Anda di halaman 1dari 18

Pernikahan: Sebuah Pengantar Singkat

Di susun dalam rangka memenuhi tugas


Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Suparman. M.Ag.

Di Susun Oleh :
Ahmad Khoirun Nizam (2204016043)
Mohammad Zulfikar Said (2204016041)
Ahmad Uwes Alqoroni (2204016042)

AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2022/2023
PERNIKAHAN: SEBUAH PENGANTAR SINGKAT

Ahmad Khoirun Nizam nizamcs03@gmail.com


UIN Walisongo Semarang

Mohammad Zulfikar Said zulfikarsaid26@gmail.com


UIN Walisongo Semarang

Ahmad Uwes Alqoroni roniaq99@gmail.com


UIN Walisongo Semarang

Abstract: The focus of this discussion is the concept and purpose of marriage as well as an
explanation of women who are forbidden to marry according to the Koran. Based on the
verses of the Qur'an, it is understood that marriage is a bond of agreement between a man and
a woman to be legally married. When talking about marriage, the Koran uses two terms,
namely marriage and zawj. It's just that the word marriage is more directed at human pairing
with each other, while zawj has a more general meaning. Whereas women who cannot be
married based on several verses, fiqh scholars classify the prohibition for two reasons,
namely: eternal or eternal causes (al-muharramat al-muabbadah). And the causes are
temporary (al-muharramat al-muaqqatah).

Abstrak: Fokus pembahasan ini adalah konsep dan tujuan pernikahan serta penjelasan
mengenai perempuan-perempuan yang haram dinikahi menurut al-Quran. Berdasarkan ayat-
ayat al-Quran dipahami bahwa pernikahan merupakan ikatan perjanjian antara pihak laki-laki
dan pihak perempuan untuk bersuami istri secara resmi, disamping -secara majazi- ia juga
diartikan dengan hubungan seks. Ketika membicarakan pernikahan, al-Quran menggunaka
dua term, yaitu nikah dan zawj. Hanya saj kata nikah lebih diarahkan penggunaanya pada
keberpasangan manusia dengan sesamanya , sementara zawj memiliki makna yang lebih
umum. Sedangkan perempuan yang tidak boleh dinikahi berdasarkan beberapa ayat, para
ulama fiqh mengklasifikan pengharamanyap aa dua sebab, yaitu: sebab yang bersift abadi
atau selamanya (al-muharramat al-muabbadah). Dan sebab yang bersifat sementara (al-
muharramat al-muaqqatah).

FIQIH| 2
A. Pendahuluan

Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral,
bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunah Rasulallah dan di laksanakan atas dasar
keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus
diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I
pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan pernikahan, sebagaimana difirmankan Allah SWT, dalam surat Ar-rum ayat
21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan
hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawadah warahmah). Sesungguhnya pada
yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”.
Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika
manusia melakukan pernikahan.

Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunah dalam pengertian


mencontoh tindak laku nabi Muhammad SAW. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan
akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan rindu Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan
dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Quran;

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnian-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
(QS. Al Nuur/24 : 32).1

B. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian literature (library research) yang bertujuan mengkaji
dasar-dasar pokok penting tentang pernikahan yang di nyatakan dalam alQuran dan hadist-

1
Wahyu Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam”, (Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2016), Vol. 14, No. 2,hlm.
185.
FIQIH| 3
hadist. Dengan penelitian diharapkan bisa dikemukakan beberapa dasar-dasar pokok
penting guna bekal dimasa dimana sudah tiba waktunya (nikah).

C. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah

Nikah artinya kawin. Nikah adalah sunnah Allah bagi hamba-hamba-Nya untuk
menempuh bahtera kehidupan dan berlaku umum, baik manusia maupun hewan.2
Perkawinan merupakan peristiwa yang paling sacral dialami oelh setiap manusia,
nikah/perkawinan artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan, yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban
antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu ikatan
lahir antara dua orang laki-laki dan perempuan, utnuk hidup bersama dalam suatu rumah
tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari’at Islam.3

Dalam sebagian keterangan menggunakan lafadh Wamaa yattashilu bihil (segala


sesuatu yang berhubungan dengan-Nya), berupa hukum-hukum dan urusan pengadilan.
Kalimat ini “al ahkam wal qadlaya” dalam sebagian redaksi matan tidak ditampilkan. Kata
“Nikah” menurut bahasa bermakna “kumpul, wati/jimak dan akad”. Sedang menurut
syara’, yaitu suatu akad yang mengandung/memuat beberapa tukun dan syarat.

