Anda di halaman 1dari 130

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DI KECAMATAN ANAK


TUHA KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

TESIS

Diajukan Kepada Program Pascasarjana


Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister
Dalam Ilmu Hukum Keluarga Islam

Oleh:

Diah Ayu Lestari


NPM: 1874130014

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1441 H/2020 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sesuai kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap
mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini yang tepat untuk
mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan
merupakan satu-satunya cara membentuk keluarga, karena perkawinan ini
mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.
Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya saling cinta dan kasih
mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri, yang senantiasa
diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri.
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keluarga yang baik, bahagia lahir dan batin merupakan dambaan setiap
insan. Namun demikian tidaklah mudah mewujudkan keluarga yang bahagia,
langgeng, aman dan tentram sepanjang hayatnya. Perkawinan yang demikian
itu tidaklah mungkin terwujud apabila diantara para pihak yang mendukung
pelaksanaan perkawinan tidak saling menjaga dan berusaha bersama-sama
dalam membina rumah tangga yang kekal dan abadi. Disamping itu
perkawinan juga ditujukan untuk waktu yang lama, dimana pada prinsipnya
perkawinan itu akan dilaksanakan hanya satu kali dalam kehidupan
seseorang.
Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa
Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas
maupun secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan
2

kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh
keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara
sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
dalam Pasal 2 bahwa pernikahan ialah perintah Allah dan melaksanakannya
adalah ibadah.1
Islam juga menjelaskan aturan-aturan perkawinan namun aturan
perkawinan dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan, dimana masyarakat tersebut berbeda, tetapi yang lebih dominan
adalah dipengaruhi oleh adat istiadat dan budaya yang berlaku pada tempat
masyarakat itu tinggal.
Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui, yaitu perkawinan.
Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah dalam surat Ar Rum Ayat 21 yang
berbunyi :

َ َٰ َ ‫َو ِهي َءا َٰيَتِ ِهۦٓ أَى َخلَ َق لَ ُكن ِ ّهي أًَفُ ِس ُكن أ‬
‫زوجا ِلّت َس ُكٌُىاْ ِإلَي َها َو َجعَ َل بَيٌَ ُكن َّه َىدَّة َو َرح َوت ِإ َّى‬
١٢ َ‫فِي َٰذَ ِل َك ََل َٰيَت ِلّقَىم يَتَفَ َّك ُروى‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.2
Allah menciptakan pasangan hidup dari jenismu sendiri yang dimaksud
adalah Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Nabi Adam disebelah kiri
yang paling pendek, dalam artian pasangan hidup harus laki-laki dan
perempuan dari golongan manusia, bukan dari hewan atau golongan jin. Agar
tercipta manfaat atau kemaslahatan yang besar pada diri manusia dan
terciptanya keluarga yang sakinah (perasaan nyaman, damai, hening, dan
tenang kepada yang dicintainya), mawaddah (cinta kasih, persahabatan,
keinginan untuk bersama), rahmah (kasih sayang dan kelembutan).

1
Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga, (Yogyakarta: Pustaka
Baru Perss, 2017), h. 51.
2
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Al-Hikmah, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008), h. 406.
3

Allah SWT juga berfirman dalam Surat An Nahl Ayat 72 sebagai


berikut:
ِ َ‫ٱلط ِيّ َٰب‬
‫ت‬ َ َٰ َ ‫ٱَّللُ َجعَ َل لَ ُكن ِ ّهي أًَفُ ِس ُكن أ َ َٰزَ جا َو َجعَ َل لَ ُكن ِ ّهي أ‬
َّ َ‫زو ِج ُكن بٌَِييَ َو َحفَدَة َو َرزَ قَكُن ِ ّهي‬ َّ ‫َو‬
٢١ َ‫ٱَّلل ُهن يَكفُ ُروى‬ ِ َّ ‫ت‬ ِ ‫أَفَ ِبٱل َٰبَ ِط ِل يُؤ ِهٌُىىَ َو ِب ٌِع َو‬
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?3
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyatakan: “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tersebut
selanjutnya menegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.4
Namun demikian tak jarang terjadi konflik dalam biduk rumah tangga
yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan damai atau musyawarah. Banyak
dari pasangan suami dan istri memilih jalan perceraian untuk menyelesaikan
konflik dalam kehidupan rumah tangganya. Perjanjian perkawinan
merupakan jalan yang dianggap tepat untuk dijadikan acuan jika suatu saat
timbul koflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu
akan datang. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian perkawinan bisa
dijadikan rujukan sehingga masig-masing mengetahui hak dan kewajibannya.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal /
calon suami / istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan

3
Agus Hidayatullah, Aljamil Al-Qur‟an Tajwid Warna Terjemah Perkata Terjemah Inggris,
(Jawa Barat: Cipta Bagus Segara), h. 406 dan 274.
4
Ridhwan Indra, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1994), h. 1.
4

sebagai akibat dari kekayaan mereka.5 Dengan demikian perjanjian kawin


perlu apabila calon suami / istri pada saat akan menikah memang telah
mempunyai harta atau salama pernikahan diharapkan didapatnya harta.
Perjanjian perkawinan di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan
perjanjian mengenai harta antara calon suami / istri mungkin dirasakan
banyak orang merupakan hal yang tidak pantas, bahkan dapat menyinggung
perasaan.
Dalam kompilasi Hukum Islam tentang Perjanjian Perkawinan diatur
dalam Pasal 45-52 yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perkawinan yang hanya mengatur dalam satu pasal yaitu Pasal 29. Dalam
KHI disebutkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak
betentangan dengan hukum Islam. Sedangkan pada Pasal 29 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 jo Undang-undang No. 16 Tahun 2019 bahwa yang
dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Dan
mengenai taklik talak dalam KHI hanya diatur dalam satu pasal yaitu Pasal
46. Pengaturan terbanyak dalam perjanjian perkawinan adalah berkenaan
dengan kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian tersebut dibuat tertulis
dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.6
Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dilakukan oleh calon
suami atau istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan
pernikahan. Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu
harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu,
kecuali ada perjanjian perkawinan. Dalam arti formal perjanjian perkawinan
adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-

5
Komar Andasasmita, Hukum Harta Perkawinan dan Waris, Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Teori dan Praktek), Ikatan Notaris Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Barat,
1987, h. 53.
6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, CV Akademika Pressindo, Jakarta,
Cetakan Keempat, 2010, h. 72.
5

undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak


dipersoalkan isinya.7
Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh kedua calon
mempelai pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-
masing pihak berjanji akan mentaati apa yang disebut dan dituliskan dalam
persetujuan tersebut, yang mana perjanjian tersebut disahkan oleh pegawai
pencatat nikah.8 Jika perjanjian perkawinan itu disahkan bukan oleh pegawai
pencatat nikah, maka perjanjian itu tidak dapat dikatakan perjanjian
perkawinan melainkan perjanjian biasa yang berlaku secara umum.9
Perjanjian tersebut lalu dilekatkan pada akta nikah dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan
dibuat atas persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis,
disahkan oleh pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan
hukum, agama dan kesusilaan.10 Perjanjian perkawinan berisi syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak
pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan.11
Seorang calon suami atau istri yang ingin mengajukan perjanjian
perkawinan bisa bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik talak
(taklik talak yaitu perjanjian yag diucapkan calon mempelai pria setelah akad
nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa
yang akan datang), harta kekayaan atau harta bersama, poligami atau
perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Penting untuk dicatat, ada dua hal mengenai perjanjian ini. Pertama,
perjanjian perkawinan ini bukan sebuah keharusan. Tanpa ada perjanjianpun,
perkawinan itu dapat dilaksanakan. Dengan kata lain perjanjian hanya sebuah

7
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intemasa, Jakarta, Cet. XXVII, 1995, h.37.
8
Abd Rahma Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Bogor, 2003, h. 119
9
H A Damanhuri, Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju,
Bandung, 2007, h.11
10
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Centre
Publishing, Jakarta,2002, h.30
11
Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kharisma Putra Utama,
2009), h. 145
6

lembaga yang di persiapkan apabila ada pihak-pihak yang merasa perlu untuk
membuat perjanjian untuk menghindarkan terjadinya perselisihan di belakang
hari, misalnya mengenai pemisahan antara harta pribadi dan harta bersama.
Kedua, berkenaan dengan isi perjanjian tersebut pada dasarnya dibebaskan
tetapi tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan syariat.12
Mengenai hal ini telah dijelaskan oleh Sayid Sabiq yang mengatakan:
“Setiap syarat yang tidak sejalan dengan hukum yang ada dalam kitab Allah
adalah batal meskipun 100 syarat”. Lebih lanjut ia mengatakan: “Orang-orang
Islam itu terikat oleh syarat yang dibuat mereka, kecuali syarat yang
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”. Sebagai contoh
dilarang membuat perjanjian yang isinya tidak boleh mengadakan hubungan
suami istri, tidak ada hubungan waris mewarisi antara suami dan istri, serta
keduanya harus pindah agama jika akad nikah telah dilangsungkan dan
sebagainya. Jika hal ini terjadi tidak saja perjanjian itu tidak sah bahkan
perkawinannya tidak sah.13
Tapi pada kenyataannya terdapat suatu perjanjian perkawinan yang
memang harus dilakukan dalam perkawinan sebagai bentuk adat kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat tertentu. Sebagaimana yang dilakukan oleh
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung
Tengah. Dimana mereka melakukan perjanjian perkawinan dalam bentuk
perjanjian untuk hidup bersama agar tidak bercerai. Kemudian perjanjian
tersebut dilakukan sebelum akad perkawinan.14
Masyarakat adat Lampung tidak mengharuskan menikah dengan sesama
suku Lampung atau di luar suku Lampung. Walaupun sebenarnya, para tokoh
adat atau penyimbang agar menjaga keabsahan keturunan dianjurkan untuk
menikah dengan sesama suku Lampung. Anjuran ini sifatnya sekedar

12
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 99-
100.
13
H Aminur Nurudin Dan Azhari Akmal,Hukum Perdata Islam di Indonesia.Prenada Media,
Jakarta, 2004, h. 138-139.
14
Hasil wawancara pra riset dengan bapak Ahmad Sari selaku tokoh adat Lampung di
Kecamatan Anak TuhaKabupaten Lampung Tengah pada Minggu 12 Mei 2019, Pukul. 10.00
WIB.
7

himbauan, tidak ada paksaan dari tokoh adat. Oleh karena itu, masyarakat
adat Lampung ditinjau dari segi sistem perkawinannya mengikuti sistem
eleutberogami (sistem perkawinan dimana seseorang diperbolehkan kawin
dengan orang dari dalam dan luar sukunya).
Masyarakat di Kecamatan Anak Tuha yang bersuku Lampung
memahami bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan yang sakral. Ikatan ini
ialah ikatan yang sangat kuat dan harus dijaga sampai mati. Masyarakat suku
Lampung dalam melangsungkan sebuah perkawinan memerlukan waktu yang
lama dan dana yang tidak sedikit. Waktu yang lama ini dimaksudkan agar
dalam membina rumah tangga benar-benar mendapatkan kesiapan matang
baik fisik maupun mental.
Sebuah keluarga yang dibangun dengan ikatan perkawinan adat, bukan
hanya melibatkan suami atau istri saja apabila terjadi permasalahan yang
sudah tidak dapat lagi diselesaikan oleh pasangan suami istri. Akan tetapi,
kedua keluarga mempelai dan penyimbangnya juga ikut bertanggung jawab
apabila terjadi suatu masalah. Hal ini karena masalah suami istri akan
mengakibatkan terhadap kehormatan keluarga dan penyimbangnya.
Masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha sejak dahulu
telah meyakini bahwa perceraian dalam keluarga adalah aib. Oleh karena itu,
perceraian tidak diperbolehkan karena untuk menjaga kehormatan diri,
keluarga dan penyimbang adat.
Tradisi tidak bercerai dalam masyarakat suku Lampung hanya berlaku
pada perkawinan yang terjadi antar suku Lampung, jadi keluarga pengantin
pria dan wanita adalah suku asli Lampung atau yang seserang yang bukan
orang Lampung, kemudian terlebih dahulu menjalani upacara adat untuk
mendapatkan pengakuan keadatan sebagai bagian dari suku Lampung. Jika
terjadi perkawinan antar suku di luar suku Lampung, contoh Bujang Suku
Lampung menikah dengan Suku Jawa/Sunda/Batak, maka adat tidak bercerai
sesudah menikah ini tidak berlaku.
Masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha telah menjalankan
adat tidak boleh bercerai secara turun temurun. Faktor yang menyebabkan
8

masyarakat adat Lampung taat terhadap aturan ini adalah menjaga harga
dirinya dihadapan masyarakat. Selain menjaga harga dirinya juga menjaga
harga diri keluarga besar dan juga penyimbangnya. Keluarga besar ini tidak
hanya meliputi keluarga yang masih hidup akan tetapi sampai naik kepada
nenek-moyang asal-usul keturunan suku tersebut. Sehingga akan berimbas
kepada keturunan, aib dari tidak bisa menjaga martabat akan secara turun-
temurun diwariskan sebagai akibat dari orang tua yang tidak dapat menjaga
harga diri (pi‟il pesenggiri).
Menjaga harga diri atau martabat di masyarakat adat Lampung dikenal
dengan istilah pi‟il pesenggiri. Menjaga pi‟il pesenggiri sudah menjadi
budaya dalam masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha. Baik
dilapisan atas maupun dilapisan paling bawah, para tokoh maupun
masyarakat adat biasa.
Masyarakat kelas bawah lebih mengenalnya dengan pi‟il saja. Pi‟il
secara bahasa berarti harga diri. Pi‟il merupakan nilai yang melekat pada
setiap individu dari masyarakat suku Lampung asli. Dalam konteks
perempuan yang sudah menikah, maka ia akan berharga dan diakui statusnya
di masyarakat apabila ia mempertahankan pi‟il (harga diri) sebagai seorang
ibu rumah tangga.
Apabila seorang istri menginginkan bercerai maka akan rusak pi‟il yang
dimiliki. Apabila rumah tangganya rusak, maka akan menimbulkan opini
buruk di masyarakat bahwa ia bukanlah ibu yang baik yang tidak bisa
menjaga rumah tangga, ia juga tidak bisa menjaga kehormatan nenek-moyang
dan juga keturunannya nanti.15
Sebaliknya, sebagai seorang suami apabila menceraikan istrinya maka
hancurlah pi‟il dari suami itu, suami akan dicap oleh masyarakat adat
Lampung sebagai suami yang tidak bisa mengatur istri. Oleh karena itu, sang
suami tidak akan pernah mengucapkan kata cerai kepada istri.

15
Hasil wawancara pra riset dengan bapak Muhammad Husni pada Senin 23 September 2019,
Pukul. 13.00 WIB.
9

Para istri bertengkar dengan suami tidak akan sampai meminta bercerai,
karena perceraian sudah merupakan hal yang tabu. Lebih baik berpisah dan
tidak mendapatkan nafkah dari pada harus memisahkan ikatan perkawinan.
Apabila suami berkeinginan mempunyai istri lebih, maka istri pertama tidak
akan meminta cerai dan bersedia dipoligami dari pada harus dicerai.
Walaupun setelah dipoligami tidak dinafkahi, hal tersebut lebih baik dari pada
harus melepaskan ikatan perkawinan. Karena perceraian tidak dikenal dalam
masyarakat suku Lampung sejak zaman nenek-moyang dan menjaga pi‟il
pesenggiri sebagai pedoman hidup.
Kondisi tersebut di atas mengakibatkan ketentuan khusus bagi suami
istri, dalam aturan adat seorang janda atau duda hanya mengenal cerai mati
sebagai bentuk kesetiaan terhadap suami atau istrinya tersebut. Cerai mati
merupakan cerai yang diakibatkan dengan matinya salah satu pasangan suami
istri. Apabila salah satu pasangan suami istri tersebut mati maka habislah
ikatan perkawinan mereka.
Masyarakat adat Lampung telah memahami maka apabila melanggar
ketentuan adat terutama larangan bercerai akan ada akibat hukum yaitu
rusaknya pi‟il pesenggiri maka akibatnya sudah pasti dimata masyarakat akan
hancur. Sanksi sosial ini lebih berat ketimbang sanksi adat berupa
penyembelihan kerbau atau sanksi adat lainnya.16
Untuk mencegah terjadinya perceraian maka masyarakat adat Lampung
di Kecamatan Anak Tuha melakukan perjanjian perkawinan. Dengan
demikian bagi masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha perjanjian
perkawinan merupakan tradisi sekaligus upaya untuk mencegah terjadinya
perceraian karena masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
dianggap tidak mudah cerai dan mengucap kata cerai (Talak). Dalam tradisi
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha perceraian merupakan
sebuah aib yang harus dihindari. Perceraian dapat menimbulkan akibat

16
Hasil wawancara pra riset dengan Ibu Dowiyah pada Senin 23 September 2019, Pukul.
15.00 WIB
10

negatif yang merugikan para pihak yang terlibat di dalamnya, seperti


rusaknya martabat seseorang (rusaknya pi‟il pesenggiri).
Selain di Kecamatan Anak Tuha, perjanjian perkawinan juga dilakukan
di Kecamatan Komering Kabupaten Lampung Tengah. Pelaksanaan
Perjanjian Perkawinan di Kecamatan Komering sama dengan Pelaksanaan
Perjanjian Perkawinan di Kecamatan Anak Tuha. Hal itu disebabkan karena
kedua kecamatan tersebut masih dalam satu suku yaitu Lampung Pepadun.
Kelebihan / kemaslahatan dari adanya perjanjian perkawinan
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha adalah untuk menjaga
keutuhan rumah tangga pasangan suami dan istri sampai maut memisahkan.
Disamping itu adanya perjanjian perkawinan ini dimaksudkan untuk menjaga
kelestarian adat budaya masyarakat Lampung di Kecamatan Anak Tuha yang
sudah mulai terkikis oleh perkembangan zaman yang semakin modern.
Adapun kekurangan atau mudharat dari adanya perjanjian perkawinan
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha yaitu apabila perjanjian
tersebut dilanggar dan terjadi perceraian maka suami harus membayar
(menurunkan) uang adat sebesar Rp. 2.400.000 dan memotong sapi 1 (Satu)
ekor. Sebagai contoh pelanggaran atas Perjanjian Perkawinan tersebut yaitu
apabila suami atau istri telah melakukan perselingkuhan kemudian bercerai.
Dicatatkan dalam adat pasangan yang melakukan perceraian dianggap sudah
meninggal, karena dalam pandangan masyarakat adat Lampung di Kecamatan
Anak Tuha terjadinya perceraian atau perpisahan disebabkan oleh kematian
atau cerai mati. Pelaksanaan Perjanjian Perkawinan di Kecamatan Anak Tuha
dilakukan di rumah mempelai laki laki sesaat sebelum akad nikah dan tidak
dicatatkan dalam akta Notaris hanya diucapkan dihadapan tokoh-tokoh adat
setempat.
Berdasarkan latar belakang tersebut untuk itu diperlukan analisis secara
mendalam mengenai latar belakang terjadinya pelaksanaan perjajian
perkawinan masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha dan
diperlukan analisis yang mendalam berdasarkan tinjauan hukum Islam
tentang kemaslahatan pelaksanaan perjanjian perkawinan masyarakat adat
11

lampung di Kecamatan Anak Tuha tersebut. Hukum adat ini sudah


dilaksanakan oleh masyarakat secara turun temurun, padahal sebagian besar
masyarakatnya sudah beragama Islam. Yang menjadi pertanyaan yaitu apakah
perjanjian ini sesuai dengan syariat Islam atau tidak karena di dalam hukum
Islam tidak mengenal dengan perjanjian perkawinan, tetapi kenyataannya di
masyarakat yang beragama Islam masih memakai tradisi adat tersebut berupa
perjanjian perkawinan. Oleh karena itu, permasalahan tersebut mendorong
penulis untuk mencermati, meneliti, mengkaji lebih jauh dalam bentuk tesis.
Adapun judul yang penulis akan teliti yaitu “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Perjanjian Perkawinan Pada Masyarakat Adat Lampung di Kecamatan Anak
Tuha Kabupaten Lampung Tengah”.

B. Identifikasi Dan Pembatasan Masalah


Dari paparan latar belakang tersebut penulis mengidentifikasi inti
permasalahan yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan kemungkinan
kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian
dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak-banyaknya
kemudian yang dapat diduga sebagai masalah.17 Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi inti
permasalahan yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut:
a. Terjadinya Perjanjian perkawinan tidak dicatatkan dalam akta
Notaris dan hanya diucapkan dihadapan tokoh adat
b. Terjadinya Pembayaran uang adat apabila pasangan suami isteri
bercerai yang berarti perjanjian perkawinan telah mempersulit
perceraian

17
Rahmat Arijaya, “Inilah Materi Pelatihan PERMA Nomor 3 Tahun 2017”, dalam
https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/inilah-materi-
pelatihan-perma-nomor-3-tahun-2017,akses internet pada 16 Mei 2019, jam 20:35 WIB.
12

2. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih efektif dan terarah, maka penulis akan
berusaha untuk membatasi lingkup kajian penelitian ini dan difokuskan
pada hal-hal berikut :
Tinjauan Hukum Islam terhadap Perjanjian Perkawinan untuk mencegah
terjadinya perceraian di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung
Tengah.

C. Rumusan Masalah
Didalam penulisan tesis ini diperlukan adanya penelitian yang seksama
dan teliti, agar di dalam penulisannya dapat menuju arah yang hendak dicapai,
sehingga hal ini diperlukan adanya perumusan masalah yang menjadi pokok
pembahasan di dalam penulisan tesis ini, guna menghindari adanya
kesimpangsiuran dan ketidak konsistenan di dalam penulisan. Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam usulan
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perjanjian perkawinan pada masyarakat adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah ?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadapa Perjanjian Perkawinan pada
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung
Tengah?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis perjanjian perkawinan masyarakat
adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis teori maqāṡid al-syarī‟ah dalam
Hukum Islam terhadap Perjanjian Perkawinan masyarakat adat Lampung
di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah.
13

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai banyak kegunaan dan manfaat, baik untuk
kalangan akademisi maupun non akademisi. Kegunaan hasil penelitian yang
dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu ditinjau dari segi
teoritis dan segi praktis.
1. Secara Ilmiah (Teoritis)
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah wawasan serta memperkuat ilmu pembaca
pada umumnya, dan khususnya bagi mahasiswa/i yang berkaitan dengan
materi Tinjauan Hukum Islam terhadap Perjanjian Perkawinan untuk
mencegah terjadinya perceraian
2. Secara Terapan (Praktis)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
para masayarakat serta tokoh adat pepadun di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah serta peneliti lain. Supaya diketahui adanya
kejelasan mengenai materi yang dibahas peneliti yaitu Tinjauan Hukum
Islam terhadap Perjanjian Perkawinan untuk mencegah terjadinya
perceraian.

F. Kajian Pustaka
Tinjauan pustaka ini dapat digunakan untuk mengetahui aspek
orisinalitas dan kejujuran dari tesis ini. Selain itu, hal tersebut sebagai
antisipasi adanya unsur plagiat dalam tesis ini maupun diduplikat oleh pihak
lain yang tidak bertanggungjawab. Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut,
perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang penelitian yang berkaitan dengan
tesis ini.
Perjanjian Perkawinan merupakan topik yang telah banyak dibahas
baik dalam betuk buku-buku, penelitian, artikel, jurnal, makalah dan
sebagainya. Pembahasan Perjanjian Perkawinan sangatlah dinamis serta
menambah wawasan intelektual bagi yang memerlukannya. Sampai saat ini
tema ini senantiasa menarik dan terus tumbuh di dalam pengkajiannya.
14

Adapun dalam kajian pustaka di dalam bentuk karya ilmiah dengan tema
perjanjian perkawinan ditemukan pada penelitian setingkat tesis ialah sebagai
berikut:
1. Erdhyan Paramita, Program Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang
Tidak Disahkan Oleh Pegawai Pencatat Pekawinan, 2017, Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa tentang keabsahan perjanjian
perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan
menganalisa akibat hukum bagi suami istri dan pihak ketiga tentang
perjanjian perkawinan yang tidak disahkan.18
2. Mohamad Nizar Sabri, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Asas
Publisitas dalam Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan oleh Notaris,
2018, Penelitian dari tesis ini menunjukkan bahwa, putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait perjanjian perkawinan,
bertentangan dengan tujuan asas publisitas.19
3. I Putu Agus Permata Giri, Program Pascasarjana Universitas Airlangga,
Perjanjian Pemisahan Harta Bersama Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
103 Tahun 2015 Ditinjau Dari Prinsip-Prinsip Perjanjian Perkawinan,
2017, Isu hukum yang dibahas dalam tesis ini yaitu ratio legis perjanjian
pemisahan harta bersama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun
2015 dan akibat hukum perjanjian pemisahan harta bersama dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 yang tidak dibuat dengan
akta Notaris.20

18
Erdhyan Paramita, Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Oleh
Pegawai Pencatat Pekawinan, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2017),
https://eprints.uns.ac.id/32669/ akses internet pada 17 Mei 2019, jam 03:24 WIB.
19
Mohamad Nizar Sabri, Asas Publisitas dalam Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan oleh
Notaris, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2018), http://repository.unair.ac.id/69912/akses internet
pada 17 Mei 2019, jam 03:45 WIB.
20
I Putu Agus Permata Giri, Perjanjian Pemisahan Harta Bersama Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 Ditinjau Dari Prinsip-Prinsip Perjanjian Perkawinan,
(Surabaya: Universitas Airlangga, 2017), http://repository.unair.ac.id/62526/akses internet pada 17
Mei 2019, jam 04:20 WIB.
15

4. Ida Sanjaya, Program Pascasarjana Narotama Surabaya, Kedudukan


Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Tercatat di Catatan Sipil Apabila
Terjadi Perceraian (Studi Keputusan Mahkamah Agung Nomor :
3405K/PDT/2012, 2018, penelitian ini untuk mengetahui rasio dibuatnya
perjanjian perkawinan antara suami istri serta untuk mengetahui akibat
hukum terhadap perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan dicatatan
sipil apabila terjadi perceraian.21
5. Efa Rodiah Nur, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Berkeadilan Dalam Penyelesaian
Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung,
2016, penelitian ini menunjukkan bahwa proses penegakan hukum pidana
atas tindak pidana ringan dengan melalui sistem peradilan pidana masih
dirasa mengusik keadilam masyarakat dan dengan adanya gugatan
terhadap sistem peradilan pidana dengan media Rembuk Pekon berbasis
Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung maka perlu diintegrasikan. Adat
istiadat Lampung memberikan ruang dalam harmonisasi hukum nasional
dengan kearifan lokal yang berbasis hukum adat Lampung yang bertujuan
untuk memberikan keadilan.22
6. Dwiyana Achmad Hartanto, jurnal international, penerbit jurnal dinamika
hukum, yang berjudul Local wisdom of sedulu sikep (samin) society‟s
marriage in kudus: persepektive of law number 1 year 1974 on Marriage.
Jurnal ini memfokuskan pada peneliatan pernikahan persepupuan yang
ada di adat kudus.23

21
Ida Sanjaya, Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Tercatat di Catatan Sipil
Apabila Terjadi Perceraian (Studi Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 3405K/PDT/2012,
(Surabaya: Program Pascasarjana Narotama, 2018), http://repository.narotama.ac.id/493/akses
internet pada 17 Mei 2019, jam 04:49 WIB.
22
Efa Rodiah Nur, Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Berkeadilan Dalam Penyelesaian
Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung, (Semarang: Universitas
Diponegoro, 2016), http://eprints.undip.ac.id/51622/ akses internet pada 18 Februari 2020, jam
11:15 WIB.
23
Dwiyana Achmad Hartanto, „‟Local Wisdom ofSsedulu Sikep(samin) Society‟s Marriage in
Kudus: Persepektive of Law Number 1 Year 1974 on Marriage”, (Purwokerto: jurnal Dinamika
Hukum, 2017), vol 17, No 2.
16

Berbagai penelitian telah dikemukakan di atas, yang mengkaji dan


membahas tentang perjanjian perkawinan. Pembahasan terkait perjanjian
perkawinan yang telah disebutkan di atas tidak serta merta menutup
kemungkinan untuk diadakannya penelitian baru atau lanjut terkait
perjanjian perkawinan. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini yang
membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah kajian utama
penelitian ini mengenai Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perjanjian
Perkawinan Masyarakat Adat Lampung Pepadun yang menitikberatkan
pada perjanjian perkawinan untuk mencegah perceraian. Dengan fokus
penelitian tersebut hingga saat ini penulis belum menemukan penelitian
yang serupa.

