Anda di halaman 1dari 12

WALI DAN SAKSI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA-NEGARA

ASIA BARAT

Aim Siti Aisyah, Inka Qurrota Ayunin, Febi Oktavian Nurcholis

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon

Email : aimsitiaisyah@gmail.com, nokinka876@gmail.com, febioktavian6@gmail.com

Abstrak

Perkawinan merupakan salah satu bentuk ibadah dimana seorang laki-laki dan perempuan
melakukan akad yang bertujuan untuk mendapatkan kehidupan yang sakinah mawaddah
warohmah. Dalam pernikahan adanya seorang wali dan dua orang saksi nikah. Tujuannya
adalah agar perkawinan tersebut sah. Karenanya, berbagai negara di dunia Islam sepakat
dengan adanya saksi dalam perkawinan. Namun, berbeda dengan wali sendiri terdapat
perbedaan di setiap negaranya. Pada kenyataannya, berbagai negara muslim
memberlakukan adanya saksi dan tidak semuanya memberlakukan mengenai wali.

Kata Kunci : Wali dan Saksi, Yordania, Syiria, Arab Saudi, Yaman

PENDAHULUAN

Nikah berasal dari kata bahasa arab yaitu nikah, yang merupakan masdar dari fi’il
madi nakaha, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Nikah
menurut bahasa adalah al-Jam’u yang artinya kumpul. Kata nikah sering juga digunakan
karena termasuk dalam bahasa Indonesia. Adapun nikah secara shara’ adalah akad serah
terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera yang sakinah mawaddah warohmah.1
Pernikahan merupakan salah satu cara yang dipilih oleh Allah SWT. sebagai jalan
untuk memperbanyak diri (berkembang biak), dan meneruskan hidupnya. Pernikahan
merupakan Sunnah Allah yang sudah diketahui secara umum dan berlaku didunia ini.

1
M. A. Tihami dan Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2009), 8.
Fikih Munakahat telah mengatur masalah pernikahan secara rinci, termasuk
didalamnya rukun nikah. Rukun nikah adalah sesuatu yang wajib ada dalam pernikahan dan
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Adapun rukun-rukun pernikahan
menurut hukum Islam adalah :
1. Mempelai laki-laki.
2. Mempelai perempuan.
3. Wali.
4. Dua orang saksi.
5. Ijab qabul
Rukun nikah tersebut diatasrupanya memiliki perbedaan pendapat diberbagai Negara
dan juga dikalangan para ulama mazhab empat. Perbedaan yang sangat mencolok terletak
pada wali dan dua orang saksi, dimana sebagian negara dan ulama mazhab empat ada yang
memasukkan dalam rukun dan ada yang tidak memasukkan sebagai rukun, ada yang
mengatakan sebagai syarat sah dan ada juga yang mengatakan hanya sebagai pelengkap saja.2
METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode
pengumpulan data dengan mencari atau menggali data dari literatur yang terkait dengan apa
yang dimaksudkan dalam rumusan masalah. Literature review atau tinjauan pustaka.
Penggunaan metode ini terkait situasi pandemi Covid-19 yang membatasi peneliti dalam
pengambilan data. Studi Literatur (literature review) merupakan penelitian yang dilakukan
oleh peneliti atau penulis dengan mengumpulkan sejumlah buku buku, undang-undang
terkait, majalah, jurnal yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penulisan.

Adapun sifat dari penulisan ini adalah analisis deskriptif, yakni penguraian secara
teratur data yang telah diperoleh, kemudian diberikan pemahaman dan penjelasan agar dapat
dipahami dengan baik oleh pembaca.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wali dan Saksi

Kata wali menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk
jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah
2
Riwanto, R., & Arianto, Y. (2020). Kedudukan Wali dan Saksi Dalam Perkawinan Perspektif Ulama
Empat Madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), Al-MAQASHIDI, 3(1), 83
kata wali mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi
untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang
mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad
nikah dengan pengantin laki-laki).

Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Sedangkan
wali dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. Akad nikah dilakukan oleh dua
pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak
perempuan yang dilakukan oleh walinya.

Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang
paling berhak yaitu mereka yang paling akrab atau yang lebih kuat hubungan darahnya.
Jumhur ulama seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan bahwa wali itu adalah
ahli waris dan diambil dari garis ayah bukan dari garis ibu.3

Dapat disimpulkan bahwa wali dalam perkawinan adalah seseorang yang


mempunyai hak untuk menikahkan atau orang yang melakukan janji nikah atas nama
mempelai perempuan. 4

Secara bahasa, saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri seuatu
peristiwa atau kejadian. Kata saksi dalam bahasa Arab adalah asyhadu atau syahidtu.5
Menurut istilah, saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksiannya dan
mengemukakannya di mana ia menyaksikan sesuatu atau peristiwa yang orang lain tidak
menyaksikannya.

Dalam pelaksanaan perkawinan (akad nikah) harus dihadiri oleh saksi-saksi,


sebab kehadiran saksi-saksi itu merupakan rukun dari perkawinan itu sendiri, sehingga
apabila akad nikah tidak ada saksi-saksi, maka akad nikahnya tidak sah.

3
Zuliya. (2021). Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Anak dalam Perkawinan
yang Dibatalkan karena Wali Nikah Tidak Sah. Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah
Institut Islam Negeri Bengkulu. 67-68
4
Ansari, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2020), 124
5
Hasan bin ‘Ali al-Tusi, al-Mabsut fi Fiqh al-Imamiyyah, (Teheran: Matba’ah al-Murtadawiyyah, t.th),
163.
Selain kehadiran saksi-saksi semata-mata adalah untuk kemaslahatan kedua belah
pihak apabila ada pihak ketiga yang meragukan sahnya perkawinan itu, maka dengan
adanya saksi-saksi dalam perkawinan dapat dipakai sebagai alat bukti yang akan dapat
menghilangkan keraguan itu, bahkan dengan kehadiran saksi dalam perkawinan, maka
suami isteri tidak mudah mengingkari apa yang telah menjadi kesepakatan keduanya,
demikian juga keyakinan masyarakat terhadap perkawinannya akan menjadi kuat.6

Mayoritas ulama menegaskan bahwa akad pernikahan tidak sah kecuali dengan
adanya kesaksian dua orang laki-laki (atau boleh juga menurut Abu Hanifah seorang
laki-laki dan dua orang perempuan) yang hadir pada saat diucapkannya akad nikah.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam kata pengantar bukub pertama Fiqih Praktis ini
pernikahan tanpa saksi pada umumnya akan mendapat kerugian, terutama dipihak istri
dan anak-anak yang dilahirkan, karena bertentangan dengan Undang-Undang Hukum
Perkawinan, dan karenanya tidak diakui oleh pemerintah yang berwenang. Sehingga
sebagai akibatnya tidak mendapat perlindungan hukum, seandainya timbul perselisihan
dikemudian hari berkaitan dengan nafkah, nasab, warisan, dan sebagainya.7

B. Wali dan Saksi dalam Hukum Keluarga Islam di Yordania

Di Yordania, wali dalam hukum keluarga Yordania di wilayah Yordania


sebenarnya sudah berlaku mengenai hukum keluarga sejak tahun 1917 yaitu berdasarkan
mazhab Hanafi yang ditetapkan di Kerajaan Turki Usmani yang dikenal dengan The
Turkish Ottoman Law of Family Rigt 1917. Pada tahun 1951, pemerintah (lembaga
Legislatif) Yordania mengganti undang-undang tersebut dengan hukum yang baru yang
dikenal dengan (Al-Qanun Al-Huquq Al-‘Aila (the law of Family Rigt). UndangUndang
ini telah diamandemen pada tahun 1976 The Code of Personal Status 1976
amandemennya UU Nomor 25 tahun 1977. Ketentuan wali dijelaskan pada Pasal 9
hingga Pasal 13, Wali dalam pernikahan adalah urutan asabah bi nafsihi dalam urutan
waris menurut mazhab Hanafi.

