Anda di halaman 1dari 14

Nama : ANISA

Nim : 018330026
Semester : VII (Tujuh) Reguler Sore
Tugas mata kuliah : Hukum Keluarga & Waris Perdata
Dosen Pengajar : Fitria Nita Belas,SH.,MH

 Dasar Dan Tujuan Perkawinan


 Dasar hukum perkawinan dalam Al-Quran dan hadits diantaranya :
1. QS. Ar. Ruum (30):21 : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
2. 2. QS. Adz Dzariyaat (51):49 : Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-
pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
3. HR. Bukhari-Muslim : Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah
mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena 10 ibid dengan
menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.
Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya.
 Yang menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia adalah :
1. UUD 1945 Pasal 28B Ayat 1, yang mengatur hak seseorang untuk melakukan
pernikahan dan melanjutkan keturunan. Adapun bunyi dari Pasal 28B Ayat 1
adalah “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.”
2. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada
tanggal 2 Januari 1974, yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975
adalah merupakan salah satu bentuk unifikasi dan kodifikasi hukum di Indonesia
tentang perkawinan beserta akibat hukumnya.
3. Kompilasi Hukum Islam melalui instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991
Tanggal 10 Juni 1991 dan diantisipasi secara Organik oleh keputusan Menteri
Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Terdapat nilai – nilai hukum
Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan. Yang berkaitan
dengan perkawinan terdapat dalam buku I yang terdiri dari 19 bab dan 170 pasal
(Pasal 1 sampai dengan pasal 170).
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
 Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan bukan sebagai sarana pelampiasan nafsu syahwat,
melainkan memiliki tujuan yang mulia. Perkawinan merupakan hubungan cinta,
kasih sayang dan kesenangan, sarana bagi terciptanya kerukunan hati, serta
sebagai perisai bagi suami isteri dari bahaya kekejian, dengan demikian akan
terjadi sikap saling menolong antara laki–laki dan wanita dalam kepentingan dan
tuntutan kehidupan. Suami bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan isteri bertugas mengurusi rumah tangga serta mendidik anak–anak.
Dari segi yuridis bahwa tujuan perkawinan yang dikehendaki Undang–Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah sangat ideal sekali. Ketentuan tersebut tidak saja
meninjau dari segi ikatan perjanjian saja, akan tetapi sekaligus juga sebagai ikatan
batin antara pasangan suami isteri yang bahagia dan kekal dengan mengharap
ridha dari Allah SWT .
Salah satu dari asas dan prinsip dari Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974,
bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing– masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiil. Dengan perkataan lain tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka Undang–Undang
menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan
tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan.
Sehubungan dengan pendapat di atas, maka tujuan–tujuan perkawinan yang
pokok antara lain :
1. Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agamamanusia normal
baik laki-laki maupun perempuan yang memeluk agama tertentu dengan
taat pasti berusaha untuk menjunjung tinggi ajaran agamanya, untuk
menjaga kesucian agamanya, apabila tidak demikian berarti bukanlah
pemeluk agama yang taat. Dalam ajaran islam nikah termasuk perbuatan
yang diatur dengan syariat Islam dengan syarat dan rukun tertentu. Maka
orang–orang yang melangsungkan perkawinan berarti menjunjung tinggi
agamanya, sedangkan orang–orang yang berzina, menjalankan perbuatan
mesum, melacur, melaksanakan pemerkosaan dan lain–lain berarti
merendahkan syariat agamanya.
2. Untuk menghalalkan hubungan biologis antara laki–laki dengan
perempuan yang bukan muhrimnya. Telah diketahui bersama bahwa
suami isteri asalnya orang lain, tidak ada hubungan keluarga dekat atau
bukan muhrimnya, sehingga untuk melakukan hubungan seksual antara
mereka hukumnya haram, tetapi melalui perkawinan hubungan seksual
mereka atau hubungan biologis antara keduanya halal, bukan berdosa
bahkan menjadi berpahala.
3. Untuk melahirkan keturunan yang sah menurut hukum. Anak yang
dilahirkan oleh seorang ibu tanpa diketahui dengan jelas siapa ayahnya,
atau ayahnya banyak karena ibunya berhubungan dengan banyak laki-laki
tanpa terikat tali perkawinan, atau dia lahir dari hubungan di luar nikah
ibunya dengan laki-laki, menurut Undang–Undang nomor 1 Tahun 1974
anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Ia hanya
berhak memberi warisan atau mendapatkan warisan dari ibunya. Apabila
dia anak perempuan tidak akan ada laki–laki yang berhak menjadi walinya
waktu menjadi pengantin maka walinya adalah wali hakim. Karena itu
tujuan perkawinan dalam islam untuk melahirkan keturunan yang sah
menurut hukum, maka anak yang dilahirkan oleh suami isteriyang sudah
terikat suatu perkawinan adalah anak merekaberdua yang mempunyai
hubungan hukum dengan keduaorang tuanya itu, berhak mewarisi dan
