Anda di halaman 1dari 23

1

A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk sosial, semenjak dilahirkan manusia tidak bisa lepas

dengan orang lain. Sepanjang perjalanan hidupnya seorang manusia selalu hidup

bersama dengan orang lain dalam suatu pergaulan hidup. hal tersebut adalah untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat

rohani. Pada umumnya, bagi seorang pria dan wanita yang sudah dewasa akan

memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan yang berlainan jenis kelaminnya.

Hidup bersama antara pria dan wanita dalam suatu ikatan dengan memenuhi

syaratsyarat tertentu disebut perkawinan. Hidup bersama dilakukan untuk

membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan norma

Agama dan aturan yang berlaku.

Perkawinan diperlukan adanya ikatan lahir batin antara pasangan suami isteri,

dari perkawinan tersebut suami isteri saling berhubungan agar mendapatkan

keturunan sebagai penerus generasi menciptakan sebuah keluarga. Agama Islam

sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam berbagai ungkapan

yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadits.1 Hal ini dijelaskan dalam salah satu

Firman Allah SWT yaitu surah Ar-Rum ayat 21 yang memiliki arti yaitu:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-

isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,

dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”


1
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta,
1974, hlm. 9.
2

Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh umat Islam supaya

melaksanakan perkawinan. Pengaturan perkawinan diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, undang-undang ini terdapat beberapa prinsip demi menjamin

cita-cita luhur perkawinan. Undang-undang ini mengharapkan agar pelaksanaan

perkawinan dapat lebih sempurna dari masa yang sudah-sudah. Hal ini dibuktikan

dengan bukannya tidak mungkin adanya berbagai pembaruan atau perubahan dalam

pelaksanaan hukum2. Selain itu, diatur juga Kompilasi Hukum Islam sebagai

pelengkap dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merumuskan pengertian

perkawinan sebagai berikut, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ikatan lahir batin artinya perkawinan itu tidak hanya dengan adanya ikatan

lahir atau batin saja, namun harus memenuhi keduanya karena merupakan pondasi

utama dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia. Pihak-

pihak yang akan melaksanakan perkawinan yaitu SUAMI pria dan SUAMI wanita

harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan agar perkawinan yang

dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Apabila syarat-syarat yang sudah ditentukan

tersebut tidak dipenuhi maka bisa dilakukan pembatalan perkawinan.

2
Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bulan Bintang,
Jakarta, 1987, hlm. 35.
3

Pembatalan perkawinan adalah suatu perbuatan hukum untuk menyatakan

tidak sahnya suatu perkawinan melalui proses putusan pengadilan, dengan adanya

pembatalan perkawinan berarti perkawinan tersebut tidak pernah ada dan para pihak

dianggap belum pernah melangsungkan perkawinan3. Kompilasi Hukum Islam

membedakan pembatalan atas pelanggaran larangan yang akibat hukumnya adalah

batal demi hukum, dan pembatalan atas pelanggaran syarat yang akibat hukumnya

adalah dapat dibatalkan.

Salah satu perkara pembatalan perkawinan terjadi di Pengadilan Agama

Banyumas dengan nomor perkara: 443/Pdt.G/2019/PA.Bms. Permohonan

pembatalan perkawinan ini diajukan oleh suami. Pemohon menjelaskan bahwa

sebelum pernikahan telah dilaksanakan proses lamaran dengan di persaksikan oleh

kedua orang tua Pemohon dan Termohon serta mengundang para tetangga dekat.