Nikah itu sunah bagi orang yang sudah membutuhkan terhadapnya, sebab keinginan
nafsunya yang kuat untuk jimak, dan sudah memilki biaya pernikahan seperti maskawin
dan nafkah. Apabila tidak memiliki biaya pernikahan, maka baginya tidak sunah
melakukan pernikahan. Dan diperbolehkan bagi orang merdeka, mengumpulkan (memilki)
empat (istri) yang merdeka, kecuali bila haknya memang tertentu satu istri, seperti
pernikahan orang bodoh dan semacamnya, dari orang-orang yang bergantung pada
kebutuhan.

Dan diperbolehkan bagi seorang budak, meskipun budak mudabbar, muba’adh,


mukatab atau orang yang kemerdekaanya digantungkan dengan suatu sifat,
mengumpulkan/memilki dua isri saja. Orang yang merdeka tidak boleh menikahi
perempuan amtnya orang lain, kecuali dengan dua syarat, yaitu :

2
Ibrahim Muhammad Jibril, Fiqih Muslimah: I badah, Muamalah (Jakarta: Pustaka Amani, 1994), hlm. 253.
3
Eman Suparman, Hukum Perkawinan di Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW (Bandung: Refika
Aditama, 2008),hlm. 7.
FIQIH| 4
1. Tidak memiliki maskawin untuk wanita merdeka, atau tidak adanya wanita
yang merdeka, atau tidak ada perempuan merdeka yang rela di nikahi.
2. Khawatir melakukan zina, yakni zina selama tidak ada perempuan merdeka.

dan mushannif meninggalkan/tidak menyebutkan dua syarat lain, yaitu : pertama, Laki-
laki merdeka tersebut tidak memilki istri merdeka yang beragama Islam atau ahli kitab
yang layak dijadikan untuk bersenang-senang. Kedua, Amat yang dinikahi harus Islam.
Maka tidak halal bagi orang Islam merdeka menikahi perempuan amat kitabi. Bila laki-
laki merdeka menikahi perempuan amat dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, tiba-tiba
dia mampu menikahi perempuan merdeka, maka pernikahan dengan perempuan amat
tidak rusak/batal.4

D. Anjuran Menikah

Karena menikah adalah sunnah dari paran nabi atau suatu perilaku yang dipraktekan
beliau sebagai teladan bagi umat disamping tuntunan dan kebutuhan manusiawi. Maka
dalam menikah, hendaklah terkandung niat untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW demi
memperbanyak pengikut beliau dan agar mempunyai keuturunan yang sholeh, menjaga
kemalauan dan kehormatan dari perbuatan tercela, serta menjaga keberagaman secara
umum5

Allah SWT. Berfirman:

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu
dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan membrimu rezeki dari yang
baik,” (QS. An-Nahl; 72)

Para ulama fiqh pengikut madzhab yang empat (Syafi’I, Hanafi, maliki, dan Hambali) pada
umunya mereka mendefinisikan perkawinan pada:

“Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan
dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafad nikah atau kawin atau
makna yang serupa dengan kedua tersebut.”6

Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu
akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan utnuk mentaati perintah Allah dan melaksanakan

4
Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola: Terjemah fathul Qarib Buku Dua (Kediri: Mukjiizat, 2012), hlm. 109-110.
5
Firman Arifandi, Wejangan Pengantin Anyar: Terjemah Fathul Izar (Jakarta: Rumah Fiqih, 2020), hlm. 12.
6
Abdurahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 212.
FIQIH| 5
merupakan ibadah. Dari beberapa terminology yang telah dikemukakan nampak jelas
seklai terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam firman
Allah:

“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmju isteri-


isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.
Ar-Rum: 21) 7

E. Hukum Menikah dalam Islam

Pada kenyataanya sekalipun mexdnikah adalah anjuran dalam agama kita, namun
ternyata dalam sejumlah kondisi konsekuensi hukumnya bisa berubah. Pada kondisi
tertentu menikah bisa menjadi wajib, sunnah, makruh, bahkan haram. 8 Bagi orang yang
mampu wajib melaksnakanya, karena dapat melindungi dan memelihara dirinya. Al-
Qurthubi menegaskan, “orang yang mampu dan takut tertimpa bahaya pada diri dan
agamanya bila tetap membujang, sedang hal itu tidak bisa diatasi, kecuali dengan kawin,
maka tiada perselisihan tentang kewajiban kawin.9 Dan nikah hukumnya sunnah bagi
orang yang mampu membiayainys, tetapi ia tidak merasa khawatir akan terjerumus ke
dalam perbuatan yang diharamkan, sebagaimana ditegaskan di dalam sabda Rasulullah
SAW,

“Hai para pemuda, barang siapa dari kalian mampu memberi nafkah maka
menikahlah, karena nikah itu dapat menundukan pandangan serta lebih memelihara
kemaluan.”

