Anda di halaman 1dari 24

A.

FIKIH NIKAH (ARTI, FUNGSI, TUJUAN, DAN HIKMAH)

Istilah perkawinan menurut Islam disebut dengan nakah atau ziwaj. Dua arti kata itu
memiliki makna yang berbeda yakni kata nikah yang berarti menyatukan,
menghubungkan, menjodohkan, atau bersenggama dan memiliki arti persetubuhan
antara laki-laki dan perempuan yang sudah sah yaitu ditandai dengan adanya akad,
sedangkan ziwaj adalah kesepakatan antara seorang pria dengan wanita yang
mengikatkan diri dalam hubungan suami istri untuk mencapai tujuan hidup dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Sedangkan arti nikah menurut istilah Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad
tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan.
B. HUKUM NIKAH
Sebelum mask ke dalam pembahasan syarat dan rukun nikah, alangkah lebih baik
mengetahui akan hukum awal nikah dalam Islam. Hukum awal nikah dalam Islam adalah
sunnah. Argumentasi ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi dari abu
Avub. Rasulullah Saw. pernah bersabda 4 perkara yang merupakan sunnah para Nabi ialah
celak, wangi-wangian, swak,dan kawin'5?., Akan tetapi para ulama membagi hukum nikah
pada 5 bagian:
• Pernikahan hukumnya wajib
• Haram
• Sunnah
• Makruh
• Mubah
C. WANITA YANG HARAM UNTUK DINIKAHI
Umat Islam tentu perlu mengetahui siapa saja wanita yang diharamkan untuk dinikahi tersebut.
Mengingat banyaknya kasus pernikahan yang tiba-tiba menghebohkan karena dianggap tidak lazim
terjadi. Lantas siapa saja wanita yang haram dinikahi pria?
Allah Swt. secara tegas melarang pria menikahi wanita karena hubungan nasab. Hal ini dijelaskan
dalam kalam Allah Os. An-Nisaa": 23 yang artinya: "Diharamkan atas kamu (mengawini)ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan)
mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
D. RUKUN DAN SYARAT NIKAH
Rukun dan svarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama
dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu
perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah
arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah suatu yang berada di dalam hakikat dan
merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah suatu yang berada
diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti
syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam
arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

Dalam hal hukum pernikahan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat
terdapat perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan in tidak bersifat substansional. Perbedaan di
antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu,
semua ulama sepakat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu pernikahan adalah
akad nikah, laki-laki yang akan nikah, perempuan yang akan nikah, wali dari mempelai perempuan,
saksi yang menvaksikan akad pernikahan, dan mahar atau mas kawin.
a. Syarat Pernikahan

Ulama hanafiayah melihat suatu pernikahan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak
yang melangsungkan pernikahan itu. Oleh karena it yang menjadi pernikahan oleh golongan in
hanvalah akad nikah yang dilakukan oh dua pihak yang melangsungkan pernikahan.
sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokan kepada syarat
pernikahan. Ulama hanafiayah membagi syarat itu kepada:

1. Syuruth al-intiqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananva suatu akad pernikahan.
Karena kelangsungan pernikahan tergantung pada akad, maka syarat yang harus dipenuhi
karena ia berkenaan dengan akad it sendiri. Bila syarat it tertinggal, maka akad pernikanan
disepakati batal. Umpamanya, pihak-pihak yang melakukan akad adalah orang yang memiliki
kemampuan untuk bertindak hukum.

2. Syuruth al-shihhah, yaitu suatu yang keberadaannya menentukan dalam pernikahan, syarat
tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat hukum, dalam arti bila syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka pernikahan itu tidak sah seperti adanya mahar setiap
pernikahan.
3. Syuruthal-nufuz, yaitu syarat yang menentukan kelangsungan sesuatu pernikahan. Akibat hukum
setelah berlangsung dan sahnya pernikahan tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak
terpenuhi menyebabkan fasadnya pernikahan, seperti wali yang melangsungkan akad pernikahan
adalah seseorang yang berwenang untuk itu.