G. Kajian Teori dan Kerangka Pikir


1. Kajian Teori
Berkaitan dengan penelitian ini ada beberapa teori yang digunakan
oleh penulis yaitu teori etnografi, untuk menganalisa perjanjian
perkawinan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah. Selanjutnya teori maqāṡid al-syarī‟ah
untuk menganalisa apakah perjanjian perkawinan masyarakat adat
Lampung sesungguhnya bertentangan dengan syariat Islam.
a. Teori Etnografi
Etnografi didevirasi dari kata ethnos dan graphein; ethnos
bermakna etnis, suku, atau bangsa, sedangkan graphein bermakna
tulisan atau uraian. Dengan demikian, secara etimologis, etnografi
berarti tulisan tentang satu (atau beberapa) etnik, suku, atau
bangsa.24
Etnografi adalah metode yang lazim digunakan dalam
penelitian antropologi. Penelitian etnografi ini mengisyaratkan
dilakukannya penelitian lapangan dan peneliti bertindak sebagai

24
Sulasman dan Setia Gumilar, Teori-Teori Kebudayaan dan Teori Hingga Aplikasi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.99.
17

orang yang sedang mempelajari suatu kebudayaan. Dalam


melakukan penelitian etnografi, peneliti harus menguasai secara baik
konsep dan teknik yang akan dilakukannya. Di samping itu, untuk
memperoleh data yang objektif, peneliti harus masuk dalam
komunitas yang ditelitinya. 25
Etnografi merupakan pekerjaan mendiskripsikan suatu
kebudayaan, kebudayaan ialah suatu konsep yang membangkitkan
minat, secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan
diwariskan dari generasi ke generasi melalui usaha dan kelompok,
budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk
kegiatan dan perilaku, gaya berkomunikasi, objek materi, budaya
berkesinambungan dan hadir dimana-mana, budaya juga berkenaan
dengan bentuk fisik serta sosial yang mempengaruhi lingkungan. 26
Kebudayaan, sebagai pengetahuan yang dipelajari orang
sebagai anggota dari suatu kelompok, tidak dapat diamati secara
langsung. Orang-orang dimana mempelajari kebudayaan mereka
dengan mengamati orang lain, mendengarkan mereka, dan kemudian
membuat kesimpulan. Peneliti etnografi melakukan hal yang sama,
yaitu dengan memahami hal yang dilihat dan didengarkan untuk
menyimpulkan hal yang diketahui orang. Perbuatan ini meliputi
pemikiran atas kenyataan/hal yang kita pahami atau atas hal yang
kita asumsikan. Anak-anak memperoleh kebudayaan mereka dari
orang dewasa dan membuat kesimpulan mengenai berbagai aturan
budaya untuk bertingkah laku, dengan kemahiran bahasa, proses
belajar itu akan semakin cepat.27
Dalam etnografi mempunyai informan, seorang informan
adalah seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulang
kata-kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa atau dialegtikanya
25
Ibid., h. 99.
26
Ahmad Sahibuddin, Komunikasi Antar Budaya (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2011), h.19.
27
James P.Spradley, Metode Etnografi (Jakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 10
18

sebagai model imitasi dan sumber informasi. Informan merupakan


pembicara asli (native speaker), oleh etnografer informan diminta
untuk berbicara dalam bahasa dialegnya sendiri. Dalam penelitian ini
sebagai informan adalah tokoh adat di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah. 28
Penelitian hukum dapat pula dilakukan dengan metode
etnografi, hal tepenting titik tolaknya tetap mengakaji tentang
hukum.29 Penelitian etnografi dapat dilakukan terhadap suatu budaya
bersifat etnik atau mempelajari subkultur dari suatu masyarakat
modern. Dalam bidang hukum penelitian enografi yang mempelajari
suatu budaya tertentu dapat dilakukan untuk meneliti hukum adat
masyarakat tertentu, dalam penelitian ini sebagai objek penelitian
adalah perjanjian perkawinan pada msyarakat adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah.
Mengenai teori etnografi tidak terlepas pada konteks
kemasyarakatan yang menjadi objek penelitian ini. Lahirnya
etnografi juga terjadi atas pemahaman dan analisa atas interaksi
sosial dalam masyarakat. Posisi etnografi dalam penelitian ini
menjadi penting, di mana etnografi menggambarkan suatu budaya
dengan mengeksplorasi kepercayaan pada masyarakat adat Lampung
di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah mengenai
perjanjian perkawinan sebagai kebudayaan atas masyarakat tersebut.
Sehingga penelitian ini dikategorikan dalam penggunaan jenis
etnografi realis, dikarenakan mengemukaan suatu kondisi objektif
suatu kelompok yaitu masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak
Tuha Kabupaten Lampung Tengah.
Etnografi akan hadir sebagai upaya melestarikan perjanjian
perkawinan sebagai kebudayaan untuk dinarasikan dalam teks-teks

28
Op Cit., h. 39-40.
29
Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, “Praktek Penegakan Hukum:Arena Penelitian
Sosiolegal yang Kaya” dalam Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Yayasan Obor dan JHMP-
FHUI, 2009), h. 198.
19

hasil penelitian dari proses penelitian pada masyarakat adat


Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah,
sehingga dapat dibaca dan diketahui banyak orang. Karena pada
dasarnya kebudayaan sebagai prestasi sosial yang perlu
dipublikasikan kepada masyarakat lain sebagai bentuk edukasi
kebudayaan.
b. Teori Maqāṡid al-Syarī‟ah
Adapun teori maqāṡid al-syarī‟ah yang digunakan dalam
penelitian ini ialah teori maqāṡid asy-syarī‟ah yang dikemukakan
oleh Imam Al-Syatibi.30 Imam Al-Syatibi menyatakan bahwa Allah
membuat syarī‟at (hukum-hukum) demi mencapai maṡālih
(kemanfaatan, kebaikan) manusia, baik yang bersifat segera maupun
untuk masa yang akan datang. Doktrin Imam Al-Syatibi tentang
maqāṡid al-syarī‟ah ialah upaya untuk menegakkan maṡlahah
sebagai unsur pokok tujuan hukum. Tujuan pokok Sang Pembuat
Hukum adalah maṡlahah manusia. Kewajiban-kewajiban dalam
syari‟at menyangkut perlindungan maqāṡid al-syarī‟ah yang pada
akhirnya bertujuan melindungi maṡālih manusia.31
Maqāṡid al-syarī‟ah dari segi bahasa maqāṡid al-syarī‟ah
terdiri dari dua kata yaitu “maqāṡid ” dan “al-syarī‟ah” yang

30
Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama
lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Tempat dan
tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi seringdihubungkan dengan
nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab), yang asumsinya al-
Syatibi lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana. Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8
sya‟ban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Granada. Mulai belajar fikih pada tahun 754
H/ 1353 M, al-Syatibi berguru kepada Abu Sa‟adah Ibn Lubb yang kepada orang inilah hampir
seluruh pendidikan ke-fikih-annya diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia
dengan tingkat ikhtiyâr, atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa. Sejarah pendidikan al-Syatibi
banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada dan para diplomat yang mengunjungi
Granada. Di antara sarjana tersebut yang perlu disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari yang
datang ke Granada pada tahun 757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai
diplomat. Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus Razisme dalam
ushul fikih Maliki. Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam tasawuf. LihatMoh.
Toriquddin, Teori Maqāṡid Al-Syarī‟ah Perspektif Al-Syatibi, (Malang: Fakultas Syariah UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014) de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1,
Juni 2014, h. 34
31
Muhammad Khalid Mas‟ud, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pustaka, 1996), h. 239-241.
20

berhubungan satu sama lain dalam bentuk mudhāf dan mudhāfun


ilāih. Kata maqāṡid adalah jamak dari kata maqāsad yang berarti
adalah maksud dan tujuan. Kata al-syarī‟ah yang berarti adalah
hukum Allah baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah, maupun
ditetapkan Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan
Allah atau dihasilkan oleh Mujtahid berdasarkan apa yang ditetapkan
Allah atau dijelaskan oleh Nabi. Karena yang dihubungkan kepada
kata maqāṡid itu adalah kata “maksud”, maka kata al-syarī‟ah
berarti pembuat hukum atau syar‟i, bukan hukum itu sendiri. Dengan
demikian, kata maqāṡid al-syarī‟ah berarti apa yang dimaksud oleh
Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju oleh Allah dalam
menetapkan hukum atau apa yang ingin dicapai oleh Allah dalam
menetapkan suatu hukum.32
Dari pengertian maqāṡid dan al-syarī‟ah di atas, dapat
dipahami bahwa maqāṡid al-syarī‟ah yaitu tujuan atau maksud
ditetapkannya hukum-hukum Allah. Sedangkan pencetusnya sendiri
Imam Asy-Syatibi beliau tidak mengemukakan definisi secara
spesifik tentang maqāṡid al-syarī‟ah disebabkan karena masyarakat
umum sudah memahaminya baik langsung maupun tidak langsung.33
Sedangkan menurut ulama lain yaitu menurut Ibnu „Asyur:
maqāṡid al-syarī‟ah adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada
hukum-hukum yang disyari‟atkan, baik secara keseluruhan atau
sebagian, menurut beliau maqasid terbagi menjadi dua yaitu;
maqasid umum dan maqāṡid khusus. Maqāṡid umum dapat dilihat
dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum,
sedangkan maqāṡid khusus cara yang dilakukan oleh syarī‟at untuk
merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.34

32
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), h. 231.
33
Muhammad Thahir bin „Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Dar al-Nafais, 2001),
h. 194.
34
Ibid., h. 195.
21

Imam Al-Syatibi membagi maqāṡid menjadi dua: tujuan Allah


(qaṡdu al-syāri‟) dan tujuan mukallaf (qaṡdu al-mukallaf). Adapun
tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan
hamba di dunia dan akhirat. Al-Syatibi menjelaskan lebih lanjut
bahwa beban hukum sesungguhnya untuk menjaga maqāṡid (tujuan)
hukum dalam diri makhluk.35
Hakikat dari maqāṡid adalah kemaslahatan, maqāṡid al-
syarī‟ah dibagi menjadi tiga tingkatan pembagian ini berkaitan
dengan usaha untuk menjaga kelima unsur pokok kehidupan dalam
usaha mencapai tujuan persyariatan hukum yang utama yaitu untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia. Ketiga tingkatan tersebut yaitu:
1) Maqāṡid ḍaruriyyāt (Tujuan Primer)
Daruriyyāt (secara bahasa berarti kebutuhan yang
mendesak), yaitu dimaksudkan untuk memelihara lima unsur
pokok ensensial, merupakan tujuan yang harus mutlak ada,
sehingga jika tujuan ini nihil (tidak ada), maka akan berakibat
fatal karena terjadinya kehancuran dan kekacauan secara
menyeluruh. Bagi Wael B. Hallaq, ḍaruriyyāt diwujudkan
dalam dua pengertian: pada satu sisi, kebutuhan itu harus
diwujudkan dan diperjuangakan. Sementara disisi lain, segala
hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut
harus disingkirkan.36 Menurut Imam Abu Ishaq asy-Syatibi, ada
lima perkara (hal) yang harus mendapat prioritas perlindungan.
Sehingga ḍaruriyyāt dalam syari‟at dikenal dengan lima hal
yang sangat penting diantaranya adalah:
a. Agama (hifz ād-din).
b. Jiwa (hifz ān-nāfs).

35
Ahmad al-Raisuni, Nadariyāt al- Maqāṣid „Inda al-Imām al-Syātibi, (Beirut:Muassasah al-
Jami‟ah, 1992), h. 117
36
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni,
terj E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.
248.
22

c. Akal (hifz āl-āql).


d. Keturunan (hifz ān-nāsl).
e. Harta (hifz āl-māl).
Adapun penjelasannya adalah:
a) Memelihara agama (hifz ād-din)
Menjaga agama adalah merupakan persatuan akidah, ibadah,
hukum dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh
Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
dan hubungan antara sesama manusia. Islam lantaran
mewujudkan dan mendirikan agama telah mensyariatkan
kewajiban dan lima hukum fundamentral yang merupakan
sendi Islam dan juga akidah-akidah lain dan pokok-pokok
ibadah yang disyariatkan dengan tujuan menegakkan agama
dan meneguhkannya dalam hati dan mengikuti hukum, yang
manusia tidak baik lantaran hukum-hukum itu.
b) Memelihara akal (hifz āl-āql)
Menjaga agar terpeliharanya akal yang diciptakan Allah
khusus bagi manusia, dengan akal manusia dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk maka
pertimbangan akan pemeliharaan akal sangatlah diperlukan.
bagi manusia diharuskan berbuat segala sesuatu untuk
menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya
dengan cara menuntut ilmu. Dalam hal ini manusia dituntut
untuk menimba ilmu tanpa batas usia dan tidak
37
memperhitungkan jarak atau tempat.
c) Memelihara Harta (hifz āl-māl)
Untuk memelihara hidup, manusia memerlukan sesuatu yang
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum,
dan pakaian untuk itu diperlukan harta dan manusia harus
berupaya mendapatkannya secara halal dan baik. Pencarian

37
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Kencana, 2011), 224.
23

harta yang halal dan baik adalah perbuatan yang diwajibkan


oleh Allah sehingga pemeliharaan harta adalah salah satu
bentuk kebutuhan manusia yang tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan.
d) Memelihara keturunan (hifz ān-nāsl)
Memelihara keturunan termasuk bagian dari kebutuhan
primer. Keturunan inilah yang akan melanjutkan generasi
manusia di muka bumi. Oleh karena itu Islam mengatur
masalah perkawinan dengan berbagi persyaratan di
dalamnya. Islam melarang berzina karena dianggap
mengotori kemuliaan manusia. Dari sinilah bisa dipahami
mengapa perkawinan itu diperintahkan sedangkan berzina itu
dilarang dalam Islam.
e) Menjaga jiwa (hifz ān-nāfs)
Memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan
memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan,
berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan ataupun
tindakan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan atau
harga diri manusia dengan jalan mnecegah perbuatan qadhaf,
mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa.38
2) Hājiyāt
Al-Syatibi mendefisinikan sebagai kebutuhan sekunder.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak
sampai terancam namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat
Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum
rukhsāh (kemudahan) yang memberi kelapangan dalam
kehidupan manusia. Sebenarnya rukhsāh pun tidak akan
menghilangkan salah satu dari ḍaruriyyāt itu, tetapi manusia
akan berada dalam kesulitan. Kemudian ini, berlaku pada

38
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Berada Publishing, 2012), h. 172-173.
24

musafir pembolehan tidak berpuasa, hukuman diyāt (denda)


bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja,
penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang
mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari
kelaparan.
3) Tahsīniyāt
Definisinya adalah yang tidak mengancam eksistensi salah
satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan
kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al-Syatibi seperti
hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat
menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias
dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan
akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah
muamalah, dan uqubah. Allah telah mensyariatkan hal yang
berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias
ketika hendak masjid, anjuran memperbanyak ibadah Sunnah,
larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/muslah. 39
Tujuan Allah (qaṡdu al-syāri‟) terbagi menjadi empat bagian;
1) qaṡdu al-syāri‟ fi wad‟i al-syarī‟ah (tujuan Allah dalam
menetapkan hukum) yaitu untuk kemashlahatan hamba di dunia dan
akhirat, 2) qaṡdu al-syāri‟ fi wad‟i al-syarī‟ah lil-ifhām (tujuan
Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk difahami),40 3) qaṡdu
al-syāri‟ fi wad‟i al-syarī‟ah lil-taklīf bi muqtadāha (tujuan Allah
dalam menetapkan hukum adalah untuk ditanggung dengan segala
konsekuensinya) bahwa maksud Syāri‟ dalam menentukan syarī‟at
adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya, 4)
qaṡdu al-syāri‟ fid-dukhuli al-mukallaf tahta ahkām al- syarī‟ah

39
Ibid., h. 174.
40
Ibid., h. 120
25

(tujuan Allah ketika memasukkan mukallaf pada hukum syarī‟at)


dalam kata lain mengapa mukallaf melaksanakan syarī‟at?.41
Dalam hal qaṡdu al-syāri‟ fid-dukhuli al-mukallaf tahta ahkām
al- syarī‟ah Abdullah bin Daraz meringkas menjadi dua jawaban
pertama adalah untuk meletakkan aturan yang bisa mengantarkan
manusia pada kebahagian dunia dan akhirat bagi orang yang
menjalankannya. Dan yang kedua seseorang dituntut untuk masuk
pada aturan dan mentaatinya bukan mentaati hawa nafsunya. Pada
akhir jawabannya al-Syatibi menambahkan bahwa tujuan Syāri‟dari
peletakan syariat adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari tuntutan
dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba
yang ikhtiyāran di samping itu juga sebagai hamba Allah yang
idtirāran.42
Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka
ia batal dan tidak ada manfaatnya. Karena setiap amal harus ada
tendensi dan motifasi yang melatar belakanginya. Jika tendensi
tersebut tidak berdasarkan hukum syara‟ maka ia adalah berdasarkan
hawa nafsu.43
Sedangkan yang berhubungan dengan tujuan mukallaf (qaṡdu
al-mukallaf) terdapat beberapa masalah. Masalah pertama adalah
membahas urgensi niat, tujuan ibadah terealisasi dalam taṡarufāt
(beberapa perbuatan), beberapa hal tentang ibadah dan adat. Masalah
kedua dan ketiga adalah tujuan mukallaf dalam beramal harus sesuai
dengan tujuan Syāri‟ dalam menetapkan syari‟at. Masalah yang
keempat adalah kesesuaian dan pertentangan antara mukallaf dan
Syāri‟ serta hukum dari segala kondisi tersebut. Masalah kelima

41
Imam Syatibi, al-Muwāfaqāt fī Usul al-Syarīah, Juz I, (Beirut: Dar al-Kutûb al-Ilmiyyah,
tt.), h. 128
42
Ibid
43
Ahmad al-Raisuni, Nadariyāt al- Maqāṣid…,Op.Cit., h.127
26

adalah ada tidaknya pertentangan antara maṡlahāt dan mafsadāt


pribadi atau orang lain dengan menjaga ada tidaknya suatu tujuan.44
Berdasarkan teori maqāṡid al-syarī‟ah yang sudah dijelaskan
di atas, jika dikaitkan dengan perjanjian perkawinan menunjukkan
bahwa tujuan dan manfaat utama perjanjian perkawinan yaitu untuk
kemaslahatan umat manusia, khususnya bagi pasangan suami istri.
Menurut Abu Ishaq al-Shatibi dalam Mohammad Daud Ali,
kemaslahatan sebagaimana yang dimaksud dapat diwujudkan
melalui lima unsur pokok yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan
harta. Kelima unsur tersebut di dalam kepustakaan disebut al-
maqāṡid al-khāmsah atau maqāṡid al-syarī‟ah, apabila
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia artinya tujuan-tujuan hukum
Islam.45 Inti dari maqāṡid al-syarī‟ah yaitu untuk mewujudkan dan
memelihara maslahat umat manusia, dengan kata lain tujuan hukum
Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat
kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan
mencegah atau menolak mudharat.46
2. Kerangka pikir
Kerangka pikir disusun untuk menjadi bahan acuan dan
mengarahkan peneliti dalam melakukan analisis secara komprehensif dan
terukur.47 Menganalisis mengenai pokok masalah yang menjadi fokus
kajian dalam sebuah penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan
teori.Teori pada hakikatnya adalah seperangkat konstruksi (konsep),
batasan, dan proposisi yang menjadikan suatu pandangan sistematis,
tentang fenomena dengan merinci hubungan antara variabel, dengan

44
Moh. Toriquddin, Teori Maqāṡid Syarī‟ah..., Op.Cit., h. 38-39
45
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata HUkum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.61.
46
Ibid.
47
IAIN Raden Intan Lampung, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Makalah, Proposal, Tesis
dan Disertasi, diterbitkan oleh Program Pascasarjana (PPs), Institut Agama Islam Negeri Raden
Intan Lampung, 2012, h. 22
27

tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu.48 Teori juga berarti


serangkaian asumsi, konsep, definisi, proposisi, untuk menerangkan
suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah teruji kebenarannya.
Kerangka pikir merupakan serangkaian uraian tentang hubungan antar
variable yang akan diteliti. Variable dalam penelitian judul ini meliputi
tinjauan Hukum Islam tentang perjanjian perkawinan pada masyarakat
adat Lampung.
Hukum adat ialah hukum atau kebiasan yang sudah dilaksanakan
oleh masyarakat secara turun temurun padahal sebagian besar bahkan
hampir seluruh masyarakatnya sudah beragama Islam namun masih
melaksanakan adat yang sudah menjadi tradisi dari zaman nenek
moyang. Pelaksanaan perjanjian perkawinan pada masyarakat adat
Lampung adalah sebagai larangan melakukan perceraian. Di dalam Islam
tidak dilarang untuk bercerai, namun kenyataannya terdapat masyarakat
adat Lampung yang beragama Islam masih melaksanakan perjanjian
perkawinan untuk tidak bercerai sebagai tradisi adat setempat.
Berdasarkan pembahasan di atas, kerangka pikir penelitian ini sebagai
berikut:

48
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 14
28

Gambar 1: Bagan Kerangka Pikir

1. Konsep Perkawinan
2. Pelaksanaan
Perkawian
Perjanjian 3. Isi Perjanjian
Teori Perkawinan Perkawinan
Etnografi Masyarakat Adat 4. Dampak Perjanjian
Lampung Perkawinan terhadap
Kehidupan Rumah
Tangga

Teori Maqāṡid Syarī‟ah Unsur-unsur Perjanjian


Perkawinan

Kesimpulan

H. Pendekatan Penelitian
Pendekatan adalah persoalan yang berhubungan dengan cara seseorang
meninjau dan bagaimana seseorang menghampiri persoalan tersebut sesuai
dengan disiplin ilmunya. Adapun pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan antropologi hukum dan pendekatan ushul
fiqh untuk melihat hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan
melihat kebudayaan dalam tinjauan hukum Islam.
Pertama, antropologi hukum adalah berasal dari kata “logos” yang
berarti ilmu pengetahuan dan “antropos” yang berarti manusia yang
bersangkutan hukum. Yang dimaksud dengan manusia adalah manusia yang
hidup bermasyarakat, terjadi pergaulan antara yang satu dengan yang lainnya,
baik masyarakat yang masih primitif atau sederhana budayanya maupun yang
29

sudah modern (maju) budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya


hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang berhubungan atau
berkaitan dengan masalah hukum.49
Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan antropologi
hukum dikarenakan teori yang digunakan adalah Etnografi dalam hukum
yang merupakan suatu upaya menguraikan kebudayaan sebagai hukum adat
yang berlaku pada masyarakat adat di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah dalam melihat suatu tata cara dalam upacara perkawinan
dan kekerabatan yang terjalin dalam masyarakat, khususnya dalam praktik
perjanjian perkawinan yang merupakan obyek penelitian ini.
Perlu ditegaskan bahwa penelitian ini akan melihat perjanjian
perkawinan pada masayarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah sebagai suatu aspek dari kebudayaan yaitu yang
digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku
manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar
penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan
dapat diperbaiki. Dengan demikian perjanjian perkawinan adat dalam
masyarakat yang menjadi suatu sistem control sosial itu akan mempunyai
kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarakat.
Sebagaimana dikatakan Hoebel: “Hukum itu ada pada masyarakat yang
sederhana dengan hukumnya yang sederhana atau primitive law, hukum itu
ada pada masyarakat purba dengan hukumnya yang purba atau archaic law,
dan hukum itu ada pada masyarakat yang telah maju dan hukumnya yang
modern.”50
Kedua, ushul fiqha dalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa
kepada usaha merumuskan hukum syara‟ dari dalilnya yang terperinci, atau
dalam artian sederhananya adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.51 Banyak definisi yang

49
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (PT.Citra Aditya Bakti, Bandar
Lampung, 2004), h. 4.
50
Ibid, h. 8.
51
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.35
30

dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh. Sebagian ahli ushul fiqh menekankan
pada fungsi ushul fiqh, sedangkan yang lainnya menekankan pada
hakikatnya. Namun pada prinsipnya mereka sependapat, bahwa ushul fiqh
ilmu yang objek kajiannya berupa dalil hukum syara‟ secara ijmal (global)
dengan semua permasalahannya. 52
Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan ushul fiqh
dikarenakan teori yang digunakan adalah maqāṡid al-syarī‟ah yang
merupakan upaya untuk melihat perjanjian perkawinan pada masyarakat adat
Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah dari
pandangan hukum Islam. Untuk mengungkapkan apakah suatu tata cara
dalam upacara perkawinan yang sudah menjadi hukum adat masyarakat
setempat membawa kemaslahatan atau tidak dalam memelihara salah satu
unsur pokok yang harus dilindungi yaitu memelihara agama; jiwa; akal;
keturunan dan harta, khususnya dalam praktik perjanjian perkawinan yang
merupakan obyek penelitian ini.
Peneliti mengunakan pendekatan ushul fiqh sebagai suatu landasan
kajian tentang perjanjian perkawinan pada masyarakat adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah untuk mengemukakan
sifat atau kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang dianggap
tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), dengan tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat
kepada mereka yaitu dengan melakukan perjanjian perkawinan sebagai
perjanjian yang mengikat secara adat. Dimana dalam hukum adat setempat
beranggapan bahwa tradisi ini telah eksis diamalkan secara turun temurun
sehingga masyarakat harus mengikutinya, kemudian bagi mereka yang tidak
mau menjalankan, maka akan mendapatkan sanksi berupa membayar denda.

52
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2006), h.8-9
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pegertian dan Konsep Perkawinan Dalam Hukum Islam


Menurut istilah hukum Islam kata perkawinan sama dengan kata
“nikah”dan kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya
(haqiqat) yakni “dham” yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul.
Nikah mempunyai arti kiasan yakni “wathaa” yang berarti “setubuh” atau
“akad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari-
hari nikah dalam arti kiasan lebih banyak dipakai dalam arti sebenarnya jarang
sekali dipakai saat ini.1
Perkawinan adalah “pernikahan yang di dalamnya bermakna ikatan yang
kuat. Melaksanakan nikah hukumnya dengan perbuatan ibadah. Berbeda dengan
hukum-hukum sekuler pada umumnya, melaksanakan hukum tidak dianggap
memilki hubungan apapun dengan Tuhan. Namun dalam Islam, pernikahan
dianggap ibadah. Pelakunya memperoleh pahala dan yang merusaknya untuk
kepentingan nafsu dianggap melakukan dosa (bila tujuan kawin untuk menyakiti
pasangannya).2
Adapun tentang makna pernikahan itu secara definitif, masing-masing ulama
fiqh berbeda dalam mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan pernikahan sebagi suatu akad yang berguna
untuk memiliki mut‟ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat
menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan
kesenangan atau kepuasan.
2. Ulama Syafi‟iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti miliki wati. Artinya
1
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari‟ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2010), h.272-273.
2
Sukris Sarmadi, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2007), h.18.
32

dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan


dari pasangannya.
3. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang
megandung arti mut‟ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan
adanya harga.
4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan
menggunakan lafal inkah untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-
laki dapat memperoleh kepuasan dari dari seseorag perempuan dan sebaliknya. 3
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri menerangkan, bahwa pada
kenyataannya nikah itu tidak hanya sekedar akad. Akan tetapi, lebih dari itu,
setelah pelaksanaan akad si pengantin harus merasakan nikmatnya akad tersebut.
Abu Hasan bin Faris mengatakan: Nikah tidak disebutkan di dalam al-
Qur‟an, melainkan dengan pengertian kawin. Seperti dalam firman Allah SWT
Surat An-Nisa Ayat 6:
َْٰ ًَ َ ‫َٔٱبتَهُٕاْْٱنيَ َٰت‬
َ َٰ َ ‫ىْ َحت َّ َٰىْ ِإذَاْبَهَغُْٕاْْٱن ُِّكَب َحْفَإٌِْ َءاََستُىْ ِ ّيُ ُٓىْ ُزشداْْفَٱدفَعُْٕاْْ ِإنَي ِٓىْأ‬
ْ ْْْٙٔ‫يٕنَ ُٓى‬
ْْ
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.4.
Yang dimaksud oleh ayat tersebutadalah ilmu, demikian menurut Ibnu Hajar.
Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah pada hakikatnya nikah itu berarti hubungan
badan dan akad yang dilakukan hanyalah metafora.5
Konsep perkawinan adalah sunatullah yang berlaku bagi semua umat
manusia guna melangsungkan hidupnya dan untuk memperoleh keturunan, maka
agama Islam sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam
bermacam-macam ungkapan yang terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis. Hal ini
sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk

3
Slamet Abidin, dan Aminudin, Fiqh Munakahat 1 , h. 10-11.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Al-Hikmah, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008), h. 77.
5
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h.376.
33

mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan


bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
dan rohmah.
Kata mitsaqan ghalidzanini ditarik dari firman Allah SWT dalam Surat An-
Nisa Ayat 21 yaitu:
ْ‫َّةْٔ َزح ًَتً ْإِ ٌَّ ْفِي‬ َ َٓ ‫شٔجبْ ِنّت َس ُكُُٕاْ ْإِنَي‬
َ ‫بْٔ َجعَ َم ْبَيَُ ُكىْ َّي َٕد‬ َ َٰ َ ‫َٔ ِيٍْ َءا َٰيَتِ ِّْۦٓ ْأٌَْ َخهَقَ ْنَ ُكىْ ِ ّيٍْأََفُ ِس ُكىْأ‬
ْْٕٔ ٌَٔ‫َٰذَ ِن َك ََْل َٰيَتْ ِنّقَٕوْيَتَفَ َّك ُس‬
Artinya: Bagaimana kamu akan mengmbilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.6
Maksud perkataan nikah sebagaimana yang terdapat pada ayat tersebut yang
berarti bukan merupakan perjanjian yang biasa melainkan suatu perjanjian yang
kuat. Perjanjian dalam perkawinan adalah bukan merupakan sembarang perjanjian,
hal ini berarti bahwa perjanjian dalam perkawinan tidak sama dengan perjanjian
pada umumnya misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, tukar menukar dan jual
beli, di mana masing-masing pihak bebas mengadakan perjanjian untuk
menentukan isi dari perjanjian tersebut.
Dengan demikian perjanjian dalam perkawinan merupakan yang isinya
adalah suatu persetujuan dimana isi dari persetujuan tersebut harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam perundang-undangan perkawinan yang
berlaku, oleh karena itu ketentuan tentang isi persetujuan itu sudah ada terlebih
dahulu, sehingga seorang laki-laki dan seorang perempuan bersepakat untuk
melakukan suatu perkawinan satu sama lain. Hal ini berarti bahwa mereka telah
benar-benar bersepakat untuk taat kepada ketentuan yang berlaku mengenai hak
dan kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu

6
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Al-Hikmah, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008), h. 81.
34

berlangsung serta mengenai kedudukan perkawinan dan kedudukan anak


keturunannya.

