Anda di halaman 1dari 24

Pernikahan Dalam Islam

Hidup bersama pasangan idaman sesungguhnya itu adalah impian bagi semua orang.

Menghabiskan waktu seumur hidup bersama orang yang kita cintai, makan berdua di meja

yang sama setiap hari, menceritakan tentang bagaimana hari ini bersama pasangan setiap hari

adalah anugerah paling indah yang Allah berikan, sehingga sudah banyak yang melakukan

pernikahan di luar sana. Oleh karena itu, hampir setiap pasangan laki-laki dan perempuan

ingin sekali untuk mewujudkan suatu pernikahan yang di mana pernikahan bisa membuat

kedua pasangan hidup bersama. Terlebih lagi suatu pernikahan akan lebih bahagia ketika

memiliki si buah hati.

Di dalam islam, pernikahan itu bukan hanya sekedar membahas tentang hubungan pria

dan wanita yang diakui secara sah menurut agama maupun hukum negara,dan bukan hanya

saja kebutuhan biologis, kebutuhan finansial, tetapi pernikahan dalam Islam sangat erat

kaitannya dengan kondisi jiwa manusia, kerohanian (lahir dan batin), nilai-nilai kemanusian,

dan adanya suatu kebenaran.

Tidak hanya itu, pernikahan dalam pandangan Islam merupakan kewajiban dari

kehidupan rumah tangga yang harus mengikuti ajaran-ajaran keimanan dan ketaqwaan

kepada Allah. Hal ini senada dengan yang tercantum di dalam Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi “perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.”
Mengapa Islam mensyariatkan Pernikahan? Sebagaimana dalam Q.S. Adz – Dzariyat

ayat 49 yang artinya berbunyi, "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan

agar kamu mengingat (kebesaran Allah)."

Dan juga dalam Q.S. Yasin ayat 36 yang artinya berbunyi, “Mahasuci (Allah) yang

telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan

oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

Maka dari itu, perkawinan atau pernikahan bisa dikatakan sebagai salah satu perilaku

manusia yang baik atau terpuji yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan

tujuan untuk membuat hidup manusia menjadi lebih baik lagi. Selain itu, pernikahan yang

baik juga bisa membuat hubungan suami istri menjadi lebih harmonis dan kebahagiaan akan

menghampiri.

Pada dasarnya pernikahan bukan hanya menyatukan seorang laki laki dan perempuan

umtuk membangun sebuah rumah tangga yang harmonis agar bisa hidup menua bersama.

Namun ada juga beberapa tujuan yang perlu di perhatikan sebagai umat muslim untuk

membangun sebuah rumah tangga agar pernikahan bisa memberikan kebahagiaan secara lahir

dan batin sekaligus pahala karena telah melakukan suatu ibadah yang sangat dimuliakan

Allah.

A. Pengertian Pernikahan dalam Islam

Di dalam agama Islam, pernikahan dapat diartikan bahwa suatu perjanjian suci yang

dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang ingin melanjutkan hubungan menjadi hubungan

yang halal atau yang biasa kita sebut yaitu hubungan suami istri. Mereka akan mengikat janji

suci untuk menyatakan bahwasan dari kedua belah pihak sudah siap untuk membangun

rumah tangga. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh seorang ulama, Abdurrahman
Al-Jaziri yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian suci yang dilakukan

antara laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia.

Dalam hal ini, perjanjian suci pernikahan dapat dinyatakan ke dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab dan qabul yang merupakan bentuk dari perjanjian pernikahan ini harus dinyatakan oleh

satu majelis, baik itu berasal langsung dari pihak yang melangsungkan pernikahan (calon

suami atau calon istri) atau dapat diwalikan.

Pernikahan dalam Islam merupakan salah satu asas hidup yang bisa membuat umat Muslim

menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu, pernikahan bukan hanya menjadi cara untuk

melaksanakan ibadah saja, akan tetapi juga berhubungan dengan membangun kehidupan

rumah tangga dan memilliki keturunan. Bahkan, dengan pernikahan kita menjadi seperti

memiliki keluarga tambahan yaitu dari keluarga pasangan kita sendiri dan pintu silaturahmi

menjadi terbuka lebar karena menjadi lebih mengenal keluarga suami dan keluarga istri,

sehingga antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya bisa saling membantu dan saling

mengenal lebih dalam antara satu sama lain.