4. Syuruth al-luzum, yaitu syarat yang menentukan kepastian sesuatupernikahan dalam arti
tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu pernikahan sehingga dengan telah
terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin syarat berlangsung itu dibatalkan, seperti
suami harus sekufu dengan istrinya. (lihat Wahbah al-Zuhaili VII, 6533). Menurut ulama Syafi'iyyah
yang dimaksud dengan pernikahan di sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan
dengan pernikahan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun
pernikahan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu pernikahan.
b. Rukun Pernikahan
Unsur pokok pernikahan adalah laki-laki dan perempuan yang akan
nikah, akad pernikahan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan
si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad
pernikahan itu. Berdasarkan pendapat in rukun pernikahan itu secra
lengkap adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
3. Adanya dua orang saksi
4. Shighat akad nikah
5. Mahar
c. Syarat Sahnya Perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya
terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami
istri. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-
rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul. Dalam
menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam penyusunan syarat akan tetapi
tetap pada inti yang sama. Syariat Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi ole calon
kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
I. Syarat-syarat calon suami:
a) Beragama Islam.
b) Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri.
c) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
d) Orangnya diketahui dan tertentu.
e) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istrinya halal baginya..
f) Calon suami rela (tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan
itu dan atas kemauan sendiri.
g) Tidak sedang melakukan Ihram.
h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
i) Tidak sedang mempunyai istri empat.
II. Syarat-syarat calon istri:
a) Beragama Islam atau ahli kitab.
b) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
dalam sedang iddah.
c) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
d) Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
e) Tidak dipaksa (merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtivar)
f) Tidak sedang ihram haji atau umrah.
III. Syarat-syarat ijab gabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah
(ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau
kepala yang bisa dipahami. ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan
kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Menurut pendirian hanafi, boleh juga ijab ole
pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila
perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya. ijab dan kabul dilakukan di dalam satu
majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan
kelangsungan akad dan masing-masing ijab dan qabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah
pihak dan dua orang saksi. Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal mash di
dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad
itu. Adapun lafaz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafaz nikah atau tazwij yang terjemahannya
adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah. Demikian
menurut asy-Syafi'i dan Hambali. Sedangkan Hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari
Alquran, misalnya menggunakan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya, dengan alasan,
kata-kata ini adalah majas yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya
perkawinan.
IV. Syarat-syarat wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnva dengan calon suami atau
wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya:
 a) Laki-laki.
b) Muslim.
c) Baligh.
d) Waras akalnya.
e) Adil (tidak fasik).
f) Tidak dipaksa.
g) Tidak sedang berihram.

 
V. Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal,
melihat, dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah. Adapun kewajiban adanya saksi
tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang
mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh adanya dua orang saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan
masyarakat, maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya aka perkawinan dari
sepasang suami istri. Disamping itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir adalah dari
perkawinan suami istri tersebut. Dan di sinilah saksi itu dapat memberikan kesaksiannya.
 
V. Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh,
berakal, melihat, dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah. Adapun
kewajiban adanya saksi tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat.
Misalnya, salah seorang mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh adanya dua orang saksi. Juga
misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat, maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela
terhadap adanya aka perkawinan dari sepasang suami istri. Disamping itu, menyangkut pula
keturunan apakah benar yang lahir adalah dari perkawinan suami istri tersebut. Dan di sinilah saksi
itu dapat memberikan kesaksiannya.
E. Bentuk-bentuk putusnya perkawinan
Hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan:
Talak
Talak adalah melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafaz tertentu yang
mengandung arti menceraikan. Talak menjadi jalan terakhir bagi suami istri jika di antara mereka
tidak terdapat kecocokan lagi dalam berumah tangga.
Rukun Talak:
Kata-kata talak
Suami yang menjatuhkan talak
Istri yang dapat dijatuhi talak
Menurut ulama Malikiyah, rukun talak yaitu:
Orang yang berkompeten melakukannya
Dilakukan secara sengaja
Istri yang dihalalkan
Adanya lafal, baik bersifat sharih ataupun termawsuk kategori lafal kinayah
Menurut ulama hanafiyyah, rukun talak itu hanya terdapat satu yaitu lafaz yang menunjukkan makna
talak. Yang paling penting dalam penjatuhan talak ialah lafaz yang digunakan dalam menjatuhinya.
Syarat talak Menurut jumhur ulama, syarat talak yaitu:
Menurut ulama dari kalangan Hanafiyyah, syarat- Syarat-syarat yang terdapat pada orang yang
syarat talak yang mesti dipenuhi tersebut di menjatuhkan talak
klasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu: Harus mempunyai hubungan pernikahan dengan
Syarat yang terdapat pada suami orang yang dijatuhi talak
Orang yang berakal sehat Suami harus orang yang mukallaf
Tidak dungu, bingung, pitam, ataupun sedang tidur Ikhtiyar
Telah baligh Talak yang dijatuhi saat marah maka tidak akan
Harus terdapat niat untuk menjatuhi talak sah
Syarat-syarat yang terdapat pada Wanita/istri adalah Adanya unsur kesengajaan
bahwa Wanita tersebut adalah miliknya atau masih Syarat yang terdapat pada tempat menjatuhkan
berada dalam masa ‘iddah talak. talak atau istri adalah bahwa Wanita itu benar
Syarat-syarat yang terdapat pada rukun itu sendiri istrinya.
Lafal tersebut tidak diiringi oleh istitsna’ Syarat yang terdapat pada al-wilayah ‘ala mahal
(pengecualian) al-thalaq adal;ah menguasai tempat menjatuhkan
Lafal tersebut tidak ada madhrub fih talak
Berlalu masa Ila’ yang mana masa tersebut (4 bulan)
merupakan syarat terjadinya talak dengan cara ila’ dan
talak tidak jatuh sebelum habis masa itu
Talak bain sugra
Macam-macam talak Talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak
Talak raj’i menghilangkan hak nikah baru kepada bekas istrinya itu. Yang termasuk
Yaitu talak dimana suami masih dalam talak bain sugra yaitu:
mempunyai hak untuk merujuk Talak yang dijatuhkan suaminya pada istri yang belum terjadi dukhul
Kembali istrinya, kategori yang (setubuh)
termasuk Talak Raj’I adalah: Khulu’
Talak mati, tidak hamil Hukum talak bain sugra
Talak hidup dan hamil Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri
Talak mati dan hamil Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk berkhalwat (berdua-duaan)
Talak hidup dan tidak hamil Masing-masing tidak slaing mewarisi manakala meninggal
Talak hidup dan belum haid Bekas istri, dalam masa idah, berhak tinggal dirumah suaminya dengan
Talak bain berpisah tempat tidur dan mendapat nafkah
Adalah talak yang memisahkan Rujuk dengan akad dan m,ahar yang baru
sama sekali hubungan suami Talak bain Kubra
istri. Talak bain terbagi menjadi Adalah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk pada bekas istri,
2 yaitu: walaupun kedua bekas suami istri itu ingin melakukannya, baik di waktu idah
ataupun sesudahnya. Yang termasuk kedalam talak bain kubra adalah segala
macam talak yang mengandung unsur-unsur sumpah.
Hukum talak bain kubra adalah suami haram kawin lagi dengan istrinya,
kecuali bekas istri telah kawin dengan laki-laki lain.
F. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI
Allah Swt. menciptakan laki-laki dan perumpuan serta berbangsa bangsa, Manusia yang lahir
dalam keadaan fitrah, ia akan mencintai seseorang yang ia sukai.
Maka Allah membuatkan akad pernikahan bagi wanita dan pria, yang akan membawa mereka ke
dalam kebaikan dan menjauhkan dari hal hal yang merugikan.
Rasulullah mengajarkan pernikahan itu sunnah muakkad.
Setiap suami dan istri memiliki hak dan keajiban sebagai suami atau istri. Karena itu perlu adanya
timbal balik agar keluarga menjadi harmonis karena pada dasarnya itu adalah amanah yang
artinya saling mempercayai.
Terlaksananya hak dan kewajiban mereka akan menuntut mereka menjadi keluarga yang
sejahtera, sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Hak-hak istri berupa materil (mahar dan nafkah) dan immaterial (hubungan baik, perlakuan baik,
dan keadilan.
Rasulullah Saw. Bersabda:
"Kamu berikan dia makan jika kamu makan, kamu pakaikan dia jika kamu menggenakan pakaian,
jangan pukul wajahnya, jangan kamu buat dia menjadi buruk, jangan kamu tinggalkan dia kecuali di
dalam rumah. “ (HR Abu Dawud)
 