Oleh karena landasan walinya berdasarkan hukum ashabah, maka urutan wali
adalah anak laki-laki hingga derajat ke bawah, ayah sampai derajat ke atas, kemudian
saudara sekandaung dan saudara seayah. Apabila anak dari wali dan ayahnya ada, yang
didahulukan menjadi wali adalah anaknya (saudara dari perempuan/mempelai istri),
6
Kumedi Ja’far, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Lampung: Anjasa Pratama, 2020), 83-89
7
Muhammad Bagir, FIQIH PRAKTIS PANDUAN LENGKAP MUAMALh Menurut Al-Qur’an, Al-
Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Jakarta Selatan: PT Mizan Publika, 2016), 97-99
Kedudukan wali berada pada beberapa orang yang sama derajatnya, kerelaan seorang
wali di antara para wali akan menggugurkan hak lainnya. Jika ternyata wali aqrab tidak
ada, demi kemaslahatan urutan wali tersebut berpindah pada wali berikutnya dan tidak
dipersyaratkan adanya kesesuaian kehendak antara wali dengan janda yang berusia 18
tahun atau lebih.

Hukum keluarga Yordania juga membahas mengenai wali adhal pada pasal 6.
Ketentuan wali juga berhubungan dengan usia pernikahan. Wali adhol ditetapkan oleh
hakim apabila ternyata walinya enggan menikahkan anaknya. Dalam hal tidak ada wali
ayah dan kakek, penetapan wali adhal dapat dilakukan sampai batas usia 15 tahun, akan
tetapi apabila ada wali ayah atau kakek, wali adhal baru dapat dipertimbangkan apabila
usia calon mempelai 18 tahun. Kedudukan wali dalam pernikahan dapat saja diabaikan
terhadap janda yang berusia 18 tahun atau lebih.

Apabila diteliti pasal demi pasal yang berkaitan dengan wali, terdapat ambiguitas
mengenai kedudukan wali tersebut. Pasal 14 dan 16 hanya mengharuskan sahnya sebuah
pernikahan dengan adanya ijab qabul yang disertai dua orang saksi. Seorang wali nikah
menjadi penting bagi peremuan (gadis maupun janda) apabila berusia kurang dari 18
tahun, sehingga apabila perempuan tersebut lebih dari usia 18 tahun ia dapat menikahkan
dirinya sendiri. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 22 menyebutkan bahwa, seorang
gadis atau janda yang berusia 18 tahun dan tidak ada walinya, kemudian ia menikahkan
dirinya. Dengan demikian, kedudukanwali bukan menjadi suatu keharusan dalam akad
nikah. Meskipun wali bukan satu kewajiban dalam pernikahan,dalam beberapa hal,
kedudukan wali menjadi penting, yaitu:

