰٓلٕىَك ٌة‬
‫ِغ اَل ٌظ ِش َداٌد اَّل َیْع ُصْو َن َهّٰللا َم ۤا َاَم َر ُهْم َو َیْفَع ُلْو َن َم ا ُیْؤ َم ُرْو َن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”

G.KEWAJIBAN ISTRI KEPADA SUAMI MENURU AL-


Qur’an
1.TAAT TERHADAP SUAMI
Mentaati suami merupakan perintah Allah SWT. sebagaimana
yang tersirat dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 34 sebagai
berikut:
‫َالِّر َج اُل َقّٰو ُم ْو َن َع َلى الِّنَس آِء ِبَم ا َفَّض َل ُهّٰللا َبْع َض ُهْم َع ٰل ى َبْع ٍض َّو ِبَم ۤا َاْنَفُق ْو ا ِم ْن‬
‫َو اّٰل ِتْی َتَخ اُفْو َن ُنُش ْو َزُهَّن‬-‫َفالّٰص ِلٰح ُت ٰق ِنٰت ٌت ٰح ِفٰظ ٌت ِّلْلَغْیِب ِبَم ا َح ِف َظ ُؕهّٰللا‬-‫َاْم َو اِلِه ْؕم‬
‫َف ِاْن َاَطْعَنُك ْم َفاَل َتْبُغ ْو ا َع َلْیِهَّن‬- ‫َفِع ُظ ْو ُهَّن َو اْهُج ُرْو ُهَّن ِفی اْلَم َض اِج ِع َو اْض ِرُبْو ُهَّۚن‬
‫ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلًّیا َك ِبْیًرا‬-‫َس ِبْیؕاًل‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang salehah ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Menurut Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud
dari ‫ َالِّر َج اُل َقّٰو ُم ْو َن َع َلى الِّنَس آِء‬adalah kaum laki-laki merupakan
pemimpin bagi kaum wanita. Artinya dalam rumah tangga
seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar
dan ditaati perintahnya, oleh karenaa itu sudah seharusnya
seorang Istri mentaati suaminya jika memerintahkannya dalam
kebaikan. Menurut Ibnu Abbas maksud kata ‫ ٰق ِنٰت ٌت‬adalah para
istri yang taat kepada suami. Artinya wanita sholeh itu salah
satu tandanya adalah taat kepada suami selama perintahnya
tidak menyelisihi Allah dan Rasulnya.
2.MENGIKUTI TEMPAT TINGGAL SUAMI
Setelah menikah biasanya yang jadi permasalahan suami istri
adalah tempat tinggal, karena kebiasaan orang Indonesia pada
masa-masa awal menikah suami istri masih ikut di rumah orang
tua salah satu pasangan lalu kemudian mencari tempat tinggal
sendiri. Dalam hal ini seorang istri harus mengikuti dimana
suami bertempat tinggal, entah itu di rumah orang tuanya atau
di tempat kerjanya. Karena hal tersebut merupakan kewajiban
seorang istri untuk mengikuti dimana suami bertempat tinggal,
sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut:
‫…َاْس ِكُنْو ُهَّن ِم ْن َح ْیُث َس َك ْنُتْم ِّم ْن ُّو ْج ِد ُك ْم‬
Artinya “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu
(suami) bertempat tinggal menurut kemampuan kamu,…” (QS.
Ath Thalaaq: 6)

3. MENJAGA DIRI SAAT SUAMI TIADA


Seorang wanita yang sudah menikah dan memulai rumah
tangga maka harus membatasi tamu-tamu yang datang ke
rumah. Ketika ada tamu lawan jenis maka yang harus dilakukan
adalah tidak menerimanya masuk ke dalam rumah kecuali jika
ada suami yang menemani dan seizin suami. Karena perkara
yang dapat berpotensi mendatangkan fitnah haruslah dihindari.
Allah SWT berfirman, “Wanita shalihah adalah yang taat
kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh
karena Allah telah memelihara mereka.” (QS. Annisa:34)

