Anda di halaman 1dari 12

PERNIKAHAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah : Hadist Ahkam l

Dosen Pengampuh : Hasan Juhannis, Lc., MS.

Oleh :

Dsulkaidah HM : 10561100620

KELAS 1 C

FAKULTAS AGAMA ISLAM

JURUSAN AKHWAL SYAKHSIYAH

UNIVERSITAS MUMAMMADIYAH MAKASSAR


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki
menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab
tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi perbuatan sebuah zina. Oleh
karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan
kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh ALLAH Swt.

B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Apakah pengertian pernikahan?
b.      Apakah dasar hukum pernikahan?
c.       Bagaimana hukum pernikahan?
d.      Apa sajakah yang termasuk rukun dan syarat pernikahan?
e.       Apa tujuan dari pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua mahluk-Nya,
baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh
Allah S.W.T, untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang
artinya kumpul atau mengumpulkan, dan digunakan untuk kata bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa
diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah dan juga bisa diartikan (wath’u al-
zaujah) bermakna menyetubuhi istri.[1]Definisi yang lain mengemukakan bahwa nikah berasal
dari bahasa arab ”nikahun”yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja ”nakaha”,
sinonimnya ”tazawwaja” kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
sebagai”perkawinan”. Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan nikah
yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual
(persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij.[2]
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan nikah atau
kawin itu sendiri.
1.      Golongan Hanafiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapan memberikan manfaat
bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan pasangannya.
2.      Golongan Syafi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
bolehnya wati’ (bersenggama) dengan menggunakan lafaz nukah, atau tazwij  dan lafaz-lafaz
semakna dengan keduanya.
3.      Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa kawin adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum semata-mata untuk membolehkan wati’(bersenggama), bersenang-senang menikmati apa
yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dikawininya (bukan mahram).
4.      Golongan Hanabilah mendefinisikan kawin adalah akad dengan menggunakan
lafaz nikah atau tazwij guna untuk memperoleh kesenangan dengan seorang wanita. 
   
Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di
dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[3]

Dapat dipahami bahwa menikah dalam rangka pembentukan keluarga bukan saja untuk
pemenuhan kebutuhan naluri insani manusia. Tetapi pembentukan keluarga merupakan salah
satu perintah agama, yang berfungsi untuk menjaga dan melindungi manusia dari berbagai
penyelewengan dalam pemenuhan kebutuhan seksual.[4]

B.     DASAR  HUKUM NIKAH
Anjuran untuk menikah dapat dilihat dalam surat an-Nur ayat 32 :
َ ُ‫ف‬ ‫ َي ُكو ُن وا‬ ‫ِإن‬ ‫ َوِإمَآِئ ُك ْۗم‬ ‫عِ َبا ِد ُك ْم‬  ْ‫ ِمن‬  َ‫ َوالصَّالِحِين‬ ‫مِن ُك ْم‬ ‫ ْاَأل َي ٰامى‬ ‫َوَأن ِكحُوا‬
 ‫قَرآ َءي ُْغن ِِه ُم‬
ُ‫ َوهللا‬  ِۗ‫ َفضْ لِه‬ ‫مِن‬ ُ‫هللا‬
                                ‫ َعلِي ٌم‬ ‫ َواسِ ٌع‬ 
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur :32).

Munasabah ayatnya dalam ayat ini Allah menganjurkan perkawinan dengan beberapa
fasilitas. Karena perkawinan merupakan jalan yang paling efektif untuk menjaga kehormatan diri
menjauhkan seorang mukmin dari berbuat zina dan dosa-dosa lainnya. Pernikahan juga sebagai
satu-satunya jalan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan membina masyarakat yang ideal.
Oleh karena itu ayat ni juga mengharuskan orang tua untuk menjaga kehormatan keluarganya
dengan cara perkawinan tanpa terbebani dengan masalah harta atau yang lainnya.
 Hadist Rasulullah juga menjelaskan anjuran untuk menikah :Rosulullah SAW
bersabda: “Nikah itu sunahku,barang siapa yang tidak suka, bukan
golonganku!” (HR.Bukhari,Muslim).
Tafsiran hadist diatas bahwa berkeluarga merupakan salah satu aspek dari berbagai aspek
ibadah. Oleh karena itu,setiap muslim harus mempunyai kesadaran bahwa dalam pembentukan
keluarganya sebagai aplikasi dari keinginan untuk mengikuti RosulullahSAW.
Kesadaran bahwa menikah merupakan perintah agama dan merupakan sunah Nabi akan
membawa implikasi positif terhadap kelangsungan keluarga yang dibentuk.[5]