Allah Swt. berfirman dalam surat An-Naba.
Kewajiban Suami terhadap Istri
a) Memberi mas kawin (4)
b) Suami Menjadi Pemimpin (34)
ada beberapa poin dalam ayat 34 yakni:
Allah menjadikan suami sebagai kepala keluarga atau pemimpin
Suami wajib menasihati istri bila istri melakukan kesalahan baik itu sengaja ataupun tidak sengaja
bila istri berpaling dan tidak taat pada suami, maka suami wajib memberi peringatan
Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya
untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Istri yang salehah adalah istri yang taat kepada Allah dan suami, dan menjaga segala sesuatu yang
tidak diketahui langsung oleh suami.
c) Suami Menafkahi Kebutuhan Istri Sehari-hari
Suami sebagai seorang pemimpin dalam arti kekuasaannya lebih tinggi dan lebih besar dan
kesanggupannya berusaha dan berjuang mencari nafkah dalam kehidupan sehari-hari.
(QS. Al-Baqarah: 233)
(QS. Al-Baqarah: 223)
(Qs. At-Thalaq; 7)
 
d) Suami Harus Memperlakukan Istri dengan Baik
Dalam arti Qs. An-Nisa (4): 19) dikatakan sebagai suami wajib memperlakukan istri dengan baik,
baik itu perkataan maupun nafkah lahir dan batin, dalam pergaulan yang baik suami senantiasa
mengajarkan kepada istrinya mengenai agama, pendidikan, dan lain sebagainya.
Seorang suami pun harus bersabar ketika istri marah atau memiliki kepribadian buruk.
 
c) berlaku adil apabila memiliki beberapa istri
An-Nisa: 129
Kewajiban Istri kepada Suami
a) Ketaatan Istri kepada Suami
Hendaknya istri menyadari dan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin
kaum wanita. (An-Nisa': 34)
Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-
Baqarah: 228)
taat kepada suami dengan rasa cinta, setia, bukan karena rasa takut dan gentar, sudi mendengar
nasihat, dan menurut dengan ikhlas. Bersabar pula saat menjalankan perintah suami.
 
b) Amanah
(Al-Ma’raj: 32)
4 cobaan berat dalam pernikahan, yaitu:
a. Banyak anak
b. Sedikit harta
c. tetangga yang buruk
d. Istri yang berkhianat.
(Hasan Al-Bashri)
Seorang Istri harus bisa menjaga amanah suaminya seperti menjaga hartanya.
Bertanggung jawab sepenuhnya dalam hal urusan rumah tangga yang berhubungan sesuai dengan
kemampuannya.
c) Perlakuan yang baik
(Ar-rum:21)
Allah menganjurkan istri menjadi sesosok pendamping suami yang sangat nyaman bilamana berada di
dekatnya, sehingga suami merasa tenteram dan menumbuhkan suasana mawaddah warohmah.
(An-Nisa:19)
Dari ayat tersebut seorang istri diwajibkannya melayani suami dengan ma'ruf (sebaik-baiknya).
Ketika sang suami pergi maka istri harus menahan diri dan ketika pulang maka-cerialah kepada
suamimu dalam menyambutnya.
 
d) Istri wajib menjaga auratnya dihadapan laki-laki lain kecuali suaminya
Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami (Thabrani).
G. Adab Malam Pertama Pengantin
Ada beberapa adab dalam malam pertama bagi pengantin yang baru saja menikah dan dalam ini tidak boleh
dikesampingkan, yaitu ada 14 adab sebagai berikut:
 
Memegang ubun – ubun istri dan berdoa untuknya
Dianjurkan kepada seorang suami untuk meletakan tanganya di ubun – ubun istrinya Ketika pertama kali
mendekatinya.
 