Dalam hadist lainya Rasulullah SAW bersabda;

“Nikahilah wanitawanita yang banyak cintanya lagi subur, karena aku akan
membanggakan kalian disebabkan jumlah yang banyak atas umat (terdahulu) pada
hari kiamat.”10

7
Wahyu Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam”, (Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2016), Vol. 14, No. 2,hlm.
186.
8
Abdurahman Al Jazairi, Al Fiqhu alal Madzahib al Arba’ah (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2003), hlm. 4/10-15.
9
Ibrahim Muhammad Jibril, Fiqih Muslimah: I badah, Muamalah (Jakarta: Pustaka Amani, 1994), hlm. 254.
10
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim (Jakarta: Darul Haq, 1964), hlm. 748.
FIQIH| 6
1. Wajib

Seseorang bisa diwajibkan menikah tatkala hasratnya untuk menikah sudah


muncul dan sudah sulit baginya menghindari zina, serta bagi mereka yang secara
finansiual sudah berkemampuan.

2. Sunnah dan Mubah

Berdasarkan para pendapat ulama, pernikahan hukumnya sunnah jika seorang


memiliki kemampuan untuk menikah atau sudah siap untuk membangun rumah
tanggar akan tetapi ia dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu
menjerumuskanya dalam perbuatan zina, dengan kata lain, seorang hukumnya
sunnah untuk menikah jika ia tidak dikawatirkan melakukan perbuatan zina.

Suaru pernikahan hukumnya mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang


memiliki kemampuan untuk meraih namun ia dapat tergelincir dalam perbuatan zin
ajika tidak meakukanya. Pernikahan bersifat mubah jika ia menikah hanya untuk
memenuhi syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah tangga
sesuai syariat Islam.11

Dimubahkan juga bagi seseorang untuk menikah tatkala tidak ada hal apapun
yang menuntutnya untuk menikah dari segi finansial, biologis, dan usia, dan
terhindar dari kemungkinan terjadinya kedhaliman.

3. Makruh

Bagi orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna
kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah.

4. Haram

Hukum haram dalam pernikahan bisa muncul dikarenakan banyak hal,


diantaranya adalah jika seseorang tidak mampu secara finansial dan sangat besar
kemungkinannya tidak bisa menafkahi keluarga kelak, tidak adanya kemampuan
berhubungan sekual juga menjadi factor diharamkanya pernikahan.

11
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VI (Bandung: PT. AL Ma’arif, 2000), hlm. 90
FIQIH| 7
Pernikahan juga bisa menjadi haram jika syarat sah dan kewajiban tidak
terpenuhi bahkan dilanggar. Ada banyak klasifikasi nikah yang diharamkan dalam
islam seprti nikah mut’ah (sejenis kawin kontrak) dan nikah syighar (seperti barter).
Indikasi terjadinya kedhaliman dalam rumah tangga juga bisa menyebabkan
pernikahan menjadi haram untuk dilakukan.12

F. Hikmah Nikah

Diantara hikmah nikah adalah sebagai berikut :

1. melestarikan manusia dengan perkembangbiakan yang dihasilkan melalui nikah.


2. kebutuhan pasangan suami istri terhadap pasanganya untuk memelihara
kemaluanya dengan melakukan hubungan seks yang suci.
3. Kerja sama pasangan suami istri di dalam mendidik anakk dan menjaga
kehidupanya.
4. Mengatur hubungan seorang laki-laki dengan seorang wanita berdasarkan prinsip
pertukaran hakk dan bekerja sama yang produktif dalam suasana yang penuh cinta
kasih serta perasaan saling menghormati satu sama lainnya. 13

G. Syarat-syarat dan Rukun Nikah

Untuk keabsahan nikah dibutuhkan empat rukun, yaitu :