1) Seorang wali (juga pihak istri) dapat mengajukan fasakh nikah, dalam hal seorang
wali menikahkan anaknya (gadis/janda) dengan seseorang yang telah diketahuinya
dan dipersyaratkan adanya sekufu dalam pernikahan, namun kemudian ternyatasi
suami tidak sekufu (pasal 21). Sebaliknya apabila tidak dipersyaratkan sekufu dalam
akad, maka ketidak tahuan tidak sekufunya tersebut tidak memberikan hak bagi wali
ataupun pihak istri untuk mengajukan fasakh nikah.
2) Seorang wali dapat mengajukan pembatalan fasakh nikah, apabila ternyata anaknya
(gadis ataupun janda) yang menikahkan dirinya kepada seorang lelaki yang tidak
sekufu. Penilaiannya terletak pada kufu, bukan pada besarnya mahar, karena
meskipun maharnya bukan mahar mitsil akan tetapi masih sekufu, wali tidak dapat
mengajukan fasakh nikah (pasal 22). Hakim akan mengabulkan permohonan fasakh
tersebut apabila si istri tidak dalam keadaan hamil (Pasal 23). Penilaian kafaah dilihat
pada saat akad nikah yakni kemampuan untuk membayar mahar kontan serta
kemampuan untuk membiayai kehidupan bersama istrinya.
3) Kedudukan wali yang bukan haknya untuk menikahkan menyebabkan pernikahannya
menjadi fasid. Yang dimaksud adalah bahwa yang menjadi wali nikah adalah ayah
dan kakek serta laki-laki dalam garis ashobah binafsihi. Seseorang dapat menjadi
wali setelah diketahui bahwa dia adalah mukallaf. Meskipun Yordania mayoritas
bermazhab Hanafi, namun hukum keluarga Yordania menganggap penting posisi
wali dalam pernikahan padahaldalam mazhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban
dalam melakukan pernikahan. Terlepas dari usaha penghargaan terhadap kualifikasi
perempuan di depan hukum, dengan berpedoman pada mazhab Hanafi Yordania
selangkah lebih maju dalam menempatkan perempuan untuk melakukan pernikahan.8
Bagi seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun atau lebih (tingkat kedewasaan
perempuan), ia dapat menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang ia
pilih. Adanya kewenangan orang tua/wali dalam pernikahan bagi perempuan yang
berusia kurang dari 18 tahun, menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua bagi
anaknya yang belum dewasa.

Undang-Undang Perkawinan di Yordania masing-masing mensyaratkan adanya


wali nikah dalam perkawinan, hanya saja, jika ditelusuri lebih dalam dan detail, tidak
dapat dipungkiri, Undang-Undang Perkawinan Yordania mengadopsi dari mazhab
Hanbali, yang menyaratkan wajib adanya wali dalam pernikahan bagi seorang wanita
yang belum berusia 18 tahu, ketika sudah beruasia 18 tahun maka seorang wanita telah
dianggap dewasa, dan dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa harus adanya wali, dalam
artian tetap diutamakan adanya wali, namun jika wali enggan untuk menjadi wali dalam
akad pernikahan, maka anak perempuan tersebut boleh menikahkan dirinya baik perawan
maupun janda.

Secara filosofis, tidak dipungkiri, bahwa peran wali adalah memberikan kekuatan
dan kejelasan dalam suatu pernikahan, karena walilah yang mengetahui seluk-beluk
calon mempelai, sehingga peran wali sangatlah penting dalam sebuah pernikahan, karena
tujuan pernikahan tidak hanya menyatukan antara calon kedua mempelai, tapi
menyatukan dua keluarga besar. Yordania menerapkan prinsip memudahkan yaitu
8
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Mesir: al-Fath li al-‘Allam al-‘Arab, t.t.), 84.
khusus bagi yang berusia di bawah 18 tahun, keberadaan wali menjadi syarat sahnya
perkawinan, namun bagi yang berusia di atas 18 tahun tidak disyaratkan adanya wali,
karena dianggap sudah dewasa dan mampu menentukan pilihannya sendiri, sehingga
tidak harus adanya wali, dan ini sejalan dengan prinsip maslahat al-Syatibi, memudahkan
dan tidak menyulitkan serta di dalamnya terkandung maslahat.

Secara historis, undang-undang perkawinan Yordania banyak dipengaruhi oleh


mazhab Hanafi yang tidak menjadikan wali sebagai syarat sahnya pernikahan bagi
wanita yang berusia di atas 18 tahun.