Shalat dua rakaat
Dianjurkan bagi seorang suami untuk mengerjakan shalat bersama istrinya setelah akad nikah, sebelum jima
 
Berdoa Ketika jima
Dianjurkan bagi seorang suami ketika akan jima dengan istrinya agar membaca doa: “Dengan nama Allah,
Ya allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkan setan dari (anak) yang engkau anugerahkan kepada kami”
Rasulullah Saw bersabda: “Maka jika ditakdirkan (dari hubungan) keduanya itu menghasilakan anak, setan
tidak akan membahayakan anak tersebut selamanya”
Cara Jima
Seorang suami diperbolehkan menyetubuhi istrinya dengan cara apapun, asalkan pada lubang
kemaluannya, hal ini berdasarkan firman Allah Saw:
“istri-istri kalian adalah (seperti) tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok
tanam itu sekendak kalian”
 
Diperbolehkan menanggalkan pakaian ketika Jima
Diperbolehkan untuk suami istri untuk menanggalkan pakaian mereka ketika jima’. Adapun hadits yang
melarang untuk menanggalkan seluruh pakaian ketika Jima’ adalah hadits yang lemah
 
Haram menjima’i istri pada duburnya
Diharamkan bagi suami untuk menjima’i istri pada duburnya, Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari
nabi Saw. bersabda:
“Barang siapa yang menggauli istrinya saat haid atau pada duburnya atau mendatangi dukun, maka ia
telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Saw (yaitu alquran)”
Haram Jima’ dengan istri ketika haid
Diharamkan Jima’ dengan istri ketika sedang Haid. Sebagaimana firman Allah Swt;
“Hendaklah kalian menjauhi diri (kalian) dari Wanita di waktu haid”
 
Kaffarah jika Jima’ dengan istri yang sedang Haid
Seorang suami yang menjima’ istrinya ketika Haid, maka harus membayar Kaffarah. Kaffarah
adalah bersedekah kepada fakir.
Hal ini berdasrkan hadits dari Ibnu Abbas r a. dari Nabi Saw., bahwa ia pernah bersabda tentang
laki-laki yang menggauli istrinya yang sedang Haid “ia harus bersedekah sebanyak satu atau
setengah dinar”
Berwudhu ketika hendak mengulangi Jima’
Disunnahkan berwudhu ketika hendak mengulangi Jima’. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri
ra. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda; “Jika seseorang diantara kalian mendatangi istirnya
(jima’) kemudian ia ingin mengulanginya, maka hendaklah ia berwudhu”
Berwudhu setelah Jima’ Ketika hendak makan atau tidur
Apabila setelah Jima’ suami istri hendak makan, minum, atau tidur maka disunnahkan untuk
berwudhu terlebih dahulu diriwayatkan dari ‘aisyah ra. ia berkata; “Ketika Rasulullah Saw. Dalam
keadaan junub dan beliau hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu sebagaimana wudhu
untuk sholat”
Mandi junub setelah Jima’
Setelah suami istri melakukan Jima’ maka keduanya wajib mandi junub walaupun tidak keluar air mani.
Hal ini sebagaiman hadits Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw, beliau bersabda; “Jika seorang (suami) telah
duduk diantara keempat cabang (istrinya) maka wajiblah mandi meskipun tidak keluar (air mani)”
Suami Istri mandi Bersama
Suami Istri diperbolehkan mandi bersama dari satu wadah, meskipun masing-masing saling melihat
aurat satu sama lain. Sebagaimana diriwayatkan dari’Aisyah ra, ia berkata; ”Aku pernah mandi bersama
Nabi Saw. Dari satu wadah karena junub”
 
Tayammum sebagai ganti mandi
Apabila seseorang yang junub tidak mendapatkan air atau tidak bisa menggunakan air (misal karena
sakit), maka diperbolehkan untuk melakukan tayammum sebagai ganti mandi junub.
 
Diharamkan untuk membuka rahasia ranjang
Diharamkan bagi suami istri untuk membuka rahasia ranjang mereka kepada orang lain. Diriwayatkan
dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “sesungguhnya termasuk orang yang
paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seorang yang Jima’ dengan istrinya
kemudian ia membuka rahasianya

Anda mungkin juga menyukai