1. Wali, yaitu bapak kandung mempelai wanita, penerima wasiat, atau kerabat
terdekat dan seterusnyan sesuai dengan urutan ashabah wanita tersebut, atau orang
bijak dari keluarga wanita tersebut, atau pemimpin setempat, Adapun ketentuan
hukum bagi wali adalah sebagai berikut: a). Laki-laki, baligh, berakal, sehat, dan
merdeka, bukan budak. b). Hendaklah siwali meminta izin dari perempuan yang
ingin dia nikahkan jika wanita itu seorang gadis dan walinya adalah bapaknhya
sendiri, dan meminta pendapatnya jika wanita itu seorang janda, atau seorang
gadis, tetapi walinya bukan bapaknya sendiri. c). Perwalian seorang kerabat
dihukumi tidak sah dengan adanya wali yang lebih dekat kepada wanita tersebut.
Jadi tidak sah perwalian saudara sebapak dangan adanya saudaranya yang
sekandung, atau perwalian anak saudaranya dengan adanya saudara. d). Jika
seorang wanita mengizinkan kepada dua orang kerabatnya supaya menikahkan
dirinya dan masing-masing dari keduanya menikahkan dengan orang kain, maka
12
Firman Arifandi, Wejangan Pengantin Anyar: Terjemah Fathul Izar (Jakarta: Rumah Fiqih, 2020), hlm.13-14.
13
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim (Jakarta: Darul Haq, 1964), hlm. 749.
FIQIH| 8
wanita itu menjadi istri dari laki-laki yang lebih dahulu dinikhkan denganya dan
jika akad dilaksanakan pada waktu yang sama, maka npernikahan wanita itu
dengan kedua laki-laki tersebut dihukumi batal.
2. Shighat Akad Nikah, Adapun yang dimaksud dengan shighat akad ikah adalah
perkataan dari mempelai laki-laki atau wakilnya ketika akad niukah, misalnh
mempelai laki-laki meminta kepada walinya, seraya berkata, “Nikahkanlah aku
dengan putrimju atau putri yang diwasiatkan kepada yang bernama fulanah (A), si
wali berkata, “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama fulanah (A), dan
mempelaki laki-laki menjawab, “aku terima nikahnya putrimu denganku”.
beberapa ketentuan hukum shighat: 1). Setaranya calon suami dengan calon istri,
diama calon suaminya adalah seorang yang merdeka (bukan budak), berakhlak
mulia, beragama serta amanah. 2). Diperbolehkanya perwakilan didalam akad
nikah, jadi caon suami diperbolehkan mewakili kepada siapa saja yang
dikehendakinhya di dalam akad nikah. Sedanhkan calon istri, maka walinya
sendirilah yang boleh melangsungkan akad nikahnya.
3. Mahar (Maskawin), Mahar adalah sesuatu yang diberikan calon suami kepada
calon suami kepada calon istri untuk menghalalkan ,menikmatinya, dan
hukumnya adalah wajib. Beberapa ketentuan hjukum yenayng mahar: 1). Mahar
disunahkan mudah (ringan). 2). Disunahkan menyebutnya mahar ketika akad. 3).
Mahar diperbolehkan dengan setiap barang yang mubah yang harganya lebih dari
¼ dinar. 4). Mahar boleh dibayar kontan krtika akad nikah, atau ditangguh kan,
atau hanya sebagianya saja yang ditangguhkan. 5). Mahar merupakan tanggungan
suami ketia akad nikah dan merupakan kewajiabn Ketika suami telah
menggauliistrinya. Jika suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya, maka
separuh mahar dianggap gugur darinya dan ia hanya berkewajiban membayar
separuhnya lagi. 6). Jika suami meninggal dunia, seblum dia menggauli istrinya
dan setelah akad, maka istri berhak mewarisnya serta berhak mendapatkan mahar
secara utuh. Hal itu berlaku jika maharnya telah ditentukan. Tetapi jika maharnya
belum ditentukan, maka isri berhak mendapakan mahar sebesar mahar wanita
yang sederajat denganya, lalu menjalani masa iddah setelanhnya.14
4. Syarat Saksi, pernikahan hendaknya dihadiri dua orang saksi dari lebih dari kaum
laki-laki yang adil dari kaum muslimin. Hal itu berdassarkan firman Allah:

14
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim (Jakarta: Darul Haq, 1964), hlm. 751-752.
FIQIH| 9
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian”. (Ath-
Thalaq).

Adapun ketentuan hukum bagi kedua kedua orang saksi adalah sebagai berikut: 1).
Saksi nikah terdiri dari dua orang atau lebih. 2). Kedua orang saksi nikah hendaklah orang
yang adil, yang dibuktikan dengan meninggalkan dosa-dosa besar dan kebanyakan dosa
kecil. Sedang orang fasik adalah orang yang biasa melakukan zina, meminum minuman
keras, atau harta riba, sehingga kesaksian dihukumi tidak sah. 3). Di masa kita sekarang
ini, sebaiknya jumlah sakssi diperbanyak, karena sedikitnya oranag adil.15

H. Perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa , dan dorongan yang sulit
dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinanya pertemuan
antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya
“perkawinan:, dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketentraman atau sakinah
dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum/30: 21.

Disisi lain perlu juga dicatat bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa berpasangan
atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluknya, dan walaupun Rasul menegaskan
bahwa “nikah” adalah sunnahnya”, tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan sunnah
menetetapkan ketentuan-ketentuan yanhg harus di indahkan lebih-lebih karena masyarakat
yang ditemuinya melakukan praktek-praktek yang amat berbahaya serta melanggar nilai-
nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri)
seperti firman Allah SWT. dalam QS Al-Nisa’/4:19.

