Anda di halaman 1dari 11

MODUL

Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam


Disajikan pada Minggu ke- 7

Materi - 7

PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Dosen Pengampu:

Dr. H. Ahmad Kosasih, M.A


Learning Outcomes
Mengenal, memahami, menganalisis, mendiskusikan dan membuat kesimpulan
materi pernikahan dalam Islam.

Pokok-pokok Materi

A. Konsep dan Hukum Pernikahan

1. Defenisi Pernikahan

Nikah secara bahasa artinya berhimpun. Menurut syara’ seperti yang dikemukakan
Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, pernikahan artinya aqad atau
perjanjian atau ikatan yang menghalalkan (membolehkan) pergaulan antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita hidup bersama sebagai suami istri. Menurut Undang-Undang RI No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, “pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jadi pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin di antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang menjamin halalnya pergaulan sebagai suami istri untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga dan mendapatkan keturunan yang sah, dan
dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Firman Allah dalam Q.S Al-
Rum/30:21 yang artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
2. Hukum Pernikahan

Terkait dengan niat dan kondisi orang yang melakukan pernikahan, maka hukum nikah
itu ada lima macam, yaitu:

1) Mubah: Ini adalah hukum asal bagi setiap orang yang akan melakukan pernikahan.
Artinya, setiap orang yang telah memenuhi syarat pernikahan boleh menikah.
2) Sunat: Yaitu seorang yang telah mencapai usia dewasa, berkeinginan untuk menikah
dan mempunyai bekal atau mata pencaharian untuk membiayai hidup berkeluarga.
Namun ia masih sanggup menahan diri dari perbuatan zina jika belum menikah.
3) Wajib: Yaitu seorang yang sudah dewasa, memiliki biaya kehidupan yang cukup dan jika
tidak menikah, ia khawatir akan jatuh kepada perzinaan dan perbuatan tercela lainnya.
4) Makruh: Yaitu seorang yang sudah dewasa, sudah layak untuk menikah, akan tetapi
tidak mempunyai biaya untuk bekal hidup untuk berumah tangga, atau tidak
mempunyai keinginan untuk nikah.
5) Haram: Yaitu seorang yang mengawini perempuan dengan maksud untuk menyakiti,
menganiaya dan mempermainkannya. Pernikahan semacam ini hukumnya haram
meskipun sah karena telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan.

1. Rukun Nikah

Rukun nikah ada 3 macam yaitu: 1. Penganten pria, 2. Penganten wanita, 3. Wali, 4.
Shighat (Ijab dan Qabul), dan 5. Saksi sebanyak dua orang.

2. Susunan Wali

Yang dimaksud dengan wali dalam pernikahan ialah orang yang berhak menikahkan.
Mereka itu terdiri dari:

1. Ayah kandung 2. Kakek dari pihak ayah, 3. Saudara laki-laki kandung, 4. Saudara
laki-laki seayah, 5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, 6. Anak laki-laki
dari saudara laki-laki sebapak, 7. Saudara laki-laki ayah (paman), 8. Anak laki-laki
dari saudara laki-laki ayah, dan 9. Wali Hakim.

B. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

1.Tujuan Pernikahan dalam Islam

Tujuan pernikahan antara lain:

a) Memenuhi kebutuhan biologis.


Hal yang sangat mendasar dari tujuan pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis
(seks), namun seks bukanlah merupakan tujuan utama melainkan hanya tujuan antara.
Hal ini seperti tedapat dalam Q.S 2:223

b) Mengikuti dan mentaati perintah Allah dan sunnah Rasul.


Melakukan pernikahan merupakan ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, bagi setiap
muslim yang menikah dengan niat melaksanakan perintah Allah dan sunnah Rasul berarti
dia sudah mempersiapkan diri untuk melakukan serangkaian ibadah. Firman Allah dalam
Q.S 24:32.

c) Untuk mendapatkan keturunan yang yang sah dan saleh (shalih).


Berusaha mendapatkan keturunan dan melaksanakan instink mempetahankan jenis,
merupakan anjuran agama Islam kepada umatnya. Seperti sabda Nabi SAW:

“Apabila manusia meninggal, maka putuslah sekalian amalnya, kecuali tiga


hal yaitu : Sedeqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang
mampu berdo’a (untuk kedua orang tuanya).”