Termohon (pada waktu itu masih calon isteri) telah diketahui selingkuh dengan

laki-laki lain tentunya menyakiti hati Pemohon dan menginjak harga diri

Pemohon sebagai calon suami Termohon; Bahwa atas peristiwa tersebut di atas

maka Pemohon sangat kecewa sekali dengan apa yang telah dilakukan oleh

Termohon, dan pada akhirnya Pemohon dan Termohon sepakat untuk tidak

meneruskan hubungan lagi (putus lamaran) dan tidak akan melanjutkan ke

jenjang pernikahan. Proses terjadinya perkawinan antara Permohon dan Termohon

dilakukan dengan dipaksa oleh kedua orang tua Pemohon dan Termohon karena

kedua orang tua Pemohon dan Termohon tidak mau menanggung malu karena

sudah dilaksanakan acara lamaran. Padahal Pemohon dan Termohon sudah tidak
3
http://windiberlianti.com/2017/07/01/pembatalan-perkawinan-alasan-dan-akibatnya-
menurut-hukum-indonesia/, diakses pada tanggal 18 September 2019 pukul 21.25 WIB.
4

mau lagi melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, namun demikian orang

tua tetap memaksa. Dan pada akhirnya setelah menikah dengan keterpaksaan,

maka setelah menikah antara Pemohon dan Termohon tidak berhubungan suami

isteri. 1 hari setelah menikah Pemohon tinggal di rumah orang tua Termohon,

namun Termohon tidur di kamar dan Pemohon beserta ponakan Pemohon (eko

dan sumaryo) menemani Pemohon tidur di ruang tamu, dan pagi harinya

Pemohon langsung pulang ke rumah orang tua Pemohon hingga sampai dengan

sekarang. Karenanya Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah demi

kemaslahatan Bersama.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah mengenai pembatalan

perkawinan karena paksaan menjadi sangat menarik untuk dikaji. Di sini Peneliti

menegaskan bahwa yang akan Peneliti bahas lebih detail dan rinci disini hanyalah

mengenai pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan pembatalan perkawinan

tersebut, sehingga Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna penyusunan

tugas akhir penulisan hukum dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN

KARENA PAKSAAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama

Banyumas Nomor: 443/Pdt.G/2019/PA.Bms”.

B. Rumusan Masalah
5

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat diambil

suatu masalah yaitu:

Bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam mengabulkan Pembatalan

Perkawinan Karena Paksaan (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama

Banyumas Nomor:443/Pdt.G/2019/PA.Bms.)?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam mengabulkan

Pembatalan Perkawinan Karena Suami Keterbelakangan Mental (Tinjauan Yuridis

Terhadap Putusan Pengadilan Agama Banyumas Nomor:443/Pdt.G/2019/PA.Bms.)

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu

pengetahuan Hukum Keluarga dan Perkawinan pada umumnya dan

khususnya mengenai Pembatalan Perkawinan Karena Suami Paksaan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pembaca maupun instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang terkait dalam


6

proses perbuatan hukum dalam masyarakat umumnya, khususnya mengenai

Pembatalan Perkawinan Karena Suami Keterbelakangan Mental.

E. Kerangka Teori

1. Perkawinan

Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

berbunyi:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

Rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dapat dikemukakan adanya pengertian dan tujuan dari

perkawinan. Pengertian perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, sedangkan tujuan

perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan ialah suatu hubungan hukum perikatan yang terjadi

karena perjanjian dan didasarkan atas kasih sayang (cinta), artinya ikatan

tersebut tidak cukup hanya bernilai “ikatan lahir” saja yang bersifat

“hubungan formil”, akan tetapi juga merupakan “ikatan bathin” yang


7

mendsari ikatan lahir tersebut supaya memiliki kekuatan (tidak rapuh) atau

hanya merupakan hubungan sesaat saja.4

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2

dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5 Selanjutnya dalam Pasal 3

dijelaskan bahwa tujuan dari perkawinan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Menurut hukum adat, perkawinan yaitu merupakan bagian suatu

proses circle of life, yang ditandai dengan suatu upacara, artinya menurut

hukum adat suatu perkawinan merupakan suatu upacara krisis-rite atau rites

de passage. Suatu upacara yang penting karena seseorang telah mencapai titik

puncak (sempurna statusnya atau purna jenengnya) dan keberadaannya

selaku warga masyarakat telah eksis, apalagi bila kemudian diikuti dengan

kemandirian dalam kehidupan rumah tangganya.

