Anda di halaman 1dari 5

1.

Bagaimana syarat dan rukun perkawinan menurut ketentuan Kompilasi Hukum


Islam, Jelaskan! *

Di dalam undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, para ulama berbeda
terhadap apa yang disebut rukun dan syarat. Beberapa pendapat ulama mendefinisikan
rukun dan syarat sebagai berikut:
a. Abdurrahman Al Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah al ijab dan al
qabul, dimana tidak ada nikah tanpa keduanya.
b. Sayyid sabiq menyimpulkan rukun nikah terdiri dari al ijab dan al qabul,
sedangkan yang lain termasuk syarat.
c. Mazdhab Hanafi menyatakan nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang
terkadang berhubungan dengan sighat, dua calon mempelai dan kesaksian.
d. Syafi’iyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat,
wali, calon suami istri dan juga syuhud. Sedangkan yang berkenan dengan
rukun menyangkut calon suami istri, wali, dua orang saksi dan sighat.

Terlepas dari perbedaan definisi tersebut, penulis menggunakan istilah rukun dan syarat
perkawinan yang diterima mayoritas ulama. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) mengatur bahwa rukun untuk melaksanakan perkawinan dibutuhkan: calon
suami; calon istri; wali nikah; dua saksi; ijab dan qabul.

a. Calon Suami, syarat-syaratnya:


1. Beragama islam
2. Laki-laki
3. Jelas orangnya
4. Dapat memberikan persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan

b. Calon Istri syarat-syaratnya:


1. beragama
2. perempuan
3. jelas orangnya
4. dapat dimintai persetujuannya
5. tidak terdapat halangan perkawinan

C. Wali Nikah, syarat-syaratnya


1.Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya

D. Saksi nikah, syarat-syaratnya


1. Minimal dua orang
2. Hadir dalam ijab Kabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa

D. Ijab Qabul, syarat-syaratnya


1 Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2 Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
3 Memakai kata nikah
4. Antara ijab dan Kabul jelas bersambung dan maksudnya
5 orang yang terkait dengan ijab dan Kabul tidak sedang ihram haji atau umrah

2. Apa yang dimaksud dengan hakikat dari perkawinan, Jelaskan! *


Perkawinan dan atau sering disebut pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum
dan berlaku pada makhluk-Nya. Itu adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt,
sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Menurut bahasa, nikah berarti peng-gabungan dan percampuran; bisa juga berarti
menghimpun dan mengumpulkan.Sedangkan menurut istilah syara’, nikah berarti akad
antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi
halal; Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miiśȃqan ghalȋẓan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.Jadi, perkawinan dapat
diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Perkawinan dalam arti sempit yaitu
akad yang menghalalkan hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan.
Sedangkan perkawinan dalam arti luas yaitu akad atau ikatan antara seorang pria dan
seorang wanita untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia,
sakinah,mawaddah dan rahmah.

Pengertian Perkawinan menurut hukum adat, pada umumnya di Indonesia perkawinan


itu bukan berarti sebagai "perikatan perdata" tetapi juga merupakan "perikatan adat"
dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan". Menurut Hilman,
tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai
suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang
menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri maupun pihak suami.

3. Jelaskan definisi perkawinan menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro,


SH! 
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro definisi perkawinan, yaitu suatu hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat
yang termasuk dalam peraturan tersebut, sehingga terlepas dari pengertian hidup
bersama yang dipandang dari sudut biologis, maka perkawinan ditentukan oleh hukum
yang berlaku di tiap-tiap negara yang mengatur suatu hidup bersama tertentu antara
laki-laki dan perempuan.

4. Bagaimana syarat sahnya perkawinan, menurut ketentuan Undang-undang No


16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Jelaskan!

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan


belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

5. Apakah boleh sepasang suami istri yang melangsungkan perkawinan secara


agama lebih dahulu, lalu disahkan secara hukum beberapa waktu kemudian?,
Jelaskan menurut pendapat saudara dan kaitkan dengan aturan Undang-undang
Perkawinan!

Menurut penulis, nikah tidak tercatat atau talak tanpa Pengadilan Agama dianggap
sah secara agama Islam, namun menurut hukum positif yang berlaku justru dipandang
tidak sah. Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin
ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum,
kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Pencatatan
perkawinan bukanlah peristiwa hukum, tetapi merupakan peristiwa penting, sama
halnya dengan kelahiran, kematian, dan peristiwa penting lainnya. Oleh sebab itu,
pencatatan perkawinan menjadi sangat penting karena kelak dapat menjadi alat bukti
yang sah bahwa telah terjadi perkawinan diantara kedua belah pihak.

Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah


mengganggu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum
Islam karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu
perkawinan tidak dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak memiliki bukti otentik
bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat
dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum (no legal force). Oleh karena itu, perkawinan tersebut
tidak dilindungi oleh hukum, dan bahkan dianggap tidak pernah ada.
Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 KHI, dengan tujuan:
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada Ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan tentang pencatatan


perkawinan bagi orang Islam, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bagi


Orang Islam;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Nikah;
4) Keputusan bersama Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan haji dan
Dirjen Protokoler dan Konsuler Nomor 280/07 Tahun 1999, Nomor: D/447/Tahun
1999 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di
Luar Negeri.

6. Setiap pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan tentu mempunyai


tujuan, sebutkan dan jelaskan tujuan perkawinan menurut Undang-undang
Perkawinan, Kompilasi Hukum islam dan menurut KUH Perdata.

Menurut Undang-Undang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara


seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Mahaesa. Pasal 3 KHI merumuskan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan tujuan pengertian menurut UU Perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia yang
dimaksud dalam UU Perkawinan sama dengan tujuan perkawinan yang terdapat
dalam KHI. Tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan
rahmah, suatu rumah tangga yang didalamnya terjalin keharmonisan diantara suami
istri yang saling mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa
damai dalam rumah tangganya, dan terciptalah kebahagiaan dalam rumah tangga
tersebut. Selain itu, tujuan dari disyariatkannya perkawinan adalah untuk
mendapatkan anak keturunan yang sah untuk generasi yang akan datang. Islam
menganjurkan kepada umatnya untuk memilih pasangan suami istri yang baik
(agamanya) sehingga dapat melahirkan keturunan (generasi pengganti) sebagaimana
yang diharapkan.

Perkawinan dan atau sering disebut pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum
dan berlaku pada makhluk-Nya. Itu adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt,
sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Menurut bahasa, nikah berarti peng-gabungan dan percampuran; bisa juga berarti
menghimpun dan mengumpulkan.Sedangkan menurut istilah syara’, nikah berarti
akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan
menjadi halal; Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miiśȃqan ghalȋẓan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.Jadi, perkawinan
dapat diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Perkawinan dalam arti sempit
yaitu akad yang menghalalkan hubungan badan antara seorang laki-laki dan
perempuan. Sedangkan perkawinan dalam arti luas yaitu akad atau ikatan antara
seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia, sakinah,mawaddah dan rahmah.

Pengertian Perkawinan menurut hukum adat, pada umumnya di Indonesia


perkawinan itu bukan berarti sebagai "perikatan perdata" tetapi juga merupakan
"perikatan adat" dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan".
Menurut Hilman, tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun
serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan
hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri maupun pihak suami.

Anda mungkin juga menyukai