B. Unsur-Unsur Sahnya Suatu Perkawinan Menurut Hukum Islam


Menikah merupakan salah satu asas pokok hidup yang utama dalam
pergaulan masyarakat. Pernikahan itu bukan hanya suatu jalan yang mulia untuk
mengatur kehidupan manusia dalam berumah tangga dan menjaga keturunan,
tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu perkenalan
antara satu kaum dengan kaum yang lain.
Pertalian pernikahan adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
kehidupan manusia, bukan saja antara pasangan suami istri dan keturunannya,
tetapi antara kedua keluarga yang bersangkutan. Dari pergaulan antara suami istri
yang saling kasih mengasihi akan berpindah pula kebaikan kepada keluarga yang
bersangkutan dan dapat memelihara diri dari hawa nafsunya.
Diantara prosedur dan aturan yang dibuat bagi masyarakat Islam di
Indonesia adalah perkawinan harus dicatat resmi dan dipublikasikan, sebagaimana
terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinanyang menyatakan
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu” dan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Perkawinan Islam tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan agama, di mana rukun dan syarat sahnya perkawinan
merupakan suatu unsur yang harus lengkap. Perkawinan yang menyimpang dari
ketentuan agama dilarang dilakukan, bila rukun-rukun dan atau syarat-syratnya
tidak terpenuhi maka nikah tidak boleh dilakukan. Misalnya menikah tanpa adanya
saksi itu dilarang, karena rukunnya kurang satu. Perkawinan dengan muhrim
dilarang, karena syarat menikah adalah bukan dengan muhrim. Jika syarat-syarat
35

terpenuhi, perkawinannya sah dan menimbulkan adanya segala kewajiban dan


hak-hak perkawinan. Syarat-syaratnya ada dua yaitu:
1. Perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi
perempuan tersebut bukanlah merupakan orang yang haram dikawini, baik
karena haram untuk sementara atau selama-lamanya.
2. Aqad nikahnya dihadiri para saksi, yang meliputi:
a. Hukum mempersaksikan (menghadirkan para saksi).
b. Syarat-syarat menjadi saksi.
c. Perempuan menjadi saksi.
Menurut Jumhur Ulama, perkawinan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak
sah, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain perkawinannya
tetap tidak sah. Jika para saksi hadir dan diminta oleh pihak yang mengadakan
akad nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada orang ramai
maka perkawinannya sah.
Para ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul adalah rukun, karena dengan
keduanya salah satu dari kedua mempelai mengikat diri dari yang lain, sedangkan
keridhaan adalah syarat. Rukun pernikahan menurut ulama Hanfiah hanya ijab dan
qabul saja. Sedangkan menurut para ulama ada empat, yaitu sighat (ijab dan
qabul), istri , suami, dan wali. Suami dan wali adalah dua orang yang
mengucapkan akad. Hal yang dijadikan adalah al-istimtaa‟ (bersenang-senang)
yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan.
Sedangkan mahar bukan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar
hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah
dengan cara diwakilkan. Saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan
demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang beredar
dikalangan sebagian ahli fikih.7

7
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, h. 45
36

Menurut jumhur ulama rukun perkaiwnan itu ada lima, dan masing-masing
rukun itu mempunyai syarat tertentu. Syarat dari rukun tersebut adalah:
1. Calon suami, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan
e. Tidak terdapat halangan perkaiwnan
2. Calon istri, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali nikah, syarta-syartanya:
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya
4. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
37

f. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimal empat orang yaitu, calon
mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai perempuan, dan dua orang
saksi.8
Dalam hukum Islam perjanjian perkawinan sah apabila dibuat sesudah atau
setelah perkawinan tersebut dilangsungkan, taklik talak termasuk dalam perjanjian
perkawinan yang dilaksanakan / dilakukan sesudah perkawinan dilangsungkan.
Oleh karena taklik talak hanya terdapat dalam perkawinan Islam, dan dilakukan
setelah upacara akad nikah, yang artinya perjanjian tiap-tiap pihak terikat kepada
perjanjian taklik talak tersebut atau khusus ucapan suami kepada istri.9

C. Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Islam


Dasar berlakunya hukum Islam khusus mengenai Hukum Perkawinan, Talak
dan Rujuk ialah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 jo. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1974, sekarang
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019
dan Kompilasi Hukum Islam (Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 jo. SK
Menteri Agama No. 154 Tahun 1991).
Dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad
nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan
kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Rumusan definisi perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam Kompilasi
Hukum Islam lebih bersifat universal-konsepsional yang berarti tidak mencampur-
adukkan antara kebijakan yang sifatnya temporal dengan konsep dasar perjanjian
perkawinan yang sifatnya permanen dan universal. Oleh karena itu, definisi yang

8
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
h.10.
9
Totok Suyanto, Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Dan Hukum Islam, (Tesis Program Sarjana Universitas Diponegoro, 2006),
http://eprints.undip.ac.id/17998/, (akses internet tanggal 19 Februari 2020, jam 14:46 WIB.
38

dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam sudah dapat dianggap memenuhi


syarat suatu definisi.10
Pengertian perjanjian perkawinan yang dikemukakan dalam berbagai doktrin
fikih pada umumya menempatkan taklik talak searah dengan perjanjian, dalam
pengertian bahwa taklik talak yang diucapkan oleh suami tidak perlu memperoleh
persetujuan dari istri. Pengertian taklik talak seperti ini tidak sejalan dengan asas
perkawinan di Indonesia yang menempatkan suami istri pada derajat yang sama.11
Adapunterkait dalam perjanjian terdapat dalam al-Qur‟an Surat an-Nisa ayat
129 yaitu:
ٌِْ‫يم ْفَتَرَ ُزَْٔبْكَٱن ًُعَهَّقَ ِْت ْ َٔإ‬ َّْ ‫ل ْت ًَِيهُْٕاْ ْ ُك‬
ِْ ًَ ‫م ْٱن‬ َ ُِّْ‫َٔنٍَْت َست َِطيعُْٕاْ ْأٌَ ْت َع ِدنُْٕاْ ْبَيٍَْ ْٱن‬
ْ َ َ‫سب ِْء ْ َٔنَْٕ َح َسصتُى ْف‬
ْٕٔ١ْ‫غفُٕزاْ َّز ِحيًب‬
َ ْ ٌَ‫ٱَّللَْ َكب‬
َّ ٌَّْْ ِ‫تُص ِه ُحْٕاْْ َٔتَتَّقُْٕاْْفَإ‬
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-
istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.12
Hal tersebut juga dijelaskan dalam hadis Abu Hurairah, menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
ْ ْ‫ٔط ِٓ ْى‬
ِ ‫ش ُس‬ َ ْ ًٌَُٕ ‫ْان ًُ ْس ِه‬
ُ ْ‫عهَى‬

Artinya: Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka


sepakati.13

10
Ahmad al-Damanhury, tt, Idhab al-Mubham min Ma‟ani al-Sullam fi al-Mantiq, (Bandung:
al-Ma‟rifat), h.8-9. Bandingkan dengan Muhammad Ibn Ali al-Sabban, tt, Hasyiyah „ala Syarh al-
Sullam li al Mallawi, (Singapura: al-Haramain), h.80-88.
11
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), Cet. VII, Ed. VI, H.125-127.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Al-Hikmah, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008), h. 99.
13
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan dia (Abu Daud) meriwayatkannya pula dari Abu Hurairah,
Nomor 3594, Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan sanad hadis ini hasan.
39

Perjanjian perkawinan di atas pada pasal tersebut adalah perjanjian


perkawinan tidak bisa dilaksanakan apabila tidak ada kesepakatan dari kedua belah
pihak, ketika salah satu pihak tidak ingin melaksanakan perjanjian, maka tidak
dapat terlaksana jika hanya satu pihak. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313
Undang-undang Perdata yang menyebutkan bahwa “Perjanjian ialah perbuatan
dengan nama satu orang bersifat mengikat dengan satu orang atau lebih.14
Persyaratan pada perkawinan memiliki perbedaan dan tidak memiliki
kesamaan dengan syarat perkawinan dalam penjelasan di kitab fikih karena di
kitab fikih menyebutkan tentang syarat sah perkawinan bahwa ikatan antara
perjanjian dan syarat perkawinan ialah perjanjian menjelaskan tentang syarat yang
harus dipenuhi.15
Perjanjian perkawinan jika dilihat dari ketentuan hukum Islam, maka isinya
tidak boleh melanggar ketentuan syariat Islam. Sesuai penjelasan hadis berikut:
ْ َ‫ع ُْ َٓبْقَبن‬
ْ‫ت‬ َّ ْ ‫ي‬
َ ْ ُ‫َّللا‬ َْ ‫ض‬ َ َ ‫شت‬
ِ ‫ْز‬ َ ْ ٍْ ‫ع‬
َ ِ‫عبئ‬ َ ْ ٍْ ‫ع‬
َ َْ ‫ع ًْ َسة‬ َ ْ‫ع ٍْ ْيَ ْحيَى‬ ُ َ‫َّْللاِ ْ َحدَّثََُبْسُفْي‬
َ ْ ٌ‫ب‬ َ ْ ٍُْ ‫ي ْب‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ْ‫َحدَّثََُب‬
ُّ ‫ع ِه‬
ْ‫ٌٕ ْانْ َٕ ََل ُء ْ ِني ْفَهَ ًَّب ْ َجب َء‬ َ ‫ت ْأ َ ْعطَيْتُ ْأ َ ْْهَ ِك‬
ُ ُ‫ْٔيَك‬ ْ َ‫يسة ُ ْتَسْأَنُ َٓب ْفِي ْ ِكت َببَتِ َٓب ْفَقَبن‬
ِ ْ‫ت ْ ِإ ٌْ ْ ِشئ‬ َ ‫أَتَتْ َٓب ْبَ ِس‬
ْ‫سهَّ َى ْابْت َب ِعي َٓبْفَأ َ ْعتِ ِقي َٓب‬ َ ِّ ْ‫عهَي‬
َ ْٔ َّ َّ‫صه‬
َ ُْْ‫ىَّْللا‬ ُّ ِ‫سهَّ َىْذَ َّك ْستُُّْذ َ ِن َكْقَب َل ْانَُّب‬
َ ْ‫ي‬ َ ِّ ْ‫عهَي‬
َ ْٔ َّ َّ‫صه‬
َ ُْ‫ىَّْللا‬ ِ َّ ‫سٕ ُل‬
َ ْ ‫َّْللا‬ ُ ‫َز‬
َْ ‫عهَىْانْ ًُِْبَ ِس ْفَقَب‬
ْ‫ل ْ َيبْبَب ُل ْأَقْ َٕ ٍاو‬ َ ْ ‫سهَّ َى‬ َ ِّ ْ‫عهَي‬
َ ْٔ َّ َّ‫صه‬
َ ُْ‫ىَّْللا‬ َّ ‫سٕ ُل‬
َ ْ ِ‫َّْللا‬ ُ ‫ْز‬ َ َ‫فَإََِّ ًَبْانْ َٕ ََل ُء ْ ِن ًَ ٍْ ْأ َ ْعتَقَ ْث ُ َّى ْق‬
َ ‫بو‬
َ َّ‫ْس ْن‬
ٌْْ ِ‫ُْٔإ‬ َ ‫َّْللاِ ْفَهَي‬
َّ ‫ة‬ ِ ‫ْس ْفِيْ ِكت َب‬ ً ‫ط ْش َْس‬
َ ‫طبْنَي‬ َ ‫َّْللاِ ْ َي ٍْ ْا ْشتْ َ َس‬
َّ ‫ة‬ َ ‫شت َِسطٌَُٕ ْشُ ُسٔطًبْنَ ْي‬
ْ ‫س‬
ِ ‫ت ْفِيْ ِكت َب‬ ْ َ‫ي‬
ٔٙ
ٍْ‫ْيبئَتَْش َْسط‬
ِ ‫ط‬َ ‫شت ََس‬
ْ ‫ا‬
Artinya: Ali bin „Abdullah telah bercerita kepada kami, Sufyan telah
bercerita kepada kami dari Yahya dari „Amrah dari „Aisyah radliallahu „anha
berkata bahwa Barirah mendatanginya untuk meminta tolong kepadanya tentang
penebusan dirinya kepada tuannya untuk kebebasannya. Maka „aisyah radliallahu
„anha berkata: “Kalau kamu mau aku akan berikan (uang pembebasanmu)

14
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1315
15
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 145.
16
Abi Abdullah Muhammad Ibn Ismail Al Bukhari, Matan Masykul Al Bukhari Jus 2, (Beirut:
Daar Al- Fiqr, 2006), h.147
40

kepada tuanmu, namun perwalianmu menjadi milikku”. Ketika Rasulullah SAW


datang, „Aisyah radliallahu „anha mnceritakannya kepada beliau. Maka Nabi
SAW berkata: “Belilah Bariah lalu bebaskanlah, karena perwalian menjadi milik
orang yang membebaskannya”. Kemudian Rasulullah berdiri di atas mimbar lalu
bersabda: “Apa jadinya suatu kaum, jika mereka membuat persyaratan yang tidak
terdapat pada kitab Allah. Siapa yang membuat persyaratan yang tidak terdapat
pada kitab Allah, maka tidak ada (berlaku) baginya sekalipun dia membuat
seratus persyaratan”.17
Hadis tersebut menjelaskan tentang tidak berlakunya persyaratan yang tidak
terdapat dalam kitab Allah, karena jika seseorang membuat persyaratan meskipun
berjumlah banyak akan tetapi tidak terdapat dalam al-Qur‟an maka persyaratan itu
tidak berlaku baginya, hal tersebut sesuai dengan Undang-undang perkawinan
Pasal 29 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 jo Undang-undang No. 16 Tahun 2019
yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat dilegalkan jika
melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Perkawinan menurut Islam adalah ikatan yang memiliki kekuatan yang telah
diatur dalam surah An-Nisa ayat 21, kalimat Perjanjian ditemukan di al-Qur‟an
yaitu terkait masalah perjanjian antara suami istri, dan yang lainnya terdapat
masalah yang menggambarkan perjanjian dengan Allah SWT, serta
menggambarkan tentang perjanjian Allah SWT dengan para Nabi-Nya terdapat di
surah Al-Ahzab ayat 7 dan di surah An-Nisa ayat 154 menjelaskan tentang
perjanjian dengan umat yang melaksanakan pesan-pesan agama.18
Adapun al-Qur‟an Surat Al-Ahzab ayat 7 yaitu:

ْ‫ٍ ْ َيسيَ َْى ْ َٔأَخَرََب ْ ِيُ ُٓى‬


ِْ ‫سى ْٱب‬
َ ‫ى ْ َٔ ِعي‬
َْٰ ‫س‬
َ ٕ‫ِيى ْ َٔ ُي‬
َْ ْ‫بس‬ َْ ‫َٔإِذْأَخَرََب ْ ِيٍَْ ْٱنَُّبِ ِيٍَّْْ ْ ِيي َٰث َقَ ُٓىْ َٔ ِي‬
َ َٰ ِ‫ُك ْ َٔ ِيٍ َُّْٕح ْ َٔإ‬
ْ٧ْ‫غ ِهيظب‬ َ ْ‫ِ ّيي َٰث َقًب‬

17
Diriwayatkan oleh Bukhari, Nomor 2530.
18
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur‟an, (Jakarta: 2010), h.68.
41

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi


dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan
Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.19
Adapun al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 154 yaitu:
ْ‫ت ْ َٔأَخَرََب‬ َّ ‫َل ْت َعدُْٔاْْفِي ْٱن‬
ِْ ‫سب‬ ْ َ ْ ‫س َّجدا ْ َٔقُهَُب ْنَ ُٓى‬ َْ َ‫ٕز ْبِ ًِي َٰث َ ِق ِٓىْ َٔقُهَُب ْنَ ُٓ ُْى ْٱد ُخهُْٕاْٱنب‬
ُ ْ ‫بة‬ ُّ ْ ‫َٔ َزفَعَُب ْفَٕقَ ُٓ ُْى‬
َ ‫ٱنط‬
ْ ْْٔ٘ٗ‫غ ِهيظب‬ َ ْ‫ِيُ ُٓىْ ِ ّيي َٰث َقًب‬
Artinya: Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina
untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami
perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan
Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan
mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang
kokoh.20
Menurut Kholil Rahman terdapat macam-macam sifat perjanjian, yaitu:
a. Syarat-syarat yang menguntungkan isteri, seperti syarat untuk tidak dimadu.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini ada yang mengatakan sah dan
ada yang mengatakan tidak sah.
b. Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud
akad itu sendiri. Seperti tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada
hak waris diantara suami isteri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua,
dan lain-lain. Syarat-syarat semacam itu tidak sah dan tidak mengikat.
c. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan syara‟, seperti jika akad
nikah sudah dilangsungkan, agar masing-masing pindah agama, harus makan
daging babi dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad
nikahnya juga tidak sah.21

19
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Al-Hikmah, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008), h. 419.
20
Ibid.,h. 106
21
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h.114.
42

Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri,
tidak dipenuhi oleh salah satu pihak maka pihak lain berhak untuk mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal
pelanggaran dilakukan suami misalnya istri berhak meminta pembatalan nikah
atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Demikian juga sebaliknya jika
istri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan
perkaranya ke Pengadilan Agama. 22

D. Bentuk Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Islam


Sayid Sabiq menguraikan dalam Fikih Sunnah bahwa perjanjian perkawinan
yang disebut sebagai taklik talak ada dua macam bentuk:
a. Taklik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian melakukan
pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.
Dan taklik talak seperti ini disebut ta‟liq qasami.
b. Taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syarat
ta‟liq. Ta‟liq seperti ini disebut dengan ta‟liq syarti.23
Dari kedua bentuk taklik talak di atas dapat dibedakan dengan kata-kata
yang diucapkan oleh suami. Pada ta‟liq qasami, suami bersumpah untuk dirinya
sendiri. Sedangkan pada taklik talak suami mengajukan syarat dengan maksud jika
syarat tersebut ada maka jatuhlah talak suami pada istrinya.
Ulama berbeda pendapat tentang jauh atau tidaknya talak dengan dua
formulasi di atas. Jumhur Ulama berpendapat bahwa dua bentuk taklik yang
dikaitkan dengan talak atau janji, apabila dita‟likkan terjadi maka talaknya jatuh. 24
Sedangkan Ibn Hamz dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa taklik yang
di dalamnya terkandung maksud sumpah (qasam) tidak berakibat jatuhnya talak,

22
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 162.
23
Sayid Sabiq, tt, Fiqh Sunnah, Juz II, (Mesir: Syirkah Dar al-Kiblah al Saqafiyah al-
Islamiyah), h.40. Lihat juga A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-
Husna, 1994), h. 41-42.
24
Zakiyuddin Sya‟ban, al-Ahkam al-Syar‟iyah li af-Ahwal al-Syakhsiyah, (Mesir: al-Nahdah al-
Arabiyah, 1967), h. 442.
43

akan tetapi wajib membayar kifarat sumpah dan taklik yang di dalamnya
terkandung syarat yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak ketika terjadinya
sesuatu yang disyaratkan, maka talak tersebut jatuh.
Selanjutnya Muhammad Yusuf Musa mengemukakan pendapatnya bahwa
taklik talak yang diucapkan suami dapat membawa konsekuensi jatuhnya talak
suami kepada istri apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Bahwa yang dita‟likkan itu adalah sesuatu yang belum ada ketika taklik
diucapkan tetapi dimungkinkan terjadi pada masa yang akan datang.
b. Pada saat taklik talak diucapkan obyek taklik (istri) sudah menjadi istri sah bagi
pengucap taklik.
c. Pada saat taklik talak diucapkan suami istri berada dalam majelis tersebut.
Terlepas dari perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang bentuk taklik
yang jatuhnya talak, tetapi menurut A. Jamil Latief bahwa perbedaan yang
mendasar antara taklik yang ada dalam kitab fikih dengan yang ada di Indonesia
istri lah yang menjadi subyek talak.25 Selain itu kitab fikih juga tidak dikenal
adanya pembakuan sighat ta‟lik, meskipun taklik tersebut dikhususkan
pemakainnya kepada taklik talak. Berbeda halnya dengan taklik talak yang dikenal
di Indonesia seperti diatur dalam PMAKPPN dalam Pasal 11, yaitu:
a. Ayat (1) calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Perjanjian sebagaimana tersebut pada Ayat (1) dibuat rangkap empat di atas
kertas bermaterai menurut peraturan yang berlaku. Lembar pertama untuk
suami, lembar kedua untuk istri,lembar ketiga untuk PPN dan lembar keempat
untuk Pengadilan.
c. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah jika perjanjian itu dibacakan
dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.

25
A. Jamil Latief, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),
h.62-63.
44

d. Sighat taklik talak ditetapkan oleh Menteri Agama.


e. Tentang ada atau tidaknya perjanjian sebagaimana dimaksud Ayat (1) dan Ayat
(3) dicatat di dalam daftar pemeriksaan nikah.
Setelah diadakan reformulasi terhadap sighat taklik talak dengan cara
memasukkan uang iwadh sebagai rangkaian sighat taklik, maka muncul pula
wacana untuk mengadakan unifikasi bentuk taklik. Tetapi diskursus ini tidak
berkembang karena terdapat kesulitan mengadakan uniformitas sighat taklik talak
yang berawal dari adanya pemimpin yang bersifat nasional dikala itu. Bahkan
disebagian daerah Jawa Timur, merasa tabu untuk mengucapkan sighat taklik talak
sesaat setelah akad nikah karena suasana yang nikmat dan sakral seperti itu tidak
etis rasanya untuk membicarakan perceraian. Lebih dari itu, Sulaiman Rasyid
mengecam bahwa adanya perjanjian taklik talak yang berlaku di Indonesia,
dikarenakan dalam pelaksanannya sekarang ini banyak sekali yang tidak sesuai
dengan syari‟at Islam. Oleh karena itu dia mengemukakan harapannya agar taklik
talak itu dihapuskan saja.26

E. Perjanjian Perkawinan Dalam Islam yang Berlaku di Indonesia


Perjanjian perkawinan yaitu persetujuan yang dibuat oleh kedua calon
mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-
masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan ini, yang
disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
Perjanjian Perkawinan (mithaq az-zauziyyah) dalam at-tanjil al-hakim
terdapat dalam firman Allah SWT surah an-Nisa ayat 20-21
ْ‫ل ْت َأ ُخرُْٔاْ ْ ِيُ ُّْ ْشَيًْب ْأَت َأ ُخرََُُّْٔۥ‬
ْ َ َ‫طبزا ْف‬ َ ُِ‫ٍ ْق‬ َّْ ُٓ ‫ل ْشَ ٔج ْ َّيكَبٌَْ ْشَ ٔج ْ َٔ َءات َيتُى ْ ِإحدَ َٰى‬ َْ ‫َٔ ِإٌْأ َ َزدت ُّ ُى ْٱستِبدَا‬
ْ‫غ ِهيظب‬ َ ْ ‫ى ْبَعض ْ َٔأَخَرٌَْ ْ ِيُكُىْ ِ ّيي َٰث َقًب‬ َْٰ َ‫ضكُى ْ ِإن‬ ُ ‫ى ْبَع‬ َْٰ ‫ض‬ َْ ‫بُٓ َٰت َُب ْ َٔ ِإثًب ْ ُّي ِبيُب ْٕٓ ْ َٔكَي‬
َ ‫ف ْت َأ ُخرََُٔ ّْۥُْ َٔقَدْأَف‬
ْٕٔ

26
Sulaiman Rasyid, Fikih Islam Lengkap, (Bandung: Sinar Batu Algesindo, 2001), h.408.
45

Artinya: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-istri, dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
dari kamu Perjanjian yang kuat.27
Dalam ayat di atas nampak, bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah
perjanjian yang kuat yang diambil oleh para istri dari para suami mereka. Muatan
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur‟an, karena
perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur‟an, meskipun
seratus syarat sudah terpenuhi maka hukumnya batal. Demikian juga perjanjian
yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Perjanjian perkawinan mempunyai syarat, yakni perjanjian yang dibuat itu tidak
bertentangan dengan syari‟at Islam atau hakikat perkawinan.”Jika syarat perjanjian
yang dibuat bertentangan dengan syari‟at Islam atau hakikat perkawinan apapun
bentuk perjanjian itu maka tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya
sendiri sah”. Jadi, jika syarat perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangan
dengan syari‟at Islam atau hakikat perkawinan, maka hukumnya boleh (sah), tetapi
jika syarat itu bertentangan dengan syari‟at Islam atau hakikat perkawinan maka
hukum perjanjian itu tidak boleh (tidak sah).28
Dalam literatur fikih klasik tidak ditemukan bahasan khusus dengan nama
perjanjian dalam perkawinan. Yang ada dalam bahsan fikih dan diteruskan dalam
sebagian kitab fikih dengan maksud yang sama adalah “Persyaratan dalam
Perkawinan” atau ‫ ا ٌكلىفطٕششل‬Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak
27
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Al-Hikmah, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008), h. 81
28
Asrofudin Romdani, http://asrofudin.blogspot.com/2010/06/makalah-perjanjian-perkawinan-
dalam.html, (diakses tanggal 4 November 2019 pukul 15.07 WIB).
46

sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan dalam semua kitab fikih karena
yang dibahas dalam syarat perkawinan itu adalah syarta-syarat untuk sahnya suatu
perkawinan, yang materinya telah lebih dahulu dibahas.29
Kaitan antara syara dalam perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan
adalah karena perjanjian itu berisi syart-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak
yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi
syarat yang ditentukan. Oleh karena perjanjian dalam perkawinan terpisah dari
akad nikah, maka tidak ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilaksanakan
secara sah dengan pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini
berarti bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah
yang sudah sah.30
Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah artinya boleh
seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat. Namun
apabila sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam
perjanjian perkawinan itu, menjadi perbincangan dikalangan ulama. Jumhur ulama
berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu
hukumnya adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya,
bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk
dilaksanakan.31
Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian dan
terikatnya dengan kelangsungan perkawinan tergantung kepada bentuk persyaratan
yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu menjadi tiga:
Pertama : syarat-syarat yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan
kewajiban suami istri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dari perkawinan
itu sendiri.

29
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.145.
30
Ibid., h.146
31
Ibid., h.146
47

Kedua : syarat-syarat yang bertentangan dengan hak ikat perkawinan atau


yang secara khusus dilarang untuk dilakukan atau memberi mudharat kepada
pihak-pihak tertentu.
Ketiga : syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak
ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntunan dari syara‟ untuk
dilakukan.32
Dalam hal syarat bentuk kedua sepakat ulama mengatakan bahwa perjanjian
itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang yang melanggar perjanjian,
meskipun menepati perjanjian itu menurut asalnya adalah diperintahkan
sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT. dalam firman-Nya pada surat Al-
Maidah ayat 1:
ْْٔ‫َْٰيَأَيُّ َٓبٱنَّرِيٍَ ْ َءا َيُُْٕاْْأَٔفُْٕاْْبِْٱنعُقُٕ ِْد‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.33
Firman Allah dalam surat Al-Isra‟ ayat 34:
ْ‫شدَِّْۥُۚ ْ َٔأَٔفُْٕاْ ِْْبٱنعَٓ ِْد ْ ِإ ٌَّ ْٱنعَٓ ْدَْ َكبٌَ ْ َيسَُْٕل‬
ُ َ ‫ى ْيَبهُ َْغ ْأ‬
َْٰ َّ ‫ٍ ْ َحت‬ َ ‫ِي ْأَح‬
ُْ ‫س‬ َ ْْ‫يى ْ ِإ ََّل ْ ِبٱنَّتِي‬ َْ ‫َٔ ََل ْت َق َسبُْٕاْ ْ َيب‬
ِْ ِ‫ل ْٱنيَت‬
ْٖٗ
Artinya :Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya.34
Meskipun syarat dan perjanjian itu harus dipenuhi, namun bila syarat
tersebut bertentangan dengan hukum syara‟ tidak wajib dipenuhi. Berdasarkan
pendapat Ahmad dan Hambali terbukalah kesempatan untuk membuat persyaratan
atau perjanjian dalam perkawinan selama tidak ditemukan secara khusus larangan
Nabi untuk itu, seperti taklik talak dan adanya harta bersama dalam perkawinan
meskipun keberadaan harta bersama itu tidak ditemukan dalam kitab fikih klasik.
Alasannya adalah meskipun menurut kebiasaannya harta perkawinan itu ditangan

32
Ibid., h.147
33
Departemen Agama RI, OpCit, h. 106
34
Departemen Agama RI, OpCit, h. 285
48

suami, namun secara khusus tidak ada larangan untuk menggabungkan harta
perkawinan itu.35
Perjanjian dalam pelaksanaan perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2019 Tentang
Perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan
tidak merugikan pihak ketiga.
Penjelasan Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perjanjian Perkawinan, telah diubah atau
setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu perjanjian
perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), seperti yang dijelaskan di
bawah ini :
1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2. Apabila keadaan yang disyaratakan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh
jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
3. Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik taklak sudah diperpanjang tidak dapat
dicabut kembali.

