Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan karya ilmiah ini dengan
baik tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen


pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang
bermanfaat dalam proses penyusunan karya ilmiah ini. Rasa terima kasih juga
hendak kami ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan
kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga karya ilmiah
ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang


penyusunan karya ilmiah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam karya ilmiah
yang telah kami susun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan.
Sehingga kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi
tersusunnya karya ilmiah lain yang lebih lagi. Akhir kata, kami berharap agar
karya ilmiah ini bisa memberikan banyak manfaat demi terciptanya lingkungan
yang aman dan bebas dari ancaman erosi.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH………………………
B. TUJUAN PENULISAN…………………………………...
C. MANFAAT PENULISAN………………………………..
D. SISTEMATIKA PENULISAN…………………………...

BAB II PEMBAHASAN
A. RUKUN DAN SYARAT NIKAH…………………………
B. PERWALIAN DALAM NIKAH…………………………..
C. AL MUHARRAMAT (ORANG-ORANG YANG TIDAK BOLEH
DINIKAHI)…………………………………………………
D. PUTUS PERKAWINAN DAN AKIBAT-AKIBATNYA….

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN………………………………………………
B. SARAN………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
LAMPIRAN……………………………………………………………..
BIODATA PENYUSUN………………………………………………...
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bab tentang munakahat adalah bab mengenai perkawinan, syarat-
syarat, rukun serta tata cara yang baik dan benar menurut syariat agama
Islam sesuai dengan Qur’an dan Hadits.

B. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
fiqih serta untuk memberikan informasi kepada pembaca.

C. Manfaat Penulisan
Dapat menambah wawasan serta mengetahui bab tentang munakahat,
rukun, syarat serta penjelasan mendalam tentang bab tersebut.

D. Sistematika Penulisan
BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN, RUKUN DAN SYARAT NIKAH
Pengertian nikah secara Bahasa berarti mengumpulkan, atau sebuah
pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di
dalam syari’at dikenal dengan akad nikah. Sedangkan secara syari’at berarti
sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan
perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk,
dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahrom dari segi
nasab, sesusuan, dan keluarga.1
Rukun menurut para ulama hanafiah adalah hal yang menentukan
keberadaan sesuatu, mejadi bagian di dalam esensinya. Sedangkan syarat
menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan
bukan merupakan bagian di dalam esensinya. Rukun menurut jumhur
ulama adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberaadaan sesuatu.
Sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Atau dengan
kata lain merupakan hal yang harus ada. Dalam perkataan mereka yang
masyhur : rukun adalah hal yang hukum syar’i tidak mungkin ada
melainkan dengannya. Atau hal yang menentukan esensi sesuatu, baik
merupakan bagian darinya maupun bukan. Sedangkan syarat menurut
mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan
merupakan bagian darinya.
Rukun pernikahan menurut para ulama hanafiah hanya ijab dan qabul
saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada 4, yaitu sighat (ijab dan qabul),
istri, suami, dan wali. Suami dan wali dua orang yang mengucapkan akad.
Sedangkan hal yang dijadikan adalah al-istimtaa’(bersenang-senang) yang
merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan.
Sedangkan mahar bukan merupakan suatu yang sangat menentukan dalam
akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil yang
bolehnya menikah dengan cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah

1
Wahbah Az-Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu (Jakarta, 2011), P 38.
merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar
dijadikan rukun menurut istilah yang beredar dikalangan sebagian ahli
fiqih.2

 Sighat (Redaksi) Nikah

Bagi yang bisa berbahasa Arab, syighat nikah harus


diucapkan secara jelas (sharih), lengkap dengan ijab dan qabul
sebagaimana akad lainnya. Sighat yang diucapkan wali adalah “ aku
nikahkan kamu dengan putriku.” (misalnya) atau “aku nikahkan
kamu dengannya.” Sedangkan sighat yang suami ucapkan adalah
‘aku kawini’, ‘aku nikahi’, atau ‘aku terima nikahnya,’ atau
kawinnya.’ Akad nikah tidak sah kecuali dengan kata ‘ kawinkan,’
atau ‘ nikahkan’3. Nikah adalah bagian dari ibadah karena Nabi
SAW menganjurkannya. Segala bentuk dari ucapan dalam ibadah
itu berasal dari tuntunan syara’, dan dalam masalah nikah , syara’
hanya menuntunkan dua kata, yakni “ kawin” dan “nikah”