Memang pada dasarnya tidak mudah untuk menyatukan dua keluarga yang memiliki

kepribadian yang berbeda-beda dan memiliki pendapat yang berbeda-beda juga, akan tetapi

jika kita menjaga komunikasi antar satu sama lain insyaallah perbedaan pendapat dan lain

sebagainya akan terasa mudah untuk kita lewati, dan tidak akan menimbulkan perpecahan.

Oleh sebab itu, agar tali silaturahmi menjadi lebih erat, maka suami istri dan anggota

keluarga dari kedua belah pihak harus menjaga komunikasi, saling mencintai, saling memberi

kasih sayang, saling mengingatkan agar tidak melakukan kejahatan, dan saling membantu

satu sama lain.

Menjaga silaturahmi ada di dalam Al-Qaur’an surat An-Nisa ayat 36 yang artinya “Dan

sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-

orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba

sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan

membanggakan diri.”

B. Pengertian Pernikahan Menurut Ulama

Pernikahan diambil dari kata nikah yang berarti suatu akad perkawinan yang dilaksanakan

berbdasarkan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku dan ajaran agama. Sedangkan kata

nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu “An-nikah”. Secara bahasa, “An-nikah” memiliki arti

bersatu, berkumpul, dan berhubungam. Sementara itu, secara definisi pernikahan juga

dijelaskan oleh beberapa ahli ulama yang sering dikenal dengan empat mahzab fikih, yakni

sebagai berikut:

1. Imam Maliki

Ulama dalam mahdzab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad untuk mendapatkan

kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.

Secara sederhana mazhab malikiyah mengatakan bahwa nikah adalah kepemilikan

manfaat kelamin dan seluruh badan suami istri.

2. Imam Hanafi

Ulama dalam mahdzab ini mendefnisikan nikah adalah sebagai akad yang berakibat pada

“pemilikan” seks secara sengaja.

Yang dimaksud dalam pemillikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta

seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat hakiki,

karena kepemillikan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.


3. Imam Syafi’i

Ulama dalam mahdzab ini mendefinisikan nikah sebagai akad yang berdampak akibat

kepemilikan seks

Mahdzab Syafi‟i berpendapat pada dasarnya hukum nikah adalah jaiz (boleh), karena

menikah itu untuk mencari kenikmatan, yang mana dengan kenikmatan itu jiwa merasa

tenang. Maka menikah hukumnya tidak wajib sebagaimana hukum memakai pakaian bagus

atau makan-makanan yang enak.

4. Imam Hanbali

Ulama dalam mahdzab ini tampak praktis dalam mendefinisikan pengertian dari nikah.

Menurut ulama Hanbaliyah, nikah adalah akad yang diucapkan dengan menggunakan kata

Ankah atau lazwij untuk kesenangan seksual.

C. Tujuan Pernikahan dalam Islam

Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk membina

keluarga sakinah dalam rumah tangga yang telah ditandai dengan adanya ijab dan qabul.

Beberapa tujuan dari pernikahan berdasarkan Al-Quran dan Hadist, yaitu:

1. Melaksanakan Perintah Allah.

Dalam Islam, pasti tujuan utama sebuah pasangan mengadakan pernikahan yaitu

melaksanakan perintah Allah, karena dengan itu Insyallah senantiasa akan diberikan rezeki

kebahagiaan oleh Allah. Kebahagiaan ini menyangkut semua hal termasuk rezeki, sehingga

bagi Umat Muslim yang sudah menikah tak perlu khawatir tentang rezeki. Sebagaimana yang

telah kita ketahui bahwasannya rezeki masing-masing kita telah diatur oleh Allah.
Adapun tujuan pernikahan untuk melaksanakan perintah Allah terkandung dalam Al-

Quran Surat An-Nur ayat 32 yang artinya berbunyi, “Dan Nikahlah orang-orang yang

masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari

hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan

memberikan kemampuan kepada mereka dendan karunia-Nya. Dan Allah maha luas

(pemberian-Nya), Maha mengetahui.”

2. Melaksanakan Sunah Rasul

Selain menjalankan perintah Allah, tujuan menikah selanjutnya yaitu melaksanakan sunah

Rasul. Dengan melaksanakan sunah Rasul, maka seorang hamba akan terhindar dari

perbuatan zina. Tidak hanya terhindar dari zina, seorang hamba yang melaksanakan sunah

Rasul dalam ikatan pernikahan akan mendapatkan pahala, karena itu termasuk dalam ibadah.