H. THALAQ, IDDAH DAN RUJU’


1. Thalaq
A. PENGERTIAN THALAQ
Menurut bahasa, ath-thalaq berasal dari kata al-ithlaq, yang
berarti melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut
istilah, talak adalah melepaskan ikatan pernikahandan
mengakhiri hubungan suami istri.Apabila pergaulan suami istri
tidak dapat mencapai tujuan pernikahan, maka hal itu akan
mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena tidak adanya
kesepakatan antara suami-istri, maka dengan keadilan Allah
SWT dibukakan-Nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran
itu, yakni pintu perceraian.mudah-mudahan dengan adanya
jalan
itu terjadilah ketertiban dan ketentraman diantara kedua belah
pihak, dan supaya masing masing dapat mencari pasangan yang
cocok yang dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Apalagi
bila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan,
menanam bibit kebencian diantara keduanyaatau terhadap
kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan
ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka
talak (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi
pemisah diantara mereka, sebab menurut asalnya hukum talak
itu itu makruh adanya,berdasarkan hadis nabi Muhammad
SAW yang artinya: Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda.
Oleh karena itu, dengan menilik kemaslahatan atau
kemudaratannya, maka hukum talak ada empat, yaitu:
1). Wajib. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri,
sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya
sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.
2). Sunat. Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan
mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak
menjaga kehormatan dirinya.
3). Haram (bid’ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan
talak sewaktu si istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan
talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci
itu. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Suruhlah olehmu
anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepada istrinya itu,
kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci
dari haid, kemudian ia haid kembali kemudian suci pula dari
haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, boleh ia
teruskan pernikahan sebagaimana yang lalu, atau jika
menghendaki, ceraikan ia sebelum dicampuri.Demikian iddah
yang diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu.”
(riwayat sepakat ahli hadis)
B. LAFAZ TALAK
Kalimat yang dipakai untuk perceraian ada dua macam, yaitu:
1). Sarih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi
bahwa yang dimaksud memutuskan ikatan perkawinan, seperti
kata si suami, “Engkau tertalak” atau“Saya ceraikan Engkau”.
Kalimat yang sarih (terang) ini tidak perlu dengan niat. Berarti
apabila dikatakan oleh suami, berniat atau tidak berniat,
keduanya terus bercerai asal perkataannya itu bukan berupa
hikayat.
2). Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu,
boleh diartikan untuk perceraian nikah atau yang lain, seperti
kata suami “pulanglah engkau ke rumah keluargamu” atau
“pergilah dari sini” dan sebagainya. Kalimat sindiran ini
bergantung pada niat, artinya kalau tidak diniatkan untuk
perceraian nikah, tidaklah jatuh talak. Kalau diniatkan untu
menjatuhkan talak barulah menjadi talak
C MACAM-MACAM THALAK.
thalak menurut bentuknya, terbagi atas:
1) Ila‘ adalah sumpah suami untuk tidak mengumpuli istrinya
karena suatu sebab. Pada zaman jahilia seorang istri yang telah
di ila‘ oleh suaminya maka suaminya tidak lagi memberikannya
nafkah dan tidak diurus lagi akan tetapi jika ingin menikah
tidak diperbolehkan. Kemudian setelah Islam datang maka
peraturan dalam ila‘ adalah paling lama empat bulan. Setelah
itu suami harus memutuskan apakah ingin kembali lagi kepada
istrinya
atau menceraikannya. Tetapi jika dalam empat bulan suami
tetap diam, maka istri berhak mengajukan gugatan cerai.
2) Lian adalah saling melaknat antara suami dan istri. Lian
terjadi karena salah satu (suami/istri) menuduh yang telah
berbuat zina, sementara yang di tuduh bersikeras menolak
tuduhan tersebut. Jika masalah ini tidak dapat diselesaikan
maka keduanya datang kehadapan hakim untuk bersumpah.
Dihadapan hakim penuduh disuruh bersumpah sebanyak lima
kali, empat kali bersumpah bahwa, “Demi Allah engkau telah
berbuat zina” yang kelima adalah “aku bersedia menerima
laknat Allah jika aku berdusta”. Begitu pula sebaliknya yang
tertuduh. Apabila penuduh tidak mau bersumpah, ia ditahan
sampai mau bersumpah atau dicabut tuduhannya.
3) Dzihar, secara bahasa berarti punggung. Dalam istilah fiqih,
dzihar di artikan sebagai perkataan suami terhadap istrinya
yang bermaksud menyamakan istrinya dengan ibunya sendiri.
Pada zaman Jahilia dzihar dianggap sesuatu yang negative
dimana pada posisi ini istri terkatung- katung hidupnya, tidak
bersuami dan tidak juga janda. Tetapi setelah Islam hadir maka
wanita yang didzihar memang haram untuk disetubuhi tetapi
hanya untuk sementara, sampai setelah suaminya membayar
kafarat.
4) Fasakh ialah pembatalan nikah yang dilakukan oleh
pengadilan karena salah satu pihak (suami/istri) tidak dapat
melakukan kewajibannya. Alasan-alasan dapat di ajukannya
fasakh antara lain:
Suami cacat tubuh yang serius.
Suami tidak memberi nafkah kepada istri.
Suami berselingkuh dengan wanita lain.
Suami murtad atau pindah agama.