C.    HUKUM NIKAH
                        Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Ini
disebabkan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter manusiaannya maupun dari segi
kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf.
Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya
yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, dan atau akhlak.[6]
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam. Terkadang hukum nikah itu
wajib, terkadang bisa menjadi sunnah, kadang itu hukumnya haram, kadang menjadi makruh dan
mubah atau hukumnya boleh menurut syari’at.[7] Sebagian ulama membaginya kepada lima
kategori sebagaimana halnya pembagian hukum perbuatan, Sedangkan sebagian ulama lainya
membagi hukum perkawinan tidaklah demikian, yaitu :  
a.       Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).
b.      Mazhab Hanafi, Maliki, dan Ahmad Hambali mengatakan bahwa hukum melangsungkan
perkawinan adalah sunat.
c.       Dawud Zahiri mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah wajib bagi orang
muslim satu kali seumur hidup.[8]
d.      Sedangkan Sayyid Sabiq menyimpulkan lima kategori hukum dari perkawinan itu, yaitu :
1)      Wajib, apabila seseorang sudah mampu kawin, nafsunya mendesak dan takut terjerumus dalam
perzinahan.
2)      Sunnah, bagi seseorang yang nafsunya telah mendesak dan mampu untuk kawin tetapi masih
dapat menahan dirinya dari berbuat zina.
3)      Haram, apabila seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada
istrinya serta nafsunya tidak mendesak.
4)      Makruh, apabila seseorang yang hendak kawin lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi
belanja istrinya walaupun tidak merugikan istri.
5)      Mubah, jika seseorang tidak terdesak oleh semua alasan yang mewajibkan dan mengharamkan
untuk kawin.
Hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dan akan kembali kepada
hukum yang lima (al-ahkamul khasah).[9] Menurut syariat, disunnahkan menikahi wanita yang
mempunyai latar belakang agama yang baik,mampu menjaga diri dan berasal dari keturunan
orang baik-baik.[10]

D.    RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN


1.      Rukun Pernikahan
Rukun, yaitu sesuatu yang pasti ada yang menentukan sah atau tidakya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengentin
laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan atau peristiwa hukum itu tidak terpenuhi
berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah tidak sah dan statusnya “batal
demi hukum”.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
a.       Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b.      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
)‫ت ِب َغي ِْر ا ِْذ ِن َولِ ِّي َها َف ِن َكا ُح َها بَاطِ ٌل (اخرجه االربعة اال للنسائ‬
ْ ‫اَ ُّي َما امْ َرَأ ٍة ِن َك َح‬
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal”
Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda:

)‫رواه ابن ماجه و دار قطنى‬ ( ‫الَ ُت َزوِّ ِج ْال َمرْ ا َء َة َواَل ُت َزوِّ ِج ْال َمرْ َأةُ َن ْف َس َها‬
“Janganlah seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri”.

c.       Adanya dua orang saksi


Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksiakan akad
nikah   tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
)‫اح ِااِّل ِب َولِيِّ َو َشاهِدَ ى َع ْد ٍل (رواه احمد‬
َ ‫اَل ِن َك‬
d.      Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari
pihak   wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan
yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa kata-kata,
tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya
dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari
pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan
ridhanya.
Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan dalam hati sang istri atau wali
dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.Jika seorang laki-laki berkata kepada wali
perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu bernama si fulanah”. Wali
menjawab: “Aku nikahkan kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju”. Ucapan
pertama disebut ijab dan ucapan kedua adalah qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk
ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi, dengan catatan jatuh pada urutan
pertama. Sedangkan qabul adalah bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab, dengan catatan
jatuh pada urutan kedua dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain.
Seperti ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab. Sedangkan
yang lain berkata: “ Aku terima” adalah qabul.

Tentang Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:


1)      Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a)      Wali dari pihak perempuan
b)      Mahar (maskawin)
c)      Calon pengantin laki-laki
d)     Calon pengantin perempuan
e)      Sighat akad nikah
2)      Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a)      Calon pengantin laki-laki
b)      Calon pengantin perempuan
c)      Wal
d)     Dua orang saksi
e)      Sighat akad nikah

3)      Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang dilakukan
oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang
lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a)      Sighat (ijab dan qabul)
b)      Calon pengantin perempuan
c)      Calon pengantin laki-laki
d)     Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki
dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.