Dari Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda “… Seseorang di

antara kalian bersetubuh dengan istrinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda

Rasulullah, para sahabat keheranan) lalu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah salah

seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap istrinya akan mendapat pahala?’

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Bagaimana menurut kalian jika ia

(seorang suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika

ia bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala,” (HR.

Bukhari dan Muslim).

3. Mencegah dari Perbuatan Zina

Seperti yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa dengan menikah berarti sama halnya

menjaga kehormatan diri sendiri, sehingga kita bisa untuk tidak melakukan hal-hal yang

dilarang agama Islam. Selain itu, suatu pernikahan bisa membuat diri kita bisa menjaga

pandangan dan terhindar dari perbuatan zina, sehingga kita bisa menjalani ibadah pernikahan
lebih baik. Pada HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dll, berkata “Wahai para pemuda!

Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena

nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan

barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu

dapat membentengi dirinya.”

4. Menyempurnakan Separuh Agama

Terlaksanakannya sebuah pernikahan juga termasuk bagian seorang hamba menyempurnakan

separuh Agama Islam pada dirinya. Dengan kata lain, menambahkan pahala pada seorang

hamba. Dalam hal ini menyempurnakan agama bisa di artikan sebagai menjaga kemalluan

dan perutnya. Seperti yang diungkapkan para ulama, yang pada dasarnya rusaknya agama

pada seseorang sering berasal dari kemaluan dan perutnya.

Oleh sebab itu, menikah bisa membuat laki-laki dan perempuan (suami istri) bisa menjaga

kemaluan dan perutnya agar terhindar dari perbuatan zina. Dari Anas bin Malik

radhiyallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasullah bersabda: “Jika seseorang menikah, maka ia

telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada

separuh yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi).

5. Mendapatkan Keturunan

Setiap umat muslim yang melakukan pernikahan pasti saja memilliki tujuan yaitu memiliki

seorang buah hati yang telah dikaruniai oleh Allah kepada hambanya, dengan harapan

sebagai penerus keluarga dan bangsa. Memiliki keturunan juga dapat menambahkan rezeki

keluarga. Rezeki yang dimaksud disini bukan hanya perihal keuangan, akan tetapi rezeki

kebahagiaan juga dan lain sebagainya rezeki yang akan kita dapatkan ketika memiliki

keturunan. Berapa banyakpun keturunan yang kita miliki, insyaallah ada saja rezekinya
darimanapun itu datangnya. Yang pasti setiap keturunan yang kita miliki sudah mempunyai

rezekinya masing masing dan berbeda beda juga. Selain itu, memiliki keturunan juga bisa

menjadi bekal pahala untuk orangtua di kemudian hari.

Dari Anas Ibnu Malik radhiyallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam

memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau

bersabda: ‘Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu

yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.’,” Riwayat

Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Bagi pasangan suami istri pasti sangat menginginkan keturunan yang saleh atau shalehah.

Anak yang saleh/shalehah bisa memberikan rezeki kepada orangtuanya. Rezeki itu bisa

dirasakan di dunia ataupun di akhirat nanti setelah orangtua dari anak tersebut

menghembuskan nafas terakhirnya di dunia. Tujuan mendapatkan anak yang saleh ini

terkandung di dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 72 yang artinya; “Dan Allah

menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan

anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa

mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”

6. Untuk Membangun Keluarga yang Bahagia

Tujuan utama dalam pernikahan yakni adalah membangun keluarga yang bahagia, sehingga

bisa selalu hidup bersama dan menua bersama hingga menghembuskan napas terakhir. Hidup

selamanya bersama orang yang kita cintai adalah nikmat yang sesungguhnya kita dapatkan

dalam sebuah pernikahan. Terjadinya suatu pernikahan pasti akan membuat seseorang

menjadi lebih bahagia dan hati menjadi tenang. Rasa bahagia dan hati menjadi tenang ini
membuat kehidupan seseorang menjadi lebih tentram. Tujuan pernikahan untuk mendapatkan

jiwa dan kehidupan yang menjadi tentram sudah terkandung di dalam Al-Quran Surah Ar-

Rum ayat 21yang artinya; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya.”