Anak yang saleh dapat menyambung amalan dari kedua orang tuanya baik ketika hidup
maupun sesudah wafat.

d) Menginginkan kebahagian dan ketentraman


Memperoleh kebahagian dan ketentraman hidup adalah menjadi idaman setiap manusia.
Dengan adanya ketentraman dan ketenangan maka kesulitan hidup akan mudah teratasi.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah dalam Q.S 30:21.

Di antara syarat untuk mendapatkan ketentraman (sakinah) dalam pernikahan adalah


tumbuhnya rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami dan istri juga
antara orang tua dan anak. Apabila kedua sifat itu tercermin dalam tutur kata, tingkah
laku dan sikap pada semua pihak, maka dipastikan ketentraman dapat dicapai. Sehingga
dalam kesehariannya tidak ada Aku dan Kamu, tapi yang ada hanyalah Kita dan Kami.
Yang satu tidaklah mungkin memisahkan dari yang lain, karena masing-masing merasa
butuh dan dibutuhkan oleh yang lain. Al-Qur’an menggambarkan hubungan suami-isteri
itu ibarat pakaian dan si pemakainya, masing-masing saling membutuhkan (Q.S 2:187).
Apabila perkawinan tidak dapat mendirikan rumah tangga dengan damai dan kasih
sayang, serta cinta mencintai antara suami istri, maka keadaan itu telah jauh dari tujuan
perkawinan yang sebenarnya.

1. Hikmah Pernikahan

Pernikahan adalah awal pembentukan keluarga, ia merupakan pintu gerbang


menghubungkan seseorang dengan dunia sesungguhnya sebagai insan yang
sempurna, dan banyak mengandung hikmah, di antaranya:

1). Menjaga harkat dan martabat manusia

Manusia sebagai makhluk mempunyai berbagai kebutuhan-kebutuhan dasar untuk


mempertahankan hidupnya, seperti makan, minum dan kebutuhan seksual untuk
mempertahankan keturunannya. Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang
tidak bisa digantikan dengan yang lain, karena itu Islam memberikan solusi untuk
menyalurkan kebutuhan tersebut melalui lembaga pernikahan. Pengaturan pernikahan
merupakan konsep syariat Islam agar manusia dapat memenuhi kebutuhan tanpa
kehilangan derajat kemanusiannya yang mulia dan terhormat. Karena itu, dalam
pandangan Islam seks bukanlah sesuatu yang kotor dan terlarang, melainkan suatu yang
suci dan dibolehkan dengan prosedur yang sah. Nabi Saw sendiri menganjurkan agar
berdo’a dikala mengadakan hubungan seks dimulai. Dengan pernikahan yang sah,
seseorang akan dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara yang berbeda dengan
binatang. Penyaluran kebutuhan seksual secara bebas adalah perilaku yang tak bermartabat
dan bermoral, pada hal manusia adalah makhluk yang mulia. Karena itu, pernikahan
merupakan wahana memelihara kemuliaan manusia sebagai pemegang amanah Allah Swt.

Do’a sebelum menggauli isteri (bersetubuh):

‫ب ال َّش ْيطَانَ فِ ْي َما َر َز ْقتَنَا‬ ِ َ‫اَللَّهُ َّم َجنِّ ْبنَا ال َّشي‬


ِ ِّ‫اط ْينَ َو َجن‬
Artinya: “Ya Allah, jauhkan syetan-syetan dari kami dan jauhkan syetan itu dalam
(nikmat) rizki yang telah Engkau berikan kepada kami”

2). Memelihara garis keturunan

Proses regenerasi manusia akan diperoleh melalui adanya pernikahan. Dengan


pernikahan sistem kekerabatan dan status orang semakin jelas. Adanya suami, isteri, anak,
ayah, ibu, saudara dan sebagainya dapat ditetapkan dengan jelas beserta fungsi dan
peranannya masing-masing. Dengan adanya status masing-masing lahirlah aturan-aturan
yang menentukan hubungan kemanusiaan, seperti aturan warisan, kekerabatan, pernikahan
dan sebagainya, sehingga aturan-aturan dan moralitas manusia akan terjaga kemuliaannya.
Seandainya pernikahan tidak diatur, maka tentu garis keturunan akan kacau balau dan
rusak yang bermuara pada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan.