mendapatkan warisan antara orang tua dengan anaknya.
4. Untuk menjaga fitrah manusia sebagai makhluk Allah yangdikarunia
cipta, rasa dan karsa serta dengan petunjuk agama.Berarti perkawinan ini
merupakan penyaluran secara sah naluriseksual manusia, dan mempunyai
naluri seksual yang tidakmungkin diamati atau diobral begitu saja. Maka
perkawinanmerupakan lembaga untuk memanusiakan manusia
dalammenyalurkan naluri seksualnya, atau untuk menjaga nilai–
nilaikemanusian dan fitrah manusia. Menurut fitrahnya
manusiamerupakan makhluk paling mulia, maka penyaluran
nalurinyaharus secara mulia juga, yakni melalui perkawinan.
5. Untuk menjaga ketenteraman hidup. Perkawinan merupakanlembaga
untuk menjaga ketenteraman hidup seseorang,orang–orang yang sudah
melangsungkan perkawinan secaraumum hidupnya lebih tenteram
terutama yang menyangkut segi seksual, kejahatan–kejahatan seksual,
dapat menjalankan.kehidupan seksual yang normal. Walaupun asalnya
mudahterbuai mata, kecantikan wajah, bentuk badan wanita yangmontok
dan sebagainya, tetapi secara normal manusia setelahmelangsungkan
perkawinan dapat mengontrolnya, dapatmengerem semua rangsangan
yang datang pada dirinya,andaikata tertarik pada seseorang wanita selain
isterinya toh iapunya semacam wanita itu juga yaitu isterinya sendiri.
6. Untuk mempererat hubungan persaudaraan. Perkawinan jugamerupakan
sarana untuk mempererat hubungan persaudaraanatau ukhuwah, bagi umat
islam tentu saja ukhuwah Islamiyah,baik ruang lingkup sempit maupun
luas. Pada ruang lingkupsempit atau kecil yakni ruang lingkup keluarga,
maka denganadanya perkawinan diharapkan antara kedua keluarga
ataukedua besan dapat menjalin kekeluargaan ( persaudaraan )yang lebih
erat lagi, maka dari itu dihindarkan perkawinanantara saudara dekat,
apalagi dalam syariat Islam ditetapkantidak boleh kawin dengan muhrim
sendiri. Perkawinan dengansaudara dekat memang kurang baik karena
tidak dapatmemperluas jaringan persaudaraan / antara keluarga yang jauh,
sehingga persaudaraannya hanya berputar dari situ ke situ saja pada satu
lingkaran kecil, keturunan yang dilahirkannyapun lemah. Juga apabila
terjadi pertentangan ataupun perceraian maka keretakan keluarga akan
terjadi karena besan memang sebelumnya sudah satu keluarga.52 Dengan
adanya perceraian maka antara anak mereka masing–masing, keluarga
cenderung membela anaknya sendiri, sehingga ikatan keluarga yang masih
dekat antar besan itu menjadi renggang bahkan retak.
 Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 – 12 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Menurut R. Soetojo
Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat intern
(materiil) dan syarat-syarat ekstern (formal). 1 Syarat intern berkaitan dengan
para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern
berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam
melangsungkan perkawinan. 2 Syarat-syarat intern terdiri dari: 3
1. perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 6
ayat (1) UU Perkawinan).
2. harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon
belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).
3. bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali
ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan).
4. bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka
yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (Pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 UU Perkawinan).
5. bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan
seterusnya, udang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu
sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena
perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian
suaminya (Pasal 10 dan 11 UU Perkawinan).
 Selain itu Pasal 8 UU Perkawinan melarang perkawinan antara dua orang yang:
1. berhubungan darah dalam garis keterunan lurus ke bawah atau pun ke
atas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
5. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
 Asas-Asas Perkawinan
Asas Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Setiap
perangkat hukum mempunyai asas atau prinsip masing-masing, tidak terkecuali
dalam hukum perkawinan. Di bawah ini terdapat asas dan prinsip hukum
perkawinan antara lain :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan karena hukum dari agama yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun
demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.
4. Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan
perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah
umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi,
harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih
di bawah umur. Sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan
itu, maka UndangUdang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk
kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin
perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah
N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
 Asas dan prinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhana adalah
sebagai berikut:
a. Asas sukarela.
b. Partisipasi keluarga.
c. Perceraian dipersulit.
d. Poligami dibatasi secara ketat.
e. Kematangan calon mempelai.
f. Memperbaiki derajat kaum wanita.