D. Syarat Sah Pernikahan dalam Islam

Dalam Islam, syarat sah pernikahan terdiri dari beberapa hal , diantaranya:

1. Calon Pengantin beragama Islam

Syarat sah pernikahan pertama adalah calon pengantin, baik itu laki-laki atau perempuan

harus beragama Islam. Apabila salah satu calon mempelai belum beragama Islam, maka

pernikahan tidak akan sah. Oleh sebab itu, jika salah satu calon mempelai belum beragama

Islam, ia harus beragama Islam terlebih dahulu. Maka dari itu jika kalian ingin mencari

pasangan untuk sebuah pernikah yang kalian cari pertama adalah satu agama, Ya walaupun

pada akhirnya sekarang banyak kasus pernikahan dari pasangan yang berbeda agama. Namun

walaupun sudah menikah jika salah satu dari pasangan adalah bukan beragama islam, maka

ketika kalian melakukan hubungan suami istri itu akan jatuhnya berzina yang notabene nya

berzina adalah perbuatan yang Allah larang yang semula ingin mendapatkan pahala dari

Allah dalam pernikahan jadi yang didapatkan hanya dosa.

2. Mengetahui Wali Akad Nikah Bagi Perempuan

Wali akad dalam proses pernikahan ini harus ada karena jika berarti pernikahan menjadi

tidak sah. Dalam agama Islam, untuk memilih wali sudah ada aturannya, sehingga tidak boleh

sembarangan memilih wali akad nikah. Ayah kandung adalah wali nikah utama bagi

mempelai perempuan. Jika, ayah kandung dari perempuan sudah meninggal dunia, maka
calon pengantin perempuan dapat diwalikan oleh kakek, saudara laki-laki seayah seibu, ,

paman, dan seterusnya yang sesuai dengan urutan nasab.

Wali akad nikah tidak boleh seoang perempuan dan harus seorang laki-laki. Hal ini sesuai

dengan hadist:

Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah SAW bahwa perempuan tidak boleh

menikahkan (menjadi wali) terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya.” (HR.

ad-Daruqutni dan Ibnu Majah).

Apabila dari keturunan nasab tidak ada yang bisa menjadi wali, maka bisa digantikan

dengan wali hakim sebagai syarat sah pernikahan.

3. Bukan Mahram

Pernikahan akan dinyatakan tidak sah, jika kedua mempelai merupakan mahram, mahram

yang dimaksud disini adalah menikahi saudara kandung sendiri, menikahi pasangan sejenis.

Dengan kata lain, pernikahan dapat dilakukan dengan bukan mahram. Dalam hal ini, bukan

mahram merupakan tanda bahwa pernikahan dapat dilakukan karena tidak ada

penghalangnya.

Selain itu, bagi calon mempelai harus mencari jejak dari pasangannya, apakah semasa

kecil diberikan oleh ASI dari ibu yang sama atau tidak. Jika, diberikan oleh ASI dari ibu yang

sama maka hal itu termasuk ke dalam mahram, sehingga pernikahan tidak bisa dilakukan.

4. Sedang tidak melaksanakan Ibadah Haji atau Ihram

Para ulama melarang jika sedang melaksanakan  ibadah haji atau ihram untuk melakukan

pernikahan. Para ulama menyatakan hal ini berdasarkan seorang ulama bermazhab Syafi’I

yang terkandung di dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib. Di dalam kitab itu disebut bahwa
salah satu larangan haji adalah tidak boleh melaksanakan akad nikah atau wali dalam

pernikahan:

“Kedelapan (dari sepuluh perkara yang dilarang ketika ihram) yaitu akad nikah. Akad

nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya maupun bagi orang lain

(menjadi wali).”

Selain itu, pernikahan tidak boleh dilakukan saat sedang melaksanakan haji juga terdapat

di hadist Bukhari:

Rasulullah bersabda bahwa seorang yang sedang ber-ihram tidak boleh menikahkan, tidak

boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.

5. Dilakukan atas dasar Cinta bukan karena Paksaan

Terjadinya pernikahan harus didasari atas dasar cinta bukan atas dasar paksaan. Apabila

pernikahan terjadi karena adanya paksaan, maka pernikahan itu bisa saja dinyatakan tidak

sah. Dengan kata lain, suatu proses pernikahan harus berdasarkan keinginan dari calon

pengantin laki-laki atau calon pengantin perempuan.

E. Rukun Nikah dalam Islam

1. Adanya Calon Pengantin

Calon pengantin harus terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya

dan calon pengantin perempuan tidak terhalang secara syari’I untuk menikah.