Akad perkawinan yang menggunakan bahasa non – Arab (‘


ajam) hukumnya sah, menurut pendapat yang ashah, meskipun yang
lebih baik adalah menggunakan bahasa Arab. Yang jadi patokan
adalah maknanya. Karena “nikah” bukanlah kata yang mengandung
kemu’jizatan maka menggunakan terjemahan kata itupun sudah
cukup. Akan tetapi adapun lafal-lafal ijab dan qabul, diantaranya
ada yang disepakati sah untuk menikah, ada yang disepakati tidak
sah, dan ada juga yang masih diperselisihkan.4

2
Wahbah Az-Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), P 45.
3
Menurut mazhab syafi’i, tidak ada akad yang disyaratkan menggunakan lafazh tertentu selain
nikah dan transaksi salam (pesanan), ini bukan pengulangan pernyataan sebelumnya bahwa akad
nikah hanya bisa sah dengan ijab dan qabul. Mengingat pernyataan pertama adalah tentang syarat
shighat, sedang pernyataan ini mengenai ketentuan syighat.
4
Ad. Duhur al-mukhtaar. 2/ 361-372 al-badaai’; 2/ 229 dan setelahnya, al- lubaab, 3/ 3,
mawaahibul jaliil, 3/ 419-423, asy-syarhul kabiir; 2/ 221, asy-syarhush ahagiir; 2/ 334 dan
setelahnya, al-qawaaniin al-fiqhiyyah, hlm. 195, mughnil muhtajj; 3 / 139, al-muhadzdzab; 2/ 41,
bidayatul mujtahid; 2/ 4, kasysyaaful qinaa’; 5/ 36.
Seandainya seorang wali berkata, “ saya kawinkan kamu,”
lalu si peminang menjawab, “saya terima,” tanpa tambahan kata
lain, menurut mazhab Syafi’i, nikahnya tidak sah. Sebab, tidak ada
pengungkapan salah satu dari kata “nikah” atau “kawin” secara
tegas. Hanya niat dalam hati saja tidak cukup.

Seandainya si peminang berkata “kawinkanlah aku,” lalu


wali menjawab, “ saya kawinkan kamu,” atau si wali berkata,
“kawinilah dia”. Lantas si peminang menjawab, “saya kawini
dia,”maka dalam dua kasus ini, hukum akad nikahnya tetap sah.

Akad nikah hanya sah jika menggunakan kalimat ijab


(persyaratan menikahkan) yang sempurna (tidak ditaklik atau
digantungkan dengan sesuatu). Misalnya seseorang berkata, “jika
fulan pulang haji, aku kawinkan kamu dengan putriku.” Ketentuan
ini sama dengan jual beli dan transaksi lain yang mengandung unsur
serah terima. Demikian pula jika berkata, “saya nikahkan kamu,
insyaallah,” dan dia bermaksud menggantungkan pernikahan, tanpa
maksud apa-apa, akadnya tidak sah.

Adapun lafal-lafal yang telah di sepakati oleh para ahli fiqih


akan keabsahannya dalam menikah, seperti lafal aku nikahkan dan
aku kawinkan. Itu karena keduanya telah termaktub didalam teks
Al- Qur’an dalam firman Allah SWT yang artinya, “dan kami telah
mengawinkan dia” (Al-ahzab 37).5 sedangkan lafal-lafal yang telah
disepakati akan ketidakabsahannya oleh para ahli fiqih adalah lafal-
lafal ysng tidak menunjukan akan pemberian hak milik sepanjang
hidup, seperti membolehkan, meminjamkan, menyewakan,
bersenang-senang sementara, wasiat, menggadaikan, menitipkan
dan semisalnya.

5
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 598.
Adapun lafal-lafal yang masih dipersilisihkan adalah seperti
lafal, menjual, memberi, menjual, menghadiahkan, sedekah,
memberi atau sejenisnya. Yang menunjukan akan pemberian hak
milik di waktu sekarang dan kelanggengan hak milik seumur hidup.