Jika disederhanakan, asas dan prinsip perkawinan itu menurut


Undang undang No. 1 tahun 1974 ada enam :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia


dan kekal.
2. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum
agama dan kepercayaan masing-masing.
3. Asas monogami.
4. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa raganya.
5. Mempersulit terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Asas Hukum Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Tidak


hanya UU Perkawinan tetapi Kompilasi Hukum Islam Juga
terdapat asas hukum di dalamnya, berikut asas hukum menurut
Kompilasi Hukum Islam :

1. Asas persetujuan Tidak boleh ada paksaan dalam


melangsungkan perkawinan. Asas persetujuan terdapat
dipasal 16-17 KHI: Perkawinan atas persetujuan calon
mempelai. Dapat berupa: pernyataan tegas dan nyata. dgn
tulisan, lisan atau isyarat yg mudah dimengerti atau diam.
Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat
Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon
mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila tidak disetujui
oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu
tidak dapat dilangsungkan.
2. Asas kebebasan Asas kebebasan memilih pasangan dengan
tetap memperhatikan larangan perkawinan. Pasal 18 (tidak
terdapat halangan perkawinan), 39-44 KHI (larangan
perkawinan).
3. Asas kemitraan suami-isteri Merupakan asas kekeluargaan
atau kebersamaan yang sederajat, hak dan kewajiban
Suami Isteri: (Pasal 77 KHI). Suami menjadi kepala
keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab
pengaturan rumah tangga. (Pasal 79 KHI).
4. Asas untuk selama-lamanya. Pasal 2 KHI akad yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan menjalankan
ibadah.
5. Asas kemaslahatan hidup Pasal 3 KHI: Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
6. Asas Kepastian Hukum Pasal 5-10 KHI Perkawinan harus
dicatat dan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Isbath
Nikah di Pengadilan Agama. Rujuk dibuktikan dgn
kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dari Pegawai Pencatat
Nikah. Putusnya perkawinan karena perceraian dibuktikan
dengan putusan Pengadilan.

Dari asas perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam di


atas dapat disimpulkan bahwa asas perkawinan terdiri
dari :

1. Asas persetujuan
2. Asas kebebasan
3. Asas kemitraan suami-isteri
4. Asas untuk selama-lamanya
5. Asas kemaslahatan hidup
6. Asas Kepastian Hukum
Asas Hukum Perkawinan Menurut Para Ahli Dalam
perspektif yang lain, Dr. Musdah Mulia menjelaskan
bahwa asas atau prinsip perkawinan tersebut ada empat
yang didasarkan pada ayat-ayat AlQuran :

1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh Prinsip ini


sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa arab yang
menempatkanperempuan pada posisi yang lemah,
sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tidak memiliki
kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada
dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah
hak dan kebebasan laki-laki dan perempuan sepanjang
tidak bertentangan dengan syariat islam.
2. Prinsip mawaddah wa rahmah Prinsip ini didasarkan
pada firman Allah QS. Ar-Rum: 21. mawaddah wa
rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki
oleh mahluk lainnya. Jika binatang melakukan
hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks
itu sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak.
Sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk
mencapai ridha Allah di samping tujuan yang bersifat
biologis.
3. Prinsip saling melengkapi dan melindungi Prinsip ini
didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada
surah al-Baqarah : 187 yang menjelaskan istri-istri
adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-laki
juga sebagaipakaian untuk wanita. Perkawinan laki-laki
dan perempuan dimaksudkan untuk saling membantu
dan melengkapi, karena setiap orang memiliki
kelebihan dan kekurangan.
4. Prinsip muasyarah bi al-ma’ruf Prinsip ini didasarkan
pada firman Allah yang terdapat para surah an-Nisa’:
19 yang memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk
memperlakukan istrinya dengan cara ma’ruf. Di dalam
prinsip ini 13 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang
Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan jender
dan The Asia Foundation, 1999) hlm. 11-17.
sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan
penghargaan kepada wanita.
 Syarat alternatif dan komulatif poligami.
 Syarat Alternatif untuk mendapatkan Izin Perkawinan Lebih Dari
Seorang (Poligami) yaitu:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dalam arti istri
menderita penyakit jasmani atau rohani yang sukar disembuhkan yang
dibuktikan dengan surat keterangan Dokter Rumah Sakit Pemerintah;
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat
disembuhkan yang dibuktikan dengan surat keterangan Dokter Rumah
Sakit Pemerintah;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah menikah sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) tahun yang dibuktikan dengan surat keterangan
Dokter Rumah Sakit Pemerintah.
 Syarat Kumulatif untuk mendapatkan Izin Perkawinan Lebih Dari
Seorang (Poligami) yaitu:
1. Ada persetujuan tertulis yang dibuat secara ikhlas dari istri PNS yang
bersangkutan dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterai;
2. PNS pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk
membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan
dengan surat keterangan pajak penghasilan;
3. Ada jaminan tertulis dari PNS pria yang bersangkutan bahwa ia akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, dibuktikan dengan
surat pernyataan bermaterai.