2. Adanya Wali

Bagi calon pengantin perempuan harus dihadiri oleh wali atau wali hakim.

3. Dihadiri Dua Orang Saksi

Ketika pernikahan berlangsung harus ada dua orang saksi yang adil atau yang

memenuhi syarat sebagai saksi.


4. Diucapkan Ijab

Ijab diucapkan oleh wali dari calon pengantin perempuan atau yang menjadi

wakilnya.

5. Diucapkan Qabul dari pengantin laki-laki

Calon pengantin laki-laki mengucapkan qabul didepan saksi dan wali dengan penuh

keyakinan.
Nikah menurut 4 mazhab

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Nikah dalm Islam bersifat kontraktual, artinya baik pengantin laki-laki
ataupun perempuan itu dapat menetapkan syarat-syaray pernikahan. Ini
mengisyaratkan bahwa perempuan bebas memutuskan apakah ia mau melakukan
kontrak pernikahan apa tidak. Namun, secara tradisional perempuan tidak
diperbolehkan merundingkan pernikahannya. Dia dinikahkan oleh walinya, yang pada
umumnya oleh ayahnya, dan jika ayahnya tidak ada dapat diwakilkan oleh kakek atau
saudara laki-lakinya.
Namun, saat ini ada sebagiaan masyarakat yang kurang mengerti dengan wali
yang diwajibkan dalam pernikahan, sehingga ada banyak masalah yang mungkin
berkecamuk dalam masyarakat ini. Atas kesempatan ini, sebagai penyusun makalah
ini, berkesempatanmengupas permasalahan tentang nikah yang mungkin pada
sebagian orang, pelaksanaan nikah itu mudah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Nikah menurut Empat Mahzab?
2. Bagaimana perbedaan hukum, syarat dan rukunnya nikah antara empat mahzab
tersebut?
3. Apa saja perempuan-perempuan yang haram dinikahi dan bagaimana hukumnya
menikahi mertua yang fasid itu?

C. Tujuan Rumusan Masalah


1. Dapat menjelaskan pengertian nikah antara satu mahzab dengan yang lainnya
2. Dapat menerangkan perbedaan hukum, syarat dan rukun nikah antara satu mahzab
dengan yang lainnya
3. Dapat menjelaskan perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi dan
hukumnya menikahi mertua yang fasid.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PERBEDAAN DEFINISI NIKAH MENURUT EMPAT MAHZAB

1. Definisi nikah dalam mahzab Hanafi


Ulama dalam mahzab ini medefinisikan nikah adalaj sebagai akad yang
berakibat pada ``pemilikan`` seks secara sengaja.
Yang dimaksud dalam pemilikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas
kelamin serta seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan
ini bukan bersifat hakiki, karena kepemilikan yang hakiki hanya ada pada Allah
SWT.
2. Definisi nikah dalam mazhab Maliki
Ulama dalam mahzab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad untuk
mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan harga
secara pasti sebelumnya.
Secara sederhana mahzab malikiyah mengatakan bahwa nikah kepemilikan
manfaat kelamin dan seluruh badan istri.
3. Definisi nikah dalam mahzab Syafi`i
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang
berdampak akibat kepemilikan seks.
Inti dari definisi ini adalah kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mrngambil
manfaat seksual dari alat kelamin perempuan, sebagai ulama syafi`iyah
berpendapat bahwa nikah adalah akad yang memperbolehkan seks, bukan akad
atas kepemilikan seks.
4. Definisi nikah dalam mahzab Hanabali
Ulama dalam mahzab ini tampak praktis dalam mendefinisikan pengertian
dari nikah.
Menurut ulama Hanabaliyah, nikah adalah akad yang diucapkan dengan
menggunakan kata anakah atau tazwij untuk kesenangan seksual.
Sedangkan dalam Hukum Perkawinan Islam, definisi Nikah adalah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-
laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara dua belah
pihak, dengan rasa sukarela dengan dari keridhoan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang.

B. HUKUM NIKAH SERTA RUKUN DAN SYARAT NIKAH


Hukum asal nikah adalah mubah (boleh). Akan tetapi, hukum mubah ini
bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum lain, yaitu wajib, haram, sunnah,
dan makruh, sesuai dengan kondisi seorang yang akan melaksanakannya. Ketentuan
ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
 Firman Allah awt dalam surat an-Nur atar 32:
Artinya: dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya.dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.
LIMA HUKUM NIKAH

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukum asal nikah adalah
mubah. Namun, hukum mubah ini bisa tetap mubah dan bisa pula berubah menjadi wajib,
haram,sunnah dan makruh, sesuai dengan situasi serta kondisi. Namun, dalam hal ini, ada
beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama dalam memberikan syarat dan kriteria
lima hukum nikah.