3). Menumbuhkan dan membina kasih sayang

Salah satu sifat yang dianugerahi Allah kepada manusia adanya rasa kasih sayang,
karena itu rasa kasih sayang merupakan salah satu kebutuhan manusia, baik untuk
memberi maupun menerima dari orang lain. Melalui pernikahan, rasa kasih sayang itu
akan dapat diterima dan diberikan secara nyata dan berkelanjutan, sehingga seseorang
dapat memiliki dorongan jiwa yang kuat untuk berinteraksi dan berkreasi dalam kehidupan
dan pergaulannya dengan manusia lainnya.

4). Memperoleh ketenangan jiwa

Melalui pernikahan suami istri dapat mengekspresikan perasaannya tanpa ada rasa
khawatir terhadap sikap orang lain, dan selalu bekerja sama dengan ikhlas untuk mencapai
tujuan bersama sehingga beban berat terasa lebih ringan. Sebagaimana firman Allah dalam
S. Al-Baqarah ayat 187: “Mereka (isteri-isteri) itu adalah pakaian bagimu dan kamu
adalah pakaian bagi mereka.....”. Dan firman-Nya dalam S. Ar-Rum ayat 21: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Kami telah menciptakan untukmu
pasanganmu dari bangsamu sendiri agar kamu mendapat ketenangan kepadanya, dan
telah Kami jadikan diantara kamu rascinta mesra (mawaddah) dan kasih sayang
(rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir”.

2. Tiga Aspek dalam Pernikahan


Pernikahan dalam ajaran agama Islam mengandung tiga aspek penting yaitu;
Aspek Hukum, Aspek Ibadah, dan Aspek Sosial.

Yang dimaksud aspek hukum dalam pernikahan ialah bahwa pernikahan


dianggap sah apabila diselenggarakan sesuai dengan ketentuan hukum agama.
Pernikahan juga akan mengakibatkan adanya tanggung-jawab yang dipikul oleh
kedua belah pihak (suami dan isteri). Secara garis besar tanggung jawab suami
adalah memberikan nafkah lahir dan batin kepada isterinya, dan sebagai ayah ia
punya tanggung jawab melayani kebutuhan anak-anaknya. Adapun nafkah lahir
meliputi sandang (pakaian), pangan (makan dan minum) serta papan (tempat
tinggal). Sedangkan yang dimaksud dengan nafkah batin adalah melayani
kebutuhan seks dan rasa cinta serta kasih sayang. Kewajiban isteri adalah patuh
dan setia kepada suaminya (Q.S.4:34). Meskipun kewajiban nafkah terletak pada
pundak suami, namun bila isteri punya penghasilan lalu ia gunakan untuk
membantu ekonomi keluarganya, maka itu merupakan amal shalih baginya.

Yang dimaksud dengan aspek ibadah ialah bahwa pernikahan merupakan


ladang ibadah yang sangat luas. Rasulullah mengatakan seseorang yang sudah
menikah berarti ia telah menyempurnakan separuh kewajiban agamanya. Selain
itu, suami juga punya kewajiban untuk memelihara keluarganya dari ancaman
neraka (Q.S.66:6). Karena itu, ia berkewajiban menghidupkan dan memelihara
suasana yang religius dalam keluarga atau rumah tangganya. Suami isteri yang
menjalankan kewajibannya dengan ikhlas dan benar merupakan ladang ibadah
yang amat luas baginya.

Sedangkan yang dimaksud dengan aspek sosial ialah bahwa pernikahan akan
membentuk dan memperluas hubungan silaturrahim antara keluarga kedua belah
pihak sehingga terbentuk keluarga besar yang dijalin oleh rasa kasih sayang dan
saling peduli. Sebuah tali pernikahan antara seorang pria dan wanita akan
membentuk tali hubungan baru di antara keluarga kedua pengantin. Muncullah
istilah seperti mertua, menantu, ipar, besan, mamak rumah dan urang sumando,
induak bako dan anak pisang (dalam adat Minangkabau). Dari sinilah berpangkal
lahirnya masyarakat marhamah, masyarakat yang dibina atas dasar kasih sayang.