2.      Syarat Sahnya Perkawinan


Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya
terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai
suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan
rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam penyusunan
syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
a.      Syarat-syarat calon suami
1)      Beragama Islam
2)      Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3)      Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4)      Orangnya diketahui dan tertentu
5)      Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal      baginya.
6)      Calon suami rela (tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan
atas          kemauan sendiri.
7)      Tidak sedang melakukan Ihram.
8)      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9)      Tidak sedang mempunyai istri empat.

b.      Syarat-syarat calon istri


1)      Beragama Islam
2)      Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang iddah.
3)      Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4)      Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5)      Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6)      Tidak sedang ihram haji atau umrah.[11]

c.       Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan
calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya:
1)      Laki-laki
2)      muslim
3)      Baligh
4)      Waras akalnya
5)      Adil (tidak fasik)
6)      Tidak dipaksa
7)      Tidak sedang berihram.

d.      Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim,
baligh, berakal,tidak sedang mengerjakan ihram, melihat dan mendengar serta mengerti (paham)
akan maksud akad nikah.[12]

e.       Syarat Shigat/Ijab Kabul
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedangkan kabul
dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab kabul harus didasarkan kalimat nikah
atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat an-Nisa’ ayat 3 dan surat al-Ahzab ayat 37. Mengenai ijab
dan kabul ini di dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bahwa:
1)      Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
2)      Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
dapat mewakilkan kepada orang lain.
3)      Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara pribadi.
4)      Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan
calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad
nikah itu adalah untuk mempelai pria.
5)      Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.

f.       Mahar (maskahwin)
Mahar adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk
memberikanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Mahar merupakan lambang penghalalan
hubungan suami istri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita,
yang kemudian menjadi istrinya. Firman Allah swt:   
‫ص ُد َقات ِِهنَّ ِنحْ َل ًة َفِإنْ طِ ب َْن َل ُك ْم َعنْ َشيْ ٍء ِم ْن ُه َن ْفسًا َف ُكلُوهُ َه ِنيًئ ا َم ِريًئ ا‬
َ ‫َوآ ُتوا ال ِّن َسا َء‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’ S[4] : 4).[13]

E. TUJUAN PERNIKAHAN
        

Perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu untuk mewujudkan kehidupan


rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana firman Allah SWT. :
َ ‫ َب ْي َن ُك ْم‬ ‫ َو َجعَ َل‬ ‫لَق َل ُك ْم ِمنْ َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجً ا لِ َت ْس ُك ُنوا ِإ َل ْي َها‬
‫مَو َّد ًة‬ َ ‫َو ِمنْ آ َيا ِت ِه َأنْ َخ‬
ٍ ‫َو َرحْ َم ًة ِإنَّ فِي َذل َِك آل َيا‬
‫ت‬
َ ‫لِ َق ْو ٍم َي َت َف َّكر‬ 
‫ُون‬
“Dan  di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum ayat 21).
Menurut ayat tersebut, keluarga islam terbentuk dalam keterpaduan antar ketentraman
(sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari istri yang
patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang
lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling
membina silaturrahmi dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masing anggota
keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.
Sulaiman Al-Mufarraj, dalam bukunya Bekal Pernikahan, menjelaskan bahwa ada 15
tujuan perkawinan, yaitu:
1.       Sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nikah juga dalam rangka taat kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya.
2.       Untuk ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan (membentengi diri)
dan mubadho’ah (bisa melakukan hubungan intim)
3.       Memperbanyak umat Muhammad SAW
4.       Menyempurnakan agama
5.       Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah SWT
6.       Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mereka saat
masuk surga
7.       Menjaga masyarakat dari keburukan,runtuhnya moral,perzinaan, dan lain sebagainya
8.       Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam
memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan membantu istri dirumah
9.       Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluarga
10.   Saling mengenal dan menyayangi
11.   Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri
12.   Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga islam yang sesuai dengan ajaran-Nya terkadang
bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah SWT, maka tujuan nikahnya akan
menyimpang
13.   Suatu tanda kebesaran Allah SWT. Kita melihat orang yang sudah menikah, awalnya mereka
tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan
keduanya bisa saling mengenal dan sekaligus mengasihi
14.   Memperbanyak keturunan umat islam dan menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan
15.   Untuk mengikuti panggilan ‘iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal yang diharamkan.[14]
BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
B.     SARAN
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan
warohmah, dunia dan akhirat.
Pernikah menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia yang kedepannya
diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga, kehidupan diharpakan
menjadi lebih bermakna dan suami istri dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang
tinggi di jalan Allah Swt. Amiin . .
DAFTAR PUSTAKA

[1].Tihami,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers), 2014, Cet.4, hlm.6-7
[2].Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.11-
12
[3].Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-
Qardawi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar,  (Surabaya : Khalista), 2010, hlm.8
[4].Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.3
[5].Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, cet.1,
hlm.3-5
[6]. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat, terj.Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH ), hlm.44
[7]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.8
[8]. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat,  (Semarang : Dimas), 1993,Hlm. 9
[9]. Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.4

[10].  Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.10
[11]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.49-53
[12]. Tihami dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta:
Rajawali Pers),2014, Cet.4, hlm.13-14
[13]. Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.82

[14]Tihami,Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta: Rajawali


Pers,2014), Cet.4, hlm.18-19

Anda mungkin juga menyukai