1. Versi Imam Hanafia.

a. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu:
1. Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah.
2. Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak bisa menolak
terjadinyazina.
3. Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal ) sebagai ganti dari isteri.
4. Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.
b. Sunnah Muakkadah
Hukum nikah akan menjadi sunnah muakkadah apabila terpenuhi syarat-syarat
berikut:
1.Ada keinginan menikah.
2. Memiliki biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah.
3. Mampu untuk ijma
c. Haram
Hukum nikah menjadi haram apabila berkeyakinan kalau setelah menikah
akanmemenuhi kebutuhan nafkah dengan jalan yang haram, seperti dengan
berbuat dzalim pada orang lain.
d. Makruh Tahrim
Hukum menikah menjadi makruh tahrim apabila setelah menikah ada
kehawatiranakan mencari nafkah dengan jalan haram.
e. Mubah
Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya ingin
memenuhikebutuhan syahwat saja, bukan karena hawatir akan melakukan zina.

2. Versi Imam Malikia

a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1.Hawatir melakukan zina
2. Tidak mampu berpuasa atau mampu tapi puasanya tidak bisa mencegah
terjadinya zina.
3. Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal ) sebagai pengganti isteri
dalam istimta’.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila tidak hawaatir zina dan tidak
mampumemberi nafkah dari harta yang halal atau atau tidak mampu jima’ ,
sementara isterinya tidak ridlo.
c. Sunnah
Hukum menikah menjadi sunnah apabila tidak ingin untuk menikah dan
adakekhawatiran tidak mampu melaksanakan hal-hal yang wajib baginya.
d. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila tidak ingin menikah dan tidak
mengharapketurunan, sedangkan ia mampu menikah dan tetap bisa melakukan
hal-hal sunnah.

3. Versi Imam Syafi’ia.

a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila:
1. Ada biaya (mahar da nafkah)
2. Hawatir berbuat zina bila tidak menikah.
b.Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila memiliki keyakinan bahwa dirinya
tidak bisa untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam
pernikahan.
c. Sunnah
Hukumnya menikah menjadi sunnah apabila ada keinginan menikah dan ada
biaya(mahar dan nafkah) dan mampu untuk melaksanakan hal-ha yang ada di
dalam pernikahan
d. Makruh
Hukum menikah menjadi makruh apabila tidak ada keinginan untuk menikah,
tidak ada biaya dan ia hawatir tidak bisa melaksanakan hal-hal yang ada dalam
pernikahan.
e. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila ia menikah hanya semata-mata
menurutikeinginan syahwatnya saja.

4. Versi Imam Hambalia.

a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib aoabila ada kehawatiran berbuat zina bila
tidak menikah, baik dia mampu menanggung biayanya (mahar dan nafkah)
maupun tidak.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila menikah di tempat yang sedang
terjadi peperangan.
c. Sunnah
Hukum nikah menjadi sunnah apabila seseorang berkeinginan menikah, dan
juga iatidak hawatir berzina andaikan tidak menikah.
d. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila seseorang tidak berkeinginan
menikah.

Ø RUKUN DAN SYARAT NIKAH

Rukun adalah sesuatu yang harus ada, dan juga merupakan bagian integral dari
suatuibadah ataupun mu’amalah.Adapun syarat adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak
termasuk integral dari suatuibadah ataupun mu’amalah, seperti adanya dua saksi dalam nikah
menurut mazhab Hanafi.Berikut adalah rukun dan syarat nikah menurut madzahib al arba’ah.

• Versi Imam Hanafi

- Shighat (ijab dan qobul)


- Wali
- Pihak laki-laki-
- Pihak perempuan
- Dua saksi

• Versi Imam Maliki

-Shighat (ijab dan qobul)

- Wali

- Pihak laki-laki

- Pihak Perempuan

- Mahar

- Dua saksi

• Versi Imam Syafi’i

- Shighat (ijab dan qobul)


- Wali

- Pihak laki-laki

- Pihak perempuan

- Dua saksi

• Versi Imam Hambali

-Shighat (ijab dan qobul)

-Wali

- Pihak laki-laki dan pihak perempuan tertentu

- Perempuan dan laki-laki saaling ridlo

- Dua saksi.

C. MASALAH WANITA YANG TIDAK SAH UNTUK DINIKAHI DAN


MERTUADALAM NIKAH YANG FASID

1. Masalah Wanita yang Tidak Sah Untuk Dinikahi.

Telah menjadi hal yang maklum dalam khazanah ilmu fikih,bahwa diantara
syaratnikah yang telah menjdai konsensus (kesepakatan) ulama adalah status perempuan yang
akandinikahi itu harus single (belum bersuami), serta layak halal) untuk dinikahi,lantaran
tidak ada sebab-sebab yang menjadikan haram untuk dinikahi. Secara umum, sebab
yangmenjadikan haram untuk menikah seseorang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Sebab yang berakibat pada haram untuk dinikahi untuk selamanya.

b. Sebab yang berakibat haram secara temporer (haram dalam jangka waktu, sementara),
yakniselama sebab itu masih ada.

* Sebab yang mengharamkan untuk selamanya

Sebab atau faktor yang berakibat pada haram dinikahi untuk selamanya ada tiga:

• Hubungan kerabat (qarãbah)

Perempuan yang haram untuk dinikahi karena hubungan kerabat ada empat:

Ø Garis nasab orang tua, yakni ibu, nenek dan nasab di atasnya.

Ø Garis nasab anak, yakni anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki atau
perempuan,dan urutan nasab di bawahnya.
Ø Anak dari ayah atau ibu, yaitu semua kerabat perempuan (sanak saudara), baik
saudarakandung, saudara seayah atau seibu.

Ø Anak dari kakek atau nenek, yakni paman dan bibi dari garis ayah atau dari garis ibu.

• Hubungan mertua (mushãharah)

Perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya karena hubungan mertua ada tiga:

Ø Anak perempuan dari istri yang telah di jima’. Artinya ketika istri belum pernah di
jima’ , makaanak perempuan tersebut halal untuk dinikahi.

Ø Orang tua istri dan urutan nasab di atasnya, yakni ibu mertua, nenek dan kerabat di
atasnya,meskipun istri belum di jima’

Ø Setiap perempuan yang pernah dinikahi dan pernah di jima’ oleh ayah.

• Hubungan tunggal susuan

Seorang perempuan yang haram untuk dinikahi sebab tunggal susuan adalah setiap
perempuan yang diharamkan sebab hubungan nasab.

* Sebab yang Mengharamkan Secara Temporer

Sebab atau faktor yang berakibat pada haram menikahi seorang wanita secara temporer,
yaknidalam jangka waktu ketika sebab tersebut belum hilang, ada lima:

a. Mahram, yakni andaikan dua perempuan bersaudara lain jenis, niscaya keduanya
haramuntung saling menikah. Seperti menikah dua perempuan atau lebih mengumpulkan
antara ibudan anak perempuannya dalam satu ikatan pernikahan.

b. Masih menjadi budak. Artinya, tidak boleh seorang perempuan menikahi budaknya,
atauseorang laki-laki menikahi budak perempuanya kecuali telah merdeka.

c. Musyrik,artinya bagi seorang muslim tidak halal menikahi seorang perempuan non-
muslimyang kitab sucinya bukan kitab samãwi sesuai dengan kriteria dalam ilmu fiqih.

d. Perempuan yang telah ditalak tiga (ba’in), artinya seorang suami tidak boleh
melanggengkanikatan pernikahannya dengan seorang istri yang telah ditalak tiga, kecuali
perempuan taditelah dinikahi oleh laki-laki lain.

e. Perempuan yang masih menjadi istri orang lain atau sedang menjalani masa iddah dari
laki-laki lain.

2. Mertua Dalam Nikah yang Fasid (Tidak Sah)

Berikut ada beberapa pendapat dari ulama tentang hukum menikahi mertua dari sebuah
pernikahan yang fasid :
a. Versi Imam Hanafy.

Akibat dari sebuah akad pernikahan yang fasid dan istri belum dijima’ tidak
menyebabkan haram untuk menikahi seorang mertua. Dengan demikian, ketika seorang laki-
laki menikahi seorang perempuan akan tetapi akad nikahnya tidak sah, maka tidak haram
bagi laki-laki tersebut untuk menikahi ibu perempuan yang ia nikahi dengan akad nikah
yangfasid itu.

Hal-hal yang menyebabkan haramnya menikahi ibu mertua adalah:

•Adanya akad nikah yang tidak sah

• Bersetubuh baik dengan akad yang sah atau tidak

• Memegang atau bersentuhan kulit

• Seorang laki-laki melihat alat kelamin seorang perempuan dan sebaliknya.

b. Versi Imam Maliki

Adanya sebuah akad pernikahan bisa menyebabkan keharaman menikahi seorang


ibumertua meskipun akad nikahnya rusak (fasid). Akad pernikahan yang rusak ada dua cara:

Ø Kerusakan akad dengan standart yang disepakati ulama (mujma´ ‘alaih)

Ø Kerusakan akad dengan standart yang tidak disepakati olama.

c. Versi Imam Syafi’i

Salah satu hal yang bisa menyebabkan haram menikahi ibu mertua adalah sebuah
akadnikah yang sah, meskipun belum terjadi jima’. Sedangkan akad nikah yang tidak sah
bisamenetapkan haram menikahi ibu mertua dengan syarat sudah terjadi jima’, meskipun
melalui jalan belakang (lubang dubur)

d. Versi Imam Hanbali

Faktor yang bisa menyebabkan haramnya menikahi ibu mertua adalah terjadinya
akadnikah yang sah ataupun yang tidak sah. Dengan demikian, akad nikah secara mutlak bisa
menyebabkan haramnya menikahi istri ayah (ibu tiri) dan seterusnya ke atas,begitu
jugaharam menikahi istri anak (menantu) dan seterusnya sampai ke bawah, dan ibu mertua
anak (besan perempuan)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Pengertian nikah yaitu melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antaraseorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkanhubungan kelamin antara dua
belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatukebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu rasa kasih sayang.

2. Hukum, rukun dan syarat nikaha.

a. Hukum nikah.

√ Hukum nikah menurut mazhab hanafi

- Wajib-

- Sunnah muakkadah

- Haram

- Makruh takrim

- Mubah

√ Versi Maliki

- Wajib

- Haram
- Sunnah

- Mubah

√ Versi Syafi’i

- Wajib

- Sunnah

- Haram

- Makruh

- Mubbah

√ Versi Hambali

- Wajib

- Sunnah

- Haram

- Mubah

b.Rukun dan syarat nikah

• Versi Imam Hanafi

-Shighat (ijab dan qobul)

- Wali

- Pihak laki-laki

- Pihak perempuan

- Dua saksi

• Versi Imam Maliki

- Shighat (ijab dan qobul)

- Wali

- Pihak laki-laki

- Pihak Perempuan
- Mahar

- Dua saksi

•Versi Imam Syafi’i

-Shighat (ijab dan qobul)

- Wali

- Pihak laki-laki

- Pihak perempuan

- Dua saksi

•Versi Imam Hambali

-Shighat (ijab dan qobul)

-Wali

- Pihak laki-laki dan pihak perempuan tertentu

- Perempuan dan laki-laki saaling ridlo

- Dua saksi

3. Masalah Wanita Yang Tidak Sah Untuk Dinikahi Dan Mertua Dalam Nikah Yang Fasid

a. Masalah wanita yang tidak sah untuk dinikahiSebab yang menjadikan haram untuk
menikah seseorang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

-Sebab yang berakibat pada haram untuk dinikahi untuk selamanya.

- Sebab yang berakibat haram secara temporer (haram dalam jangka waktu, sementara),
yakniselama sebab itu masih ada.

b. Mertua dalam nikah yang fasidAkibat dari sebuah akad pernikahan yang fasid dan istri
belum dijima’ tidak menyebabkan haram untuk menikahi seorang mertua. Dengan demikian,
ketika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan akan tetapi akad nikahnya tidak sah,
maka tidak haram bagi laki-laki tersebut untuk menikahi ibu perempuan yang ia nikahi
dengan akad nikah yangfasid itu.

B. SARAN
Kami sebagai penyusun makalah ini menyarankan agar pembaca makalah ini lebih
mengkajiatau mencari referensi yang relevan apabila dalam penulisan makalah ini kurang
lengkapdalam menjelaskan masalah pernikahan.

C. HARAPAN

Harapan kami sebagai penyusun makalah ini adalah semoga bermanfaat bagi pembaca yang
budiman.

Anda mungkin juga menyukai