َ‫ْض َمٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن آِاَّل اَ ْن يَّْأتِ ْين‬ ُ ‫ النِّ َس ۤا َء كَرْ هًا ۗ َواَل تَ ْع‬f‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا‬
ِ ‫ بِبَع‬f‫ضلُوْ ه َُّن لِت َْذهَبُوْ ا‬
‫ َش ْيـًٔا َّويَجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْي ِه َخ ْيرًا َكثِ ْيرًا‬f‫ اَ ْن تَ ْك َرهُوْ ا‬f‫ف ۚ فَاِ ْن َك ِر ْهتُ ُموْ ه َُّن فَ َع ٰ ٓسى‬
ِ ْ‫َاشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫اح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوع‬ ِ َ‫بِف‬

“Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai dan janganlah
kamu menyusahkan mereka karena henddak mengambil Kembali sebian dari pada apa
yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata”.

15
Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana Permada Media, 2010), hlm. 45-46
FIQIH| 10
Menurut Al-Qurthubi ketika larangan diatas turun, masih ada yang mengawini mereka
atas dasar suka sama suka sampai dengan turunya surat Al-Nisa’/4: 22 yang secara tegas
menyatakan.

‫ُوا َما نَ َك َح َءابَٓاُؤ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ِإاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۚ ِإنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح َشةً َو َم ْقتًا َو َسٓا َء َسبِياًل‬
f۟ ‫َواَل تَن ِكح‬

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh)”.16

Karena itulah, Al-Quran Ketika berbicara tentang siapa yang boleh dinikahi, ia hanya
menyebutkan secara rinci. Sebagaimana terlihat pada QS Al-Nisa’/4: 3.

‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء‬ ۟ ‫فَٱن ِكح‬


َ َ‫ُوا َما ط‬

“Maka nikahilah siapa yang kamu senangi dari wanita -wanita”. 17

Berdasarkan beberapa ayat AlQur’an, orang-orang yang tidak boleh dinikahi


setidaknya disebabkan oleh beberapa sebab. Dan ulama fiqh mengklassifikasi sebab-sebab
pengharaman orang tidak boleh dinikahi ke dalam dua sebab, yaitu; sebab yang bersifat
abadi atau selamanya (al-muharramat almuabbadah), dan sebab yang bersifat sementara
(al-muharramat almuaqqatah).

Sebab yang bersifat abadi yang dimaksud, yaitu; pertama, diharamkan karena adanya
hubungan kekeluargaan (nasab), kedua, diharamkan karena hubungan kekerabatan melalui
pernikahan (almusaharah), ketiga, diharamkan karena susuan (rada’ah).

Sementara sebab yang bersifat sementara yang dimaksud, yaitu; pertama, diharamkan
karena status wanita yang sudah ditalak tiga, kedua, diharamkan karena status wanita yang
terkait dengan suaminya (baik sebagai isteri, maupun sementara dalam keadaan iddah),
ketiga, diharamkan karena beda agama dan keyakinan, keempat, diharamkan karena status
wanita tersebut sebagai saudara atau keluarga dekat isteri yang sedang berjalan, dan kelima,
diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi isteri kelima dalam waktu bersamaan.
Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci wanita-wanita yang haram dinikahi :

16
Ibid, h. 105
17
Ibid, h. 99
FIQIH| 11
1. Al-Muharramat al-Muabbadah (Sebab yang bersifat abadi)Yang dimaksud dengan
sebab yang bersifat abadi adalah sebab yang menghalangi seorang laki-laki menikahi
seorang perempuan selamanya karena sebab tersebut tidak bisa hilang atau
dihilangkan, ia akan terus melekat pada diri masingmasing, baik laki-laki maupun
perempuan. Yang termasuk Dalam kategori ini, yaitu;
a) Diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan (nasab).
yang termasuk tidak boleh dinikahi karena sebab kekeluargaan ada tujuh
golongan, yaitu; ibu ke atas( Yang dimaksud dengan ibu ke atas adalah ibu,
nenek dan seterusnya.Kata al-ummdalam bahasa Arab dipahami sebagai asal
sehingga semua yang menjadi asal laki-laki (dalam hal ini ibu, nenek dan
seterusnya) termasuk haram dinikahi), anak ke bawah(Yang dimaksud anak ke
bawah adalah anak, anaknya anak (cucu) dan seterusnya.Karena mereka
merupakan keturunan seorang laki-laki (ayah) sehingga mereka haram
dinikahi oleh orang tuanya.),saudara perempuan(Termasuk saudara perempuan
adalah saudara kandung (sebapak seibu), atau saudara perempuan sebapak saja
atau seibu saja.) ,tante baik dari bapak maupun ibu(Tante dari pihak ayah
disebut dengan istilah ‘ammah, sedangkan tante dari pihak ibu disebut dengan
istilah khalah.Akan tetapi, tante baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu,
baik saudara kandungnya orang tua atau saudara sebapak atau seibunya tetap
termasuk orang yang tidak boleh dinikahi.) , serta anak saudara (keponakan)
baik dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.
b) Diharamkan karena adanya Hubungan kekerabatan melalui Pernikahan
(musaharah)
Yang dimaksud dengan Musaharah adalah orang yang Awalnya tidak
termasuk Keluarga atau kerabat dekat, Namun setelah terjadi Pernikahan salah
satu anggota Keluarganya menyebabkan Mereka tergolong kerabat. Termasuk
dalam golongan ini Adalah isteri bapak (ibu tiri), Isteri anak (menantu), ibu
Isteri (mertua), dan anak Isteri. Hanya saja khusus Untuk yang keempat ini,
yaitu Anak isteri, ia termasuk haram Dinikahi apabila ibunya (isteri) telah
disetubuhi oleh Suami (ayah tirinya). Apabila Isteri belum disetubuhi lalu ia
Berpisah oleh suaminya, baik Pisah karena talak atau karena Isteri tersebut
meninggal Dunia maka anaknya itu (anak Tiri suami) tidak lagi haram Bagi
suami ibunya