35
Ibid., h.149.
49

Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) di atas bertentangan dengan Pasal
29 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perkawinan yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan
berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah
pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah, maka dalam penjelasannya
disebutkan tidak termasuk taklik talak. Sebab, naskah perjanjian taklik talak,
dilampirkan dalam salinan Akta Nikah yang sudah ditandatangani oleh suami.
Oleh karena itu, perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Dapat
dipahami bahwa sebelum pelaksanaan akad nikah Pegawai Pencatat perlu
melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua
calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis
bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Selama perjanjian itu
berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya. 36 (Sighat) taklik talak yang
diucapkan suami sesudah dilangsungkan akad nikah adalah sebagai berikut:
Sesudah akad nikah, saya…bin… berjanji dengan sesungguh hati, bahwa
saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan saya akan pergauli
istri saya bernama…binti…dengan baik (mu‟asyarah bil ma‟ruf) menurut ajaran
syari‟at Islam. Selanjutnya saya mengucapkan singkat taklik talak atas istri saya
itu seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
2. Atau saya tidak memeberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau saya mengikuti badan/jasmani istri saya itu.
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu 6 (enam) bulan
lamanya.
“Kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan
Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduan

36
Amir Syarifuddin, Op Cit., h.42
50

dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu
membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti)
kepada saya, maka jatuhnya talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau
petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu
dan kemudian memberikannya untuk ibadah sosial”.37
Kompilasi yang mengatur perjanjian harta bersama dan perjanjian yang
berkaitan dengan masalah poligami:
Pasal 47
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai
dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah
mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2. Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan
dengan Hukum Islam.
3. Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas
harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.38

Pasal 48
1. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau
harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban
suami untuk memenuhi kewajiban rumah tangga.

37
Asrofudin Romdani, Op Cit., diakses tanggal 5 November 2019 pukul 13.10 WIB
38
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001
51

2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi kebutuhan tersebut pada


ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat
dengan kewajiban suami menanggung kebutuhan rumah tangga. 39
Pasal 49
1. Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang
dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-
masing selama perkawinan.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga
diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta
pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
pencampuran itu tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan
atau sebaliknya.40
Pasal 50
1. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak
ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah.
2. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah meningkat kepada suami istri,
tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru meningkat sejak tanggal
pendaftaran itu diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat.
3. Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan
bersangkutan, pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada
pihak ketiga.
4. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan
perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga. 41
Pasal 51

39
Ibid., Departemen Agama RI
40
Ibid., Departemen Agama RI
41
Ibid., Departemen Agama RI
52

Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan memberikan hak kepada istri


untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama.42
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawianan dengan istri kedua, ketiga, atau
keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya
rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu. 43
Selain perjanjian perkawinan dalam Islam yang berlaku di Indonesia, dunia
Internasionl juga mengenal perjanjian perkawinan. Perjanjian ini sering disebut
dengan Prenuptial Agrrement atau perjanjian pranikah, perjanjian pranikah ini
sangatlah popular di Belanda, sekitar 25% pasangan dari seluruh pasangan yang
menikah di Belanda membuat perjanjian perkawinan ini sebelum
dilangsungkannya perkawinan mereka. Perjanjian pranikah di Amerika Serikat
sekitar 5% pasangan telah menandatangani perjanjian perkawinan.44
Selain prenuptial, dunia internasional juga mengenal perjanjian perkawinan
yang dibuat setelah perkawinan terjadi yang disebut postnuptial agreement.
Seperti prenuptial agreement, postnuptial agreement perjanjian ini dibuat untuk
mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan terjadi setelah perceraian atau kematian
dan berisi tentang asset-aset pasangan dan pembagian harta apabila terjadi
perceraian atau kematian.45
Alasan umum bagi seseorang untuk menyarankan pasangannya membuat
postnuptial agreement adalah untuk memberikan hukuman pada pasangannya atas
perilaku buruk yang dilakukan, seperti perselingkuhan, atau untuk menunjukkan
komitmen terhadap pernikahan yang retak dengan menjamin penyelesaian yang

42
Ibid., Departemen Agama RI
43
Ibid., Departemen Agama RI
44
Helmut Rainer, Should we write prenuptial contract?, (European Economic Review 51,
2007), h.338.
45
Veronica Dagher, Why Postnuptial Agreements Are on the Rise Postnups primarily spell out
how assets and liabilities would be split upon divorce or death, (The Wall Street Journal March 12-
13, 2016), h. 1.
53

lebih bijak bagi pasangan apabila perkawinan tidak berjalan dengan baik. Kontrak
ini biasanya juga dibuat karena pasangan suami istri ingin mengubah kesepakatan
keuangan yang sebelumnya telah ditetapkan dalam prenuptial agreement.

F. Akibat Hukum Dari Perjanjian Perkawinan


Prosedur perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan
dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Harus dibuat dalam Akta
Notaris, ini merupakan syarat yang paling penting, karena jika tidak maka akan
diancam dengan kebatalan. Perjanjian perkawinan itu isinya tidak boleh melanggar
batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian adalah suatu peristiwa
ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Dalam suatu perjanjian ini timbul suatu
hubungan hukum antara dua orang tersebut/perikatan. Perjanjian ini bersifat
konkret.46
Berdasarkan Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Jika terjadi
pelanggaran mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perjanjian perkawinan,
istri berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan
gugatan cerai di Pengadilan Agama.47
Pemisahan kekayaan dalam perjanjian perkawinan dapat diakhiri dengan
pencabutan atas persetujuan bersama suami istri dan wajib didaftarkan di Kantor
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak pendaftaran ini,
pencabutan mengikat kepada suami istri. Namun bagi pihak ketiga, pencabutan
baru mengikat sejak tanggal diumumkannya pendaftaran oleh suami istri dalam
suatu surat kabar setempat. Jika dalam waktu 6 (enam) bulan pengumuman tidak
dilakukan, maka pendaftaran pencabutan menjadi gugur dengan sendirinya dan
tidak mengikat pihak ketiga.48

46
Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, (Jogjakarta: Cakrawala, 2012), h.8.
47
Kompilasi Hukum Islam Pasal 51
48
Ibid., Pasal 50 ayat (4)
54

Persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang disebutkan Az-


Zarqa di atas apabila dianalisis lebih mendalam sebenarnya sudah tercermin pada
syarat perjanjian yang tersebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 45-46
Kompilasi Hukum Islam. Hanya dalam KUHPerdata terdapat pemisahan yang
cukup tajam antara pelanggaran terhadap persyaratan subyektif dan persyaratan
obyektif. Pelanggaran atau tidak terpenuhinya persyaratan subyektif akan
berakibat perjanjian dapat dibatalkan sedangkan pelanggaran terhadap persyaratan
obyektif akan berakibat perjanjian batal demi hukum, tetapi dalam fikih Islam
pelanggaran terhadap syarat subyektif dan obyektif akan berakibat batalnya
pernihakan.49
Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum fikih Islam Indonesia terlihat
kurang memperhatikan akibat yang timbul dengan tidak terpenuhinya persyaratan
subyektif pada saat melakukan perjanjian perkawinan yang disebut dengan taklik
talak. Hal ini terjadi karena Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan jo. Pasal
15 Kompilasi Hukum Islam memberikan syarat kepada pria dan wanita mencapai
umur 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
Permasalahan yang berhubungan dengan persyaratan subyektif muncul
akibat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 Ayat (1) Peraturan Menteri Agama
Nomor 11 Tahun 2007 yang menempatkan persetujuan mengadakan perjanjian
taklik talak pada saat pemeriksaan nikah, bukan setelah akad nikah dilangsungkan.
Konsekuensinya adalah apabila kedua mempelai atau salah satu diantaranya
menikah dengan terlebih dahulu mendapat dispensasi kawin dari Pengadilan
Agama, maka pada saat melakukan persetujuan mengadakan perjanjian taklik talak
tersebut kedua mempelai atau salah satu diantara mereka belum dewasa, karena
orang dewasa adalah orang yang sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah
kawin. Oleh karena itu perbuatan hukum yang dapat mereka lakukan hanya
sepanjang yang telah diberi dispensasi oleh Undang-undang. Ini berarti calon

49
Almadjdin Abuar –Firda‟Isma‟ilibn Kasir. tt, Tafsir al-qur‟an 31-„Azim Juz II, (Mesir: Dar al-
Ihya‟ al-Kufib al-Arabiyah), h.22.
55

suami dan calon istri yang akan menikah dan harus terlebih dahulu mendapat
dispensasi kawin dari Pengadilan Agama, maka persetujuan tentang adanya
perjanjian taklik talak calon suami danatau calon istri diberikan pada saat belum
memenuhi syarat subyektif untuk melakukan perbuatan hukum selain perkawinan
dan perbuatan hukum melakukan perjanjian taklik talak digolongkan kepada
perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif. Oleh karena itu calon suami dan
atau calon istri yang belum cakap bertindak untuk melakukan perjanjian tersebut
harus didampingi oleh wali. Ketentuan seperti ini juga dijumpai dalam ketentuan
perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata.50
Perjanjian taklik talak dapat ditambah, jika ada permintaan dari pihak istri,
semisal sang istri tidak akan dimadu, jika dimadukan dan jika si istri tidak sabar,
sang istri dapat meminta fasakh kepada Pengadilan Agama dan sang suami
membayar sejumlah kerugian.
Disamping taklik yang boleh dan sah ada pula taklik yang tidak boleh, yaitu
yang bertentangan dengan Hukum Islam, bertentangan dengan akhlak, moral dan
susila, yaitu dalam taklik disebutkan bahwa suami memberikan hak kepada istri
untuk berkunjung ketempat-tempat yang tidak sopan, atau istri dalam perkawinan
tidak dapat belanja dari suami atau jika suami atau istri meninggal dunia tidak
saling pusaka mempusakai.
Dalam perjanjian perkawinan yang ditentukan dalam Pasal 29 Undang-
undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-undang Nomor 16 Tahun
2019, bahwa dapat mencegah permaduan dengan membuat perjanjian perkawinan
antara calon suami dan calon istri, yaitu calon suami tidak akan melakukan
perkawinan dengan perempuan yang kedua dan seterusnya tanpa setahu atau seizin
dari istri pertama.
Dalam Islam telah mensyaratkan boleh berpoligami asalkan adil dan terbatas
empat orang saja, berarti memberikan kepada perempuan atau walinya untuk

`50R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermassa, 1982), h.3-8


56

mensyaratkan kepada suaminya agar tidak dimadu. Jika syarat yang diberikan oleh
istri ini dilakukan ketika ijab qabulnya supayaia tidak dimadu, maka syaratnya ini
sah dan mengikat dan ia berhak untuk membatalkan perkawinan jika syarat itu
tidak dipenuhi oleh suaminya dan hak membatalkan perkawinan ini tidak hilang
selagi tidak dicabutnya dan rela akan pelanggaran suaminya. Oleh sebab itu
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh istri lebih wajib dipenuhi.
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah sebagai suatu sarana pokok dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten karena melalui proses
penelitian diadakan ananalisis dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan
dan diolah.
Metode berasal dari bahasa Yunani “Metodhos” yang artinya adalah cara atau
jalan. Dikaitkan dengan penelitian ilmiah maka metode menyangkut masalah kerja,
yaitu cara kerja untuk dapat memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan.
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
A. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya, maka penelitian ini merupakan penelitian lapangan
(field research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mencari data melalui
survei lapangan. Dilihat dari jenis informasi datanya, penelitian ini termasuk
penelitian kualitatif yaitu penelitian yang tidak dapat diuji dengan statistik. 1
Penelitian yang bertujuan untuk memaparkan dan menggambarkan keadaan serta
fenomena yang lebih jelas mengenai situasi, maka jenis pendekatan yang
digunakan adalah kualitatif.

B. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan
untuk mengungkap kejadian atau fakta, keadaan, fenomena, dan keadaan yang
terjadi saat penelitian berlangsung dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya

1
Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2004), h.
105.
58

terjadi dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan di Kecamatan Anak Tuha


Kabupaten Lampung Tengah. Penelitian ini akan menguraikan data yang di dapat
di Kecamatan Anak Tuha mengenai perjanjian perkawinan untuk hidup bersama
selamanya jangan sampai bercerai.
Hasil penelitian dalam bentuk laporan sebagai karya ilmiah. Tujuan dari
penelitian itu sendiri adalah untuk mengetahui keadaan (description of exiting
reality), hubungan antara satu hal dengan hal yang lain, khususnya sebab akibat
(causality). Penelitian mengenai hubungan antara beberapa hal (relation of
variable) akan menghasilkan kesimpulan umum (generalization) atau
kecenderungan umum (general tendency), apabila mendekati kepastian akan
menimbulkan menetapkan suatu hukum.2
Dalam penelitian ini penulis akan menguaraikan secara mendalam tentang
perjanjian perkawinan masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah dan akan penulis sajikan hasil penelitian ini dalam
tinjauan hukum Islam.

C. Sumber Data Penelitian


Dalam penelitian empiris, data yang digunakan diklasifikasikan menjadi
dua jenis, yakni data primer dan data sekunder. Adapun sumber data yang
dipakai dalam penelitian ini meliputi :
1. Data Primer
Data primer yakni data diperoleh dari sumber pertama yang didapatkan
dari lapangan penelitian, dalam penelitian ini yang menjadi data primer yaitu
hasil wawancara langsung kepada informan. Dalam penelitian ini maka
peneliti akan mewawancarai Tokoh Adat di beberapa kampung di Kecamatan
Anak Tuha yang sudah memahami dan mengerti seluk beluk tentang
perjanjian perkawinan adat.

2
Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan
Filsafat, 1999), h. 14.
59

2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan aslinya
memuat informasi atau data-data tersebut.3 Data ini diperoleh tidak secara
langsung atau dengan menggunakan perantara media lain, seperti peraturan-
peraturan hukum, dokumen hukum dan literatur-literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Data sekunder hanya diperlukan sebagai pendukung data primer, data
sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka sebagai langkah
awal untuk memperoleh :
a. Bahan hukum primer yang merupakan bahan-bahan yang mempunyai
kekuatan mengikat dari norma-norma dasar, yaitu
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perkawinan
2) Kompilasi Hukum Islam
3) KUHPerdata
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa serta
memahami pokok permasalahan sesunguhnya. Bahan hokum sekunder
tersebut meliputi:
1) Buku-buku hasil karya ilmiah Pascasarjana
2) Tesis-tesis yang berhubungan dengan judul dalam penelitian ini
3) Jurnal-jurnal yang berhugungan dengan judul dalam penelitian ini
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang member penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier ini
berupa kamus, ensiklopedia, artikel pada majalah atau surat kabar dan
sebagainya. Data yang ada dalam penelitian ini baik data primer, sekunder
maupun primer akan digunakan sebagai landasan pemikiran yang bersifat

3
Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakrat: Rajawali, 1986), h. 132.
60

teoritis sehingga diharapkan dapat memberikan analisis yang akurat dan


dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah.

D. Populasi dan Sampel


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.4 Adapun yang menjadi
populasi dalam penelitian ini adalah 11 (Sebelas) Tokoh Adat Lampung yang
bertempat tinggal di Kecamatan Anak Tuha Kecamatan Lampung Tengah. Maka
penulis telah memilih sampel yang dianggap dapat mewakili populasi dan
terpilih 5 (Lima) Tokoh Adat Lampung sebagai responden.
Sampling adalah bagian dari individual atau populasi yang akan diteliti. Pada
penelitian ini penulis dalam pengambilan sample ditentukan melalui Purposive
Sampling, yaitu penarikan sample yang akan dilakukan dengan cara mengambil
subjek yang didasarkan pada tujuan tertentu.5 Adapun responden dalam
penelitian ini yaitu 5 (Lima) orang Tokoh Adat yang ada di Kecamatan Anak
Tuha Kabupaten Lampung Tengah.

E. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data ini meliputi:
1. Wawancara (Interview)
Wawancara (interview) adalah cara pengumpulan data dengan
mengadakan tanya jawab langsung kepada obyek yang diteliti atau kepada
perantara yang mengetahui persoalan dari obyek yang diteliti.6 Metode
wawancara dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan tanya jawab

4
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo), h.2.
5
Ibid., h.3.
6
Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 24.
61

sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan masuk kepada tujuan


penelitian.7
Berdasarkan hal itu maka wawancara merupakan proses percakapan
berupa tanya jawab yang terjadi antara dua orang, yaitu peneliti dengan obyek
penelitian. Suharsimi Arikunto telah membedakan wawancara menurut
pelaksanaannya menjadi tiga macam, yaitu:8
a. Wawancara bebas (tanpa pedoman pertanyaan).
b. Wawancara terpimpin (menggunakan draft pertanyaan).
c. Wawancara bebas terpimpin (kombinasi antara wawancara bebas dan
wawancara terpimpin.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis wawancara bebas
terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara terpimpin yang menggunakan
pedoman pertanyaan dan wawancara bebas yang tidak menggunakan daftar
pertanyaan. Peneliti memilih menggunakan wawancara bebas terpimpin
dengan maksud agar bentuk pertanyaan dapat terarah pada tujuan penelitian
serta dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan sebagai pendukung.
Melalui teknik wawancara ini, peneliti telah mengumpulkan data dengan
wawancara langsung terhadap beberapa narasumber, yaitu delapan tokoh adat
yang terlibat dan memahami tentang perjanjian perkawinan pada masyarakat
adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah. Tujuan
dari wawancara ini adalah untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan
untuk mengetahui Tinjauan Hukum Islam terhadap perjanjian perkawinan
masyarakat adat Lampung yang ada di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah.

7
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), h. 193
8
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), h. 178.
62

2. Dokumentasi
Teknik dokumentasi dipakai untuk memperoleh data yang tidak dapat
diperoleh dengan metode interview. Dimana dokumentasi tersebut diperoleh
dengan jalan mempelajari catatan-catatan, arsip-arsip yang ada hubungannya
dengan permasalahan dimana penelitian sedang berlangsung. Metode
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya.9
Metode dokumentasi memiliki arti yang sangat penting dalam penelitian
kualitatif karena secara jelas dokumentasi memberikan gambaran mengenai
peristiwa atau kejadian yang terdapat pada subyek dan obyek penelitian pada
saat tertentu. Sehingga peneliti mampu memberikan gambaran maupun
penafsiran sesuai dengan informasi dan pesan yang terdapat dalam
dokumentasi tersebut. Dengan kata lain, dokumentasi adalah cara untuk
memperoleh data dengan jalan mengadakan pencatatan terhadap dokumen-
dokumen yang ada di lokasi penelitian. Data yang akan diteliti penulis adalah
data tentang Perjanjian Perkawinan Masayarakat Adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah.
Adapun alasan peneliti menggunakan metode dokumentasi dalam
penelitian ini, antara lain:
a. Untuk melengkapi data yang tidak diperoleh dari metode lain.
b. Dengan metode ini peneliti dapat mengambil data meskipun peristiwanya
telah berlalu.
c. Untuk dijadikan bahan perbandingan dari data yang telah diperoleh
dengan metode lain.

9
Ibid., h.188.
63

F. Metode Pengolahan Data


Setelah penulis memperoleh data-data yang cukup untuk penulisan tesis ini,
langkah selanjutnya penulis akan melakukan pengolahan data dengan melakukan
beberapa langkah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan data (editing)
Menurut Muhammad Iqbal Hasan pemeriksaan data (editing) yaitu
mengoreksi data apakah data-data yang terkumpul itu sudah cukup lengkap,
sudah benar dan sudah sesuai atau relevan dengan masalah yang dikaji. 10
2. Rekonstruksi data (reconstruction)
Menurut Witarto rekontruksi data adalah menyusun ulang data secara
teratur, beruntun, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.11
3. Sistematisasi data (sistematizing)
Sistematisasi data (sistematizing) adalah menempatkan data menurut
kerangka sistematika batasan berdasarkan urutan masalah.12 Setelah seluruh
data tertata rapih, langkah berikutnya adalah menganalisa data.

G. Metode Analisis Data


Berkaitan dengan analisis data, penelitian ini menggunakan teknik berfikir
deduktif, yaitu teknik analisis data yang bermula dari fakta-fakta atau peristiwa
yang bersifat umum dikaji untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat khusus.
Setelah data terkumpul dengan lengkap, kemudian penulis membuat analisis data
dengan analisa kualitatif.
Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau

10
Muhammad Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:
Grafia Indonesia, 2002), h. 55.
11
Witarto, Memahami Pengolahan Data, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.29.
12
Abdulkadir Muhammad, Hukumdan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h.
126.
64

lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang
utuh.13
Analisis yang dimaksud adalah sebagai penjelasan dan penginterpretasian
secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-
induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah.
Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu
dengan mengemukakan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan
yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Analisis data dilakukan pada saat pengumpulan data maupun setelah
pengumpulan data selesai, yang diawali dari pengumpulkan data, muatannya,
membagikan menjadi satu pola, mempelajari dan menentukan apa-apa yang akan
dipelajari serta apa yang akan dilaporkan oleh peneliti. Analisis data tersebut
adalah dalam rangka untuk memahami arti dan menafsirkan data sebagai suatu
cara untuk menjelaskan dan membandingkan teori dengan data yang telah diolah
dan diimplementasikan.
Analisis data sebagai proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan dipahami. Berdasarkan jenis data, maka analisis data
yang digunakan yaitu teknik analisis data deskriptif kualitatif. Teknik analisis
kualitatif yang digunakan adalah teknik analisis data menurut data stake yaitu
mencoba membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan standard yang
telah digunakan sebelumnya. Dengan model ini peneliti berusaha
mendiskripsikan peristiwa-peristiwa, aktifitas dan kondisi yang ada dalam
kaitannya dengan perjanjian perkawinan masyarakat adat Lampung yang ada di
Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah.
Pada tahap analisis, banyak data yang telah terkumpul harus diseleksi dan
diklasifikasi terlebih dahulu untuk memperoleh gambaran secara relatif dalam

13
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Op.,cit, h.4.
65

berbagai permasalahan yang diteliti. Langkah selanjutnya adalah melakukan


analisis sebagai upaya merinci lebih lanjut, menghimpun elemen-elemen yang
sesuai dan dipandang perlu dalam suatu penelitian.
Analisis data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
pernyataan yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan. Dalam
penelitian kualitatif ini lebih menjelaskan kepada arti data berkaitan dengan teori
yang telah diseleksi, karena salah satu fungsi pokok analisis data kualitatif adalah
menyederhanakan data yang besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih
mudah untuk dipahami.14

H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penyusunan tesis ini adalah dengan
menguraikan permasalah yang dibagi dalam beberapa bagian atau bab dan sub
bab dengan tujuan dari pembagian tesis ini ke dalam bab dan sub bab tersebut
adalah agar dapat menjelaskan dan menguraikan setiap permasalahan dengan
baik dan sistematis.
Bab I Pendahuluan. Bab ini adalah bab pendahuluan yang berisikan antara
lain latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kajian teori dan kerangka pikir,
dan pendekatan penelitian.
Bab II Landasan Teori. Bab ini terdiri dari 6 (Enam) sub bab yaitu
Pengertian dan Konsep P erkawinan Dalam Hukum Islam, Unsur-unsur Suatu
Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam, Perjanjian Perkawinan Dalam
Hukum Islam, Bentuk Perjanjian Perkawinan Dalam Hukum Islam, Perjanjian
Perkawinan Dalam Islam yang Berlaku di Indonesia, Perjanjian Perkawinan
dalam Islam yang Berlaku di Indonesia, dan Akibat Hukum dari Perjanjian
Perkawinan.

14
Ibid., h. 6-7
66

Bab III Metode Penelitian. Pada bab ini penulis akan menguraikan
pembahasan tentang metode yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini yang
meliputi Jenis Penelitian, Sifat Penelitian, Sumber Data Penelitian, Populasi dan
Sampel, Metode Pengumpulan Data, Metode Pengolahan Data, Metode Analisis
Data, dan Sistematka Pembahasan.
Bab IV Data dan Analisis. Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang
gambaran umum Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah.
Kemudian juga diuraikan tentang perjanjian perkawinan masyarakat adat
Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah serta
keterkaitannya dengan perjanjian perkawinan dalam tinjauan hukum Islam. Pada
bagian terakhir bab IV akan dilakukan anlisis data terhadap data-data yang
diperoleh dalam peneltian.
Bab V Penutup. Bab ini memaparkan tentang kesimpulan akhir dari bab-
bab sebelumnya yang menjawab rumusan masalah dan disertai rekomendasi atau
saran sebagai hasil dari kesimpulan tersebut.
BAB IV
DATA DAN ANALISIS

A. Gambaran Umum Tentang Perjanjian Perkawinan Masyarakat Adat


Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah
1. Gambaran Umum Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung
Tengah
a. Sejarah Singkat Kecamatan Anak Tuha
Pada tahun 1990 wilayah Kecamatan Anak Tuha dalam
pelaksanaan status Pemerintahannya masih merupakan dalam status
Kecamatan pembantu. Kemudian pada tahun 2001 sampai dengan
sekarang Kecamatan Anak Tuha sudah merupakan Kecamatan
tersendiri, dan Pemerintah pada masa itu dipimpin oleh sdr. Usman
Nahrawi dengan bentuk Pemerintahan yang sudah berkedudukan
sebagai Kecamatan definitive.
Dengan berdasar pada SK Gubernur Lampung Nomor:
6/305/B.II/HK/1990 tertanggal 27 Agustus 1990 dilaksanakan serah
terima jabatan dari Bapak Syarifudin, BA kepada Bapak Usman
Nahrawi yang bertempat di Aula Pemerintah Kabupaten Lampung
Tengah.1
b. Camat Anak Tuha
1) Syarifuddin YS.BA
2) Drs. Ahmad Kartubi
3) Drs. EdySofyan
4) Drs. SukandarRidwan
5) Drs. Usman Nahrawi (2001)
6) Drs. M. Ilyas Hayani Muda, MSi
7) Drs. Ahmad Kartubi
8) Drs. Ridwan Sory Ma’on Ali (2006)
9) Drs. Ismail AR (2007-2008)
1
Lilik Dermawan, Mengenal Lebih Dekat Profil Kecamatan Anak Tuha, (Negara Aji Tua:
Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah Kecamatan Anak Tuha, 2019).
68

10) Ansyori, S.I.P (2009-2011)


11) Drs. Genta Suri Muda (2011)
12) Rosid i, S.Sos (2012)
13) Andy RPA, S.IP.,MM (2012-2014)
14) Hi. A. Rahman, SPd.,MM (Juni 2014-Januari
2015)
15) Hi. Rasmin, S.E (2015-2016)
16) Fathol Arifin, S.IP.,MM (2016-2018)
17) Agoeng Karsa Jiwa, S.H.,M.Kn (Oktober 2018-Mei
2019)
18) Ricky Augusta (Mei 2019-Sekarang)
c. Personil/Perangkat Pemerintah Kecamatan dan Instansi yang Ada di
Kecamatan Anak Tuha
Jumlah personil termasuk Camat sejumlah 19 (Sembilan belas)
orang terdiridari 11 (sebelas) orang Pegawai Negeri Sipil dan 7 (tujuh)
orang tenaga PTHL dengan pangkat dan golongan sebagai berikut:2
1) Golongan IV/a : 1 (satu) orang
2) Golongan III/d : 3 (tiga) orang
3) Golongan III/c : 3 (tiga) orang
4) Golongan III/a : - orang
5) Golongan II/b : 1 (satu) orang
6) Golongan II/c : 2 (dua) orang
7) Golongan I/c : - orang
8) Golongan I/d : 1 (satu) orang
9) PTHL : 4 (empat) orang
10) Operator e-KTP : 2 (dua) orang
11) Operator SIAK : 1 (satu) orang
d. Instansi Vertikal Yang Ada
1) Kantor Sub Sektor / Polsek Ana Tuha
2) Kantor Urusan Agama