4
Trusto Subekti, Hukum Keluarga dan Perkawinan, Bahan Pembelajaran, Fakultas Hukum
Unversitas Jenderal Soedirman, 2014, hlm 27.
5
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana,
Jakarta, 2004, hlm 43.
8

2. Tujuan Perkawinan

a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tujuan

perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Membentuk keluarga (rumah tangga)

a. Konsep keluarga

menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu kesatuan

kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan

atas perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu dan

anak-anaknya. Akan tetapi tanpa adanya anakpun keluarga

sudah ada atau sudah terbentuk, adanya anak-anak menjadikan

keluarga itu ideal, lengkap, atau sempurna.

b. Rumah tangga

Konsep rumah tangga dituliskan didalam kurung setelah istilah

keluarga, artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk

keluarga begitu saja, akan tetapi secara nyata harus terbentuk

suatu rumah tangga, yaitu suatu keluarga dengan kehidupan

mandiri yang mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya (telah

memiliki dapur atau rumah sendiri).


9

2. Yang bahagia

Kehidupan bersama antara suami-isteri dalam suasana bahagia

merupakan tujuan dari pengertian perkawinan, untuk tercapainya

kebahagiaan ini maka pada pasal 1 disyaratkan harus atas dasar

’’ikatan lahir batin’’ yang didasarkan atas kesepakatan (konsensus)

antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.

3. Dan kekal

Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya

untuk waktu sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai

waktu yang lama. Kekal juga menggambarkan bahwa perkawinan itu

bisa berlangsung seumur hidup, dengan kata lain tidak terjadi

perceraian dan hanya kematian yang memisahkan.

4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah

dijelaskan unsur-unsurnya diatas secara ideal maupun secara yuridis

harus dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

artinya harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaan yang dianut oleh calon pengantin pria maupun

wanita. Arti dari unsur yang terakhir ini sebetulnya merupakandasar

fundamentaldari suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang

bersumber dan berdasar atas 16 Pancasila dan UUD1945. Falsafah

Pancasila telah memandang bahwa manusia Indonesia khususnya


10

dalam perkawinan harus dilandasi pada hukum agama dan

kepercayaan yang dianutnya.

1. Menurut Hukum Islam

Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam pada dasarnya dapat

diperinci sebagai berikut:

a) Menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita

untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan;

b) Membentuk/mewujudkan suatu keluarga yang damai, tentram dan

kekal dengan dasar cinta dan kasih sayang;

c) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.6

2. Menurut Hukum Adat

Dalam hukum adat, tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang

bersifat kekerabatan yaitu untuk mempertahankan dan meneruskan

keturunan menurut garis Bapak atau Ibu atau keibu-bapakan untuk

memperoleh nilai-nilai adat dan budaya. Dalam masyarakat patrilineal,

perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan Bapak,

sedangkan dalam masyarakat matrilineal, perkawinan bertujuan

mempertahankan garis keturunan Ibu.


6
Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahap, Hukum Islam Dinamika dan
Perkembangan di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm 214.
11

3. Asas-Asas Perkawinan

Yang dimaksud dengan asas di sini adalah ketentuan perkawinan yang

menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh dari Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974. Asas-asas yang dianut oleh Undang-undang

Perkawinan adalah sebagaimana terdapat dalam penjelasan umum Undang-

undang Perkawinan itu sendiri, sebagai berikut:

1) Tujuan perkawinan ini adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan

mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil;

2) Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah

sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu; di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-

tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran,

kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang

juga dimuat dalam daftar pencatatan;

3) Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang


12

bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari

seorang;

4) Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu telah

masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan per-kawinan, agar

supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan serta baik tanpa berakhir

pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat;

5) Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,

kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian,

harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang

pengadilan;

6) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban

suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga

dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.7

4. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan

Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau

perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum

maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau

7
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 25-
26.
13

peristiwa hukum (akad nikah) ketika peristiwa hukum itu berlangsung. Rukun

menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan atau peristiwa hukum.8

Sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:

a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu,

b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Mengenai syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Kompilasi Hukum Islam menekankan perkawinan dalam konsep

hukum Islam seperti dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang

menyebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan”.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.

Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya

merupakan suatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan

8
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, Sinar Grafika,
2012, hlm. 90.
14

umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan

tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.9

Menurut Hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi rukun

perkawinan, yaitu adanya:

a. Calon mempelai laki-laki;

b. Calon mempelai perempuan;

c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengadakan perkawinan;

d. Dua orang saksi;

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qobul yang dilakukan oleh suami.

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang

menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum. Akibat tidak terpenuhinya syarat

adalah tidak dengan sendirinya membatalkan perbuatan hukum, namun

perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan.10 Suatu perkawinan dapat

dilaksanakan jika memenuhi beberapa syarat. Mengenai syarat-syarat

perkawinan ada beberapa yang harus diindahkan, yaitu:

1) Syarat Materiil

Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang diatur dalam Pasal 6

sampai dengan Pasal 12.

2) Syarat Formal
9
Amir Syarifudin, Op. Cit., hlm 59.
10
Neng Djubaedah, Op. Cit., hlm. 92.
15

Syarat-syarat formal berhubungan dengan tata cara perkawinan, dalam

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tata

cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-

undangan sendiri.

5. Hak dan Kewajiban Suami Isteri di dalam Perkawinan

a. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, hak dan kewajiban suami dan isteri terdapat dalam Pasal 30

sampai Pasal 34. Pasal 30 berbunyi: Suami isteri memikul kewajiban

yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar

dari susunan masyarakat. Kemudian bunyi pada Pasal 31 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:

1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan

hidup bersama dalam masyarakat;

2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum;

3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.

Selanjutnya, mengenai kewajiban suami isteri dijelaskan dalam

Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:


16

Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lainnya.

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan:

1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya;

2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing

dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

b. Menurut Hukum Islam

Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara suami dan

isteri yang sudah barang tentu akan mengakibatkan timbulnya hak dan

kewajiban bagi kedua belah pihak. Hak dan kewajiban suami isteri dalam

kehidupan berumahtangga yang bersifat kebendaan antara lain yaitu;

a) Suami wajib memberi mahar kepada isterinya.

b) Suami wajib memberi nafkah kepada isteri dan anaknya, yaitu segala

kebutuhan yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, biaya

pendidikan, biaya pemeliharaan dan lain-lain kebutuhan pada

umumnya.

c) Isteri wajib mengatur dan megelola rumah tangga dengan baik.

d) Isteri wajib mendidik dan mengurus anak-anaknya dengan sebaik-

baiknya.
17

Hak dan kewajiban suami isteri dalam kehidupan berumah tangga

yang bersifat bukan kebendaan antara lain adalah:

a) Suami isteri harus saling menjaga pergaulan yang baik dalam rumah

tangga termasuk saling menjaga rahasia masing-masing.

b) Suami isteri harus saling menghormati dan menghargai satu sama

lain.

c) Suami isteri harus saling menciptakan pergaulan yang saling

membeladan memerlukan di masa tua.11

6. Putusnya Perkawinan

Segala hal yang berkaitan dengan hidup manusia pasti mempunyai

tujuan, namun tidak selamanya tujuan itu dapat tercapai, begitu juga

perkawinan. Tidak selamanya tujuan dari perkawinan terwujud. Putusnya

perkawinan yaitu ikatan tali perkawinan sudah tidak tersambung lagi,

singkatnya hubungan antara suami dan isteri telah berakhir. Putusnya suatu

perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 38.

Putusnya suatu perkawinan disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu :

a. Kematian;

b. Perceraian;

c. Atas keputusan Pengadilan;

11
Abddul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab Op. cit., hlm 219
18

7. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan diatur

dalam Bab IV tepatnya Pasal 22 sampai Pasal 28. Pasal 22 Undang-undang

Perkawinan menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila

para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menjelaskan, perkawinan yang

dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,

wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2

(dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya. Pembatalan perkawinan

juga diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

7.1. Pihak-Pihak Yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur

dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang secara

prinsip sama dengan yang diatur dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum

Islam, yaitu:

a. Para keluarga dalam keturunan garis lurus ke atas dari suami atau

isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum

diputuskan;
19

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini

(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) dan setiap orang yang

mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap

perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

7.2. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan

Selain diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan juga Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pembatalan perkawinan juga diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam yang ditujukan untuk masyarakat umat

Islam. Perlu diketahui bahwa pengaturan pembatalan perkawinan dalam

Kompilasi Hukum Islam lebih terperinci dari pada dalam Undang-

undang Perkawinan, disebabkan karena dalam Kompilasi Hukum Islam

membedakan pembatalan atas pelanggaran larangan yang akibat

hukumnya adalah batal demi hukum, dan pembatalan atas pelanggaran

syarat yang akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan. Hal tersebut

diatur dalam Pasal 70 dan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam.

F. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) disebut juga

penelitian hukum doktrinal. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji

menyebutkan bahwa penelitian normatif adalah penelitian hukum yang hanya


20

meneliti bahan pustaka sehingga disebut juga penelitian hukum

kepustakaan.12 Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang

mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder

yang digunakan, sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukun

yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan

antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya

atau dengan kata lain mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam

peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan

sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang

dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan.13

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah preskriptif

analitis. Preskriptif analitis di sini yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan

oleh hakim untuk sampai kepada putusan yang bisa disebut ratio decidendi.

Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat ditemukan dengan fakta

materiil. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat waktu dan segala yang

menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil

tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari

aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut,

12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 15.
13
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm. 118.
21

sehingga pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada dictum putusan

pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi.14

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian terhadap kepustakaan (library

research), yaitu di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Pusat

Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas

Hukum Unversitas Jenderal Soedirman dengan menelaah pustaka yang

berkaitan dengan kajian penelitian dan Direktori Putusan Mahkamah Agung

Pengadilan Agama Surabaya, sebagai alasan pengambilan lokasi tersebut

untuk validitas mutu dapat dicapai.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan yuridis normatif, maka

sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Menurut Soerjono

Soekanto dan Sri Mamudji data sekunder terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.15

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum atau data yang mempunyai

otoritas yang tinggi dan bersifat mengikat, karena data tersebut

dikeluarkan/ditetapkan oleh pemerintah, terdiri dari perundang-undangan,

14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 119.
15
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 74.
22

catatan-catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan dan

putusan-putusan hakim.16

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai hukum primer. Bahan sekunder hukum yang dipergunakan

berupa buku atau literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, hasil

karya dari kalangan hukum, hasil penelitian dan pendapat dari pakar

hukum, jurnal dan artikel hukum dan lain-lain.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

kamus, ensiklopedia, indek dan seterusnya.17

5. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan metode studi

kepustakaan (library research), yaitu kegiatan mengumpulkan dan

memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat

memberikan informasi atau keterangan yang berkaitan dengan pokok

permasalahan yang diteliti dengan inventarisasi 18, serta Putusan Pengadilan

Agama Surabaya Nomor: 951/Pdt.G/2018/PA.Sby.

6. Metode Penyajian Data

16
Bambang Waluyo, 1985. Penelitian Hukum Dalam Praktik. Raja Grafindo, Jakarta, hlm.
23.
17
Ibid, hlm. 114.
18
Muhamad Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2008,
hlm. 101.
23

Metode penyajian bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan

dalam bentuk teks naratif secara sistematis, logis dan rasional dalam arti

keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain dan

disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga merupakan satu kesatuan

yang utuh didasarkan pada norma, kaidah dan doktrin hukum yang relevan

dengan pokok permasalahan yang diteliti.

7. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis

normatif kualitatif. Pendapat Soerjono Soekanto berkaitan dengan analisis

data kualitatif adalah analisis yang bertujuan untuk mengungkapkan apa yang

menjadi latar belakang kebenaran. Dengan demikian jumlah (kuantitas) data

sekunder tidak diutamakan, melainkan kualitas data sekunder, yaitu data yang

diperoleh dari studi kepustakaan.19

19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 25

Anda mungkin juga menyukai