FIQIH| 12
c) Diharamkan karena susuan (rada’ah)Dasar hukum untuk Pelarangan menikahi
orang/Wanita karena faktor susuan Adalah QS. Al-Nisa’/4: 23
ٰ
َ ْ‫َوُأ َّم ٰهَتُ ُك ُم ٱلَّتِ ٓى َأر‬
َ ٰ ‫ ِّمنَ ٱلر‬f‫ض ْعنَ ُك ْم َوَأ َخ ٰ َوتُ ُكم‬
‫َّض َع ِة‬

Terjemahnya :
”(dan diharamkan pula untuk dinikahi) ibu-ibumu yang menyusui kamu; dan saudara
perempuan sepersusuan”.
Para ulama tafsir Sepakat menyatakan bahwa Berdasarkan ayat tersebut Faktor sesusuan
(rada’ah) Menjadi salah satu sebab Seseorang haram dinikahi.

2. Al-Muharramat al-Muaqqatah (Sebab yang bersifat sementara)


Yang dimaksud dengan al-muharramat al-muaqqatah adalah wanita-wanita yang
haram dinikahi dalam jangka waktu tertentu (sementara) disebabkan adanya beberapa
sebab. Apabila sebab itu sudah tiada maka pelarangan tersebut pun juga terhapus.
Sebab-sebab yang dimaksud, yaitu;
a) Diharamkan karena status Wanita yang sudah ditalak Tiga Pengharaman untuk
Menikahi wanita yang sudah Ditalak tiga atau dalam istilah Fiqh adalah talaq
bain berlaku Bagi mantan suami yang telah Menceraikannya. Hal ini Didasari
oleh firman Allah swt Dalam QS. Al-Baqarah/2: 230.

‫َاح َعلَ ْي ِه َمٓا َأن يَت ََرا َج َعٓا ِإن ظَنَّٓا‬


َ ‫فَِإن طَلَّقَهَا فَاَل ت َِحلُّ لَ ۥهُ ِم ۢن بَ ْع ُد َحتَّ ٰى تَن ِك َح َزوْ جًا َغي َْرهۥُ ۗ فَِإن طَلَّقَهَا فَاَل ُجن‬
َ ‫َأن يُقِي َما ُحدُو َد ٱهَّلل ِ ۗ َوتِ ْل‬
َ‫ك ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْ ٍم يَ ْعلَ ُمون‬

Terjemahnya:
“Kemudian jika suaminya mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukumhukum Allah. Itulah
hukum hukum Allah diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”

Dari ayat tersebut dipahami bahwa seorang suami bila telah mentalak
tiga isterinya maka isterinya yang sudah ditalak itu tidak halal (baca: haram)
FIQIH| 13
lagi baginya. Pengharaman ini tentunya memberi pelajaran yang sangat pahit
bagi suami isteri yang bercerai untuk ketiga kalinya. Kalaulah perceraian
pertama terjadi, peristiwa itu kiranya menjadi pelajaran bagi keduanya untuk
introspeksi dan melakukan perbaikan. Kalaupun masih terjadi perceraian
untuk kedua kalinya, kesempatan terakhir harus dapat menjamin kelangsungan
pernikahan, sebab kalau tidak, dan perceraian itu terjadi lagi untuk ketiga
kalinya, tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu, kecuali memberi
kesempatan kepada isteri untuk kawin dengan pria lain. Demikian Quraish
Shihab menjelaskan hikmah dari pengharaman itu.18
Dari ayat itu pula Dipahami bahwa dibolehkan Menikahi kembali
mantan Isterinya yang telah ditalak Tiga apabila memenuhi syaratsyarat yang
ditetapkan di atas, Yaitu:
1) Mantan isteri tersebut Sudah dinikahi oleh pria Lain
2) Pernikahan yang terjadi di Antara mereka (mantan Isteri dengan pria lain)
Adalah pernikahan yang Sah menurut agama
Pasangan suami isteri Yang baru itu telah Melakukan Hubungan
Senggama di antara Mereka.

b) Diharamkan karena status

wanita yang terkait dengan suaminya (baik sebagai isteri, maupun sementara
dalam keadaan iddah)Perempuan yang berstatus isteri orang lain termasuk orang
yang tidak boleh dinikahi, berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. al-Nisa’/4: 24

َ َ‫ت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ۖ ِك ٰت‬


‫ب ٱهَّلل ِ َعلَ ْي ُك ْم‬ ُ َ‫ص ٰن‬
ْ ‫ت ِمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ِإاَّل َما َملَ َك‬ َ ْ‫ۚ َو ْٱل ُمح‬

Terjemahnya:

“Dan (diharamkan juga kamu Mengawini) wanita yang Bersuami, kecuali budak-
budak Yang kamu miliki (Allah menetapkan hukum itu) sebagai Ketetapan-Nya
atas kamu”.

Tampak jelas Ketetapan Allah yang Mengharamkan menikahi Wanita yang


bersuami. Dengan kata lain, jangan ada Dua suami yang menikah Dengan seorang
perempuan (poliandri).19
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 602.
19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 479
FIQIH| 14
c) Diharamkan karena beda agama dan keyakinan
Sebab ayat yang menjadi landasan hukum pelarangan tersebut adalah QS al-
Baqarah/2: 221.
‫ت َحتَّ ٰى يُْؤ ِم َّن ۚ َوَأَل َمةٌ ُّمْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِّمن ُّم ْش ِر َك ٍة َولَوْ َأ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۗ َواَل‬ f۟ ‫َواَل تَن ِكح‬
ِ ‫ُوا ْٱل ُم ْش ِر ٰ َك‬
ٓ
َ‫ك َولَوْ َأ ْع َجبَ ُك ْم ۗ ُأ ۟و ٰلَِئكَ يَ ْد ُعون‬ ٍ ‫وا ۚ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِّمن ُّم ْش ِر‬ f۟ ُ‫ُوا ْٱل ُم ْش ِر ِكينَ َحتَّ ٰى يُْؤ ِمن‬
۟ ‫تُن ِكح‬
۟
َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُون‬ِ َّ‫ار ۖ َوٱهَّلل ُ يَ ْدع ُٓوا ِإلَى ْٱل َجنَّ ِة َو ْٱل َم ْغفِ َر ِة بِِإ ْذنِِۦه ۖ َويُبَيِّنُ َءا ٰيَتِ ِهۦ لِلن‬
ِ َّ‫ِإلَى ٱلن‬

Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu nikahi Wanita-wanita musyrik, Sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak Yang mu’min lebih baik dari Wanita
musyrik, walaupun dia Menarik hatimu. Dan janganlah Kamu menikahkan
orang-orang Musyrik (dengan wanita-wanita Mu’min) sebelum mereka
Beriman. Sesungguhnya budak Yang mu’min lebih baik dari Orang musyrik
walaupun dia Menarik hatimu. Mereka Mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan Ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) Kepada manusia supaya mereka
Mengambil pelajaran”.

Dalam ayat tersebut, Allah melarang seorang pria menikahi wanita


wanita musyrik sebelum merekaberiman, demikian juga para wali dilarang
menikahkan Dalam ayat tersebut, Allah melarang seormenikahkan menikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, demikian juga para wali
dilarang menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya
kepada laki-laki musyrik.

d) Diharamkan karena statuswanita tersebut sebagai saudara atau keluarga dekat


isteri yang sedang berjalan.
Yang dimaksud dengan sub judul di atas adalah seorang pria dilarang
mengumpulkan dua wanita bersaudara atau lebih dan dijadikan sebagai
isterinya. Hal ini didasari oleh firman Allah swt. dalam QS An-Nisa’/4: 23.
۟ ‫ۗ َوَأن تَجْ مع‬
... َ‫ُوا بَ ْينَ ٱُأْل ْختَي ِْن ِإاَّل َما قَ ْد َسلَف‬ َ

FIQIH| 15
Terjemahnya:
”Dan (kamu juga diharamkan) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”.

Ibn Jarir al-Tabariy Meriwayatkan dari ibn ‘Abbas Bahwa konon


masyarakat Jahiliyah menghalalkan/Membolehkan untuk menikahi Isteri
mendiang bapak dan Mengumpulkan dua wanita Bersaudara sebagai isteri.
Lalu Allah menurunkan firmanNya sebagai respon Penyimpangan tersebut,
yaitu QS. Al-Nisa’/4: 21. Yang Berbicara tentang larangan Menikahi isteri
mendiang Bapak (sebagaimana Disebutkan di atas), dan QS Al-Nisa’/4: 23
Dalam riwayat yang lain ditambahkan anak perempuan saudaranya
yang lelaki dan anak perempuan saudaranya yang perempuan 20.Tentunya
pelarangan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran putusnya hubungan
kekeluargaan yang dapat muncul akibat pernikahan itu.

e) Diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi isteri kelima dalam waktu
bersamaan.
Yang dimaksud disini adalah seorang pria tidak boleh menikahi seorang
wanita apabila wanita tersebut akan menjadi isterinya yang kelima di saat
isteri pertama sampai isteri masih ada dan sementara berjalan. Dengan kata
lain, seorang pria dilarang poligami lebih dari lima isteri.Ketentuan ini
didasari oleh firman Allah dalam QS. al-Nisa’ (4) : 3.
َ َ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل‬
‫ث َو ُر ٰبَ َع‬ ۟ ‫ۖ فَٱن ِكح‬
َ َ‫ُوا َما ط‬
Terjemahnya:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, Tiga, atau
empat”.
Dari batasan yang Disebutkan Allah dalam ayat Tersebut sampai pada
jumlah Empat, maka nabi saw. Melarang menghimpun dalam Saat yang sama
lebih dari Empat orang isteri bagi Seorang pria. Ketika turunnya Ayat ini,
Rasulullah Memerintahkan semua yang Memiliki lebih dari empat Orang

20
Muhammad ‘Aliy al-Sabuniy, Rawai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, jil. I (Jakarta: Dar al-
Kutub al-Islamiyyah, 2001), hlm. 360.
FIQIH| 16
isteri, agar segera Menceraikan isteri-isterinya Sehingga maksimal setiap
Orang hanya memperisterikan Empat orang wanita.21

I. Kesimpulan

Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah
hubungan intim dan mengumpuli, seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling
membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara
majaz nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya.
Kedua, secara hakiki nikah nikah adalah akad dan secara majaz nikah adalah wat’un
(hubungan intim) sebaliknya pengertian secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukan
bahwa nikah tersebut adalah akad seperti yang dijelaskan dalam al-Quran dan Hadis.
Hukum perrkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajikan tetapi juga
tidak dilarang. Dengan berdasarkan pada perubahan ilatnya atau keadaan masing-masing
orang yang hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat menjadi
sunnah, wajib, makruh, dan haram.

J. PENUTUP

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dipahami bahwa pernikahan merupakan ikatan


perjanjian antara pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk bersuami istri secara resmi,
disamping secara -majazi- ia juga diartikan dengan hubugan seks. Ketika membicarakan
pernikahan. Al-Qur’an menggunakan dua term, yaitu nikah dan zawj. Hanya saja kata
nikah lebih diarahkan penggunaanya pada keberpasangan. Ketentuan pernikahan yang
telah diatur oleh Allah mengandung pesan pentingnya untuk bersyukur, tidak mengingkari
atau melupakan nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan-Nya. Karena memang
pernikahan adalah anugerah dari yang kuasa. Oleh karena itu, penhkajian lebih dalam akan
ayata-ayat Al-Quran dan sunnah nabi terkait dengan tema “nikah” perlu digalakkan demi
mengungkap betapa banyak nikmat yang diberikan Allah yang selanjutnya orang dituntut
menyadari sekaligus memelihara dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman al-Jaziri, a.-F. ‘.-A.-F. (1986). al-fiqh 'ala madzhib al-Arba'ah . beirut: dar al-fikr.

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, M. M. (1964). minhajul muslim. jakarta: darul haq.
21
M. Quraish Shihab, wawasan Al-Quran, (Jakarta: LenteraHati, 2006), hlm. 199.
FIQIH| 17
Firman Arifandi, W. P. (2020). wejangan pengantin anyar: terjemah fathul izar. jakarta : rumah
fiqih .
Ghozali, A. R. (2010). fiqih munakahat . jakarta: kencana permada media .
Jibril, I. M. (1994). fiqh muslimah: ibadah muamalah. jakarta: pustaka amani.
Mubarok, A. H. (2012). fiqh idola: terjemah fathul qarib buku dua . kediri: mukjizat.
Muhammad ‘Aliy al-Sabuniy, R. a.-B. (2001). tafsir ayat al ahkam min al-quran jilid 1. jakarta: Dar
al-Kutub al-Islamiyyah.
Sayyid Sabiq, F. S. (2000). fiqih sunnah juz VI. bandung: pt. al ma'arif.
Suparman, E. (2008). hukum perkawinan di indoensia dalam perspektif islam. bandung: refika
aditama.
Wahyu Wibisana. (2016). pernikahan dalam islam . jurnal pendidkan agama islam, 185-187.
M. Quraish Shihab. (2006). wawasan Al-Quran, Jakarta: LenteraHati.
M. Quraish Shihab, (2012) .Tafsir al-Misbah, Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati.
Muhammad ‘Aliy al-Sabuniy, (2001), Rawai’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, jil. I
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,

FIQIH| 18

Anda mungkin juga menyukai