 Soal cerita :
Pada tahun 2001 ahmad menikah dengan siti, satu tahun kemudian di
karuniai seorang putra yang diberinama doni, tahun 2010 ahmad dan siti di
karuniai seorang putri yang diberi nama sinta, semenjak kelahiran sinta
hubungan ahmad dan siti semakin membaik dan harmonis sangat jarang
diterpa masalah apalagi sampai berantem hebat, sampai akhir nya pada
tahun 2016 siti mengetahui ahmad telah menikah lagi dengan seorang
perempuan bernama annisa dan telah memiliki anak perempuan berusia 1
tahun. Sejak saat itu hubungan antara siti dengan ahmad tidak terlalu
harmonis tetapi ahmadpun tidak menceraikan salah satu istri nya baik siti
maupun annisa. Pada saat ini tahun 2021 ahmad meninggal dunia karna
kecelakaan dengan meninggalkan 2 orang istri dan 3 orang anak, dan harta
selama pernikahan dengan istri pertama 2 runah beserta tabungan dan
selama pernikahan dengan istri ke 2 memiliki tanah, rumah dan beberapa
kendaraan bermotor.

Pertanyaan :

Bagaimana pembagian waris nya? Sebutkan Beserta dasar hukum nya!

 Untuk menentukan harta waris, terlebih dahulu, harta-harta


peninggalannya harus dikurangi harta bersama antara almarhum suami
dan istri pertama serta istri keduanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 128 KUH Perdata dan Pasal 96 ayat (1) Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
(“KHI”).

Mengenai pembagian harta bersama untuk para istri dalam poligami.


Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan
istri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan istri pertama.
Sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan
dengan istri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan
dengan istri pertama, maka harta tersebut merupakan harta bersama milik
suami istri, istri pertama dan istri kedua, Bila terjadi pembagian harta
bersama bagi suami yang mempunyai istri lebih dari satu orang karena
kematian, maka cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

 
 Untuk istri pertama 1/2 dari harta bersama dengan suami yang diperoleh
selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh
suami bersama dengan istri pertama dan istri kedua (hal. 146). Sehingga
yang didapat istri kedua adalah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh
suami bersama dengan istri pertama dan istri kedua.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pembagian harta bersama antara
almarhum dengan istri pertama dan keduanya adalah sebagai berikut:
 Rumah yang didapat selama perkawinan dengan istri pertama dibagi dua,
½ bagiannya adalah bagian istri pertama dan ½ lagi menjadi harta
peninggalan almarhum
 Sedangkan mobil, serta beberapa jumlah motor dan tabungan yang
didapat setelah menikah dengan istri kedua, 1/3 dari jumlah harta tersebut
merupakan bagian istri pertama, 1/3 lainnya untuk istri kedua, dan 1/3
lainnya menjadi harta peninggalan.
 Di dalam KUHPer telah diatur mengenai penerima waris dalam Pasal 832
menyebutkan orang-orang yang berhak menjadi ahli waris, yaitu: 
 Golongan I
Keluarga yang berada pada garis lurus ke bawah, yaitu suami atau istri
yang ditinggalkan, anak-anak, dan keturunan beserta suami atau istri yang
hidup lebih lama.
 Golongan II
Keluarga yang berada pada garis lurus ke atas, seperti orang tua dan
saudara beserta keturunannya.
 Golongan III
Terdiri dari kakek, nenek, dan leluhur.
 Golongan IV
Anggota keluarga yang berada pada garis ke samping dan keluarga
lainnya hingga derajat keenam.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai