Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan


yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh dan diakui baik secara
agama maupun secara hukum. Dalam Al-qur’an juga menyebut dalam suarah
An-Nisa 4:21, bahwa perkawinan sebagai mitsaaqan galidhan, yakni sebuah
ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya sebuah
perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul. Salah satu kerangka
awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan adalah
dengan mencatatkannya kepada instansi yang berwenang. Hal ini tidak hanya
berlaki bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka
yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha. Sebagaimana
tertuang dalam UU No. 22 tahun 1946 jo. UU No. 32 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Penjelasan Pasal 1) juga dalam UU No.
1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2, yang diperkuat dengan
Inpres RI No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 dan 6.

Dalam Hukum Islam, Hukum perkawinan merupakan salah satu aspek


yang paling banyak diterapkan oleh kaum muslimin di seluruh dunia
dibanding dengan hukum-hukum muamalah yang lain. Perkawinan adalah
mitsaqan ghalidan, atau ikatan yang kokoh yang dianggap sah bila telah
memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Berdasarkan Al-qur’an dan hadis,
para ulama menyimpulkan bahwa ha-hal yang termasuk rukun pernikahan
adalah calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.
Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi dan
Hanbali. Melihat kriteria rukun maupun persyaratan nikah diatas, tidak ada
penyebutan tentang pencatatan. Keberadaan saksi sianggap telah memperkuat
keabsahan suatu perkawinan. Pihak-pihak terkait tidak bisa mengadakan
pengingkaran akan akad yang sudah terjadi. Biasa jadi ini didasarkan pada
pernikahann masa Rasulullah sendiri tidak ada yang dicatatkan. Dalam kitab
fikih klasikpun tidak ada pembahasan tentang pencatatan pernikahan.
Muncul beberapa dugaan tentang alasan mengapa nikah siri dengan segala
resikonya masih dijadikan sebagai alternatif. Dikalangan masyarakat yang
awam hukum dan masyarakat ekonomi lemah, bisa dimungkinkan karena
keterbatasan dana sehingga dengan rosedur yang praktis tanpa dipungut
biaya, pernikahan bisa dilaksanakan. Bila dilihat dari aspek agama, ada
kemungkinan karena khawatir melakukan dosa dan tesjebak dalam perbuatan
maksiat, maka pernikahan dengan prosedur yang cepat dan dianggap sah
telah memberikan ketenangan batin tersendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari nikah siri?
2. Apa saja faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri?
3. Bagaimana hukum pernikahan sirri ?
4. Apa dampak dari pernikahan sirri ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian/definisi dari nikah siri
2. Mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri
3. Mengetahui bagaimana hukum pernikahan siri
4. Mengetahui dampak dari pernikahan sirri
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nikah Sirri

Secara literal Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab “nikah” yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Sedangkan kata Sirri berasal
dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia. Nikah sirri dapat diartikan
sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai
pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini
sengaja disembunyikan dari publik dengan berbagai alasan, dan biasanya
dihadiri hanya oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dipestakan
dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.

Kawin sirri adalah perkawinan yang dilakukan oleh sepasang


kekasih tanpa ada pemberitahuan (dicatatkan) di Kantor Urusan Agama
(KUA), tetapi perkawinan ini sudah memenuhi unsur-unsur perkawinan
dalam Islam, yang meliputi dua mempelai, dua orang saksi, wali, ijab-
qabul dan juga mas kawin. Kawin sirri ini hukumnya sah menurut agama,
tetapi tidak sah menurut hukum positif (hukum negara). Oleh karena itu,
perkawinan sirri yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama itu tidak
punya kekuatan hukum, sehingga jika suatu saat mereka berdua punya
permasalahan yang berkenaan dengan rumah tangganya pihak kantor
urusan agama dan pengadilan agama tidak bisa memutuskan bahkan
tidak bisa menerima pengaduan mereka berdua yang sedang punya
masalah.

Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua, antara


lain: pertama, dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran
wali dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-
saksi. Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali)
menyepakati untuk menyembunyikan pernikahan tersebut.

Kedua, pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun


yang terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali, dan saksi-saksi. Akan tetapi
mereka (suami-istri, wali, dan saksi) bersepakat untuk merahasiakan
pernikahan ini dari masyarakat. Dalam hal ini, sering pihak lelakilah
yang berpesan supaya dua saksi menutup rapat-rapat berita mengenai
pernikahan yang terjadi.

Sementara itu dalam pengertian masyarakat, nikah sirri sering


disebut dengan “menikah dibawah tangan”. Namun, lebih diarahkan pada
pernikahan yang tidak menyertakan petugas pencatat nikah (misalnya
KUA) untuk mencatat pernikahan tersebut dalam dokumen negara.
Akibatnya, mempelai berdua tidak mengantongi surat nikah dari pihak
yang berwenang.

Yang biasanya bisa jadi korban akibat adanya perkawinan model ini,
yang biasanya muncul jika ada masalah, bentrokan dan suatu
kepentingan, dalam bentuk pengingkaran terjadinya perkawinan di
bawah tangan yang dilakukan dan tak jarang pula anak yang dilahirkan
dalam perkawinan itu juga tidak diakui. Terkadang muncul juga
permasalahan juga dalam hal pembagian waris.

2.2 Faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan siri

Secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:

a. Faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan


b. Ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan
yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu dan lain
sebagainya.
c. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan
tertentu misalnya, karena takut mendapatkan stigma negative dari
masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri
d. Pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
e. Nikah siri dilakukan karena kedua belah pihk arau salah satu pihak
calon mempelai belum sip lantaran masih sekolah/kuliah atau masih
terikat dengan kedinasan yang tidak diperbolehkan nikah terlebih
dahulu
f. Dari pihak orang tua pernikahan ini dimaksudkan untuk adanya
ikatan remi dan juga untuk menghindari perbuatan yang melanggar
ajaran agama seperti zina
g. Nikah siri dilakukan karena kedua atau salah satu pihak calon
mempelai belum cukup umur/dewasa, dimana pihak orang tua
menginginkan adanya perjodohan antara kedua sehingga dikemudian
hari calon mempelai tidak lagi nikah dengan pihak lain, dan dari
pihak calon mempelai perempuan tidak dipinang orang lain
h. Nikah siri dilakukan sebagai solusi untuk mendapatkan anak apabila
dengan isteri yang sah tidak dikarunia anak dan apabila nikah secara
resmi akan terkendala dengan UU maupun aturan lain, baik yang
menyangkut aturan perkawinan maupun yang menyangkut
kepegawaian maupun jabatan
i. Nikah siri dilakukan karena terpaksa dimana pihak calon pengantin
laki-laki tertangkap basah bersenang-senang dengan wanita
pujaannya. Karena dengan alasan belum siap dari pihak laki-laki
maka untuk menutup aib dilakukan kawin siri.
2.3 HUKUM PERNIKAHAN SIRI
a) Nikah Siri Menurut Islam

Berikut ini adalah pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.

 Menurut pandangan mahzab Hanafi dan Hambali


Suatu penikahan yang syarat dan rukunya terpenuhi maka sah
menurut agama islam walaupun pernikahan itu adalah pernikahan
siri.
 Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :

.‫ او عن جما عة ولو اهل منزل‬,‫هو الذي يو صي فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته‬

Artinya : “Nikah yang atas pesan suami, para saksi


merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga
setempat.

 Menurut Mazhab Maliki


Mazhab Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat
dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera
rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan
diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.
 Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara
pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, sebih baik ketimbang
berzinah yang sangat dilaknat oleh Allah SWT.

Hukum nikah sirri secara agama adalah sah atau legal dan
dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi
pada saat nikah sirih digelar. Pada prinsipnya, selama nikah siri itu
memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat
dipastikan hukum nikah itu pada dasarnya sudah sah. Hanya saja
bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang menganjurkan agar nikah
itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah.
Sesuai hadis Nabi saw :

‫ فصل مابين الحالل والحرام الضرب بالدف‬:‫وروى أحمد وغيره عن ابن حاطب‬

Artinya :

“Yang membedakan antara acara pernikahan yang halal dan yang


haram, adalah adanya tabuhan rebana.”

Orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang


sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu,
kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah
dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak
kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan
pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari
pernikahan siri tersebut. Nabi saw sendiri melakukan pernikahan,
namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan
pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka, walaupun perintah
untuk menulis (mencatat).

b) Nikah Siri Menurut Hukum di Indonesia

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri


merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita
pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu
perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum
agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan
demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri
adalah pernikahan illegal dan tidak sah.
Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok
yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan
perkawinan mereka sah menurut hukum positif,
yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam,
dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan
tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo.
UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari
ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau
setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami
sebagai syarat alternatif, maka perkawinan dianggap sah meskipun
hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA.
Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan
yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan
bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara
tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan
secara tegas dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.