C. Pernikahan yang Terlarang

Pernikahan yang terlarang itu terbagi dalam dua bentuk yakni larangan selamanya dan larangan
yang bersifat sementara.

Adapun larangan yang bersifat selamanya itu terdiri dari:

Hubungan Kerabat (Nasab) yaitu:

1. Ibu
2. Anak (pr)
3. Sdr (pr)
4. Sdr Ayah yg perempuan
5. Sdr Ibu yang perempuan
6. Anak pr dari sdr laki-laki (kemenakan)
7. Anak pr dari sdr perempuan (kemenakan)

Hubungan Persemendaan (Mushaharah) yaitu:

1. Ibu dari Istri (mertua)


2. Anak pr dari istri (anak tiri)
3. Istri dari anak kandung (menantu)

Hubungan Persusuan (Radha’ah) yaitu:

1. Ibu susuan

2. Sdr sepersusuan

Yang termasuk larangan sementara adalah:

(1) Nikah dalam ihram


(2) Menikah lebih dari 4
(3) Menikahi 2 wanita bersaudara apabila yg pertamanya masih hidup
(4) Menikahi wanita musyrik (Al-Baqarah:221)
(5) Menikahi istri yg tertalak tiga
(6) Menikahi wanita dlm bersuami
(7) Menikahi wanita dlm iddah

D. Hal-hal yang Berkaitan dengan Putusnya Hubungan Pernikahan

Ada beberapa istilah yang perlu dipahami terkait dengan pemutusan hubungan pernikahan yaitu
Talak, iddah, dan rujuk. Penjelasannya sebagai berikut.

1). Talak

Talak (thalaq) artinya lepasnya ikatan. Menurut syara’ ikrar yang diucapkan oleh suami
terhadap istri untuk menyatakan putusnya ikatan pernikahan mereka. Talak adalah suatu
perbuatan yang dibenci Allah, meskipun tidak diharamkan seperti dijelaskan Nabi Saw :

“Rasulullah bersabda; Perbuatan halal yang amat dibenci oleh Allah adalah
Talak”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majjah, disahkan oleh Al-Hakim).

Ditinjau dari segi keadaan istri yang dijatuhi talak, maka talak itu ada dua macam, yaitu:

a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya dalam keadaan suci dan belum
dicampuri oleh suami. Inilah talak yang sesuai dengan sunnah.

b. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya dalam keadaan haid atau
suci tetapi sudah dicampuri (disetubuhi) sebelumnya. Talak semacam ini hukumnya
haram.

2). Iddah
Iddah (`iddah) berarti masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah ditalak
untuk dirujuk atau dinikahi kembali oleh mantan suaminya itu. Masa iddah dapat
dibagi menjadi 4 macam yaitu:

a. Masa iddah bagi seorang wanita yang telah bercerai

Bagi wanita yang telah bercerai maka masa iddahnya adalah tiga kali suci
(quru`). Firman Allah dalam Q.S.2:228.

b. Masa iddah bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya masa iddahnya adalah empat bulan
sepuluh hari. Firman Allah swt Q.S.2:234

c. Masa iddah bagi seorang wanita yang ditinggal suami dalam keadaan hamil

Bagi wanita yang ditinggal suami dalam keadaan hamil maka masa iddahnya adalah
sampai ia melahirkan. Firman Allah swt Q.S.65:4

d. Masa iddah bagi seorang wanita yang telah monopuse

Bagi wanita yang telah monopouse maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Firman Allah
swt Q.S.65:4