Secara sosiologi antropologis, perwalian merupakan bagian dari hal yang urgen,
di negara Yordania yang menerapkan prinsip dibolehkannya tidak ada wali bagi seorang
yang hendak menikah ketika sudah berusia di atas 18 tahun, karena secara sosial calon
mempelai wanita telah dianggap dewasa dan mampu menentukan pilihannya. Adapun
tujuan adanya wali dalam sebuah pernikahan adalah sebagai berikut; pertama, menjaga
agama, dengan adanya wali, suatu pernikahan menjadi lebih terhormat dan sakral, karena
pernikahan merupakan bagian dari ajaran agama, sedangkan agama mengajarkan bahwa
suatu pernikahan tidak dianggap sah jika tanpa adanya wali. Kedua, menjaga jiwa,
dengan adanya wali dalam pernikahan, maka akan terlindungi, dan terjaga serta
terpeliharanya jiwa wanita dari kesewenang-wenangan serta tipu muslihat calon
mempelai, karena bisa jadi suatu pernikahan yang tidak adanya wali justru akan terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan seperti halnya tidak terlindunginya dari tindakan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), ketiga, menjaga akal, dengan adanya wali nikah, calon
istri menjadi lebih tenang, karena lebih terlindungi dengan keberadaan wali, yang
merupakan orang terdekat dalam kehidupannya. Secara sosiologis, ia merasa ada orang
yang akan mengarahkan dan membina kehidupan rumah tangganya, keempat, menjaga
nasab, dengan adanya wali nikah dalam suatu pernikahan akan dapat dipastikan asal-usul
calon mempelai baik pribadinya ataupun keluarganya, karena nasab yang baik dan
berkualitas akan menghasilkan generasi atau keturunan yang berkualitas pula, sesuai
dengan sunnah nabi, kelima, menjaga harta, dengan adanya perwalian, maka harta yang
di miliki oleh isteri atau suami ada saksi yang bertanggung jawab, sehingga jika suatu
hari nanti timbul suatu konflik yang menimbulkan perceraian, maka wali tersebut dapat
memberikan kesaksian.9
9
Bunyamin, M. (2019). PEMBAHARUAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN YORDANIA
DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENGEMBANGAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM MODEREN.
ASAS, 11(2), 68-69
C. Wali dan Saksi dalam Hukum Keluarga Islam di Syiria

Tentang persoalan wali nikah dan kebebasan perempuan dalam perundang-


undangan di Syiria disebutkan jika wanita dewasa menikahkan dirinya sendiri, tanpa
persetujuan wali, perkawinan tersebut adalah perkawinan sah kalau menikah dengan
laki-laki yang sekufu. Sebaliknya bila tidak sekufu, wali bisa membatalkan perkawinan
itu. Seperti dalam Undang-Undang Syiria No. 34 Tahun 1975 Pasal 27 :

“ Pernikahan seorang gadis dewasa dengan laki-laki yang sekufu, tanpa


persetujuan wali adalah sah. Kecuali menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu,
wali berhak menuntut pembatalan. “

Namun bila wanitanya telah hamil, maka hak pembatalan wali menjadi hilang.
Apabila wali nikah bukan dari bapak atau kakek, persetujuan calon pengantin sangat
dibutuhkan.10

Mengenai saksi di Syiria bahwa tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya
saksi. Dalam sebuah pernikahan yang disaksikan oleh seorang laki-laki dan dua orang
perempuan, atau oleh saksi yang fasik maka hukumnya sah dan ia tidak mensyaratkan
saksi itu harus adil. Saksi itu tidak harus terdiri dari dua orang laki-laki, yang mana
memberikan kelonggaran bahwa saksi boleh dilakukan oleh seorang lelaki dan dua orang
perempuan.11

D. Wali dan Saksi dalam Hukum Keluarga Islam di Arab Saudi

Mengenai perwalian dalam pernikahan, merujuk kepada Mazhab Hambali, maka


Wali dalam mazhab Hambali hukumnya wajib, bahkan pernikahan dianggap tidak sah
tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas
izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan
untuk perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut
hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin
perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan.

Dalam mengenai saksi di Arab Saudi memandang bahwa saksi itu sebagai unsur
mutlak, saksi adalah rukun dari akad nikah yang tidak sah akadnya bila ditinggalkan.
10
El Alami and Hinchiffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of The Arab World, (London:
Kluwerlam Internnational, 1996), 94
11
Tahir, M. (2008). Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia. Al-Mawarid
Journal of Islamic Law, 18, 56600., 4-5
Bila dalam majelis akad nikah tidak dihadiri dua orang saksi atau lebih maka akad nikah
itu batal. Sehingga kesaksian suatu akad pernikahan itu sangat berperan penting dalam
mempengaruhi sahnya suatu pernikahan.12

E. Wali dan Saksi dalam Hukum Keluarga Islam di Yaman

Dalam sebuah akad pernikahan yang sah, seorang wanita Yaman membutuhkan
izin dan tanda tangan wali laki-laki pada saat dia tidak hadir dalam akad pernikahan, dan
kemudian dilakukan oleh seorang hakim pengadilan (Pasal 15-17).

Pasal 7 tidak mengharuskan kehadiran pengantin perempuan untuk menghadiri


sebuah akad pernikahan. Kemudian pada pasal 10 menetapkan bahwa perkawinan apa
pun yang dilakukan secara paksa dapat dibatalkan. Pada pasal 15 menyebutkan bahwa
Wali boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil (al-shaghirah) tetapi tidak
boleh disetubuhi oleh suaminya sebelum bisa (kuat) disetubuhi, meskipun umurnya
sudah menginjak 15 tahun. Mengawinkan anak diperbolehkan jika ada maslahat. Dan
Pasal 23 secara eksplisit mengharuskan persetujuan pengantin untuk perkawinan.13

Mengenai saksi di yaman, dua orang saksi kedudukannya tidak terlalu kuat, ada
yang lebih kuat keterangannya daripada dua orang saksi seperti dilalatul hal (sangka-
sangkaan atau petunjuk keadaan). Sehingga hal ini menjadi dasar wajib pembuktian
dalam perkawinan, tidak hanya bukti saksi tetapi juga alat bukti lainnya, yakni alat bukti
tertulis.

Negara ini secara tegas menyatakan bahwa alat bukti tertulis dalam perkawinan
berpengaruh terhadap keabsahan perkawinan. Sehingga kedudukan alat bukti tersebut
tidak hanya sekedar kewajiban administratif saja. Hal ini menunjukan perkembangan
hukum keluarga di Yaman Selatan yang progresif. Alat bukti tertulis dianggap hal yang
penting bagi keabsahan suatu perkawinan. Pengintegrasian alat bukti tertulis dan bukti
saksi dalam perkawinan Islam sudah sepatutnya dilakukan. Keduanya berkedudukan
sejajar dan saling melengkapi sebagai alat bukti dalam suatu peristiwa hukum
perkawinan.14

12
LATIFAH, S., I. (2019). PENENTUAN SIFAT ADIL BAGI SAKSI DALAM AKAD NIKAH
( STUDI DI KANTOR URUSAN AGAMA BATURRADEN) (Doctoral dissertation, IAIN Purwokerto), 3
13
Jamaluddin Muhammad, Tantangan Perempuan Yaman, diakses dari
https://rumahkitab.com/tantangan-perempuan-yaman/ ada tanggal 18 April 2021 pukul 12:54
14
Sabarudin Ahmad, Transformasi Hukum Pembuktian Perkawinan Dalam Islam, (Surabaya:
Airlangga University Press, 2020), 144
SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :

1. Wali adalah orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula
sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Sedangkan saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksiannya dan
mengemukakannya di mana ia menyaksikan sesuatu atau peristiwa yang orang lain tidak
menyaksikannya.
2. Undang-Undang Perkawinan di Yordania masing-masing mensyaratkan adanya wali
nikah dalam perkawinan, hanya saja wajib adanya wali dalam pernikahan bagi seorang
wanita yang belum berusia 18 tahu, ketika sudah beruasia 18 tahun maka seorang wanita
telah dianggap dewasa, dan dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa harus adanya wali,
dalam artian tetap diutamakan adanya wali, namun jika wali enggan untuk menjadi wali
dalam akad pernikahan, maka anak perempuan tersebut boleh menikahkan dirinya baik
perawan maupun janda. Sedangkan mengenai saksi sendiri diharuskan adanya dua orang
saksi dalam sebuah perkawinan.
3. Dalam perundang-undangan di Syiria disebutkan jika wanita dewasa menikahkan dirinya
sendiri, tanpa persetujuan wali, perkawinan tersebut adalah perkawinan sah kalau
menikah dengan laki-laki yang sekufu. Sebaliknya bila tidak sekufu, wali bisa
membatalkan perkawinan itu. Namun bila wanitanya telah hamil, maka hak pembatalan
wali menjadi hilang. Apabila wali nikah bukan dari bapak atau kakek, persetujuan calon
pengantin sangat dibutuhkan. Mengenai saksi di Syiria diharuskan adanya saksi oleh
seorang laki-laki dan dua orang perempuan dan tidak mensyaratkan saksi itu harus adil.
4. Di Arab Saudi wali hukumnya wajib, tanpa adanya wali maka pernikahan dianggap tidak
sah kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan
sendiri tanpa adanya wali, pernikahannya harus dipisahkan. Mengenai saksi sendiri
bahwa saksi itu merupakan rukun dari akad nikah yang tidak sah akadnya bila
ditinggalkan. Sehingga kesaksian suatu akad pernikahan itu sangat berperan penting
dalam mempengaruhi sahnya suatu pernikahan.
5. Akad pernikahan yang sah wanita yaman membutuhkan izin dan tanda tangan wali laki-
laki, jika wali tersebut tidak hadir dalam akad pernikahan maka dilakukan oleh seorang
hakim pengadilan. Sedangkan untuk saksi dua orang saksi kedudukannya tidak terlalu
kuat, tetapi dilalatul hal lah yang lebih tinggi kedudukannya atau alat bukti tertulis.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Jakarta Selatan: PT Mizan Publika, 2016), 97-99

Ansari, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2020), 124

Bunyamin, M. (2019). PEMBAHARUAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN


YORDANIA DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENGEMBANGAN HUKUM
PERKAWINAN ISLAM MODEREN. ASAS, 11(2), 68-69

El Alami and Hinchiffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of The Arab World, (London:
Kluwerlam Internnational, 1996), 94

Hasan bin ‘Ali al-Tusi, al-Mabsut fi Fiqh al-Imamiyyah, (Teheran: Matba’ah al-
Murtadawiyyah, t.th), 163.

Kumedi Ja’far, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Lampung: Anjasa Pratama, 2020), 83-
89

LATIFAH, S., I. (2019). PENENTUAN SIFAT ADIL BAGI SAKSI DALAM AKAD
NIKAH ( STUDI DI KANTOR URUSAN AGAMA BATURRADEN) (Doctoral
dissertation, IAIN Purwokerto), 3

M. A. Tihami dan Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2009), 8.

Muhammad Bagir, FIQIH PRAKTIS PANDUAN LENGKAP MUAMALh Menurut Al-Qur’an,


Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Mesir: al-Fath li al-‘Allam al-‘Arab, t.t.), 84.

Riwanto, R., & Arianto, Y. (2020). Kedudukan Wali dan Saksi Dalam Perkawinan Perspektif
Ulama Empat Madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), Al-MAQASHIDI, 3(1),
83

Sabarudin Ahmad, Transformasi Hukum Pembuktian Perkawinan Dalam Islam, (Surabaya:


Airlangga University Press, 2020), 144

Tahir, M. (2008). Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia. Al-
Mawarid Journal of Islamic Law, 18, 56600., 4-5
Zuliya. (2021). Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Anak dalam
Perkawinan yang Dibatalkan karena Wali Nikah Tidak Sah. Program Studi Hukum
Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah Institut Islam Negeri Bengkulu. 67-68

Jamaluddin Muhammad, Tantangan Perempuan Yaman, diakses dari


https://rumahkitab.com/tantangan-perempuan-yaman/ ada tanggal 18 April 2021
pukul 12:54

Anda mungkin juga menyukai