2.4 Akibat Hukum Nikah Sirri


a. Dampak Positif:
 Menghindari zina
 Apabila suami dan istri bekerja pada instansi yang melarang orang
beristri bersuami maka nikah sirri adalah solusi alternatif.
b. Dampak Negatif
1) Hukum
 Tidak ada Perlindungan hukum bagi wanita;
 Tidak ada kepastian hukum terhadap status anak;
 Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam harta
waris.
2) Ekonomi
 Wanita yang diperistri tidak mempunyai kekuatan hukum untuk
menuntut besarnya ekonomi yang diperlukan;
 Terjadi kesewenangan dari pihak suami dalam memberikan
nafkah;
 Tingkat kesejahteraan kehidupan keluarga rendah;
 Meningkatnya jumlah keluarga yang tidak memperoleh peluang
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya (kendala
birokrasi);
 Memperbanyak jumlah keluarga miskin.
3) Sosiologis
 Terciptanya komunitas baru berupa masyarakat yang tidak
mendapatkan jaminan hukum yang layak dan memadai. Ketika
terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga, istri tidak bisa
berbuat banyak, karena ia tidak memiliki kekuatan hukum legal
formal;
 Meningkatnya jumlah keluarga yang kurang bertanggung jawab
dalam membina rumah tangga;
 Munculnya patologi sosial, akibat rendahnya tingkat ekonomi
masyarakat;
 Meningkatnya jumlah generasi muda yang kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya (terutama dari
pihak bapak), sehingga berdampak pada kehidupannya di masa
mendatang;
 Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak memiliki
peluang dalam memperoleh lapangan kerja (kendala birokrasi).
4) Pendidikan
 Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak terjamin
pendidikannya;
 Meningkatnya jumlah generasi muda yang memiliki tingkat
pendidikan yang rendah;
 Meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak memiliki
peluang untuk meningkatkan prestasinya (kendala birokrasi).
5) Budaya
 Terciptanya budaya nikah siri dalam masyarakat menciptakan
semakin banyak suami yang kurang bertanggung jawab;
 Meningkatnya budaya mempermainkan wanita/istri;
 Meningkatnya jumlah kaum lelaki untuk mengumbar nafsunya
(perzinahan terselubung);
 Merebaknya budaya hidup berpoligami dalam masyarakat
secara diam-diam/tersembunyi.
6) Psikologis
 Munculnya perasaan was-was, terancam, atau pun dibohongi
oleh lelaki secara terus menerus di dalam diri wanita yang
diperistri secara siri;
 Kedamaian dan ketentraman yang dialami oleh wanita yang
diperistri adalah semu, tanpa mengetahui jalan keluarnya
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan


pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena
berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan
secara sah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah
yang diwakili Departemen Agama.
Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau siri adalah sah,
asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinannya. Namun dari aspek
peraturan perundangan perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan
belum dicatatkan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan
administratif yang tidak terpengaruh pada sah tidaknya perkawinan.

3.2 Saran

pernikahan siri adalah sah jika syarat dan rukunnya terpenuhi, namun kita
sebagai warga negara yang baik haruslah taat terhadap hukum dalam hal ini
undang-undang perkawinan yang telah pemerintah tetapkan. Karena sebaiknya
pernikahan itu dilaksanakan secara terbuka dan diumumkan kepada orang lain
agar tidak menjadi fitnah. Mengenai sebaian orang yang beranggapan bahwa
lebih baik nikah siri dari pada zinah itu memang benar, namun jika itu hanya
untuk menyalurkan hawa nafsu saja itu yang tidak dibenarkan. Karena pada
dasarnya sesuatu yang diawali dengan niat yang tidak baik, pada akhirnya akan
menimbulkan ke-mudharratan. Sehingga perlu adanya penyuluhan mengenai
dampak yang muncul dari pernikahan siri.
DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin. Nikah Siri : Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri.


Yogyakarta : MedPress Digital, 2012.
Gunawan, Edi. Nikah Siri dan Akibat Hukumnya Menurut UU Perkawinan.
Jurnal Ilmiah
Hadikusuma, Hilma. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV Mandar
Maju, Cetakan III, 2007.
Islami, Irfan. Perkawinan Di Bawah Tangan (Kawin Sirri) Dan Akibat
Hukumnya. ADIL: Jurnal Hukum Vol. 8 No.1
Maloko , M. Thahir. Nikah Sirri Presepktif Hukum Islam, Sipakalebbi’, Vol. 1
No. 2. 2014.
Trisnawati. Nikah Siri dan Faktor Penyebabnya. Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Alauddin, Makasar. 2015.
https://nurfitriyanielfima.wordpress.com/2013/10/07/nikah-sirri-dalam-
pandangan-islam/

Anda mungkin juga menyukai