3). Rujuk

Rujuk adalah mengembalikan istri yang sudah ditalak kepada status pernikahannya semula.
Dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan bekas istrinya, maka talak dapat
dibedakan dalam dua bagian yaitu:

a. Thalaq Raj’i yaitu talak yang membolehkan mantan suami untuk merujuk mantan istrinya
sebelum masa iddahnya habis. Kembalinya suami kepada istrinya pada masa ini tidak
perlu dengan pernikahan baru, dan ini hanya berlaku pada talak satu atau dua (Q.S.2:229)

b. Talak Ba`in yaitu talak yang tidak membolehkan suami untuk merujuk bekas
istrinya tapi harus dengan pernikahan baru. Talak ini terbagi dua pula yaitu talak
ba`in shughra (kecil) dan talak ba`in kubra (besar). Talak ba`in shughra yaitu
isteri yang sudah ditalak satu atau dua kali dan telah habis masa iddahnya. Talak
bain kubra yaitu isteri yang sudah ditalak tiga kali. Dalam hal ini mantan suaminya
tidak boleh menikahinya kembali kecuali setelah ia dinikahi serta digauli terlebih
dahulu oleh laki-laki lain (suami barunya) itu, kemudian terjadi perceraian.

E. Bentuk-Bentuk Pemutusan Hubungan Pernikahan

1. Kematian (‫)الم__وت‬. Kematian salah satu pihak dalam pernikahan secara otomatis berakibat
putusnya hubungan pernikahan antara keduanya.

2. Talak (‫)الطالق‬. Yaitu pemutusan hubungan pernikahan dalam bentuk ucapan kalimat talak dari
suami kepada isterinya. Perceraian seperti ini datangnya dari suami dan hak menjatuhkan talak
semata-mata berada di tangan suami seperti dijelaskan pada bagian terdahulu.
1. Khulu’ (‫)الخلع‬. Yaitu pemutusan hubungan pernikahan berdasarkan permintaan dari
sang isteri dengan alasan-alasan yang dibenarkan secara syar`i (agama) dengan syarat
si isteri harus membayar uang tebusan (`iwadh) kepada si suami. Alasan tersebut
misalnya isteri tidak tahan menderita karena kekejaman suaminya, KDRT, suami
berpenyakit jiwa yang membahayakan dsb. Talak semacam ini disebut juga dengan
istilah talak tebus dan tidak boleh dirujuk.

2. Fasakh (‫)الفسخ‬. Yaitu perceraian yang diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama atas
pasangan suami-isteri disebabkan salah satu pasangan murtad atau setelah diketahui
bahwa antara suami dan isteri terdapat halangan menikah seperti punya hubungan nasab
atau halangan pernikahan lainnya menurut syar`i.

3. Li’an (‫)اللعان‬. Yaitu perceraian yang terjadi akibat sumpah yang sudah diucapkan oleh
kedua belah pihak suami-isteri karena adanya tuduhan berzina tanpa bukti-bukti yang
dapat dibenarkan secara syar`i. Baik tuduhan itu datang dari suami terhadap isterinya
maupun sebaliknya. Perceraian semacam ini juga menghalangi bolehnya rujuk atau
menikah kembali di antara kedua belah pihak (Q.S. 24:6-9).

4. Pelanggaran atas Ta’liq. Ini adalah bentuk perceraian berdasarkan ta’liq yaitu janji
yang diucapkan oleh sang suami setelah berlangsungnya akad nikah terkait dengan
hubungan pernikahannya. Apabila sudah terrealisasi sesuai dengan janjinya itu dan
isteripun menerimanya dengan membayar uang tebusan (`iwadh) melalui pengadilan
agama, maka sejak itu putuslah hubungan pernikahannya.

E. Kewarisan dalam Islam (fara`idh)

1. Pengertian faraidh

Ilmu faraidh adalah ilmu tentang pewarisan atau tentang perhitungan untuk dapat mengetahui
kekhususan masing-masing yang mempunyai hak dari orang yang meninggal. Adapun dasar-
dasar pembagian faraidh dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

(1) Q.S.4: 11 tentang bagian: ½, 2/3 dan 1/6

(2) Q.S.4:12 tentang bagian: ½, ¼, 1/8 1/6 dan 1/3

(3) Q.S.4:176 tentang bagian ½ dan 2/3

2. Sebab-sebab pusaka mempusakai

a. Kerabat (qarib) yaitu hubungan nasab. Contoh: anak, bapak, ibu dan saudara. Ada bagian
yang berhubunga dengan nasab, yaitu ashabah dan zawil furudh.

b. Hubungan perkawinan, yaitu suami istri (zawil furudh saja).

c. Karena memerdekakan budak. Yaitu orang yang memerdekakan (ashabah).

d. Hubungan seagama (Islam). Diberikan kepada baitul mal (ashabah)


3. Rukun faraidh

a. Yang mewarisi atau ahli waris (Waarits), b. Orang yang mewariskan (muwarris), c. Harta
yang diwarisi atau harta warisan.