2
Ibid
69

e. Instansi Otonom Daerah


1) UPTD Pendidikan
2) UPTD Kesehatan
3) UPTD Pertanian
4) UPTD Peternakan
5) UPTD BKB PP dan PA
6) UPTD Pengairan
f. Luas Wilayah Kecamatan Anak Tuha
Kecamatan Anak Tuha terdiri dari 12 (dua belas) kampung dengan
luas wilayah 43.309 Km2. Kecamatan Anak Tuha merupakan bagian
dari wilayah Kabupaten Lampung Tengah yang sejajar dengan 28 (dua
puluh delapan) Kecamatan lainnya yang dibuka pada tahun 2001.
Pemerintah Kecamatan Anak Tuha pada tahun 1990 sampai
dengan tahun 2001 dengan perjalanan waktu yang usianya 11 (sebelas)
tahun sudah mampu memberikan kesejahteraan warga masyarakatnya
dan memberikan kontribusi daerah dari sector pertanian yang
merupakan penyangga pangan di Kabupaten Lampung Tengah.
Hal ini merupakan tingkat kesadaran masyarakatnya yang begitu
tinggi dalam kewajibannya untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan
yang diharapkan harus melunasi pada setiap tahunnya. Dengan
dibuktikan oleh etos kerja yang sangat tinggi dan sukses melaksanakan
Program Pemerintah di bidang pembangunan, pemerintahan dan sosial
budaya.
g. Geografi dan Topografi
1) Tinggi Pusat Pemerintahan Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah dari permukaan laut adalah 60 m.
2) Suhu maksimum / minimum berkisar antara 2.00 c.
3) Jarak Pusat Pemerintahan Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah dengan :
a) Kampung terjauh : 15 Km
b) Ibukota / Kabupaten : 20 Km
70

c) Ibukota / Provinsi : 65 Km
4) Curah hujan :
a) Jumlah curah hujan terbanyak dan tertinggi
b) Banyaknya hujan : 120 mm / th
5) Bentuk wilayah : daratan dan datar
h. Kependudukan
Dengan jumlah penduduk Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah terdiri dari Kepala Kelurahan sebanyak 12.293 KK
dengan Jumlah Jiwa yang menyebar di 12 (dua belas) Kampung dengan
perincian sebagai berikut:
Tabel 4.1: Jumlah penduduk Kecamatan Anak Tuha
No Kampung Luas Jumlah Jumlah Penduduk / Jiwa
Wilaya KK Laki- Pr Jumlah
h laki
1 2 3 4 5 6 7
1 Tj. Harapan 2000 862 1916 1788 3704
2 Gunung Agung 1026 96 2170 2654 4824
3 Neg. Aji Baru 1015 910 3129 3084 6213
4 Neg. Bumi 5000 1620 2305 2132 4437
Udik
5 Neg. Aji Tua 1011 1087 2125 1951 4076
6 Bumi Aji 8000 1458 1547 1610 3157
7 Neg. Bumi Ilir 7000 1112 268 204 472
8 H. Pemanggilan 1800 1027 812 782 1594
9 Mulyo Haji 966 815 1946 1851 3797
10 Bumi Jaya 475 750 2277 2284 4561
11 Jaya Sakti 943 1597 1474 1411 2885
12 Srikaton 569 959 1381 1258 2579
Jumlah 29.805 12.293 21.290 21.009 42.229
71

1) Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Tabel 4.2: Keadaa Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Prosentase
1 Tamat SD 22 %
2 Tamat SLTP 23 %
3 Tamat SLTA 32 %
4 Tamat Akademi 13 %
5 Tamat Sarjana 10 %
Jumlah 100 %

2) Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian


Tabel 4.3: Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Prosentase
1 Petani 52 %
2 Pedagang 11 %
3 Perindustrian 10 %
4 Jasa 7%
5 Lain-lain 20 %
Jumlah 100 %

i. Kampung, Luas Wilayah, Jumlah Dusun, dan Jumlah RT


Luas wilayah Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah
kurag lebih 166.15 dengan batas-batasnya sebagai berikut:3
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Way Pengubuan
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Bangun Rejo
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Padangratu
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Gunung Sugih

3
Ibid
72

Tabel 4.4: Luas Wilayah Kecamatan Anak Tuha


No Kampung Luas Wilayah Dusun RT
1 Tj. Harapan 2000 6 17
2 Gunung Agung 1026 2 4
3 Neg. Aji Baru 1015 6 18
4 Neg. Bumi Udik 5000 8 23
5 Neg. Aji Tua 1011 9 21
6 Bumi Aji 8000 9 28
7 Neg. Bumi Ilir 7000 9 31
8 H. Pemanggilan 1800 11 21
9 Mulyo Haji 966 7 22
10 Bumi Jaya 475 4 15
11 Jaya Sakti 943 10 36
12 Srikaton 569 7 21
Jumlah 43.309 88 257
73

Tabel 4.5 : Data Perangkat Kampung Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah
Kepala Sekretaris Kaur Bendahara BPK LINMAS
No Kampung Kadus RT
Kampung Kampung / Kasi Kampung Ketua Anggota Danton Anggota
1 Tj. Harapan 1 1 5 6 1 1 8 1 30 17
2 Gunung Agung 1 1 5 2 1 1 4 1 30 4
3 Neg. Aji Baru 1 1 5 6 1 1 8 1 30 18
4 Neg. Bumi Udik 1 1 5 8 1 1 8 1 30 23
5 Neg. Aji Tua 1 1 5 9 1 1 10 1 30 21
6 Bumi Aji 1 PNS 5 9 1 1 10 1 30 28
7 Neg. Bumi Ilir 1 1 5 9 1 1 9 1 30 31
8 H. Pemanggilan 1 1 5 11 1 1 10 1 30 21
9 Mulyo Haji 1 PNS 5 7 1 1 8 1 30 22
10 Bumi Jaya 1 1 5 4 1 1 8 1 30 15
11 Jaya Sakti 1 PNS 5 10 1 1 8 1 30 36
12 Srikaton 1 PNS 5 7 1 1 8 1 30 21
Jumlah 12 12 60 88 12 12 99 12 360 257
74

STRUKTUR ORGANISASI KECAMATAN ANAK TUHA KABUPATEN LAMPUNG TENGAH


TAHUN 2019

CAMAT

RICKY AUGUSTA, S.H.,M.H


SEKCAM

AMIRIL MUKMININ, S.R.,S.H

JABATAN FUNGSIONAL
Kasubag Kasubag Perencanaan & Pelaporan Kasubag Keuangan
Umum

KASI PEMERINTAHAN KASI KESRA KASI PPM KASI PAD KASI TRANTIBUM

LILIK MEGAWATI, S.Pd HENGKY KURNIAWAN, S.Sos AHMADI MARIMAN


DERMAWAN

KEPALA KAMPUNG

Gunug Negara Negara Negara Bumi Negara Haji Mulyo Bumi Jaya Srikaton Tanjung
Agung Aji Baru Bumi Udik Aji Tua Aji Bumi Ilir Pemanggilan Haji Jaya Sakti Harapan
75

Tabel 4.6: Kepala Kampung dan Sekretaris Kampung


Nama
No Kampung Kepala Kampung Sekretaris
Kampung
1 Haji Pemanggilan Hengky Kurniawan Ismail
(Penjabat)
2 Negara Bumi Ilir Indra Sanjaya Mawardi Yusuf
3 Bumi Aji Ahmadi (Penjabat) Asyarbini
4 Negara Aji Tua Supriyadi Sugito
5 Negara Bumi Udik Faridha Yantie Ahmad Sofyan
(Penjabat)
6 Negara Aji Baru Bahrudin -
7 Gunung Agung Baherwan Maduka Herman
8 Tanjung Harapan Ibrahim Arga Apriyandi
9 Srikaton Lilik Dermawan Tusiam (PNS)
(Penajabt)
10 Jaya Sakti Sowondo ST Abbas Salman
11 Bumi Jaya Mujiman Sigit Pradan Dynal
12 Mulyo Haji Pranoto Susilo -
(Penjabat)

Tabel 4.7: Uspika dan Dinas Instansi

No Dinas / Instansi Nama Kepala Alamat


1 Polsek Ipda Hesbin Fadilla Metro
2 Danramil Kapten Ozi Mulyono Metro
3 UPT Pendidikan - -
4 UPT Pertanian Huzairin Sabki, SP Bangun Rejo
5 UPT Peternakan - -
6 UPT Kesehatan Sri Nurmayati, SKM Gunung Sugih
7 UPT BKBPP dan PA Hi. Suwartono Bangun Rejo
8 Kantor Urusan Agama Samsul Bahri, S.Ag Bumi Aji
9 UPT Pengairan Sunardi Trimurjo
10 Pustu Srikaton Suparji, AMd Negara
11 Pustu Bumi Jaya Warsono Bumi Jaya
12 Pustu Negara Bumi Wage Negara Bumi
Ilir Ilir
13 Pustu Negara Bumi Suparti Negara Bumi
Udik Udik
76

Tabel 4.8: Personil Kecamatan

No Jabatan Nama Alamat


1 Camat Ricky Augusta, Bandar
S.H.,M.H Lampung
2 Sekcam Amiril Mukminin, Bandar
SR.,SH Lampung
3 Kasi Pengembangan Ahmadi Padang Ratu
Potensi dan Pendapatan
4 Kasi Tata Pemerintahan Lilik armawan Padang Ratu
5 Kasi Pembangunan dan Hengky Kurniawan, Padang Ratu
Pemberdayaan S.Sos
Masyarakat
6 Kasi Trantibum – Pol Marimin Seputih Agung
PP
7 Kasi Kesejahteraan Megawati, S.Pd Negara Aji Tua
Rakyat

j. Pendidikan
Sarana pendidikan memegang peranan sangat penting dalam
memajukan mutu dan tingkat pendidikan bagi masyarakat, hal ini akan
terwujud apabila sarana pendidikan dapat dimanfaatkan dan dinikmati
keberadaanya bagi masyarakat.4
Jumlah sarana gedung sekolah yang ada di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah.
Tabel 4.9: Jumlah Sarana Gedung Sekolah Di Kecamatan Anak Tuha
Sarana / Gedung Sekolah
No Kampung
TK SD SLTP SLTA PT
1 Haji Pemanggilan 1 4 1 - -
2 Negara Bumi Ilir 1 2 1 1 -
3 Bumi Aji 2 3 - - -
4 Negara Aji Tua 3 3 1 - -
5 Negara Bumi Udik 1 2 1 - -
6 Negara Aji Baru 1 2 - - -

4
Lilik Dermawan, Mengenal Lebih Dekat Profil Kecamatan Anak Tuha, (Negara Aji Tua:
Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah Kecamatan Anak Tuha, 2019).
77

7 Gunung Agung - - - - -
8 Tanjung Harapan 2 2 - - -
9 Srikaton 4 2 1 1 -
10 Jaya Sakti 3 3 1 2 1
11 Bumi Jaya 2 1 - - -
12 Mulyo Haji 2 1 1 1 -

Jumlah PAUD : 17 buah anak didik : 601 anak


Jumlah TK : 11 buah anak didik : 453 anak
Jumlah SD Negeri : 21 buah anak didik : 3.851 anak
Jumlah SD Swata : 4 buah anak didik : 496 anak
Jumlah SMP Negeri : 2 buah anak didik : 467 anak
Jumlah SMP Swasta : 3 buah anak didik : 432 anak
Jumlah SMA Negeri : 1 buah anak didik : 128 anak
Jumlah SMA Swasta : 3 buah anak didik : 253 anak
Jumlah PT Negeri : - anak didik : -
Jumlah PT Swasta : 1 buah anak didik : -
k. Kesehatan
Modal utama dan salah satu yang paling mendukung adalah
pembangunan manusia yang sehat, dengan modal sehat setiap individu
pasti akan dengan bersemangat untuk menjalankan aktifitas
kesehariannya, seperti tersedianya sarana kesehatan yang memadai,
tenaga kesehatan yang tersedia dan sarana penunjang lainnya. 5
Jumlah Puskesmas Induk : 1 buah
Jumlah Puskesmas Pembantu : 4 buah
Jumlah Polindes : 5 buah
Puskesmas Pembantu :
1) Puskesmas Pembantu Srikaton
2) Puskesmas Pembantu Bumi Jaya
3) Puskesmas Pembantu Negara Bumi Ilir
5
Ibid
78

4) Puskesmas Pembantu Megara Bumi Udik


5) Jumlah Dokter Umum :-
6) Jumlah Bidan : 10 orang
7) Jumlah Perawat : 4 orang
8) Tenaga Non Medis : 9 orang
9) Sanitarian : 1 orang
l. Ekonomi dan Pembangunan
Ekonomi yang kuat adalah merupakan pondasi yang dominasi
untuk memajukan suatu daerah dan pembangunan adalah sarana yang
dihasilkan dari tumbuhnya ekonomi yang terus berkembang seperti
transportasi yang lancar.
Tersedianya pasar tempat bertemunya antara pembeli dan penjual
dengan adanya pusat-pusat ekonomi sehingga rakyat akan dengan
mudah memasarkan hasil-hasil produksi dan memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Jumlah pasar yang ada di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah yaitu:
1) Pasar Kampung Srikaton
2) Pasar Kampung Mulyo Haji
3) Pasar Kampung Bumi Jaya
Pembangunan dalam bidang pertanian seperti dengan tersedianya
irigasi yang cukup merupakan modal utama dalam peningkatan
kesejahteraan rakyat dengan luasnya tanah-tanah pertanian seperti
persawahan dan perkebunan kelapa sawit.6
m. Pertanian
1) Lahan persawahan irigasi : 1.281 Ha
2) Lahan kering / perladangan : 10.068 Ha
3) Petani Sawit : 15.899 Ha
Produksi pertanian yang dihasilkan
1) Padi sawah : 27.542 ton/Ha
2) Palawija : 129.5 /Ha

6
Ibid
79

3) Jagung : 4.690 /Ha


Jumlah kelompok-kelompok tani yang ada di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah berjumlah kurang lebih 175 kelompok
yang terdiri dari 12 Gapoktan.
Petugas Pertanian :
1) KUPT : 1 orang
2) Korluh : 5 orang
3) PPL : 12 orang
Petani :
1) Petani pemilik tanah : 663 orang
2) Petani penggarap : 945 orang
3) Buruh tani : 10.500 orang
n. Peternakan dan Industri Rumah Tangga
Selain mengandalkan komoditi hasil pertanian warga masyarakat
Kecamatan Anak Tuha juga mengandalkan pada sektor peternakan.PT
Santori Agrinda adalah perusahaan di Kampung Jaya Sakti yang
bergerak pada penggemukan sapi dari Australia yang mampu menajdi
magnet bagi masyarakat sekitar yang bekerja di perusahaan tersebut dan
menjadi pemicu untuk lebih mengembangkan peternakan sapi, kambing
dan ayam petelur.
Dalam bidang industri rumah tangga seperti kerajinan anyaman
bambu atau geribik, sulam usus, kerajinan mote, keripik pisang di dusun
Margajaya Kampung Bumi Aji dan keripik jahe di Kampung Srikaton
serta kerupuk udang di dusaun Sriwaya Kampung Negara Aji Tua
adalah suatu bukti bahwa masyarakat Kecamatan Anak Tuha mampu
mengembangkan usahanya.7
o. Infrastuktur
Putaran roda pembangunan ekonomi akan berjalan lancar salah
satu yang menjadi pendukung utama adalah sarana infrastuktur yaitu

7
Lilik Dermawan, Mengenal Lebih Dekat Profil Kecamatan Anak Tuha, (Negara Aji Tua:
Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah Kecamatan Anak Tuha, 2019).
80

jalan, ini menjadi faktor yang paling terdepan yang harus menjadi skala
prioritas pada setiap tahapan pembangunan. Distribusi barang dari dan
ke suatu derah akan menjadi mudah dan cepat, begitupun dengan
komoditi hasil pertanian yang dihasilkan.8
Berikut adalah gambaran infrastuktur jalan yang ada di Kecamatan Anak
Tuha Kabupaten Lampung Tengah:9
1) Jalam Prvinsi : 10 Km
2) Jalan Kabupaten : 35 Km
3) Jalan Hotmix : 20 Km
4) Jalan Tanah : 24 Km
5) Jalan Kampung : 60 Km
6) Jalan Aspal : 30 Km
7) Jalan diperkeras : 37 Km
8) Jalan Tanah : 29 Km
9) Jalan Onderlagh : 37 Km

2. Perjanjian Perkawinan di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten


Lampung Tengah
a. Konsep Perkawinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti;
pengertian, gambaran mental dari objek, proses, pendapat (paham),
rancangan (cita-cita) yang telah dipikirkan.10 Agar segala kegiatan
berjalan dengan sistematis dan lancar, dibutuhkan suatu perencanaan
yang mudah dipahami dan dimengerti. Perencanaan yang matang
menambah kualitas dari kegiatan tersebut. Di dalam perencanaan
kegiatan yang matang tersebut terdapat suatu gagasan atau ide yang
akan dilaksanakan atau dilakukan oleh kelompok maupun individu
tertentu, perencanaan tadi bisa berbentuk ke dalam sebuah peta konsep.

8
Ibid
9
Ibid
10
Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.520.
81

Pada dasarnya konsep merupakan abstraksi dari suatu gambaran


ide, atau menurut Kant yang dikutip oleh Harifudin Cawidu yaitu
gambaran yang bersifat umum atau abstrak tentang sesuatu.11 Fungsi
dari konsep sangat beragam, akan tetapi pada umumnya konsep
memiliki fungsi yaitu mempermudah seseorang dalam memahami suatu
hal. Karena sifat konsep sendiri adalah mudah dimengerti, serta mudah
dipahami.12
Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang
menggambarkan ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau
fenomena lainnya. Woodruff mendefinisikan konsep sebagai berikut:
(1) suatu gagasan/ide yang relative sempurna dan bermakna, (2) suatu
pengertian tentang suatu objek, (3) produk subjekif yang berasal dari
cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-
benda melalui pengamalannya (setelah melakukan persepsi terhadap
objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran
mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya.Pada
tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah
kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau
kejadian tertentu.13
Berdasarkan uraian di atas maka unsur-unsur konsep sebagai berikut:
1) Nama
Yaitu suatu konsep yang mewakili kata tunggal untuk
mempresentasikan ide atau gagasan.
2) Contoh positif dan negatif
Digunakan untuk dapat menganalisis dan membandingkan contoh-
contoh positif atau negatif beserta karakteristinya.
3) Karakteristik Pokok

11
Harifudin Cawiduw, Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.13.
12
Idtesis.Com, Pengertian Konsep Menurut para Para Ahli, (Diposting Tanggal 20 Maret
2015). https://idtesis.com/konsep-menurut-para-ahli/ (Diakses Tanggal 13 Maret 2020).
13
Moh.Amin, Mengerjakan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Menggunakan Metode
“Discovery” dan “Inquiry”, (Jakarta: Depdikbud-Dirjen Dikti, 1987), h.42.
82

Digunakan untuk bisa menciptakan dan menentukan suatu contoh


yang termasuk dalam kategori konsep atau bukan konsep.
4) Rentang Karakteristik
Yakni sebuah konsep yang berhubungan dengan konsep lainnya dan
memiliki rentang karakteristik yang membatasi konsep tersebut.
Terdapat 3 hal terkait dengan rentangan karakteristik, ialah :
 Super ordinat (konsep yang dihubungkan dengan konsep yang lebih
luas)
 Koordinat (konsep yang setara dan saling berkaitan satu dengan
lainnya)
 Subordinat (sub kategori atau bagian kecil dari suatu konsep)
Kaidah14
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan wawancara dengan
bapak Ahmad Timbas tokoh adat kampung Negara Bumi Udik bahwa
konsep perkawinan masyarakat adat Lampung yaitu tidak jauh berbeda
dengan konsep perkawinan dalam Islam. Seperti halnya masyarakat
suku lain, ada juga surat nikah yang dikeluarkan oleh KUA (Kantor
Urusan Agama) dan segala macam persiapan perkawinan melibatkan
KUA (Kantor Urusan Agama) setempat. Yang membedakan hanya
dalam prosesi adat istiadatnya saja, dalam adat Lampung apabila akan
dibuatkan acara besar maka dikenal dengan istilah naik Padun atau
lebih dikenal dengan istilah Begawi. Pada acara Begawi biaya yang
dikeluarkan cukup besar yaitu berkisar seratus juta lebih dan biaya ini
hanya untuk acara adatnya saja belum termasuk biaya untuk acara
pernikahan. Pada zaman sekarang yang paling penting adalah buku
nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), akan tetapi
zaman dahulu tidak ada buku nikah maka yang dikuatkan adalah adat.15

14
Pelajaran.co.id, Pengertian Konsep dan Unsur-Unsur Konsep Menurut Ahli Terlengkap,
(Diposting Tanggal 6 Februari 2017).https://www.pelajaran.co.id/2017/06/pengertian-konsep-dan-
unsur-unsur-konsep-menurut-ahli.html, (Diakses Tanggal 13 Maret 2020).
15
Ahmad Timbas, Tokoh Adat Kampung Negara Bumi Udik Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 08 November 2019.
83

Tentang konsep perkawinan masyarakat adat Lampung di


Kecamatan Anak Tuha juga diungkapkan oleh bapak Abdul Thalib
tokoh adat kampung Tanjung Harapan yaitu konsepnyasama dengan
konsep perkawinan dalam Islam, namun yang membedakan yaitu dalam
prosesi adatnya. Dalam masyarakat adat Lampung apabila ada laki-laki
yang akan mengambil gadis Lampung maka harus meninggalkan uang
dan surat, setelah gadis tersebut diambil pihak dari yang laki-laki
maupun pihak dari sang gadis mengumpulkan penyimbang-penyimbang
di rumahnya masing-masing. Hal tersebut dilakukan untuk
memberitahu bahwa sang gadis sudah diambil dan memberitahu bahwa
seorang laki-laki telah mengambil gadis. Untuk langkah seterusnya
yaitu setengah bulan kemudian akan diadakan nibuh salah yang artinya
penyelesaian menggunakan uang apabila ada kesalahan sebelum
pernikahan diantara penyimbang bidang suku dari pihak perempuan dan
pihak laki-laki.
Masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha tidak
mengharuskan menikah dengan sesama suku Lampung ataupun di luar
suku Lampung. Walaupun sebenarnya para tokoh adat/penyimbang
agar menjaga keabsahan keturunan dianjurkan untuk menikah sesame
suku Lampung. Anjuran ini sifatnya hanya himbauan, tidak ada paksaan
dari tokoh adat. Oleh karena itu, masyarakat adat Lampung ditinjau dari
segi sistem perkawinannya mengikuti sistem eleutherogami (sistem
perkawinan di mana seseorang diperbolehkan kawin dengan dari dalam
dan luar sukunya)
Masyarakat suku Lampung di Kecamatan Anak Tuha memahami
perkawinan merupakan ikatan yang sacral. Ikatan ini merupakan ikatan
kuat yang harus dijaga sampai mati. Masyarakat suku Lampung dalam
melangsungkan sebuah perkawinan dibutuhkan waktu yang panjang
dan dana yang tidak sedikit. Waktu yang lama ini dimaksudkan agar
84

dalam membina rumah tangga benar-benar mendapatkan kesiapan


matang baik fisik maupun mental.16
Hal serupa juga diuangkapkan oleh bapak Chaerul Saleh tokoh
adat kampug Bumi Aji perihal konsep perkawinan masyarakat adat
Lampung yang mengikuti pada ajaran Islam, jika di dalam hukum
agama tidak diperbolehkan bercerai artinya pada adat Lampung juga
tidak diperbolehkan bercerai. Agama Islam adalah agama fitrah dan
manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, Karena itu
Allah SWT menyuruh manusia menghadap diri ke agama fitrah agar
tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi
tuntutan naluri manusia yang sangat asasi dan sarana untuk membina
keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan
besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan
separuh agama.17
Hasil wawancara di lapangan dari bapak Usman Effendi tokoh
adat kampung Negara Bumi Ilir memperoleh keterangan konsep
perkawinan pada masyarakat adat Lampung sebenarnya tidak berbeda
jauh dengan konsep perkawinan dalam Hukum Islam, hanya saja yang
membedakan pada prosesi perkawinan dalam adatnya. Proses
perkawinan pada masyarakat adat Lampung lama dan tidak mudah.
Hukum pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
melingkupi tiga hukum yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum
pemerintahan.
Mengambil gadis pada proses perkawinan pada masyarakat adat
Lampung akan berlangsung lama karena harus mengumpulkan tokoh-
tokoh adatnya terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk memberikan

16
Abdul Thalib, Tokoh Adat Kampung Tanjung Harapan Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 09 November 2019.
17
Chairul Saleh, Tokoh Adat Kampung Bumi Aji Kecamatan Anak TuhaKabupaten Lampung
Tengah, Wawancara, Tanggal 10 November 2019.
85

kabar bahwa ada seorang laki-laki yang sudah mendapatkan calon istri.
Untuk sampai pada proses perkawinan paling sebentar memerlukan
waktu 15 (lima belas) hari dari proses mengambil gadis tersebut.18
Menurut bapak Ahmad Sari tokoh adat kampung Gunung Agung
menyebutkan konsep perkawinan pada masyarakat adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha tidak jauh berbeda dengan konsep perkawinan
dalam Hukum Islam sebaga ikatan yang sakral dan kuat. Selanjutnya
bapak Ahmad Sari sedikit menjelaskan mengenai tata cara pada
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha pada umumnya
berbentuk perkawinan dengan cara lamaran (rasan tuha) dengan
sebambangan (larian). Perkawinan dengan cara lamaran ditandai
dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan. Uang
tersebut digunakan untuk menyiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga
(sesan), dan diserahkan kepada mempelai laki-laki pada saat upacara
perkawinan berlangsung. Sedangkan, perkawinan sebambangan (tanpa
acara lamaran) merupakan perkawinan dengan cara melarikan gadis
yang akan dinikahi oleh bujang dengan persetujuan si gadis, untuk
menghindarkan dari hal-hal yang dianggap dapat menghambat
pernikahannya seperti tata cara atau persyaratan adat yang memakan
biaya cukup banyak.19
b. Pelaksanaan Perkawinan
Tentang tatacara atau upacara perkawinan pada masyarakat adat
Lampung menurut Ahmad Timbas selaku Tokoh Adat di Kecamatan
Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah pada umumnya berdasarkan
perkawinan jujur yang pelaksanaannya dapat dengan cara adat hibal
serba, bumbang aji, itar padangdan itar manom. Tata cara dan upacara
adat ini dapat dilakukan apabila tercapaikesepakatan antara pihak
kerabat laki-laki dan kerabat perempuan, baik dikarenakan berlakunya

18
Usman Efendi, Tokoh Adat Kampung Negara Bumi Ilir Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 11 November 2019.
19
Ahmad Sari, Tokoh Adat Kampung Gunung Agung Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 11 November 2019.
86

rasan sanak maupun rasan tuha; baik terjadinya perundingan antara


orang tua setelah terjadi berlarian maupun terjadinya perundingan
dikarenakan adanya peminangan. Dalam rasan tuha ada kemungkinan
antara orang tua-tua telah mengikat perjanjian sejak anak-anak mereka
masih bayi dengan pertukaran popok bayi (ampin) dan pihak laki-laki
telah lama bertuntut, yaitu sudah banyak memberikan tanda mau
(berugi) kepada si perempuan sejak masa kecil.Atau berlaku juga
berlaku terhadap anak perempuan yang telah meningkat dewasa yang
dimulai dengan penjajakan (nindai), penyampaian cekarem (tanda
pengikat) dan kuagi yaitu menanyakan dan penentuan waktu.20
Di lingkungan masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak
Tuha Kabupaten Lampung Tengah apabila antara pihak kerabat laki-laki
dan kerabat perempuan terwujud perbincangan-perbincangan tidak
resmi (giyab-giyeb) dan menghasilkan kesepakatan baik mengenai
persyaratan adat, kebendaan, dan keuangan di dalam rangka upacara
adat yang dilakukan, maka konsep tentang tata cara dan upacara adat
yang dapat dilakukan menurut kemampuan dan kesepakatan yang telah
tercapai di antara kedua pihak sebagaimana diuraikan di bawah ini:21
1) Hibal Serba
Upacara adat perkawinan hibal serba (ibal serbaou) harus
dimulai dengan carapineng (meminang), dan nunang (bertunangan),
serta nyamban dudul (memberi dodol) olehpihak laki-laki kepada
pihak perempuan. Upacara adat diadakan di tempat pihak perempuan
dan pihak laki-laki yang biasanya diteruskan dengan upacara cakak
pepadun (naik pepadun), untuk menetapkan kedudukan martabat
mempelai dan anggota kerabat lainnya dalam hubungan-hubungan
adat selanjutnya. Pelaksanaan upacara tersebut begawei cakak
pepadun dengan hibal pak blue (jujur 24 rial) dan menyembelih
kerbau serta memakai pakaian dan perlengkapan adat lengkap.
20
Ahmad Timbas, Tokoh Adat Kampung Negara Bumi Udik Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 08 November 2019.
21
ibid
87

