Oleh :
Dsulkaidah HM : 10561100620
KELAS 1 C
A. LATAR BELAKANG
Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki
menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab
tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi perbuatan sebuah zina. Oleh
karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan
kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh ALLAH Swt.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah pengertian pernikahan?
b. Apakah dasar hukum pernikahan?
c. Bagaimana hukum pernikahan?
d. Apa sajakah yang termasuk rukun dan syarat pernikahan?
e. Apa tujuan dari pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua mahluk-Nya,
baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh
Allah S.W.T, untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang
artinya kumpul atau mengumpulkan, dan digunakan untuk kata bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa
diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah dan juga bisa diartikan (wath’u al-
zaujah) bermakna menyetubuhi istri.[1]Definisi yang lain mengemukakan bahwa nikah berasal
dari bahasa arab ”nikahun”yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja ”nakaha”,
sinonimnya ”tazawwaja” kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
sebagai”perkawinan”. Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan nikah
yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual
(persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij.[2]
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan nikah atau
kawin itu sendiri.
1. Golongan Hanafiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapan memberikan manfaat
bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan pasangannya.
2. Golongan Syafi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
bolehnya wati’ (bersenggama) dengan menggunakan lafaz nukah, atau tazwij dan lafaz-lafaz
semakna dengan keduanya.
3. Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa kawin adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum semata-mata untuk membolehkan wati’(bersenggama), bersenang-senang menikmati apa
yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dikawininya (bukan mahram).
4. Golongan Hanabilah mendefinisikan kawin adalah akad dengan menggunakan
lafaz nikah atau tazwij guna untuk memperoleh kesenangan dengan seorang wanita.
Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di
dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[3]
Dapat dipahami bahwa menikah dalam rangka pembentukan keluarga bukan saja untuk
pemenuhan kebutuhan naluri insani manusia. Tetapi pembentukan keluarga merupakan salah
satu perintah agama, yang berfungsi untuk menjaga dan melindungi manusia dari berbagai
penyelewengan dalam pemenuhan kebutuhan seksual.[4]
B. DASAR HUKUM NIKAH
Anjuran untuk menikah dapat dilihat dalam surat an-Nur ayat 32 :
َ ُف َي ُكو ُن وا ِإن َوِإمَآِئ ُك ْۗم عِ َبا ِد ُك ْم ْ ِمن َ َوالصَّالِحِين مِن ُك ْم ْاَأل َي ٰامى َوَأن ِكحُوا
قَرآ َءي ُْغن ِِه ُم
ُ َوهللا ِۗ َفضْ لِه مِن ُهللا
َعلِي ٌم َواسِ ٌع
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur :32).
Munasabah ayatnya dalam ayat ini Allah menganjurkan perkawinan dengan beberapa
fasilitas. Karena perkawinan merupakan jalan yang paling efektif untuk menjaga kehormatan diri
menjauhkan seorang mukmin dari berbuat zina dan dosa-dosa lainnya. Pernikahan juga sebagai
satu-satunya jalan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan membina masyarakat yang ideal.
Oleh karena itu ayat ni juga mengharuskan orang tua untuk menjaga kehormatan keluarganya
dengan cara perkawinan tanpa terbebani dengan masalah harta atau yang lainnya.
Hadist Rasulullah juga menjelaskan anjuran untuk menikah :Rosulullah SAW
bersabda: “Nikah itu sunahku,barang siapa yang tidak suka, bukan
golonganku!” (HR.Bukhari,Muslim).
Tafsiran hadist diatas bahwa berkeluarga merupakan salah satu aspek dari berbagai aspek
ibadah. Oleh karena itu,setiap muslim harus mempunyai kesadaran bahwa dalam pembentukan
keluarganya sebagai aplikasi dari keinginan untuk mengikuti RosulullahSAW.
Kesadaran bahwa menikah merupakan perintah agama dan merupakan sunah Nabi akan
membawa implikasi positif terhadap kelangsungan keluarga yang dibentuk.[5]
C. HUKUM NIKAH
Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Ini
disebabkan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter manusiaannya maupun dari segi
kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf.
Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya
yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, dan atau akhlak.[6]
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam. Terkadang hukum nikah itu
wajib, terkadang bisa menjadi sunnah, kadang itu hukumnya haram, kadang menjadi makruh dan
mubah atau hukumnya boleh menurut syari’at.[7] Sebagian ulama membaginya kepada lima
kategori sebagaimana halnya pembagian hukum perbuatan, Sedangkan sebagian ulama lainya
membagi hukum perkawinan tidaklah demikian, yaitu :
a. Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).
b. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Ahmad Hambali mengatakan bahwa hukum melangsungkan
perkawinan adalah sunat.
c. Dawud Zahiri mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah wajib bagi orang
muslim satu kali seumur hidup.[8]
d. Sedangkan Sayyid Sabiq menyimpulkan lima kategori hukum dari perkawinan itu, yaitu :
1) Wajib, apabila seseorang sudah mampu kawin, nafsunya mendesak dan takut terjerumus dalam
perzinahan.
2) Sunnah, bagi seseorang yang nafsunya telah mendesak dan mampu untuk kawin tetapi masih
dapat menahan dirinya dari berbuat zina.
3) Haram, apabila seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada
istrinya serta nafsunya tidak mendesak.
4) Makruh, apabila seseorang yang hendak kawin lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi
belanja istrinya walaupun tidak merugikan istri.
5) Mubah, jika seseorang tidak terdesak oleh semua alasan yang mewajibkan dan mengharamkan
untuk kawin.
Hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dan akan kembali kepada
hukum yang lima (al-ahkamul khasah).[9] Menurut syariat, disunnahkan menikahi wanita yang
mempunyai latar belakang agama yang baik,mampu menjaga diri dan berasal dari keturunan
orang baik-baik.[10]
)رواه ابن ماجه و دار قطنى ( الَ ُت َزوِّ ِج ْال َمرْ ا َء َة َواَل ُت َزوِّ ِج ْال َمرْ َأةُ َن ْف َس َها
“Janganlah seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri”.
3) Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang dilakukan
oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang
lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a) Sighat (ijab dan qabul)
b) Calon pengantin perempuan
c) Calon pengantin laki-laki
d) Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki
dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.
c. Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan
calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya:
1) Laki-laki
2) muslim
3) Baligh
4) Waras akalnya
5) Adil (tidak fasik)
6) Tidak dipaksa
7) Tidak sedang berihram.
d. Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim,
baligh, berakal,tidak sedang mengerjakan ihram, melihat dan mendengar serta mengerti (paham)
akan maksud akad nikah.[12]
e. Syarat Shigat/Ijab Kabul
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedangkan kabul
dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab kabul harus didasarkan kalimat nikah
atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat an-Nisa’ ayat 3 dan surat al-Ahzab ayat 37. Mengenai ijab
dan kabul ini di dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bahwa:
1) Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
2) Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
dapat mewakilkan kepada orang lain.
3) Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara pribadi.
4) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan
calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad
nikah itu adalah untuk mempelai pria.
5) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.
f. Mahar (maskahwin)
Mahar adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk
memberikanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Mahar merupakan lambang penghalalan
hubungan suami istri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita,
yang kemudian menjadi istrinya. Firman Allah swt:
ص ُد َقات ِِهنَّ ِنحْ َل ًة َفِإنْ طِ ب َْن َل ُك ْم َعنْ َشيْ ٍء ِم ْن ُه َن ْفسًا َف ُكلُوهُ َه ِنيًئ ا َم ِريًئ ا
َ َوآ ُتوا ال ِّن َسا َء
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’ S[4] : 4).[13]
E. TUJUAN PERNIKAHAN
A. SIMPULAN
B. SARAN
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan
warohmah, dunia dan akhirat.
Pernikah menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia yang kedepannya
diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga, kehidupan diharpakan
menjadi lebih bermakna dan suami istri dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang
tinggi di jalan Allah Swt. Amiin . .
DAFTAR PUSTAKA
[1].Tihami,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers), 2014, Cet.4, hlm.6-7
[2].Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.11-
12
[3].Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-
Qardawi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar, (Surabaya : Khalista), 2010, hlm.8
[4].Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.3
[5].Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, cet.1,
hlm.3-5
[6]. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat, terj.Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH ), hlm.44
[7]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.8
[8]. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang : Dimas), 1993,Hlm. 9
[9]. Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.4
[10]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.10
[11]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.49-53
[12]. Tihami dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta:
Rajawali Pers),2014, Cet.4, hlm.13-14
[13]. Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.82