2. Iddah
Iddah ialah “masa menanti yang diwajibkan atas perempuan
yang diceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati),
gunanya supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak.
Perempuan yang ditinggalkan suaminya tadi adakalanya hamil
adakalanya tidak. Maka ketentuan iddah nya adalah sebagai
berikut:
a. Bagi perempuan yang hamil, iddahnya adalah sampai lahir
anak yang dikandungnya itu, baik cerai mati maupun cerai
hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah
At-Talaq:4 yang artinya: “Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya”
b. Perempuan yang tidak hamil, adakalanya cerai mati atau
cerai hidup. Cerai mati iddah nya yaitu 4 bulan 10 hari. Firman
Allah SWT yang artinya “Orang-orang yang meninggal dunia
diantara mu, dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istriitu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) 4 bulan 10 hari”(Al-
Baqarah:234) Ayat pertama (At-Talaq ayat 4) bersifat umum,
meliputi cerai hidup atau cerai mati. Apabila ia hamil, iddahnya
adalah sampai lahir anaknya. Ayat kedua (Al-Baqarah ayat
234) juga umum meliputi perempuan yang hamil ataupun tidak.
Apabila cerainya cerai mati iddah nya selama 4 bulan 10 hari
. Cerai hidup: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya cerai
hidup, kalau dia dalam keadaan haid, iddahnya adalah tiga kali
suci. Firman Allah SWT yang artinya: “ Wanita-wanita yang di
talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci.” (Al-
Baqarah:228)
Kalau perempuan itu tidak sedang haid, iddahnya selama tiga
bulan. Firman Allah SWT yang artinya: “ Dan mereka yang
telah putus haid karena usia diantara perempuan-perempuanmu,
jika kamu ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka
adalah tiga
bukan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak
haid.” (At-Talaq:4) Ada beberapa hak perempuan dalam masa
iddah, yaitu:
a. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima
tempat tinggal (rumah), pakaian dan segala keperluan
hidupnya, dari yang menalak nya (bekas suaminya), kecuali
istri yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.
b. Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung, ia
berhak juga atas kediaman, nafkah dan pakaian. Firman Al- lah
SWT yang artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin.”(At-Talaq:6)
c. Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain
dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, hanya berhak
mendapatkan tempat tinggal,tidak yang lainnya. Firman Al-lah
SWT yang artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana
kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (At-Talaq:6)
d. Perempuan yang dalam iddah wafat, mereka tidak
mempunyai hak sama sekali meskipun dia mengandung, karena
dia dan anak yang berada dalam kandungannya telah mendapat
hak pusaka dari suaminya yang meninggal dunia itu. Sabda
Rasulullah SAW yang artinya: “Janda hamil yang kematian
suaminya tidak berhak mendapat nafkah”
3. Rujuk
Yang dimaksud dengan rujuk adalah “mengembalikan istri
yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum
diceraikan.” Perceraian ada tiga cara
a. Talak tiga, dinamakan “bain kubra”. Laki-laki tidak boleh
rujuk lagi dan tidak sah menikah lagi dengan bekas istrinya itu,
kecuali apabila perempuan itu sudah menikah dengan orang
lain serta sudah campur, sudah diceraikan, dan sudah habis pula
masa iddahnya, barulah suami yang pertama boleh
menikahinya kembali
b. Talak tebus, dinamakan pula “bain sugra”. Dalam talak ini
suami tidak sah rujuk lagi, tetapi boleh menikah kembali, baik
dalam iddah maupun sesudah habis iddahnya.
c. Talak satu atau talak dua, dinamakan “talak raj’i”, artinya
sisuami boleh rujuk kembali kepada istrinya selagi istrinya
masih dalam iddah.
Hukum rujuk:
a. Wajib, terhadap suami yang menalak salah seorang istrinya
sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhad istri
yang ditalak
b. Haram, apabila rujuknya itu menyakiti si istri
c. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi
keduanya (suami istri) d. Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk
yang asalnya
e. Sunat, jika maksud suami adalah untuk memperbaiki
keadaan istrinya, atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya
(suami-istri)

Anda mungkin juga menyukai