4. Syarat-syarat pewarisan

a. Sudah jelas kematian orang yang diwarisi

b. Jelas hidupnya yang menjadi ahli waris

c. Harta yang diwariskan itu setelah dikeluarkan hutang dan wasiat pewaris.

d. Diketahui dengan pasti hubungan antara ahli waris dan yang diwarisi.

5. Macam-macam ahli waris

 Dari pihak laki-laki :


a. Anak b. Anak dari anak dan seterusnya ke bawah, c. Bapak, d. Bapak dari
bapak dan seterusnya ke atas, e. Saudara kandung, saudara sebapak/saudara seibu,
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki, g. Saudara laki-laki bapak, h.Anak laki-
laki saudara laki-laki bapak, i. Suami, j. Orang yang memerdekakan

Andaikata ahli waris itu laki-laki saja, maka yang mendapat hanya 3 macam, yaitu

1. Bapak, 2. Anak laki-laki, 3. Suami

 Dari pihak wanita


a) Anak perempuan
b) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
c) Ibu
d) Ibu dari ibu
e) Saudara Bapak
f) Istri
g) Orang yang memerdekakan

Kalau wanita semuanya, maka yang mendapat 5 macam, yaitu:

1. Anak perempuan, 2. Anak perempuan dari anak laki-laki, 3. Ibu, 4. Saudara (pr)
bapak, dan 5. Istri

Kalau ahli waris laki-laki/perempuan dan sama-sam ada, maka yang berhak mendapat
warisan ada 5 macam, yaitu:

1. Anak laki-laki 2x anak perempuan

2. Anak perempuan ½ dari anak laki-laki

3. Bapak 1/6

4. Ibu 1/6
5. Istri 1/8

Dilihat dari segi statusnya ahli waris itu dapat pula dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
Dzawul furudh dan `Ashabah. Yang dimaksud Dzawul furudh ialah ahli waris yang
sudah ditentukan porsinya. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘Ashabah adalah ahli
waris yang menghabiskan sisa setelah dibagi semua hak-hak dzawul furudh itu, dan
bagiannya tidak ada batas. Adapun perimbangan satu berbanding dua (1:2) antara bagian
laki-laki dan perempuan dalam sistim kewarisan Islam dapat dipahami dari segi tanggung
jawab antara kedua jenis insan itu. Tanggung jawab laki-laki jauh lebih berat dari pada
perempuan, laki-laki menafkahi sedangkan perempuan dinafkahi. Oleh karena itu lihatlah
keadilan dari sisi tanggungjawab itu, bukan dari porsinya.

Tugas-tugas:
1. Jelaskan definisi pernikahan menurut Islam !
2. Jelaskan Syarat dan Rukun pernikahan !
3. Jelaskan tujuan dan hikmah pernikahan dalam Islam !
4. Jelaskan sebab-sebab yang menghalangi pernikahan menurut ajaran Islam,
baik yang bersifat tetap maupun sementara !

5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan aspek hukum, aspek ibadah dan aspek
sosial dalam sebuah pernikahan

6. Jelaskan rukun dan syarat pewarisan menurut hukum Islam !

Daftar Bacaaan

Departemen Agama. 2007. Menuju Keluarga Sakinah. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Deprtemen
Agama

------------------. 2007. Psikologi Perkawinan dan Keluarga. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama

Mubarak, Ahmad. 2006. Nasehat Perkawinan dan Konsep Hidup Berkeluarga. Jakarta: Jatibangsa

Muhammad Ali Ash-Shabuni. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. Alih Bahasa: Zaid Husein
al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu

Sabiq Said, tth. Fikih Sunnah (terj), Bandung: PT Al-Ma’arif

Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan

Faridl, Miftah. 2005. Rumahku Surgaku Romatika dan Solusi Rumah Tangga. Jakarta: Gema Insani.

---

Anda mungkin juga menyukai