Adapun jika si wali bermaksud mengharap berkat kalimat


‘insyaallah’ tadi, atau karena keimanannya dia yakin bahwa segala
sesuatu itu atas kehendak Allah SWT maka nikahnya sah. Jika wali
mengawinkan dengan syarat khiyar (pilihan), akadnya batal, karena
pernikahan merupakan akad yang bisa batal dengan adanya batasan
waktu. Akad nikah juga batal sebab khiyar yang batil, seperti halnya
akad jual beli.

Selain itu, membatasi lamanya perkawinan dengan batasan


waktu tertentu, seperti bilangan bulan, atau batasan yang tidak jelas
seperti datangnya seseorang (zaid misalnya), juga tidak sah. Itulah
yang disebut nikah mut’ah, yang dilarang Syariat. Pada awalnya
Islam, nikah semacam ini dibolehkan bagi orang yang amat butuh,
sebagaimana hukum makan bangkai, tetapi kemudian diharamkan
pada perang khaibar.

Syighat qabul (persyaratan menerima pernikahan atau


jawaban ijab) harus diucapkan dengan segera, yakni peminang
berkata, “saya kawini....,” atau, “saya nikahi....,” atau, “saya terima
nikahnya....,” atau, “...kawinnya.” seandainya dia hanya
mengucapkan, “saya terima,” akadnya tidak sah. Jika dia berkata,
“kawinkalah saya dengan putrimu, fulanah,” lalu wali berkata,
“saya kawinkan kamu....,” maka akadnya sah.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa syarat


shighat nikah itu ada empat.
1. Diucapkan dengan sharih (jelas); bagi yang bisa
bahasa Arab, akad nikah tidak sah menggunakan
kata kiasan.
2. Menggunakan kata, “....kawinkan” atau
“...nikahkan.” tidak sah selain menggunakan dua
kata itu.
3. Shighat ijab (pernyataan menikahkan) diucapkan
secara sempurna, dan shighat qabul (pernyataan
menerima pernikahan) harus disampaikan segera
setelah pernyataan ijab. Tidak sah menaklik
pernikahan dengan syarat sesuatu di masa yang akan
datang. Mengakhirkan qabul (pernyataan
penerimaan) berdasarkan ukuran kebiasaan juga
tidak sah.
4. Nikah harus dinikahkan untuk selamanya. Artinya,
tidak sah membatasi pernikahan dengan batas waktu
tertentu.6

SYARAT-SYARAT SAHNYA PERNIKAHAN

Ada sepuluh syarat yang disyaratkan demi keabsahan sebuah pernikahan,


sebagian sudah menjadi kesepakatan para ulama, dan sebagiannya lagi masih di
perselisihkan.

1. Objek cabang
2. Mengekalkan shighat akad
3. Persaksian
4. Ridha dan ikhtiyar (memilih)
5. Menentukan pasangan
6. Tidak sedang ihram haji dan umroh
7. Harus dengan mahar
8. Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
6
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 456.
9. Hendaknya salah satu atau keduanya sedang mengidap penyakit
yang mengkhawatirkan
10. Wali7
A. PERWALIAN DALAM NIKAH

 Jenis perwalian
Keberadaan wali adalah syarat sahnya pernikahan, sebagaimana
keberadaan saksi, nikah tidak sah tanpa wali laki-laki, mukallaf, merdeka,
muslim, adil, dan berakal sempurna. Namun, perkawinan kafir dzimmi
tidak butuh keislaman wali, dan orang islam tidak bisa menjadi wali
baginya, kecuali pemerintah. Pemerintah boleh menikahkan wanita-wanita
kafir dzimmi jika mereka tidak mempunyai wali senasab, sesuai ketentuan
perwalian yang berlaku.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, meski
dengan izin walinya. Dia juga tidak boleh menikahkan wanita lainnya,
meski ditunjuk sebagai wakil atau diberi kuasa oleh wali wanita tersebut.
Dia juga tidak boleh menerima (atau membaca qabul) atas pernyataan ijab
seseorang, demi menjaga tradisi yang baik dan melestarikan sikap malu.
Allah SWT berfirman, “laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan
(istri),” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)8
Para fuqoha telah bersepakat syarat bagi sahnya perkawinan adalah
dilaksanakannya oleh wali yang memegang hak memeliharanya, baik dia
lakukan sendiri maupun orang lain. Jika terdapat perwalian yang seperti ini,
maka sah dan terlaksana akad perkawinannya. Jika tidak ada maka akadnya
batal menurut jumhur, dan menurut madzhab Hanafi adalah mauqud
(terkantung). Jika akad berlangsung dari seseorang laki-laki dengan
pelaksanaan dari dirinya sendiri, maka sah akadnya menurut kesepakatan
fuqaha.9

7
Wahbah Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), P 67.
8
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 108.
9
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 459.
Asy-Syafi’i berkata, “Firman Allah SWT, ‘maka jangan kalian
halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya,’ (QS. AL-Baqarah
[2]; 232)10 merupakan dalil yang tegas tentang pentingnya wali dalam
pernikahan. Jika tidak demikian, tentu pemboikotan wali tidak ada artinya.
Ini dipertegas lagi dengan sabda Nabi SAW, ‘tidak ada nikah kecuali
dengan wali.11

Akan tetapi, seandainya wali dan hakim tidak ada, lalu si wanita dan
peminangnya menyerahkan perwalian kepada seorang pria yang mampu
berijtihad untuk menikahkan mereka, perwaliannya sah. Sebab pria tersebut
berposisi sebagai muhakkam, dan muhakkam itu sama dengan hakim.
Begitu pula, seandainya si wanita beserta peminangnya mengangkat sendiri
yang adil, menurut pendapat yang mukhtar, perwalian ini sah, meskipun
wali itu tidak bisa berijtihad. Alasannya karena mempelai dalam kondisi
sangat membutuhkan wali.

Pengakuan wali tentang pernikahan seseorang wanita yang ada


dibawah perwaliannya bisa diterima dengan hadirnya dua saksi yang adil,
meski tidak sesuai dengan kemauan si wanita yang sudah baligh dan
berakal jika: (a) hanya wali itu sendiri yang mengajukan bukti tertulis saat
ikrar, (b) dia wali mujbir, dan (c) calon suami sekufu dengan si wanita.
Sebab, orang yang mempunyai bukti tertulis biasanya juga mempunyai
pengakuan. Bila tidak ia hanya mengajukan bukti tertulis tentang
pernikahan saat ikrar karena dia bukan wali mujbir, maka pengkunnya tidak
diterima, sebab dia tidak bisa mengajukan bukti tertulis, kecuali atas izin
wanita tersebut.

Menurut qaul jadid asy-syafi’i, pengakuan wanita baligh dan


berakal bahwa dia telah kawin dan laki-laki itu membenarkannya,

10
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
11
Diriwayatkan al-khamsah ( imam ahmad dan empat imam lain penyusun kitab sunan ), kecuali
an-nasa’i, dari abu musa al-asy’ari.; juga di riwayatkan ibnu hibban dan al-hakim, keduanya
mushahikannya, al-hakim berkata,” riwayat ini shahih, di riwayatkan dari para istri rasulullah,
aisyah, ummu salamah, dan zainab binti jahsyi, kemudian menyebar ke tiga puluh sahabat.’’
walaupun keduanya tidak sekufu, pengakuan ini bisa diterima, meski wali
dan kedua saksinya – bila wanita itu menunjuk keduanya – membantah
pengakuan tersebut. Alasannya, akad nikah merupakan hak pasangan suami
istri. Jadi, akad itu tetap sah dengan kesepakatan keduannya, seperti halnya
akad lain.12

 Menurut madzhab Syafi’i Ada dua jenis perwalian, yaitu perwalian


yang memiliki hak memaksa ( wali ijbar ) dan perwalian sukarela (
ikhtiyar ) dan perwalian ( ijbar ) hanya dimiliki ayah dan kakek saja.
Artinya, seorang ayah boleh mengawinkan putrinya yang perawan,
masih kecil maupun sudah besar, berakal penuh maupun kurang,
tanpa seizin wanita tersebut. Namun iya dianjurkan meminta izin
putrinya. Seorang ayah tidak boleh menikahkan putrinya yang janda
dan baligh tanpa seijinnya.

Dalil penetapan perwalian ijbar bagi ayah adalah hadist riwayat ad-
Daruquthni, “wanita janda lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya; sedangkan perawan di nikahkan oleh ayahnya,” juga
riwayat muslim, “wanita perawan di pinangkan oleh
ayahnya.”riwayat ini di arahkan pada pemahaman bahwa
meminangkan wanita itu hukumnya sunah, dengan pertimbangan
wanita perawan itu sangat pemalu.

Dalil tidak adanya perwalian ijbar untuk ayah atas janda adalah
hadist ad-Daruquthni di depan, selain juga hadist,”janganlah kalian
menikahkan para janda sebelum kalian meminta saran kepada
mereka.”13 Di samping itu, seorang janda telah mengetahui tujuan
perkawinan, jadi dia tidak perlu di paksa, beda halnya degan
perawan.

Janda yang baligh hanya dapat dinikahkan bila sudah menyatakan


persetujuannya dengan jelas. Sedangkan perawan baligh dan
12
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 461.
13
Hr.at-tirmdzi, menuruytnya, hadist ini hasan shahih
berakal, menurut pendapat yang ashah, diamnya saja sudah
menunjukkan persetujuan, meskipun di bumbui tangisan. Hal ini
sejalan hadist muslim,” janda lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya. Sedangkan perawan adalah di pinangkan, dan
persetujuannya adalah diamnya.” Namun jika perawan itu menangis
sambil menjerit atau memukul pipi, ini tidak bisa dianggap sebagai
persetujuan, sebab sikap seperti ini menunjukan ketidak mauan.
Adapun hak janda memberikan persyaratan setuju atau tidaknya
secara jelas adalah didasarkan pada hadist, “tidak ada urusan bagi
wali atas janda.”14

Adapun status perwalian sukarela (ikhtiyar) diberikan kepada


saudara senasab ashabah dari garis keturunan tepi, seperti saudara
laki-laki, paman dari ayah kandung-atau seayah-dan anak laki-laki
keduanya. Mereka sama sekali tidak boleh menikahi wanita
dibawah umur, baik masih perawan atau janda, berakal atau tidak.
Sebab, menikahkan mereka harus dengan persetujuan wanita yang
bersangkutan, sedangkan, persetujuan dari kelompok wanita
tersebut (yakni saudara wanita, bibi, dll.) tidak diperhitungkan.
Saudara laki-laki dari garis tepi itu boleh menikahkan wanita baligh
dan berakal. Dalam hal ini, kedudukan pemerintah sama dengan
saudara laki-laki.15

B. Al-Muharramat (orang-orang yang tidak boleh dinikahi)

Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama


karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena
penyusuan.

14
HR. Abu Daud dan yang lain, Al- Baihaqi berkomentar bahwa para periwatannya tsiqoh.
15
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 463.
Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :
1. Ibu

2. Anak perempuan

3. Saudara perempuan

4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)

5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)

6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)

7. Anak perempuan saudara perempuan).

Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :


1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul
”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya,
maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.

2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu,
manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat
(mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami
ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur
dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian
menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar
dilangsungkannya akad nikah.

4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan
sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.

Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.16

16
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 493.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian;
saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).17
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi
haram karena kelahiran.” 18
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua
orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula
dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain
haram kawin dengan:

1. Ibu susu (nenek)

2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)

3. Ibu Bapak susu (kakek)

4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)

5. Saudara perempuan bapak susu

6. cucu perempuan dari Ibu susu

7. Saudara perempuan sepersusuan.19

Persusuan Yang Menjadikan Haram


Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan
haram, sekali isapan dan dua kali isapan.” 20
Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan.
Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat)
ayat yang menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah menjadi haram.
Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap di baca sebagai bagian

17
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
18
Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157,
’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570.

19
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 495.
20
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud
VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
dari al-Qur’an.”21 Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu berlangsung selama
dua tahun, berdasar firman Allah,

‫……َو اْلَو اِلَداُت ُيْر ِض ْع َن َأْو اَل َد ُهَّن َح ْو َلْيِن َك اِم َلْيِن ِلَم ْن َأَر اَد َأْن ُيِتَّم الَّر َض اَع َة‬

“Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)22
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi
haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara dan
ini terjadi sebelum disapih.”23
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu24
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara

Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan


yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.” (An-
Nisaa’:23).25
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari
pihak ibunya.

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan
(dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari
ibunya.”26
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.

‫… َو اْلُم ْح َص َناُت ِم َن الِّنَس اِء ِإاَّل َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم‬..

21
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048,
Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100).
22
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 47.
23
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
24
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 498.
25
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
26
(Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz
yang sema’na dan Nasa’i VI:98).
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).27
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai
isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal
bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih
menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa
Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla
dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan
mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari
kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para
tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka
kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula
kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.
’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa iddahnya. 28
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga

Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain
dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman,
‫َفِإْن َطَّلَقَها َفاَل َتِح ُّل َلُه ِم ْن َبْعُد َح َّتى َتْنِكَح َز ْو ًجا َغْيَر ُه َفِإْن َطَّلَقَها َفاَل ُجَناَح َع َلْيِهَم ا َأْن َيَتَر اَجَع ا ِإْن َظَّنا َأْن ُيِقيَم ا‬
‫ُح ُد وَد ِهَّللا َوِتْلَك ُح ُدوُد ِهَّللا ُيَبِّيُنَها ِلَقْو ٍم َيْع َلُم وَن‬
”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-
Baqarah :230).29

27
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 106.
28
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i
54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141).
29
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
5. Kawin dengan wanita pezina

Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak
halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali
masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha.
Allah menegaskan,

‫الَّز اني ال َيْنِكُح ِإَّال زاِنَيًة َأْو ُم ْش ِر َك ًة َو الَّز اِنَيُة ال َيْنِك ُحها ِإَّال زاٍن َأْو ُم ْش ِرٌك َو ُحِّر َم ذِلَك َع َلى اْلُم ْؤ ِم ن‬
“Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau
perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan
oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3).30

C. Putus Perkawinan dan Akibat-Akibatnya.

1. Talak

Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan
alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan
pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang
biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian
tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya
daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini,
ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara
lain:

a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari
pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.

30
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 488.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah
dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami
kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.

c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia


mentalaknya.

d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak


ditujukan

2. Khuluk

Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan
suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan
tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang
dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.

Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk


mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri
dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan
cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada
suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.

3. Syiqaq

Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti


perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang
dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.

4. Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa
perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak
oleh hakim Pengadilan Agama.

5. Taklik Talak

Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak


ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi
yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih
dahulu.

Di Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah


akad nikah. Adapun sighat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah
dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:

6. Ila’

Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu


pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’
mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami
bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan
dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau
keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri
karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.

7. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti
zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya
sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti
suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama
dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-
Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
8. Li’an

Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat


pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-
isteri untuk selama-lamanya.

9. Kematian

Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri.
Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta
peninggalan yang meninggal.

Akibat Perceraian

Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi
perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya
adalah sebagai berikut:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak


bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga
tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya


penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan bab munakahat diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Bab munakahat tidak hanya sekedar membahas perkawinan akan
tetapi membahas tentang rukun-rukun, syarat serta aturan-aturan lain
yang berkenaan dengan pernikahan secara mendetail dan jelas sesuai
dengan rujukan Qur’an dan Hadis.

B. SARAN

Marilah kita mengikuti aturan-aturan didalam pernikahan

agar kita tidak terjerumus kedalam perzinahan dan mendapat ridho

Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Afifi, Muhammad,
Hafiz Abdul, Penerjemah. Fachruddin, Alif, Solihin, Editor. Jakarta:
Almahira.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam 9. Al-Kattanie, AH, dkk,
Penerjemah. Muhajir, Arif, Penyunting. Jakarta: Gema Insani.

Anda mungkin juga menyukai