Menjelang saat-saat perkawinan baik di tempat laki-laki maupun


di tempat perempuan, tempat upacara di sesat (balai adat) sudah harus
disiapkan semuaalat perlengkapan adat. Di tempat laki-laki para
anggota prowatin adat bermusyawarah mengatur persiapan-persiapan
dan menentukan serta mengatur tata cara dan upacara yang harus
dilakukan selanjutnya, antara lain terhadap para pemuka adat dari
pihak mempelai perempuan dalam acara ngattak claw (mengatur uang
jujur, biaya adat, dan lain-lain).22
Di tempat perempuan para pemuka adat juga demikian, dan
terutama menyiapkan barang-barang sesan yang akan dibawa oleh
mempelai perempuan dengan pengangkutannya. Barang-barang itu
terdiri antara lain dari perlengkapan alat tidur lengkap, dan lemari-
lemari pakaian, meja kursi perabot rumah tangga, barang-barang
pecah belah, alat-alat dapur, barang pakaian serta perhiasan emas dan
lain-lain. Barang-barang itu meliputi hak milik yang memang sudah
ada, yang baru dapat dibeli, dan dari anggota kerabat dan
kenalan.Beberapa malam setelah mempelai perempuan dilepas, dan
diantar kepergiannya ke tempat laki-laki, di rumahnya diadakan
pertemuan muda mudi (mulai menganai) di bawah pimpinan kepalou
menganaidan kepalou mulei, acara berlaku dari sore sampai pagi.
Demikian pula keadaannya di tempat laki-laki.
Pada hari yang telah ditentukan setelah para pemuka adat
mengambil keputusan tentang gawei adat itu, maka dilakukan upacara
pengambilan mempelai perempuan dari rumah kediaman atau balai
adatnya untuk dibawa ke tempat mempelai laki-laki.23 Rombongan
mempelai laki-laki yang akan pergi mengambil mempelai perempuan
itu terdiri dari anggota penyimbang bilik (kepala adat setempat), orang
tua laki-laki dan perempuan, anggota kerabat ibu (kelama), saudara-
saudara ayah (adek warei), saudara-saudara perempuan dari pihak

22
Ibid
23
Ibid
88

ayah yang telah bersuami (mirul) dan para suaminya (mengiyan),


anak-anak laki-laki perempuan dari mirul, dan lain-lain. Rombongan
pergi dengan iringan tabuhan tala.
Mempelai laki-laki berjalan diapit oleh para mengiyan dan
beberapa pemuda yang memegang payung adat berwarna putih, jika
duduk di atas rata juga demikian, tetapi jika di dalam mobil maka
payung dimekarkan setelah dekat tempat kediaman perempuan, agak
sedikit jauh di muka barisan senjata tumbak, pedang, dan keris,
berjalan dengan menari nari, dan sesekali melkaukan pencak silat
mengadu senjata. Diantaranya ada yang memegang ayam jantan untuk
diadu dengan ayam jantan pihak perempuan.
Sampai di dekat tempat kediaman perempuan letusan senjata api
tujuh kali ditembakkan oleh pengawal pihak perempuan, yang
kemudian dibalas oleh pengawal pihak laki-laki, juga dengan
tembakan tujuh kali kemudian kedua pengawal berhadapan bersilat
lidah dan bersilat tenaga akhirnya pengawal pihak perempuan mundur
searah sanggar yang dipertahankannya, tabuhan tala bertalu-talu dan
mempelai laki-laki menghunus pedang menujuke arah sanggar, dan
sanggar diputuskan (ngerabung-sanggar).walaupun sanggar telah
diputuskan, atau jatuh, pengawal perempuan belum juga memberi izin
masuk ke pintu gerbang sebelum mengadu ayam. Akhirnya pihak
perempuan mengalah juga, pintu gerbang dibuka rombongan yang
datang dan menerima bersalaman, dan bersama-sama menujuke halal
adat.Mempelai laki-laki dipersilahkan berjalan di atas lembaran kain
putih (titian kayu) menuju tempat mempelai perempuan.24
Para pemuka adat dari pihak laki-laki duduk berhadapan dengan
para pemuka adat pihak perempuan. Musyawarah adat dimulai,
dimana pihak laki-laki menyerahkan sereh (uang jujur), siger
(mahkota), anggar/kandukn (barang-barang tua), serta biaya-biaya
adat seperti galang sila (uang sidang), dan lain-lain, yang kesemuanya

24
Ibid
89

ditempatkan pada dua belas nampan kuningan besar. Selesai


musyawarah adat, maka semua dipersilahkan bersantap yang disebut
dengan mengan kerbau.
Selesai bersantap dan beristirahat sejenak, maka pematu atau
penglaku (pengantar acara adat) mengumumkan semua keputusan
pengacara adat, yang dimasa sekarang dituangkan dalam bentuk
tertulis. Di dalam surat keputusan itu dinyatakan tentang kedudukan
mempelai dan adek-inai (gelar) mempelai serta panggilan terhadap
mereka, biaya-biaya adat, barang sesan (bawaan), mempelai
perempuan dan lain-lainnya yang kesemuanya disahkan dan
ditandatangani oleh para pemuka adat yang hadir.
Setelah acara adat tersebut sampailah pada acara ngebekas,
dimana kepala adat mempelai perempuan menyerahkan mempelai
perempuan kepada kepala adat mempelai laki-laki. Maka dilepaskan
kepergian mempelai perempuan dengan do’a restu kaum kerabat.
Kedua mempelai dipersilahkan naik kendaraan dan ditembakkan
senjata api meletus tujuh kali, maka berangkatlah rombongan
mempelai ke tempat kediaman laki-laki dengan iringan kendaraan
yang membawa barang-barang sesan. Di tempat kediaman laki-laki
rombongan disambut oleh rombongan kepala adat pihak laki-laki,
letusan senjata api dan tabuhan tala dibunyikan. Pada sore harinya
dengan dihadiri oleh kerabat pihak laki-laki dan perempuan
dilaksanakan akad nikah antara mempelai laki-laki dengan wali dari
mempelai perempuan. Pada malam harinya diadakan tari menari adat
(cangget), tari laki-laki perempuan (igel mulei maranai); taxi
ketangkasan (tigel tari), taxi sesabayan (tari antar besan) dan acara
ngediyou (seni suara klasik) antar muda-mudi sahut-menyahut.25
Keesokan harinya dilaksanakan acara cakak pepadun. Kedua
mempelai berjalandari rumahnya menuju bangunan patcah aji
(penobatan) dengan memegang sebatang tombak yang digantungi

25
Ibid
90

buah kelapa tumbuh, alat tenun, kendi air, padi bertangkai. Di sana
mempelai duduk bersanding dengan menginjak kepala kerbau.
Pada saat akan melaksanakan cakak pepadun, mempelai laki-
laki memakai celana panjang kelabu, ikat pinggang putih, keris
punduk, baju panjang, kopiahtua, sedangkan mempelai perempuan
memakai tapis, baju panjang, kanduk telue (kerudung), dan selempang
berwarna putih kuning merah.
Kedua mempelai selanjutnya dipersilahkan duduk di atas
pepadun, yaitu bangku adat yang berkaki empat pendek terbuat dari
kayu yang berukir-ukir. Disamping mempelai duduk pula kerabat
yang akan menjadi pembantu adat dari kepenyimbangan mempelai.
Ada yang duduk di sebelah kiri (nyiku kiri) dan ada yang di sebelah
kanan (nyiku kanan) dan ada beberapa yang berdiri di belakang
(nenggau).
Setelah para anggota pemuka adat duduk tenang dihadapan
kedua mempelai maka penglaku memohon perhatian dan
menyampaikan dengan kata-kata sastra yang indah dengan diselingi
pukulan canang bahwa pada hari itu kedudukan mempelai diresmikan
sebagai kepala rumah tangga kerabatnya yang bertanggungjawab dan
memiliki harta kekayaan dan alat perlengkapan adat sendiri. Sebagai
pimpinan rumah tangga kepada mempelai laki-laki diberi gelar
“Suttan”, misalnya Suttan Kepala Raja dan kepada mempelai
perempuan diberi gelar “Sesunan”, misalnya Sesunan Ratu Buwai
Perintah, dan sebagainya. 26
Di masa sekarang semua isi pengumuman penglaku berdasarkan
keputusan musyawarah adat para penyimbang-penyimbang yang
hadir. Surat keputusan tersebut diserahkan kepada kerabat yang
memadun.
Bahwa upacara adat memadun ini cukup dilaksanakan oleh anak
lelaki tertua, karena kedudukannya sebagai penyimbang dalam

26
Ibid
91

kekerabatan rumah tangganya. Bagi adik-adiknya yang lain jika


melakukan upacara perkawinan dapat memakai upacara bumbang
aji.27
2) Bumbang Aji
Upacara adat perkawinan bumbang aji adalah upacara dimana
pihak kerabat mempelai peremuan cukup melepas anaknya dengan
upacara sederhana, misalnya hanya menyembelih kambing. Mempelai
perempuan diserah terimakan kepada tua-tua adat mempelai laki-laki
yang mengambilnya tanpa musayawarah prowatin adat. Mempelai
laki-laki yang datang mengambil hanya berpakaian kain, berjas, dan
peci atau kikat akin (ikat kepala kain Lampung atau berpakaian haji).
Upacara pengambilan mempelai perempuan dilakukan siang hari,
barang-barang bawaan mempelai perempuan (sesan) dibawa bersama-
sama ke tempat mempelai laki-laki.
Dalam bentuknya yang sah upacara bumbang aji ini berlaku
dengan cara lamaran dan pembayaran uang jujur (serah) sebesar 12
rial, jaditidak sebesar 24 rial seperti dalam acara Hibal Serba. Begitu
pula pereundingan mengenai acara dan upacara perkawinan antar
pemuka adat kerabat laki-laki dan pemuka adat kerabat perempuan
dilakukan hanya di anjung, yaitu serambi sesat. Pengambilan
mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki tidak dilakukan acara
ngerabung sanggar atau nettek appeng (memotong perisai), dan
keberangkatan mempelai dari rumah perempuan ke rumah laki-laki
dipayungi payung adat berwarna kuning tanpa memakai rata
(kendaraan) jadi tidak seperti dalam upacara Hibal Serba yang
memakai rata dan payung putih, oleh karena di upacara ini dilakukan
oleh anggota kerabat penyimbang tiyuh (kampung), bukan anggota
kerabat penyimbang marga.28

27
Ibid
28
Abdul Thalib, Tokoh Adat Kampung Tanjung Harapan Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 09 November 2019.
92

3) Itar Padang
Upacara adat perkawinan itar padangyang juga disebut tar
padang (dilepas dengan terang) atau lapah dawah (berjalan siang),
dimasa lampau dilakukan oleh anggota kerabat penyimbang suku
dengan nilai jujur 8 (delapan) atau 6 (enam) rial. Perundingan antar
pemuka adat kerabat laki-laki dan perempuan cukup dilakukan di
rumah mempelai perempuan. Mempelai laki-laki yang datang
mengambil mempelai perempuan berpakain jas hitam, kain songket
dan ikat kepala (kikat akkin), sedangkan mempelai perempuan yang
berangkat dari rumahnya berpakaian baju kerudung atau kebaya
beludru hitam bertahta benang emas dengan kerudung hitam bersulam
benang emas.
Untuk menjamu rombongan mempelai laki-laki dan para
undangan pihak kerabat perempuan hanya memotong beberapa ekor
ayam. Setelah penyelesaian uang jujur dan uang-uang adat dengan
pihak mempelai perempuan oleh pihak mempelai laki-laki, maka
mempelai perempuan dan laki-laki diiringi tanpa tabuhan tala oleh
anggota kerabat menuju ke rumah mempelai laki-laki, tanpa
kendaraan, berjalan kaki dengan paring adat berwarna merah. Barang-
barang sesan sekerdarnya dibawa serta.
Jika mempelai berjalan malam memakai penerangan lampu yang
bercahaya terang (petromak). Sampai di rumah laki-laki mempelai
diterima dengan sederhana dan segera dinikahkan yang dihadiri oleh
anggota kerabat kedua pihak.Setelah akad nikah jika pihak kerabat
pria menghendaki dilaksanakan upacara adat memadun dan turun
duwai dapat saja dilaksanakan atas persetujuan dan pemufakatan
kerabat laki-laki dan pemuka adat di tempat laki-laki bersangkutan.29

29
Chairul Saleh, Tokoh Adat KampungBumi Aji Kecamatan Anak TuhaKabupaten Lampung
Tengah, Wawancara, Tanggal 10 November 2019.
93

4) Itar nanom
Perkawinan dengan itar nanom adalah perkawinan yang
didahului dengan acara lamaran dan perundingan secara diam-diam
antara pihak laki-laki dan pihka perempuan tanpa dicampuri oleh tua-
tua penyimbang.Keluarga pihak mempelai perempuan melepas
keberangkatan anak perempuannya diambil oleh pihak laki-laki
dengan jamuan hidangan minum kopi. Mempelai laki-laki tidak perlu
untuk datang menyongsong ke rumah pihak perempuan, oleh karena si
perempuan diambil oleh beberapa orang perempuan dan kerabat laki-
laki pada waktu malam hari. Dalam perjalanan ini mempelai
perempuan hanya berpakaian kebaya kerudung biasa saja tidak dengan
alat perlengkapan pakaian adat. Anggota kerabat terbanyak dan para
tetangga baru akan tahu keesokan paginya bahwa mempelai sudah
ada.
Beberapa hari kemudian kedua mempelai dinikahkan dan jika
kerabat laki-laki mampu dalam hal ini dapat juga mereka
meningkatkan upacara perkawinan ini ke upacara memadun. Jika tidak
mampu maka setelah acara akad nikah secara agama Islam yang
dihadiri oleh para anggota kerabat kedua pihak, maka upacara
sederhana ini diakhiri dengan makan-makan bersama antara kerabat
besan. Sedangkan antara kedua mempelai perempuan juga dilakukan
acara mosok(disuapi) makanan oleh anggota kerabat kedua pihak,
terutama kaum perempuannya hanya sifatnya lebih sederhana
daripada dalam acara Tar Padang.30
c. Isi Perjanjian Perkawinan
Terkait isi perjanjian perkawinan menurut Ahmad Tibas selaku
tokoh adat kampung Negara Bumi Udik Kecamatan Anak Tuha tidak
tertulis namun diucapkan secara lisan. Mengenai perjanjian perkawinan
merupakan sudah menjadi adat istiadat yang turun temurun diwariskan

30
Usman, Tokoh Adat Kampung Negara Aji BaruKecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 11 November 2019.
94

oleh nenek moyang masyarakat adat Lampung sejak zaman dahulu. Isi
dari perjanjian perkawinan yaitu untuk hidup bersama selamanya agar
tidak bercerai yang diucapkan oleh mempelai laki-laki yaitu,“saya
berjanji akan mencintai dan hidup bersama dengan istri saya sampai
mati”.31
Apabila salah satu pasangan atau masing-masing pasangan takut
diselingkuhi maka dibuatlah perjanjian yang menyatakan sampai mati
tidak akan bercerai dikarenakan perceraian yang berlaku pada
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha hanya cerai mati.
Apabila seorang istri / suami selingkuh dengan laki-laki / perempuan
lain maka istri / suami tersebut harus dibuang terlebih dahulu dari adat
guna membersihkan dosa dan aib yang telah diperbuat. Jika tidak
dibuang maka akan diasingkan dari adat karena rusaknya harga diri.
Dikatakan cerai mati karena yang dapat memisahkan perkawinan hanya
maut.
Berdasarkan hasil penelitian jika terjadi perceraian atau istri
dibawa lari laki-laki lain, dalam adat masyarakat Lampung harus
memotong Kerbau dan nurun uang adat. Dalam hal nurun uang adat
jumlahnya tidak tentu, berbeda antara orang yang satu dengan yang
lainnya. Jumlah nurun uang adat diantaranya ada yang dua juta empat
ratus, dua puluh empat juta, enam puluh juta, seratus dua puluh juta, dan
paling kecil uang adat yaitu enam ribu. Uang adat yang sudah
dikeluarkan akan masuk ke kas adat untuk dipergunakan dalam acara-
acara adat.32
Menurut Abdul Thalib selaku tokoh adat kampung Tanjung
Harapan Kecamatan Anak Tuha isi perjanjian perkawinan tidak tertulis
namun diucapkan secara lisan. Perjanjian yang dimaksud di sini adalah
perjanjian yang mengikat secara adat istiadat secara turun temurun agar
tidak bercerai. Isi dari perjanjian perkawinan yaitu untuk hidup bersama
31
Ahmad Timbas, Tokoh Adat Kampung Negara Bumi Udik Kecamatan Anak Tuha
KabupatenLampung Tengah, Wawancara, Tanggal 08 November 2019.
32
Ibid
95

selamanya yang diucapkan oleh mempelai laki-laki yaitu, “saya berjanji


akan mencintai dan hidup bersama dengan istri saya sampai mati”.33
Masyarakat adat Lampung sejak dahulu kala meyakini bahwa
perceraian dalam keluarga merupakan aib. Oleh karena itu, perceraian
tidak diperbolehkan untuk menjaga kehormatan diri, keluarga dan
penyimbang adat. Apabila terjadi perceraian maka akan dikenai denda
yang dalam bahasa Lampunya disebut cepalo (denda) berupa uang
sejumlah dua juta empat ratus serta memotong kerbau.
Tradisi tidak bercerai dalam masyarakat suku Lampung hanya
berlaku pada perkawinan yang terjadi antar suku Lampung, jadi
keluarga pengantin pria dan wanita adalah suku asli Lampung atau
seseorang yang bukan suku Lampung kemudian terlebih dahulu
menjalani upacara adat untuk mendapatkan pengakuan keadatan sebagai
bagian dari suku Lampung. Jika terjadi perkawinan antar suku di luar
Lampung, contoh bujang Suku Lampung menikah dengan gadis Suku
Jawa/ Sunda/ Batak, maka adat tidak bercerai sesudah menikah menjadi
tidak berlaku.34
Hasil penelitan di lapangan menurutn Chaerul Saleh selaku tokoh
adat kampung Bumi Aji bahwa isi dari perjanjian perkawinan yaitu
untuk hidup bersama selamanya agar tidak bercerai yang diucapkan oleh
mempelai laki-laki yaitu, “saya berjanji akan mencintai dan hidup
bersama dengan istri saya sampai mati”. Apabila terjadi sesuatu di
kemudian hari dalam kehidupan rumah tangga yang menyebabkan
perpisahan maka akan ada denda dari adat. Disinilah yang dianggap
paling berat karena hukum adat, hukum agama, dan hukum
pemerintahnya sehingga ketiga hukum tersebut saling berkaitan.35

33
Abdul Thalib, Tokoh Adat Kampung Tanjung Harapan Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 09 November 2019.
34
Ibid
35
Chairul Saleh, Tokoh Adat Kampung Bumi Aji Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 10 November 2019.
96

Dalam pelaksanannya perjanjian perkawinan tidak dicatatkan,


namun sejak zaman dahulu dari nenek moyang sudah turun temurun
perjanjian perkawainan adalah perjanjian yang mengikat antara suami
dan istri untuk tidak berpisah. Sekalipun tidak dijelaskan tentang
perjanjian perkawinan, pasangan suami istri sudah mengetahui silsilah
dan alur dari pernikahan tersebut bahwa dalam kehidupan rumah tangga
harus sampai maut yang memisahkan. Pada masyarakat adat Lampung
sebelum menikah sudah ada komitmen tersendiri dalam hati untuk
menjalani rumah tangga seumur hidup.36
Menurut Usman Effedin selaku tokoh adat kampung Negara Bumi
Ilir Kecamatan Anak Tuha perjanjian ini merupakan perjanjian yang
mengikat secara adat dari zaman nenek moyang. Masyarakat adat
Lampung di Kecamatan Anak Tuha memaknai ikatan perkawinan
sebagai ikatan sakral. Ikatan ini jika sudah diikrarkan dalam sebuah akad
nikah tidak dapat lagi dipecahkan oleh apapun kecuali maut
memisahkan. Isi dari perjanjian perkawinan yaitu untuk hidup besama
selamanya agar tidak bercerai yang diucapkan oleh mempelai laki-laki
yaitu, “saya berjanji akan mencintai dan hidup bersama dengan istri saya
sampai mati”. Secara pelaksanaan, perjanjian perkawinan dilaksanakan
berbarengan dengan proses perkawinan pada masyarakat adat Lampung
di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah. Sehingga ketika
masyarakat melakukan perkawinan maka terlaksana pula perjanjian
perkawinan tersebut.37
Proses pelaksanaan perjanjian perkawinan pada masyarakat adat
Lampung di Kecamatan Anak Tuha dilakukan sebelum pembacaan ijab
kabuldan tidak tertulis serta tidak dicantumkan dalam akta nikah hanya
diucapkan oleh mempelai laki-laki. Meskipun tidak dicatatkan namun
perjanjian perkawinan masyarakat adat Lampung sudah menjadi
perjanjian yang mengikat antara calon suami dan calon istri. Perjanjian
36
Ibid
37
Usman Effendi, Tokoh Adat Kampung Negara Bumi Ilir Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 11 November 2019.
97

yang mengikat ini merupakan adat istiadat yang sudah turun temurun
dan harus dilaksanakan, apabila melanggar maka akan mendapat sanksi
adat.
Masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah sejak dahulu kala telah meyakini bahwa perceraian
dalam keluarga merupaka aib. Oleh karena itu perceraian tidak
dibolehkan untuk menjaga kehormatan diri, keluarga dan penyimbang.
Jika dipresentasikan maka Sembilan dari sepuluh orang memilih untuk
tidak bercerai demi menjaga kehormatan diri dan keluarga. Bisa
dikatakan dengan adanya perjanjian perkawinan dapat menekan angka
perceraian di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah. 38
Berkaitan dengan isi perjanjian perkawinan masyarakat adat
Lampung menurut Ahmad Sari tokoh adat kampung Gunung Agung
yaitu untuk hidup bersama selamanya agar tidak bercerai yang
diucapkan oleh mempelai laki-laki yaitu, “saya berjanji akan mencintai
dan hidup bersama dengan istri saya sampai mati”.39
Pada adat Lampung yang dipegang hanya cerai mati. Jika terjadi
perceraian antara pasangan suami istri baik itu perceraian dari pihak
laki-laki maupun perceraian dari pihak perempuan ada dendanya dari
adat Lampung. Dendanya yaitu sementara ditinggalkan dahulu di dalam
adat. Sehingga tidak bisa mengerjakan adat dan mencampuri adat
terkecuali jika sudah menyelesaiakan denda apa yang diberikan oleh
adat. Denda dalam adat Lampung bermacam-macam, ada istilah denda
yang tenurun yaitu memberikan uang sejumlah yang telah disepakati
misalnya enam juta atau dua belas juta. Ada juga yang tidak bisa
diselesaikan dengan uang, sekecil apapun dia harus memotong kerbau
atau sapi baru bisa masuk lagi ke dalam adat Lampung. Apabila belum

38
Ibid
39
Ahmad Sari, Tokoh Adat Kampung Gunung Agung Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 11 November 2019.
98

menyelesaikan aturan-aturan itu maka masih tetap ditinggalkan dari adat


Lampung.40
d. Dampak Perjanjian Perkawinan terhadap Kehidupan Rumah
Tangga
Dampak dari perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh
masyarakat adat Lampung terhadap kehidupan rumah tangga berkaitan
erat dengan keharmonisan keluarga. Namun demikian keharmonisan
keluarga yaitu tergantung dengan pasangan suami istri itu sendiri. Ada
pasangan dalam rumah tangga yang berkecukupan secara materi tetapi
tidak harmonis kehidupan berumah tangganya. Ada juga pasangan
dalam rumah tangga yang hidup sederhana namun rumah tangganya
cerah dan bahagia. Sehingga berkaitan dengan keharmonisan keluarga
tergantung pada rumah tangga yang dijalani pasangan suami istri
menerima atau tidak dengan keadaan rumah tangganya terutama dalam
hal materi. Keharmonisan rumah tangga akan tercipta jika kebahagiaan
salah satu anggota berkaitan dengan kebahagiaan anggota-anggota
rumah tangga lainnya.41
Dampak perjanjian perkawinan terhadap kehidupan rumah tangga
tergantung pada agamanya. Jika pasangan suami istri mempelajari
agama yang sesungguhnya dan mencontoh akhlak baginda Rasulullah
SAW maka kemungkinan besar dalam kehidupan rumah tangga akan
bahagia dan harmonis. Walaupun mempunyai harta yang melimpah akan
tetapi tidak dekat dengan agama niscaya keluarganya tidak akan
bahagia. Pada Masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha yang
dipegang teguh adalah hukum agama dan hukum adat. Perjanjian
perkawinan yang terjadi pada masyarakat adat Lampung yang
merupakan bagian dari adat membawa dampak positif sehingga
meminimalisir terjadinya perceraian karena masyarakat patuh terhadap

40
Ibid
41
Ahmad Timbas, Tokoh Adat Kampung Negara Bumi Udik Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 08 November 2019.
99

hukum agama dan hukum adat meskipun ada masyarakat adat Lampung
yang melakukan perceraian.42
Dengan adanya perjanjian perkawinan sebagai adat pada
masyarakat Lampung membawa dampak yang positif sehingga dapat
mengurangi angka perceraian. Masyarakat adat Lampung sangat
menjunjung tinggi adat kebiasaan, selagi tidak bertentangan dengan
agama. Selain karena adat, perjanjian perkawinan merupakan perjanjian
yang mengikat dilarangnya perceraian. Akibat dari perceraian sangat
berat bagi masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha karena
hilangnya harga diri dan akan dibuang dari adat. Maka dari itu
perjanjian perkawinan menjadi benteng yang paling ampuh dari
perceraian dalam kehidupan rumah tangga meskipun tidak jarang dalam
kehidupan rumah tangga pasti ada pertengkaran bahkan sampai
ditinggalkan.43
Tentu saja dengan adanya perjanjian perkawinan sebagai perjanjian
yang mengikat agar tidak bercerai berdampak positif terhadap
keharmonisan rumah tangga. Masyarakat adat Lampung di Kecamatan
Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah sejak dahulu kala telah
meyakini bahwa perceraian dalam keluarga merupakan aib. Oleh karena
itu perceraian tidak dibolehkan untuk menjaga kehormatan diri, keluarga
dan penyimbang. Jika dipresentasikan maka Sembilan dari sepuluh
orang memilih untuk tidak bercerai demi menjaga kehormatan diri dan
keluarga. Bisa dikatakan dengan adanya perjanjian perkawinan dapat
menekan angka perceraian di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah.44
Dampak yang dapat ditimbulkan dari perjanjian perkawinan dalam
kehidupan rumah tangga yaitu apabila terjadi perpisahan

42
Abdul Thalib, Tokoh Adat Kampung Tanjung Harapan Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 09 November 2019.
43
Chairul Saleh, Tokoh Adat Kampung Bumi Aji Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 10 November 2019.
44
Usman Effendi, Tokoh Adat Kampung Negara Aji Baru Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 11 November 2019.
100

perbandingannya dari sembilan berbanding satu. Sembilan benar-benar


menjalankan permikahan sehidup semati sampai maut memisahkan,
sedangkan yang berpisah hanya satu. Tentu berdampak juga terhadap
keharmonisan rumah tangga yang menjadi dambaan setiap keluarga.
Meskipun tak jarang pula dalam kehidupan keluarga pasti ada
permasalahannya. Dengan perjanjian perkawinan menjadi pengingat
bagi pasangan suami istri bahwa hidup bersama dalam keadaan suka dan
duka menjadi lebih penting sekalipun hal terburuk seperti permaduan
dilakukan oleh suami.45

B. Analisis
1. Perjanjian Perkawinan Masyarakat Adat Lampung di Kecamatan
Anak Tuha Kabuapten Lampung Tengah
Pada kesempatan ini penulis akan mendiskripsikan budaya serta
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha menggunakan studi
etnografi berdasarkan data yang diperoleh di lapangan melalui pemahaman
yang mendalam. Dalam hal ini, pemahaman ini lebih banyak dilihat dari
bagaimana masyarakat melihat, menyikapi dan berperilaku menurut
pemahaman mereka sendiri (emic view) yang lantas harus dilihat nantinya
oleh etnografi ketika sudah kebali dari lapangan melalui pandangan
jauhnya (etic view). Dengan demkian substansi dari etnografi tidak lain
adalah yang bersangkut dengan epistemologinya, yakni pemahaman
makna terhadap integrasi tindakan dan peristiwa kemasyarakatan. Dalam
hubungan ini, sasaran etnografi yaitu kemampuan untuk menangkap
seperangkat pandanga masyarakat, hubungannya dalam kehidupan serta
realitas pandangan-pandangannya. Etnografi adalah cara-cara untuk
pemaknaan suatu kebudayaan.
Etnografi merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak
terkait dengan antropologi, yang mempelajari peristiwa kultural, yang

45
Ahmad Sari, Tokoh Adat Kampung Gunung Agung Kecamatan Anak Tuha Kabupaten
Lampung Tengah, Wawancara, Tanggal 11 November 2019.
101

menyajikan pandangan hidup subjek yang menjadi objek penelitian, lebih


jauh lagi etnografi telah dikembangkan menjadi salah satu
model penelitian ilmu-ilmu sosial yang sebenarnya menggunakan
landasan falsafah fenomenologi.46 Dalam penelitian ini yang menjadi
objek kajian ialah kultur, antropologi dan pandangan hidup masyarakat
adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah
mengenai perjanjian perkawinan.
Ciri khas dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya
yang menyeluruh dan terpadu (holistic-integratif), deskripsi yang kaya
(thick description) dan analisa kualitatif dalam rangka mendapatkan cara
pandang pemilik kebudayaan (nativ’s point of view). Berdasarkan hasil
temuan peneliti di lapangan yang dipaparkan oleh tokoh adat masyarakat
adat Lampung selaku pemilik kebudayaan, penulis memperoleh hasil
keterangan wawancara yang hampir sama. Pada umumnya menjelaskan
bahwa konsep perkawinan masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak
Tuha sama dengan konsep perkawinan yang berlaku dalam hukum Islam.
Hal ini dikarenakan sebagian besar bahkan hampir seluruh masyarakat
adat setempat memeluk agama Islam.
Dalam kajian etnografi, setiap masyarakat dipandang mempunyai satu
sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan
fenomena material seperti benda-benda, kejadian, perilaku, dan emosi.
Sehingga objek kajian dalam metode ini bukanlah fenomena material
tersebut, tetapi cara fenomena material tersebut diorganisasikan dalam
pikiran manusia. Menurut analisis penulis, pemberlakuan hukum agama
dan adat jelas berbeda. Hukum adat berasal dari warisan para leluhur
terdahulu yang dijalankan sebagai adat kebiasaan menjadi hukum yang
hidup di masyarakat. Sedangkan hukum Islam berasal dari Allah melalui
al-Qur’an dan hadis untuk dijadikan pedoman umat manusia di dunia.
Akan tetapi, masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
46
Noeng Muhadjir. Metodologi Penelitian Kualitatif. Pendekatan Positivistik, Rasionalistik,
Phenomenologik dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, (Jakarta:
Rake Sarasin, 1996) h. 94.
102

Kabupaten Lampung Tengah dalam hal perjanjian perkawinan melakukan


tradisi adat istiadat dengan tetap memperhatikan keberlakukan hukum
Islam untuk menjadi pedoman agar dalam pelaksanaan adat istiadat tidak
menyimpang dari nilai-nilai keagamaan dan kesusilaan.
Secara sederhana, budaya dipandang berada dalam pikiran
manusia dan bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena
material. Tugas etnografi adalah menemukan dan menggambarkan
organisasi pikiran tersebut. Konsep perkawinan masyarakat adat Lampung
sama dengan konsep perkawinan dalam hukum Islam, artinya perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yaitu hubungan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan
dengan tujuan menjalin serta membangun keluarga yang bahagia dan
abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam kajian etnografi, bentuk sosial dan budaya masyarakat
dianggap merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota
masyarakat tersebut, dan tugas sang peneliti adalah membawanya keluar
dari pikiran mereka, menurut analisis penulis terdapat beberapa hal
menjadi pola pikir masyarakat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah terhadap makna sebuah perkawinan ;
Pertama, kata seorang laki-laki dan perempuan berarti perkawinan itu
hanya antara jenis kelamin yang berbeda. Yang berarti menolak tentang
perkawinan sesama jenis. Kedua, suami istri berarti perkawinan tersebut
ialah bertemunya dua jenis yang berbeda dalam suatu rumah tangga
secara sah. Ketiga, dari penjelasan di atas bahwa tujuan perkawinan
membangun keluarga yang bahagia dan bersifat kekal, yang menafikan
perkawinan temporer dan perkawinan mut’ah. Keempat, disebutkan
perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa perkawinan
tersebut bagi masyarakat yang mayoritas beragama Islam adalah peristiwa
agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
Bentuk sosial dan budaya masyarakat yang penulis temukan yaitu
upacara perkawinan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak
103

Tuha pada umumnya berdasarkan perkawinan jujur dengan cara hibal


serbal, bumbang aji, itar padang, dan itar nanom. Upacara tersebut
dikelompokkan dari acara adat yang mewah hingga acara adat yang
sederhana. Pada prosesi hibal serba (ibal serbou) langkah pertama yang
harus dilakukan oleh keluarga calon pengantin laki-laki terhadap seorang
gadis ialah dengan cara pineng (meminang) dan bertunangan serta
nyamban dodol (membawa dodol) oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan.
Ward Goodenough mengatakan bahwa budaya adalah suatu bentuk
hal ihwal yang dimiliki manusia dalam pikiran (mind), model yang
manusia miliki untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan seterusnya
menginterpretasikan hal ihwal tersebut.47 Seperti kue dodol tersebut
menurut sifatnya yang manis, karena terbuat dari tepung beras yang
diadon bersama dengan gula merah. Sesuai dengan sifat kue dodol
tersebut, masyarakat Kecamatan Anak Tuha secara tradisional
memberinya makna bahwa kelak sesudah menikah kedua pasangan suami
istri bersangkutan bakal mengalami kebahagiaan. Selain itu, orang tua
pihak laki-laki melambangkan kue dodol sebagai suatu pengharapan agar
kelak ikatan perkawinan anaknya akan langgeng dan tidak mudah putus,
sebagaimana sifat kue dodol yang sangat liat.
Pada dasarnya sifat yang melekat pada penelitian etnografi bersifat
holistik-integratif. Hal itu dimaksudkan untuk dapat memberikan
penjelasan secara keseluruhan dan saling berkaitan dari objek (budaya)
sosial yang dikaji. Budaya telah dianggap sebagai keseluruhan, di mana
terdiri dari bagian-bagian yang tidak dapat terpisahkan. Oleh sebab itu bisa
dikatakan interaksi bagian-bagian dari kebudayaan telah menyatu.
Menururt pengamatan peneliti acara hibal serba yang sempurna biasanya
dimulai dengan cara mengikat tali pertunangan antara calon mempelai,
untuk mengikat tali pertunangan ini pihak laki-laki akan melakukan
“nyubuk-nyubuk” atau menyelidiki, dimana laki-laki akan menugaskan

47
James P. Spardley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 34-37
104

beberapa laki-laki punggawa (laki-laki yang sudah berkeluarga) untuk


mendatangi pihak perempuan dengan membawa yang termasuk hidangan
mentah yaitu beras, kopi, gula, ketan, kelapa dan lauk pauk lainnya. Pada
acara “nyubuk-nyubuk” ini bukanlah perundingan secara resmi melainkan
hanya sebuah pertemuan yang terbatas dan mencari kesepakatan, jika
kesepakatan tercapai maka pihak laki-laki akan mengumpulkan menyanak
warinya yang artinya saudara untuk melaksanakan “kuwari” yaitu
membawa dodol 600 keping, sirih pinang gambir, hidangan paha ayam,
rokok, kipas, uang perhiasan emas yang semuanya bernilai atau setara
dengan kedudukan dari orang tua gadis yang akan dipinang.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa adanya penyelidikan menjadi
salah satu faktor untuk mempermudah pihak laki-laki dan pihak
perempuan menyepakati untuk melakukan ikatan pertunangan. Dalam hal
ini apabila setelah punggawa menyatakan maksud kunjungannya
(kesepakatan untuk bertunangan) lalu orang tua sang gadis menerima
bahan-bahan mentah yang disodorkan oleh sang punggawa atau utusan
pihak laki-laki, berarti orang tua sang gadis sepakat untuk melakukan
pertunagan. Disamping itu bahan mentah yang dibawa oleh punggawa
pihak laki-laki melambangkan srtatifikasi sosial orang tua sang gadis.
Semakin banyak bahan mentah yang dibawa berarti semakin tinggi
kedudukan penerimanya. Sebaliknya semakin sedikit bahan mentah yang
dibawa berarti semakin rendah pula tingkat kedudukan penerimanya.
Secara budaya menentukan adanya perbedaan pada setiap ketentuan
jumlah bahann-bahan yang dibawa yang artinya menimbulkan perbedaan
antara orang berkedudukan tinggi dan orang berkedudukan rendah. Namun
hal tersebut tidak menimbulkan ketegangan antar warga dikarenakan
sudah menjadi adat kebiasaan bagi masyarakat.
Menjelang perkawinan baik di tempat pihak laki-laki maupun pihak
perempuan dilakukan musyawarah atau perundingan oleh penyimbang
(anak laki-laki tertua dari keturunan tertua) adat, pihak laki-laki berunding
persiapan-persiapan upacara yang harus dilakukan selanjutnya sedangkan
105

pihak perempuan berunding pengaturan uang jujur dan lain sebagainya


termasuk biaya adat serta menyiapkan barang-barang (sesan) yang akan
dibawa dengan pengangkutannya ke tempat pihak laki-laki.
Menurut pengetahuan budaya masyarakat adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha acara perundingan ditempat perempuan dapat
dilakukan di balai adat, berunding di rumah dan berunding antara kaum
ibu-ibu saja.Setiap perundingan ini mempunyai nilai adat masing-masing
dalam pelaksanannya dan juga memiliki denda adat juga jika dalam
pelaksanaanya terdapat pelanggaran yang dilakukan, salah satu contohnya
ialah jika pertunangan yang sudah terjadi dibatalkan.
Dalam hal ini pihak perempuan meminta waktu guna melakukan
musyawarah untuk menetapkan besarnya uang jujur, biaya dalam upacara
adat dan waktu perkawinan, dan jawaban akan disampaikan oleh pihak
perempuan pada saat kedatangan punggawa yang berikutynya dan
dimusyawarahkan kembali oleh kedua belah pihak untuk mencapai
persetujuan, setelah persetujuan didapatkan maka berselang beberapa
waktu pihak laki-laki akan menyampaikan barang-barang seserahan
berikut biaya adat. Barang-barang akan dibagikan kepada para saudara dan
warga sebagai tanda bahwa akan dilaksanakan upacara adat perkawinan.
Penetapan uang jujur, dan biaya adat merupakan salah satu bagian
dari upacara perkawinan adat khsusnya pada tahap pra pernikahan. Dalam
tahap ini orang tua pihak laki-laki mengirimkan ke rumah orang tua pihak
perempuan sejumlah yang telah disepakati antara kedua belah pihak.
Selain uang jujur dan biaya adat, terdapat pula barang-barang seserahan
yang dikirimkan oleh pihak orang tua pihak laki-laki. Semua itu
mengandung makna tersendiri.
Etnografi dianggap sebagai metode khusus yang didalamnya terdapat
berbagai bentuk dan karakteristik tertentu, termasuk partisipasi etnografer
(peneliti etnografi) dalam memahami dan mengikuti kehidupan sehari-hari
dari seseorang dalam periode yang lama, melihat apa yang terjadi,
mendengar apa yang dikatakan, bertanya kepada mereka, dan pada
106

kenyataannya. Dalam pengamatan peneliti konteks kebudayaan lokal di


masyarakat adat Lampung Kecamatan Anak Tuha uang jujur dan biaya
adat yang diserahkan oleh pihak orang tua laki-laki tidak hanya turut
membantu meringankan beban biaya perkawinan bagi orang tua pihak
perempuan dalam menyiapkan sesan. Lebih dari itu, uang jujur, seserahan
dan biaya adat juga menyangkut gengsi dan kehormatan keluarga dari
kedua belah pihak yang bersangkutan. Semakin banyak jumlah uang jujur,
seserahan dan biaya adat dari pihak laki-laki maka semakin besar pula
kebanggaan keluarga kedua belah pihak yang bersangkutan.
Selanjutnya pada hari yang telah ditentukan para penyimbang atau
tokoh adat kedua belah pihak mengadakan pertemuan bertujuan untuk
bermusyawarah mengatur persiapan upacara adat istiadat yang disebut
begawi. Sebutan begawi adalah tata cara untuk melaksanakan adat istiadat
perkawinan tingkat yang lebih tinggi. Setelah itu dilakukan upacara
pengambilan calon pengantin perempuan dari rumahnya untuk dibawa ke
tempat calon pengantin laki-laki.
Peralatan adat yang disiapkan dalam upacara begawi adalah pakaian
perwatin artinya pakaian tetua adat yang ada di kampung itu. Bergotong
royong untuk mempersiapkan tempat yang disebut sesat (balai adat)
tempat para tetua adat berkumpul untuk membicarakan rencana apa saja
yang akan dilakukan. Hal ini mengandung makna rangkaian acara
perkawinan yang akan dilakukan dengan bermusyawarah bersepakat
bekerja bersama-sama sehingga pekerjaan yang akan dilakukan akan
mudah dan ringan. Upacara begawi biasanya dilakukan secara ramai dan
mewah oleh lingkungan keluarga yang tergolong mampu.
Dalam mengambil gadis mempelai laki-laki datang dengan
rombongan kepala adat setempat dan sanak saudara dari pihak ayah dan
pihak ibu dengan diiringi tabuhan tala. Konteks kebudayaan pada
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha dinamakan ngakuk
majeu yang berarti mengambil perempuan dalam tahap ini rombongan dari
pihak mempelai laki-laki terdiri para penyimbang diterima dengan upacara
107

adat oleh para tetua adat pihak mempelai perempuan, lalu para tetua kedua
belah pihak duduk berhadapan di tempat terhormat menghadapi biaya adat
dan barang-barang bawaan dari pihak laki-laki, kemudian penglaku
(pengantar acara adat) dari pihak laki-laki angkat bicara menyerahkan
biaya adat yang dibawa oleh keluarga ibu-ibu dan bujang gadis yang
datang ke tempat kediaman pihak mempelai perempuan yang berisi uang
adat, sereh, beberapa nampan yang bersisi kue-kue, beberapa nampan
yang berisis rokok, tembakau sirih pinang dan sebagainya setelah itu
dilanjutkan dengan permohonan untuk mengambil mempelai perempuan.
Penglaku (pengantar acara adat) pihak wanita menerima penyerahan
barang bawaan dari pihak laki-laki, lalu menyerahkan mempelai
perempuan. Setelah itu mempelai perempuan dan laki-laki melakukan
sembah sujud kepada orang tua dan keluarga serta para penyembingnya
(anak laki-laki tertua dari keturunan tertua yang sudah dinobatkan menjadi
tokoh adat), maka dengan upacara yang diiringi dengan tetabuhan adat
kedua mempelai dan rombongan dilepas oleh pihak perempuan untuk
menuju ke tempat kediaman laki-laki. Kemudian mempelai di tempat laki-
laki disambut pula dengan upacara kebesaran, dengan tabuhan tala dan
tembakan senjata api sebanyak tujuh letusan. Penyerahan mempelai
perempuan kepada mempelai laki-laki juga ditandai dengan penyerahan
sesan (alat-alat rumah tangga) oleh mempelai perempuan. Dengan
demikian secara hukum adat maka putuslah hubungan keluarga antara
mempelai perempuan dengan kedua orang tuanya.
Pembahasan mengenai etnografi juga berkaitan berkaitan erat dengan
pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa etnografi mengandung
pemikiran, penelitian dan alasan-alasan detil tentang perwujudan
masyarakat dan dasar-dasarnya, sekaligus ilmu yang mendalam tentang
karakter berbagai peristiwa.48 Menurut analisis penulis adanya budaya
upacara adat dalam pengambilan gadis pada masyarakat adat Lampung di

48
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Masturi Ilham, dkk., (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), h.57-61
108

Kecamatan Anak Tuha, menunjukkan bahwa seseorang perempuan


Lampung sangat bernilai untuk dimiliki. Sehingga dengan upacara yang
memerlukan waktu tidak sebentar dan biaya yang tidak sedikit serta
dengan putusnya hubungan mempelai perempuan dengan orang tuanya,
mempelai laki-laki sama saja sudah membeli mempelai perempuan untuk
menjadi pendamping hidupnya. Mempelai laki-laki berkuasa sepenuhnya
terhadap mempelai perempuan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Hal ini menunjukkan garis keturunan patrilinial (garis keturunan ayah).
Dalam konteks ini berarti pula bahwa pihak perempuan atau istri harus
bersatu dan hidup bersama dengan suaminya dalam sebuah tempat tinggal,
kendati pada tahap awal masih ikut menumpang di rumah orang tua pihak
laki-laki.
Pada hari yang sama saat rombongan pihak laki-laki membawa
mempelai perempuan ke tempat kediaman mempelai laki-laki, pada sore
harinya akan dilaksanakan akad nikah antara mempelai laki-laki dengan
wali dari mempelai perempuan yang dihadiri oleh kerabat pihak laki-laki
dan perempuan. Kemudian calon pengantin pria dibawa ke tempat
pelaksanaan akad nikah, didudukan di kasur usut. Selesai akad nikah,
selain sungkem (sujud netang sabuk) kepada orangtua, kedua mempelai
juga melakukan sembah sujud kepada para tetua yang hadir. Kemudian
malam hari dilaksanakan acara tari menari oleh bujang gadis yang dalam
bahasa Lampungnya disebut Cangget .
Tari cangget merupakan kebudayaan dan tradisi yang dimiliki oleh
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha. Tari cangget sering
digunakan utuk mengiringi upacara perkawinan selama dua malam
berturut-turut yang di dalamnya terdapat pula pemberian gelar adat atau
naik Pepadun.Upacara naik pepadun mempunyai nilai filosofis dan luhur.
Di mana seseorang yang sudah diberi gelar diharapkan dapat dan mampu
menjalankan kewajibannya dan menjadi panutan dilingkungannya.
Selanjutnya yaitu acara memadun atau acara pactcah aji (penobatan),
acara ini akan memberikan julukan atau gelar setelah beberapa acara-acara
109

penting dilakukan sebelumnya. Untuk memberikan gelar ada yang harus


dipersiapkan, seperti dua kursi diberikan alas kain putih untuk tempat
duduk kedua pengantin. Di depan kursi diletakkan kepala kerbau dan
kedua pengantin menginjak kepala kerbau. Tetua adat menyuapi kedua
pengantin dengan bersorak riang gembira dengan penuh canda.
Kedua pengantin dibawa dengan menggunakan jepano (kursi tandu)
dari rumah menuju sesat (balai adat) kemudian dipersilahkn duduk di atas
pepadun untuk deberikan gelar “suttan” untuk pengantin laki-laki dan
gelar “sesunan” untuk pengantin perempuan.
Etnografi merupakan deskripsi tertulis mengenai organisasi sosial,
aktivitas sosial, simbol dan sumber meterial, serta karakteristik praktik
interpretasi suatu kelompok manusia tertentu.49 Pada dasarnya perhatian
utama penelitian etnografi adalah tentang the way of life suatu masyarakat.
Dalam kacamata etnografi konteks kebudayaan masyarakat adat Lampung
Anak Tuha yang menjadi way of life yaitu kepala kerbau yang diletakkan
di depan kursi tempat duduk pengantin yang memeiliki makna sebagai
lambang keperkasaan atau kejantanan mempelai pria pada waktu
dinobatkan pada saat menerima suapan nasi dan mendapatkan gelar
dengan ditandai menginjak kepala kerbau. Pepadun merupakan atribut
utama marga, kampung dan suku. Anak laki-laki merupakan penerus
keturunan, sedangkan anak perempuan disiapkan untuk memperkuat
keturunan suaminya. Anak laki-laki tersebut akan mewarisi sebagai kepala
keluarga atau kerabat keturunannya atau disebut etnis Lampung sebuai.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hibal serba ialah cara
pengambilan gadis menurut cara-cara adat tertentu yang biasa dilakukan
oleh warga bermartabat tinggi, dengan perundingan antara penyimbang
kedua belah pihak berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku
dalam masyarakat setempat.
Upacara perkawinan pada masyarakat Anak Tuha selanjutnya
dengan cara bumbang aji. Proses bumbang aji lebih sederhana dari

49
A. Duranti, Lingusitic Anthropology, (California: Cambridge University Press, 1997), h. 85
110

pelaksanaan proses hibal serba. Mengenai perundingan upacara


perkawiana antar pemuka adat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan
hanya dilakukan dianjungan atau serambi balai adat. Pihak laki-laki
mengambil sang gadis tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan
prowatin adat (lembaga musyawarah adat). Mempelai laki-laki yang
datang ke tempat kediaman mempelai peremuan hanya mengenakan
pakaian sederhana yaitu berpakaian kain, berjas dan memakai peci.
Selanjutnya sang gadis dibawa ke tempat kediaman laki-laki untuk
melakukan prosesi akad nikah dengan dihadiri orang tua dan kerabat
kedua belah pihak.
Dalam pandangan ahli antropologi, kebudayaan dianggap sebagai
suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, da nilai-nilai,
yang ada didalam pikiran individu dalam suatu masyarakat.50 Konsep ini
kemudian mengalami kristalisasi, sehingga memberikan pengertian baru
atas kebudayaan itu sendiri. Konsep kebudayaan ditampakkan dalam
berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok masyarakat
tertentu.51 Proses kristalisasi kebudayaan juga terjadi pada upacara hibal
serab. Proses ini juga mengingatkan bahwa tidak semua warga berada
pada kedudukan yang tinggi. Sebagaimana sudah diungkapkan di atas
bahwa upacara hibal serba hanya dilakukan oleh warga yang mempunyi
kedudukan dan harta yang banyak. Selain itu upacara ini juga melibatkan
pemuka adat walaupun proses bumbang aji tidak semewah proses hibal
serba. Hal ini menunjukkan bahwa pemuka adat mempunyai peran penting
dan sebagai orang yang dijadikan pemimpin dalam adat.
Setelah bumbang aji upacara perkawinan pada masyarakat Anak
Tuha adalah dengan cara Itar Padang yaitu setelah selesai perundingan
maka calon mempelai perempuan akan diserahkan kepada keluarga
mempelai laki-laki secara terang (padang) yang diketahui oleh anggota
kerabat dekat, upacaraperkawinan pada proses ini biasanya dilaksanakan

50
Nurcahyo Tri Arianto, Etnografi Indonesia, (Surabaya: FISIP Unair, 2012), h. 2
51
James P. Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 5
111

pada malam hari ketika keluarga mempelai laki-laki membawa mempelai


perempuan dengan petromak atau obor. Kedatangan rombongan di rumah
mempelai laki-laki akan disambut dengan upacara adat sedehana seperti
mempelai perempuan akan mencelupkan kakinya ke dalam bejana berisi
air bunga-bunga, kemudian masuk ke rumah mempelai laki-laki utuk
melaksanakan akad nikah dengan dihadiri orang tua dan kerabat kedua
belah pihak.
Tata cara perkawinan yang selanjutnya adalah Itar Nanom yang
mempunyai arti itar atau tar yang berarti dilepas atau diantarkan,
sedangkan nanom berarti gelap. Dalam acara ini calon mempelai
perempuan berangkat dari rumahnya dengan beberapa anggota keluarga
pihak laki-laki dengan hanya berpakaina sederhana, untuk melakukan
perundinga lamaran antara kedua belah pihak yang dilakukan dengan
sederhana. Setelah perundingan selesai dan kesepakatan tercapai maka
perkawinan akan secepatnya dilaksanakan hanya dengan akad nikah tanpa
diadakan acara kesenian.
Melakukan etnografi sama dengan mempelajari manusia sekaligus
belajar dari manusia. Studi tentang manusia memiliki perbedaan antara
mazhab-mazhab filsafat dan keyakinan keagamaan yang dianut manusia
Kendati demikian, kita tidak mungkin menutup mata terhadap upaya-
upaya yang terus dilakukan dalam mengenal manusia, sebagai makhluk
yang memiliki substansi dan karakter tersendiri. Dari penjelasan di atas
secara pemahaman kebudayaan masyarakat adat Lampung di Kecamata
Anak Tuha upacara perkawinan merupakan warisan budaya yang memiliki
kekhasan yang disebut local culture (budaya lokal). Nilai-nilai yang
dimiliki oleh local culture ini kemudian dapat menjadi local indigenious
(segala sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat lokal) yang dijalankan oleh
masyarakat. Hal ini berlaku bagi masyarakat etnis Lampung di Kecamatan
Anak Tuha yang memiliki budaya yang khas dan menjunjung tinggi sifat-
sifat dan nilai-nilai luhur local indigenious dari kebudayaan yang dimiliki.
112

Upacara perkawinan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan


Anak Tuha sangat bersifat seremonial dan simbolik, mereka selalu ingin
meresmikan suatu keadaan melalui upacara simbolik. Karena setiap prosesi
perkawinan adat syarat akan nilai-nilai makna simbolik yang saling terkait
satu sama lainnya. Upacara-upacara yang dilakukan masyarakat adat
Lampung di Kecamatan Anak Tuha berkaitan dengan siklus kehidupan
manusia. Upacara-upacara ini dilakukan dalam rangka membereskan suatu
keadaan untuk mencapai tujuan. Upacara perkawinan yang dilakukan
termasuk adat istiadat yang sifatnya sakral baik mengenai niat, tujuan,
bentuk upacara, perlengkapan upacara maupun tata laku pelaksanaannya.
Sehingga ketika akan melaksanakan upacara maka membutuhkan persiapan
yang benar-benar matang bahkan terkesan rumit. Salah satu upacara yang
dianggap sakral dalam kebudayaan adat Lampung di Kecamatan Anak
Tuha adalah upacara prosesi perkawinan.
Seperti diketahui bahwa antropolog dalam melaksanakan penelitian
etnografi bertugas mendeskripsikan dan menganlisis kebudayaan, yang
tujuan utamanya utnuk memahami pandangan (pengetahuan) dan
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (tingkah laku) guna
52
mendapatkan pandangan dunia. Dari sini dapat dipahami bahwa yang
menarik dari penggunaan etnografi dalam meneliti kebudayaan adalah
untuk melahirkan pandangan dunia akan kebudayaan tersebut. Dalam
konteks ini, pandangan tersebut lahir sebagai respon, yang kemudian akan
memberikan respon yang positif atau justru sebaliknya. Jika dicermati
maka pelaksanaan perkawinan pada masayarakat adat Lampung pada
dasarnya adalah budaya yang merupakan interaksi yang dilakukan oleh
pihak laki-laki dan pihak perempuan yang akan melaksanaka pernikahan.
Dalam konteks kebudayaan proses interaksi tersebut terkesan lama
dikarenakan waktu yang lama ini dimaksudkan agar dalam membina rumah

52
Kiki Zakiah, “Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode”, Mediator, Vol. 9, No.
1, Juni, 2008, 181-188, h. 185
113

tangga benar-benar mendapatkan kesiapan matang baik fisik maupun


mental.
Dari penjelasan keempat proses upacara perkawinan diatas yaitu
hibal serba, bumbang aji, itar padang dan itar nanom bahwa tradisi
perkawinan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
tersebut telah memenuhi unsur sahnya suatu perkawinan yaitu dengan
terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan. Syarat sahnya suatu
perkawinan yaitu adanya saksi dan perempuan yang halal dikawini oleh
laki-laki dalam hal ini telah dihadiri oleh kerabat mempelai laki-laki dan
kerabat mempelai perempuan serta adanya perempuan yang akan dikawini.
Sedangkan yang merupakan rukun sahnya suatu perkawinan yaitu adanya
ijab kabul, mempelai laki-laki, mempelai perempuan dan wali pada prosesi
akad nikah. Wali dalam hal ini orang tua dari pihak perempuan yaitu Ayah
atau bisa juga diwakilkan.
Namun ada yang berbeda dengan prosesi akad nikah pada
kebudayaan lain yang biasanya akad nikah dilakukan di tempat kediaman
mempelai perempuan, pada masyarakat adat Lampung Kecamatan Anak
Tuha melakukan prosesi akad nikah di tempat kediaman laki-laki. Karena
apabila akad nikah dilakukan di tempat kediaman mempelai perempan
maka akan dipandang sebagai aib. Dalam hukum Islam dan pemerintah
tidak mengatur tentang di mana tempat akad nikah akan dilaksanakan, ini
berarti akad nikah dalam upacara perkawinan menurut hukum adat
Lampung Kecamatan Anak Tuha sah secara pelaksanaannya.
Tradisi hukum adat dalam pelaksanaan perkawinan yang telah
diuraikan di atas nampaknya tidak bertentangan dengan hukum Islam
maupun hukum pemerintah. Bahkan hukum adat tersebut sebagai
kekayaan budaya warisan nenek moyang dan menjadi penguat bagi hukum
pemerintah karena posesnyayang sakral dan unik.
Dalam perkawinan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan
Anak Tuha terdapat suatu perjanjian perkawinan yang sudah diwariskan
oleh nenek moyang sebagai tradisi yang sudah melekat pada masyarakat
114

setempat. Isi dari perjanjian perkawinan tersebut yaitu untuk mencintai


selamanya dan hidup bersama dalam menjalani bahtera rumah tangga
sampai mati sekalipun dipoligami maka tidak boleh brcerai. Apabila
perjanjian perkawinan ini dilanggar dengan melakukan perceraian maka
pihak yang menimbulkan perceraian baik itu suami maupun istri dapat
dikenai sanksi dengan membayar denda dan dibuang dari adat serta
memotong kerbau.
Dalam hukum adat pada masyarakat di Kecamatan Anak Tuha
pasangan suami istri yang melakukan perceraian selain dari pada cerai
mati maka akan di denda dengan biaya yang tidak sedikit. Denda berupa
sejumlah uang yang disepekati oleh para penyimbang (tokoh adat) di
Kampung pasangan suami istri tersebut tinggal. Adapun jumlah uang
untuk membayar denda yaitu dua juta empat ratus, dua puluh empat juta,
enam puluh juta, seratus dua puluh juta, dan paling kecil uang adat yaitu
enam ribu. Adanya denda dikeluarkan oleh salah satu pasangan yang
menimbulkan terjadinya perceraian. Uang adat yang sudah dikeluarkan
akan masuk ke kas adat untuk dipergunakan dalam acara-acara adat.
Apabila denda tidak dibayarkan niscaya seseorang yang menimbulkan
perceraian tersebut akan dibuang dari adat dan dianggap sudah mati
sehingga rusaklah harga dirinya.
Pada dasarnya kebudayaan memiliki nilai-nilai yang positif, sehingga
pandangan dunia akan cenderung mengarah kepada pandangan yang
positif. Penggunaan etnografi dalam kerangka penelitian kebudayaan perlu
dikembangkan secara masif untuk dapat menemukan kerangka teori yang
baru atau relavan dengan transformasi budaya di era modern saat ini. Hal
ini bukan tanpa alasan, karena pada dasarnya iklim metode etnografi juga
harus selaras dengan budaya yang dikaji. Berdasarkan hal tersebut peneliti
menilai bahwa adanya denda yang dibayarkan untuk menebus kembali
seseorang yang telah dikeluarkan dari adat tersebut, sedangkan kerbau
yang dipotong kemudian dimasak untuk makan bersama dengan
masyarakat kampung dan penyimbang (tokoh adat) memiliki maksud dan
115

tujuan mengumpulkan masyarakat untuk makan bersama yaitu untuk


memberi pengumuman bahwa seseorang yang dibuang dari adat telah
kembali lagi ke adat. Perjanjian perkawinan dalam kebudayaan bermakna
bahwa bagi masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha sekali
memasuki alam perkawinan, maka kedua suami-istri bersangkutan akan
tetap hidup bersama. Dalam hal ini cinta kasih antara kedua sejoli tidak
akan pernah pudar ditandai dengan hanya memberlakukan cerai mati.
Pelaksanaan perjanjian perkawinan ini tidak ada yang tertulis, namun
sudah menjadi perjanjian yang mengikat sebagai adat secara turun
temurun. Pengucapan perjanjian perkawinan pada masyarakat adat
Lampung di Kecamatan Anak Tuha dilakukan pada prosesi akad nikah
sebelum ijab qabul, yang diawali dengan pembukaan dan khutbah nikah
serta ditutup dengan doa nikah. Meskipun hanya diucapkan oleh mempelai
laki-laki akan tetapi perjanjian tersebut bukan saja antara kedua calon
mempelai tetapi juga termasuk keluarga atau kerabat mereka. Hal ini
menegaskan bahwa dalam hukum adat terdapat kebebasan kepada
siapapun untuk melakukan perjanjian dalam perkawinan.
Dari analisis tersebut menerangkan, perjanjian yang dibuat dalam
hukum adat masyarakat Anak Tuha merupakan perjanjian tidak tertulis,
tetapi diumumkan dihadapan para anggota kerabat tetangga yang hadir
dalam upacara perkawinan. Dengan demikian perjanjian perkawinan
dalam hukum adat dibuat berdasarkan asas kepercayaan. Bahwa
pelaksanaan perjanjian perkawinan ini masuk dalam ranah sosial yang
menitikberatkan pada aspek kebudayaan yang melekat pada masyarakat
setempat sebagai warisan nenek moyang.
. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian perkawian
masyarakat Anak Tuha memberikan dampak bagi keharmonisan rumah
tangga. Masyarakat meyakini bahwa dengan adanya perjanjian perkawinan
mampu membuat rumah tangga seseorang terhindar dari masalah rumah
tangga seperti permaduan atau bahkan percearain. Dengan demikian alam
perjanjian perkawinan membawa dampak yang positif yaitu dapat
116

membantu pemerintah dalam mengurangi angka perceraian. Perjanjian


perkawinan yang dimaksud adalah perjanjian yang mengikat secara adat
yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, sehingga seorang suami
maupun istri harus patuh terhadap perjanjian perkawinan ini dalam rumah
tangganya.
Kebudayaan dalam perspektif etnografi dilihat secara holistik-
integratif. Hal inilah yang menjadikan kebudayaan dikaji secara
komprehensif melalui etnografi. Mencermati eksistesnsi perjanjian
perkawinan pada masyarakat adat Lampung secara holistik dan kemudan
dihubungkan dengan kebudayaan, menurut analisis peneliti maka
perjanjian perkawinan sebagai adat hingga kini masih ada keberlakuannya.
Dilihat dari kajian antropologi memandangnya sebagai akulturasi yang
memang sudah ada sejak dahulu kala. Pada prosesnya apabila dilihat
melalui sisi baik dan sifat yang khusus yakni dalam kajian filsafati bahwa
tradisi perkawinan adat dilaksanakannya perjanjian perkawinan yang
dibudayakan memiliki unsur nilai-nilai positif yaitu membantu pemerintah
dalam menekan angka perceraian. Maka dari itu tradisi ini tetap
dipertahankan guna mencegah hilangnya adat istiadat dalam masyarakat
adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha itu sendiri. 53
Dalam kajian etnografi perjanjian perkawinan adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha dapat dimaknai sebagai kebudayaan telah menjadi
sumber kreativitas yang menjadi khazanah dalam perspektif sosial.
Perkembangan dan eksistensi perjanjian perkawinan sebagai adat istiadat
yang cukup signifikan telah menjadi indikator pentingnya kebudayaan itu
sendiri. Oleh sebab itu, perjanjian perkawinan sebagai perjanjian mengikat
pada proses perkawinan masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak
Tuha yang merupakan kebudayaan tidak hanya sebatas untuk dilestarikan.
Akan tetapi juga perlu dimanifestasikan dalam kerangka pengetahuan agar
dapat diketahui oleh masyarakat di luar kebudayaan tersebut.

53
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 155.
117

2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perjanjian Masyarakat Adat


Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung Tengah
Tujuan Allah mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk memelihara
kemaslahatan manusia untuk menghindari keburukan ataupun gabungan
keduanya sekaligus, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut
hendak dicapai melalui taklif yang pelaksanaannya sangat tergantung pada
pemahaman sumber hukum yang utama, al-Qur’an dan hadis.
Sebagian besar masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha
Kabupaten Lampung Tengah memeluk ajaran agama Islam. Tentu upacara-
upacara adat yang ada di lingkungan setempat cenderung bercorak Islam.
Hal itu menandakan bahwa agama yang dianut masyarakat dapat dikatakan
telah menjadi satu kesatuan dengan budaya mereka. Hukum yang diterima
masyarakat adalah hukum yang dirasakan adil oleh masyarakat yang
bersangkutan. Karena itu hukum harus merupakan hasil konsensus
masyarakat tertentu.
Pada Bab II dijelaskan bahwa konsep perkawinan adalah sunatullah
yang berlaku bagi semua umat manusia guna melangsungkan hidupnya dan
untuk memperoleh keturunan, maka agama Islam sangat menganjurkan
perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan
yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Hal ini sesuai dengan Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan
rohmah.
Perkawinan adalah “pernikahan yang di dalamnya bermakna ikatan
yang kuat. Melaksanakan nikah hukumnya dengan perbuatan ibadah.
Berbeda dengan hukum-hukum sekuler pada umumnya, melaksanakan
hukum tidak dianggap memilki hubungan apapun dengan Tuhan. Namun
dalam Islam, pernikahan dianggap ibadah. Pelakunya memperoleh pahala
118

dan yang merusaknya untuk kepentingan nafsu dianggap melakukan dosa


(bila tujuan kawin untuk menyakiti pasangannya). 54
Dari hasil penelitian di lapangan penulis uraikan pada bab analisis
data bahwa apabila konsep perkawinan masyarakat adat Lampung sama
dengan konsep perkawinan dalam hukum Islam, artinya perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yaitu hubungan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan
dengan tujuan menjalin serta membangun keluarga yang bahagia dan
abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sesuai dengan konsep perkawinan tersebut, terdapat beberapa hal
yang harus dipehatikan; Pertama, kata seorang laki-laki dan perempuan
berarti perkawinan itu hanya antara jenis kelamin yang berbeda. Yang
berarti menolak tentang perkawinan sesama jenis. Kedua, suami istri
berarti perkawinan tersebut ialah bertemunya dua jenis yang berbeda
dalam suatu rumah tangga secara sah. Ketiga, dari penjelasan di atas
bahwa tujuan perkawinan membangun keluarga yang bahagia dan bersifat
kekal, yang menafikan perkawinan temporer dan perkawinan mut’ah.
Keempat, disebutkan perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, bahwa perkawinan tersebut bagi masyarakat adat Lampung yang
mayoritas beragama Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
memenuhi perintah agama.
Berdasarkan pemaparan di atas, perihal konsep perkawinan
masyarakat adat Lampung, tampaknya sesuai dengan kondisi masyarakat
yang sebagian memeluk agama Islam. Realita yang terjadi pada
masyarakat merupakan bagian dari hukum adat yang pada kenyataannya
adalah suatu kebiasaan yang turun temurun sudah dilaksanakan oleh
masyarakat dan masih dipertahankan dan dipatuhi hingga sekarang.
Jika dilihat dari konsep maqāṡid al-syarī’ah sebagai tujuan Allah
dalam menetapkan hukum yaitu untuk kemaslahatan hamba di dunia dan

54
Sukris Sarmadi, Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2007), h.18.
119

di khirat dengan menjaga lima unsur pokok kehidupan, maka konsep


perkawinan masyarakat adat Lampung nampaknya dapat dibenarkan oleh
hukum Islam. Tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat adat
Lampung mengenai konsep perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin
antara suami istri untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia termasuk
ke dalam maqāṡid al-syarī’ah hifz ān-nāfs yaitu menjaga jiwa. Tradisi
yang demikian sah sesuai hukum, dalam arti demi memenuhi tujuan-tujuan
hukum Allah dengan usaha untuk menjaga salah satu unsur pokok
kehidupan.
Menurut hukum Islam, perkawinan tidak boleh menyimpang atau
bertentagan dengan ketentuan-ketentuan agama, di mana syarat dan rukun
perkawinan merupakan unsur yang harus lengkap guna sahya suatu
perkawinan. Dimana syarat perkawinan yaitu adanya perempun yang halal
dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri dan adanya para
saksi. Sedangkan yang menjadi rukun perkawinan yaitu adanya calon
suami, calon istri, wali dan ijab qabul.
Dari hasil penelitian didapatkan informasi dari para tokoh adat bahwa
upacara-upacara adat yang paling banyak dilakukan terlihat saat
penyelenggaraan acara perkawinan atau pernikahan. Di mana perkawinan
atau pernikahan itu dilakukan menurut tata cara adat tradisional Lampung,
disamping kewajiban memenuhi hukum agama Islam yang dianut oleh
sebagian besar masyarakatnya. Karena suatu perkawinan dalam adat akan
menjadi pusat perhatian dari masyarakat itu sendiri. Upacara perkawinan
pada msayarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha, dalam
pelaksanaannya dilakukan dengan cara Hibal Serbal, Bumbang Aji, Itar
Padang, dan Itar Nanom.
Dari uraian analisis di bab analisis data bahwa keempat tata cara
dalam perkawinan masyarakat adat Lampung Anak Tuha diatas yaitu hibal
serba, bumbang aji, itar padang dan itar nanom memenuhi syarat dan
rukun perkawinan, yaitu dengan terpenuhinya syarat dan rukun
perkawinan. Meskipun uapacara perkawinan dibalut dengan nuansa
120

prosesi adat yang sangat kental namun tidak mengurangi dari pada esensi
sahnya suatu perkawinan. Yang merupakan syarat sahnya suatu
perkawinan yaitu adanya saksi dan perempuan yang halal dikawini oleh
laki-laki dalam hal ini telah dihadiri oleh rombongan kerabat mempelai
laki-laki dan kerabat mempelai perempuan serta adanya perempuan yang
akan dikawini. Sedangkan yang merupakan rukun sahnya suatu
perkawinan yaitu adanya ijab kabul, mempelai laki-laki, mempelai
perempuan dan wali pada prosesi akad nikah. Wali dalam hal ini orang tua
dari pihak perempuan yaitu Ayah atau bisa juga diwakilkan.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan al-
Qur’an dan sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan
naluri manusia yang sangat asasi dan sarana untuk membina keluarga yang
Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali,
sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
Jika dikaikan dengan maqāṡid al-syarī’ah tata cara perkawinan pada
masyarakat adat Lampung Anak Tuha nampaknya sesuai dengan
melindungi salah satu unsur pokok yaitu memelihara agama. Hal ini
dikarenakan di dalam agama Islam selain terdapat komponen-komponen
aqidah yang merupakan pegangan hidup setiap muslim, juga memuat
akhlaq yang merupakan sikap hidup seorang muslim, sehingga perlu
diperlihatkan dan dijaga. Terkait hal tersebut perkawinan merupakan
ikatan lahir batin yang dapat melengkapi separuh agama seperti yang
sudah disebutkan di atas. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pemeliharaan
dan penegakan agama Islam.
Terkait isi perjanjanjian perkawinan (pada Bab II) dalam Islam
dikemukakan dalam berbagai doktrin fiqh pada umumnya ditempatkan
pada pengucapan taklik talak yang diucapkan oleh mempelai pria setelah
akad nikah. Adapun bunyi taklik talak yang diucapkan setelah akad nikah
adalah sebagai berikut “saya...bin... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa
saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan saya akan
121

pergauli istri saya bernama...binti...dengan baik menurut ajaran syari’at


Islam.
Sedangkan menurut hukum Adat Lampung masyarakat Anak Tuha isi
perjanjian perkawina yaitu untuk mencintai selamanya dan hidup bersama
dalam menjalani bahtera rumah tangga sampai mati dalam keadaan susah
maupun senang. Perjanjian perkawinan dalam kebudayaan bermakna
bahwa sekali memasuki alam perkawinan, maka kedua suami-istri
bersangkutan akan tetap hidup bersama. Dalam hal ini cinta kasih antara
kedua sejoli tidak akan pernah pudar ditandai dengan hanya
memberlakukan cerai mati. Artinya pada masyarakat adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha yang telah mengikatkan diri dalam ikatan
perkawinan tidak boleh bercerai. Apabila perjanjian tersebut diingkari
maka akan mendapatkan sanksi berupa denda dan sanksi sosial, sanksi
sosial inilah yang memberatkan bagi masyarakat.
Uraian tersebut nampaknya sesuai dengan syari’at Islam yang
menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai
pertalian yang suci dan kokoh, sebagaimana al-Qur’an memberi istilah
pertalian itu dengan mitsaqan ghalidzan (perjanjian agung). Firman Allah
dalam surat an-Nisa Ayat 21 menyatakan:
‫زوجا ِلّت َس ُكٌُىاْ ِإلَي َها َو َجعَ َل بَيٌَ ُكن َّه َىد َّة َو َرح َوة ِإ َّى‬
َ َٰ َ ‫َو ِهي َءا َٰيَتِ ِهۦٓ أًَ َخلَقَ لَ ُكن ِ ّهي أًَفُ ِس ُكن أ‬
١٢ َ‫ِفي َٰذَ ِل َك ََل َٰيَت ِلّقَىم يَتَفَ َّك ُروى‬
Artinya: Bagaimana kamu akan mengmbilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.55
Jika ikatan antara suami istri demikian kuatnya, maka tidak pantas
untuk dirusak dan dianggap sepele. Setiap perbuatan yang menganggap
sepele hubungan perkawinan dan dan mengabaikannya sangat dibenci oleh

55
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Al-Hikmah, (Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2008), h. 81.
122

Islam. Karena perbuatan tersebut dapat menghilangkan kebaikan dan


kemaslahatan bagi suami istri.56
Oleh karena itu, suami istri wajib memelihara terhubungnya tali
pengikat itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan
memutuskan tali pengikat tersebut. Meskipun dalam hukum Islam seorang
suami diberi hak untuk menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan
suami menggunakan haknya dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi
hanya mempertaruhkan hawa nafsunya. 57
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak
oleh suami. Yang paling tepat diantara pendapat itu ialah pendapat yang
mengatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak, kecuali karena
darurat.
Mereka juga beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri
nikmat Allah, sebab perkawinan itu termasuk nikmat dan anugerah Allah
dan mengkufuri nikmat Allah itu dilarang. Oleh karena itu, menjatuhkan
talak tidak boleh, kecuali karena darurat. Syara’ menjadikan talak sebagai
jalan yang sah untuk bercerainya suami istri. Namun syara’ membenci
terjadinya perbuatan ini dan tidak merestui dijatuhkannya talak tanpa
sebab atau alasan.58
Menurut penulis berdasarkan uraian di atas terkait perjanjian
perkawian menurut Islam dan menurut hukum adat nampaknya tidak
sejalan dalam hal pemberlakuan cerai. Dalam hukum Islam Allah sangat
membenci perceraian namun juga tidak melarangnya dalam keadaan
darurat. Akan tetapi dalam hukum adat di masyarakat Anak Tuha
perceraian tidak dibolehakan dalam keadaan apapun. Apabila keadaan
darurat menghampiri pasangan suami istri, maka seorang istri memilih
bertahan menjadi istri walaupun tidak dinafkahi lagi. Seorang suami
memilih meninggalkan istri dan tidak menafkahi daripada harus mentalak.

56
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah IV, Terj. Ab durrahim dan Marukhin , Cet. Ke-1, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009), h. 2.
57
Ghozali, Fiqh..., h. 212.
58
Ghozali, Fiqh..., h.214.
123

Meskipun terjadi perbedaan antara hukum Islam dan hukum adat,


substansi dari isi perjanjian perkawinan tersebut demi kebaikan atau
kemaslahatan yaitu untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga. Hal
ini sesuai dengan maqāṡid al-syarī’ah untuk memelihara salah satu unsur
pokok yaitu memelihara keturunan. Oleh sebab itu melaksanakan
perjanjian perkawinan sangat penting dalam rangka memberikan jaminan
untuk anak mereka. Dalam artian jaminan ini terdapat hal-hal yang positif
karena terdapat sanksi atau denda yang harus dipenuhi apabila melanggar
perjanjian tersebut.
Pemeliharaan keturunan dilakukan agar kemurnian darah dapat
dijaga, kelanjutan umat manusia dapat diteruskan serta menghasilkan
keturunan yang berakhlak mulia. Dengan demikian, untuk mewujudkan
keturunan sebagaimana dimaksud, maka dapat membuat perjanjian yang
isinya terkait menjalankan kewajiban hubungan suami istri dengan benar
dan hidup bersama sampai mati. Karena panjanjian tersebut diharapkan
mampu menjadi pegangan dan acuan pasangan suami istri apabila sedang
mengalami konflik agar tidak berpisah.
Menurut analisis di atas nampaknya isi perjanjian perkawinan
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha sah dikarenakan tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan tersebut sejalan
dengan teori maqāṡid al-syarī’ah untuk memenuhi tujuan Allah dan tujuan
mukallaf.
Menurut hukum Islam (dijelaskan pada Bab II) terdapat pada Pasal 1
huruf e Kompilasi Hukum Islam pelaksanaan perjanjian perkawinan
dilakukan setelah akad nikah dan dicantumkan dalam akta nikah. Menurut
hukum pemerintah perjanjian perkawinan dilakukan sebelum akad nikah
secara tertulis atas persetujuan bersama antara kedua belah pihak serta
dicatatkan pada akta notaris.
Sedangkan menurut hukum adat masyarakat Anak Tuha perjanjian
perkawinan dilakukan hanya dengan ucapan dan tidak dicatatkan, namun
sudah menjadi perjanjian yang mengikat sebagai adat secara turun
124

temurun. Pengucapan perjanjian perkawinan dilaksanakan pada prosesi


akad nikah sebelum ijab qabul, yang diawali dengan pembukaan dan
khutbah nikah serta ditutup dengan doa nikah. Meskipun hanya diucapkan
oleh mempelai laki-laki akan tetapi perjanjian tersebut bukan saja antara
kedua calon mempelai tetapi juga termasuk keluarga atau kerabat mereka.
Hal ini menegaskan bahwa dalam hukum adat terdapat kebebasan kepada
siapapun untuk melakukan perjanjian dalam perkawinan.
Dari analisis tersebut menerangkan, perjanjian yang dibuat dalam
hukum adat masyarakat Anak Tuha merupakan perjanjian tidak tertulis,
tetapi diumumkan dihadapan para anggota kerabat tetangga yang hadir
dalam upacara perkawinan. Dengan demikian perjanjian perkawinan
dalam hukum adat dibuat berdasarkan asas kepercayaan. Bahwa
pelaksanaan perjanjian perkawinan ini masuk dalam ranah sosial yang
menitikberatkan pada aspek kebudayaan yang melekat pada masyarakat
setempat sebagai warisan nenek moyang.
Perjanjian perkawinan sebagai tradisi masyarakat di Anak Tuha
merupakan hukum yang telah hidup dimasyarakat sejak zaman dahulu.
Jadi hukum merupakan kenyaataan karena berasal dari kenyataan dalam
masyarakat. Jadi, hukum yang baik adalah hukum yang pembentuknnya
sesuai dengan kenyataan hukum. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah
kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books.
Berdasarkan pemaparan di atas, perihal pelaksanaa perjajian
perkawinan tampaknya sesuai dengan kondisi masyarakat yang
berpedoman pada hukun adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat.
Meskipun perjanjian perkawinan yang dapat dikatakan ekstrim ini
nampaknya tidak sejalan dengan hukum Islam. Perjanjian yang sah adalah
perjanjian yang dicatatkan dalam akta notaris kemudian dicantumkan
dalam akta nikah.
Sejalan dengan teori maqāṡid al-syarī’ah agar tercapainya
kemaslahatan, tradisi perjanjian perkawinan pada masyarakat adat
Lampung di duga kuat boleh dilakukan karena membawa kemaslahatan
125

dengan tetap menjaga keutuhan kehidupan rumah tangga agar tidak


berceari.
Selain itu menurut penulis tentang pelaksanaan perjanjian
perkawinan masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha juga
sejalan dengan teori maqāṡid al-syarī’ah. Dikarenakan hukum Islam
(syarī’at) dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan
kemanusiaan yang universal yakni keadilan, kemaslahatan, dan
kebijaksanaan atau dapat dikatakan syarī’at mengandung makna (hikmah)
bagi kehidupan manusia. Sebagaimana agar tercapainya tujuan dari
ditetapkannya hukum Islam untuk manusia (maqāṡid al-syarī’ah) sebagai
orang yang menerima taklīf (subyek hukum) adalah kemaslahatan.
Dalam hukum Islam akibat hukum dari perjanjian perkawinan yaitu
secara hukum para pihak saling terkait dengan diadakannya perjanjian
perkawinan dan masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan
haknya, para pihak juga harus siap dengan konsekuensi hukum yang akan
timbul bila melakukan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.
Berdasarkan Pasal 50 Kompilasi Hukum Islam jika terjadi
pelanggaran mengenai harta kekayaan dalam perjanjian perkawinan, istri
berhak meminta pembatalan perkawinan atau mengajukannya sebagai
alasan gugatan cerai ke Pengadilan agama.59
Pada perjanjian taklik talak dapat ditambah selagi tidak bertentangan
dengan hukum Islam, jika ada permintan dari pihak istri,semisal istri tidak
mau dimadu, dan apabila ternyata dalam perjalanannya istri dimadukan
dan jika istri tidak sabar, sang istri dapat meminta fasakh kepada
Pengadilan Agama dan sang suami membayar sejumlah kerugian.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian perkawian
masyarakat Anak Tuha menimbulkan akibat yang berdampak bagi
keharmonisan rumah tangga. Masyarakat meyakini bahwa dengan adanya
perjanjian perkawinan mampu membuat rumah tangga seseorang terhindar
dari masalah rumah tangga seperti permaduan atau bahkan percearain.

59
Kompilasi Hukum Islam Pasal 51
126

Dengan demikian alam perjanjian perkawinan membawa dampak yang


positif yaitu dapat membantu pemerintah dalam mengurangi angka
perceraian. Perjanjian perkawinan yang dimaksud adalah perjanjian yang
mengikat secara adat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak,
sehingga seorang suami maupun istri harus patuh terhadap perjanjian
perkawinan ini dalam rumah tangganya.
Namun dalam hal ini jika dikaitkan dengan konskuensi hukum yang
akan timbul bila melakukan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan
pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha adalah dengan
membayar denda dan mempotong kerbau oleh pihak yang mengakibatkan
terjadinya pelanggaran, semisal terjadi percerian. Sehingga dibutlah
perjanjian perkawinan yang bertujuan untuk menjalani hidup berumah
tangga sampai ajal yang memisahkan.
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari perjanjian perkawinan tersebut
jika dikaitkan dengan maqāṡid al-syarī’ah maka akan memelihara hak
manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Para pihak
telah memperjanjikan segala sesuatu yang berkaitan keselamatan jiwa
masing-masing pihak. Hal itu dikarenakan dalam kehidupan berumah
tangga, sering kali terjadi percekcokan yang berujung pada perebutan
harta, kekerasan fisik, tekanan batin, perpisahan hingga kematin. Berdasar
demikian, perjanjian perkawinan merupakan langkah solutif sebagai upaya
melindungi jiwa pribadi suami dan istri guna mempertahankan
kemaslahatan hidupnya.
Dari uraian analisis di atas, tampak bahwa perjanjian perkawinan
pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha membawa
kemaslahatan dalam keluarga. Bisa dikatakan bahwa perjanjian
perkawinan merupakan cara untuk mencapai tujuan syari’ah yakni
mendapatkan kemaslahatan keluarga (suami istri) terutama guna
membentuk keluarga yang bahagia. Perjanjian perkawinan tersebut sesuai
dengan konsep maqāṡid asy-syarī’ah yang menekankan tidak melanggar
aturan agama. Konsep maqāṡid asy-syarī’ah adalah untuk mewujudkan
127

kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan


menolak mudharat. Konsep maqāṡid asy-syarī’ah untuk mewujudkan dan
memelihara maslahah umat manusia yang dalam keluarga ditujukan untuk
membentuk keluarga bahagia. Bahwa inti dari maslahah adalah menjaga
tujuan pemberlakuan syari’ah terhadap makhluk, menyangkut atas lima
hal; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Jadi sesuatu yang
dapat menjaga salah satu dari kelima faktor tersebut masuk kategori
sebagai kemaslahatan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perjanjian Perkawinan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak
Tuha Kabupaten Lampung Tengah dimaksudkan agar pasangan suami istri
dapat hidup bersama selamanya dan tidak bercerai, karena pada masyarakat
adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha yang berlaku hanya cerai mati.
Pelanggar perjanjian perkawinan tersebut memiliki kosekuensi dibuang
dari adat dan denda dalam jumlah tertentu. Perjanjian perkawinan tersebut
hanya dilakukan oleh calon mempelai dalam suku yang sama yaitu suku
Lampung. Dampak positif dari adanya perjanjian perkawinan pada
masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha Kabupaten Lampung
Tengah yaitu terwujudnya rumah tangganya harmonis sehingga dapat
mengurangi angka perceraian yang ada di Indonesia.
2. Adanya perjanjian perkawinan pada masyarakat adat Lampung di
Kecamatan Anak Tuha sejalan dengan tujuan pensyariatan yakni
mendapatkan kemaslahatan keluarga (suami istri) guna membentuk
keluarga yang bahagia. Meskipun perjanjian perkawinan ini secara
pelaksanaan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, perjanjian perkawinan
dalam masyarakat adat Lampung di Kecamatan Anak Tuha sesuai dengan
konsep maqashid asy-syari‘ah dalam mewujudkan dan memelihara maslahah
umat manusia yang dalam hubungan keluarga ditujukan untuk membentuk
keluarga bahagia dan berdampak positif dalam mengurangi konflik atau
permasalahan sehingga membawa keharmonisan dalam kehidupan rumah
tangga.
B. Saran
1. Perjanjain perkawinan di dalam agama Islam tidak harus dilaksanakan,
karena perjanjian perkawinan bukanlah rukun dan syarat perkawinan.
129

Dengan tidak melaksanakan perjanjian perkawinan bukan berarti


perkawinan itu tidak harmonis, bahwa hukum Islam sudah mengatur
dan menjelaskan bagaimana cara berumah tangga agar menjadi
keluarga yang sakinah.
2. Adapun yang semestinya harus dilaksanakan dalam perkawinan
bukanlah perjanjian melainkan rukun dan syarat perkawinan yang
membuat sahnya perkawinan. Agama Islam memang membolehkan
melaksanakan perjanjian perkawinan asalkan tidak bertentangan dengan
syari’at Islam, karena apabila perjanjian tersebut bertentangan dengan
agama Islam maka perjanjian tersebut tidak sah. Pada masyarakat adat
Lampung Kecamatan Anak Tuha perjanjian perkawinan yang sudah
melekat secara hukum adat ternyata membawa dampak positif seperti
harmonisnya kehidupan rumah tangga sehingga dapat mengurangi
angka perceraian di Indonesia. Sehingga peristiwa adat semacam ini
dapat dikembangkan secara lokal maupun nasional.
3. Perjanjian perkawinan janganlah dipandang dari sudut pandang negatif,
tetapi ini sebagai tindakan preventif apabila dikemudian hari timbul
koflik berkepanangan dalam kehidupa rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai