Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya hukum islam sudah mengatur tentang pernikahan sesuai
dengan ketentuan syari’at islam. secara garis besar hukum islam terbagi menjadi
dua yitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. dalam fiqih ibadah meliputi aturan
tentang shalat,puasa,zakat,haji,nazar dan sebagainya yang bertujuan untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. sedangkan fiqih muamalah
ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya seperti perikatan,sanksi
hukum dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan keadilan baik secara
perorangan maupun kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang dimaksud dengan
nikah menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha yankihu nikahan yang
berarti kawin. dalam istilah nikah adalah ikatan suami istri yang sah menimbulkan
akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. dalam hukum
kekeluargaan harus disertai dengan kuat agama yang disyariatkan islam. beberapa
hukum tersebut dapat dipelajari dalam al-qur’an dan as-sunnah.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa penegertian dari nikah?
2. Apa Dasar Hukum pernikahan?
3. Apa syarat dan rukun Nikah?
4. Apa Prinsip, Tujuan, dan Hikmah pernikahan?
5. Apa Hukum Nikah?

BAB II
2

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang berarti
kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang menimbulkan
akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri. Dalam buku fiqih wanita
yang dimaksud Nikah atau perkawinan adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-
Nya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera
kehidupan.
Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan
manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala berfirman:

ْ ‫ن لَ َعلَّك‬
َ‫ُم تَ َذك َُّر ْون‬ َ ‫خلَ ْق َنا َز ْو‬
ِ ‫ج ْي‬ َ ‫ي ٍء‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ل‬
ّ ِ ‫ن ُك‬
ْ ‫َو ِم‬
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebersamaan Allah.”
Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia
berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apapun yang ada
pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang,
sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan
bersih.Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia
sebenarnya tak pernah terlepasdari didikan Allah.
Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah aqad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah
atau ziwaj atau semakna keduanya. Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu
segi saja ialah kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Perkawinan
mengandung aspek akibat hukum melangsungkan perkawinan ialah saling
mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan
yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan
3

agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan


keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah suatu aqad atau perikatan untuk
menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang meliputi rasa ketenteraman serta
kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.

B. Dasar Hukum Pernikahan


Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang
menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar hukum
pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki
4

kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih


menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja
yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu
merupakan peredam (syahwat)nya”.

C. Rukun dan Syarat Nikah


1. Rukun perkawinan
a) Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu mempelai laki-
laki dan mempelai perempuan.
b) Adanya wali.
c) Adanya 2 orang saksi
d) Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu. sighat (akad) yaitu perkataan
dari pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah kecuali dengan
lafadz nikah.

2. Syarat dua mempelai


Adapun syarat dua mempunyai ialah :
a) Syarat pengantin pria
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon
suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1) Calon suami beragama islam.
2) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon
istrinya halal baginya.
6) Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram.
5

8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.


9) Tidak sedang mempunyai istri empat.

b) Syarat calon pengantin perempuan


Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon
istri berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1) Calon istri beragama islam.
2) Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3) Wanita itu tertentu orangnya.
4) Halal bagi calon suami.
5) Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam 'iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

c) Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal dan adil, artinya tidak
fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini dilandaskan
pada hadits Nabi SAW.:
)‫(رواه الخمسة إال أنسائى‬.‫ال نكاح إال بولى‬
"Tidak ada perkawinan tanpa wali." (HR. Al Khomsah kecuali An Nasaiy)
Hanafi Tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh
dan berakal, boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua
orang saksi, sedang Malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan
perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awam.
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah oleh karena itu,
tidak semua orang dapat diterima menjadi saksi atau wali.tetapi hendaklah orang-
6

orang yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut :


1) Islam. orang yang tidak beragama islam tidak sah menjdi wali atau saksi.
2) Balig. (sudah berumur 15 tahun)
3) Berakal
4) Merdeka
5) Laki-laki
6) Adil
Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan
yang akan diuraikan dibawah ini :
a. Bapaknya
b. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
c. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
d. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
g. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak).
h. Anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya.
i. Hakim.

d) Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslim, baligh,
berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (faham) akan maksud akad nikah.
Tetapi menurut Hanafi dan Hambali, boleh juga saksi itu lelaki dan dua orang
perempuan. Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak
adil).
Selanjutnya orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi
saksi.Sebagian besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun)
perkawinan. Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah.
7

Inilah pendapat Syafi'i, Hanafi dan Hambali.


Bersifat adil
Menurut imam Hanafi untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak di
syaratkan harus orang yang adil, jadi perkawinan yang di saksikan oleh dua orang
fasik hukumnya sah.
Golongan Syafi’I berpendapat saksi itu harus orang yang adil, sebagaimana
tersebut dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang
adil’’. Menurut mereka ini bila perkawinan di saksikan oleh dua orang yang belum
di kenal adil tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi menurut Syafi’I kawin
dengan saksi-saksi yang belum di kenal adil tidaknya, hukumnya sah.
1) Perempuan Menjadi Saksi
Golongan Syafi’I dan Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad
nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah, tetapi
golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.Mereka berpendapat bahwa
kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.
2) Harus Orang Merdeka
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus
orang-orang yang merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan syarat ini.Dia
berpendapat akad nikah yang di saksikan dua orang budak, hukumnya sah
sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, dan karena
dalam al Qur’an maupun hadist tidak ada keterangan yang menolak seorang
budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak
boleh di tolak.
3) Harus Orang Islam
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam
perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan
muslim,apakah saksinya harus beragama islam? juga mereka berbeda pendapat
jika yang laki-lakinya beragama islam, apakah yang menjadi saksi boleh orang
8

yang bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan
perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya bukan islam, karena yang kawin
adalah orang islam, sedang kesaksian bukan orang islam terhadap orang islam
tidak dapat di terima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan itu antara
laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian dua orang Ahli Kitab
boleh di terima. Dan pendapat ini di ikuti oleh undang-undang perkawinan mesir.

D. Prinsip, Tujuan, dan Hikmah Nikah


Islam menganjurkan menikah.itu merupakan kabar gembira, sebagaimana
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah karena nikah berpengaruh besar (secara positif)
baik bagi pelakunya, masyarakat maupun seluruh umat manusia. jadi, banyak
sekali hikmah yang terkandung dalam nikah, baik ditinjau aspek sosial,psikologi,
maupun kesehatan. adapun hikmah pernikhan sebagai berikut :
1). Menyalurkan Naluri seks
Naluri seks merupakan naluri terkuat yang selamanya menuntut jlan
keluar. orang yang tidak bisa mencarikan jalan keluar untuk memuaskannya,
serin mengalami goncangan dan kekacauuan bahkan tidak jarang seseorang
melakukan kejahatan karenanya menikah merupakan jalan keluar yang paling
aman untuk menyalurkan naluri seks.
2). Jalan mendapatkan keturunan yang sah
Nikah merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan keturunan mulia
(terhormat). melalui pernikahan, keturunan menjadi banyak, kehidupan
menjadi lestari, dan keturunan terpelihara sehingga kelangsungan hidup suatu
negara atau bangsa dapat terwujud.
3). Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan
Mereka yang telah menikah dan memperoleh anak, naluri kebapakan dan
naluri keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup
9

kekeluargaan. ini akan menimbulkan perasaan ramh, saling mencintai, dan


saling menyayangi antara satu dengan anggota keluarga lainnya.
4). Dorongan untuk bekerja keras
Orang telah menikah dan memperoleh anak akan terdorong menunaikan
tanggung jawab dan kewajibannya dengan baik sehingga dia akan bekerja
keras untuk melaksanakan kewajibannya.
5). Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga
Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami isteri secara
seimbang, juga adanya pembagian tugas antara suami istri dalam
hubungannya dengan pengembangan generasi yang baik dimasa mendatang.
6). Membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa
cintaantar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.
7). Pembagian tugas dan tanggung jawab suami istri dengan adil.

E. Hukum Nikah
Kata hukum memiliki dua makna, yang dimaksud di sini adalah :
Pertama, sifat syara’ pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh, sunnah, dan
mubah.
Kedua, buah dan pengaruh yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’, seperti
jual beli adalah memindahkan pemilikan barang terjual kepada pembeli dan
hukum sewa menyewa (ijarah) adalah pemilikan penyewa pada manfaat barang
yang disewakan. Demikian juga hukum perkawinan atau pernikahan berarti
penghalalan masing-masing dari sepasang suami istri untuk bersenang-senang
kepada yang lain, kewajiban suami terhadap mahar dan nafkah terhadap istri,
kewajiban istri untuk taat terhadap suami dan pergaulan yang baik.
Dalam tulisan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu sifat
syara’. Maksudnya hukum yang ditetapkan syara’ apakah dituntut mengerjakan
atau tidak, itulah yang disebut dengan hukum taklifi (hukum pembebanan)
10

menurut ulama ushul fiqh. Menurut ulama Hanafiyah, hukum nikahitu adakalanya
mubah, mandub, wajib, fardu, makruh, dan haram. Sedangkan ulama mazhab-
mazhab lain tidak membedakan antara wajib dan fardu.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi
mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan
hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf.
Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai
dengan kondisinya yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, dan atau
akhlak.
1. Fardu
Hukum nikah fardu, pada kondisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah,
yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri bahwa ia mampu
menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istri yakni pergaulan dengan baik.
Demikian juga, ia yakni bahwa jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan
zina, sedangkan puasa yang dianjurkan nabi tidak akan mampu menghindarkan
perbuatan tersebut. Nabi bersabda:
“Wahai para pemuda barangsiapa d iantara kalian ada kemampuan biaya nikah,
maka nikahlah. Barangsiapa yamg tidak mampu hendaknya berpuasalah,
sesuangguhnya ia sebagai perisai baginya.”
Pada saat seperti diatas, seseorang dihukumi fardu untuk menikah, berdosa
meninggalkannya dan maksiat serta melanggar keharaman. Meninggalkan zina
adalah fardu dan caranya yaitu menikah ---dengan tidak mengurangi hak
seseorang--- maka ia menjadi wajib. Menurut kaidah ulama ushul: “Sesuatu yang
tidak mencapai fardu kecuali dengan mengerjakannya, maka ia hukumnya fardu
juga”. Fardu wajib dikerjakan dan haram ditinggalkan.
2. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki kemampuan biaya
nikah, mampu: menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan istri
11

yang dinikahinya, dan ia mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan


apabila tidak menikah. Keadaan seseorang tersebut wajib untuk menikah, tetapi
tidak sama dengan kewajiban pada fardu nikah. Karena dalam fardu, dalilnya pasti
atau yakin (qath’i) sebab-sebabnya pun juga pasti. Sedangkan dalam wajib nikah,
dalil dan sebab-sebabnya adalah atas dugaan kuat (zhanni), maka produk
hukumnya pun tidak qath’i tetapi zhanni. Dalam wajib nikah hanya ada unggulan
dugaan kuat (zhann) dan dalilnya wajib bersifat syubhat atau samar. Jadi,
kewajiban nikah pada bagian ini adalah khawatir melakukan zina jika tidak
menikah, tetapi tidak sampai ke tingkat yakin.
3. Haram
Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah
nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah. Keharaman nikah ini
karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram secara pasti; Sesuatu yang
menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga. Jika
seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab
kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya
untuk disakiti, maka menikahnya menjadi haram.
Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah
disyariatkan dalam islamuntuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah
kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya,
kerusakan, dan penganiayaan. Nikah orang tersebut wajib ditinggalkan dan tidak
memasukinya, dengan maksud melarang perbuatan haram dan inilah alternative
yang paling utama, yakni harapan meninggalkan nikah.
4. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran. Seseorang
mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat
12

zina, tetapi dikhawatirkan terjadipenganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat


yakin.
Terkadang orang tersebut mempunyai dua kondisi yang kontradiktif, yakni
antara tuntutan dan larangan. Seperti seseorang yang dalam kondisi yakin atau
diduga kuat akan terjadi perzinaan jika tidak menikah, berarti ia antara kondisi
fardu dan wajib nikah. Di sisi lain, ia juga diyakini atau diduga kuat melakukan
penganiayaan atau menyakiti istrinya jika ia menikah. Dalam hal ini, apa yang
dilakukan terhadap orang tersebut? Apakah sisi keharaman nikah yang lebih kuat
atau sisi fardu dan wajib nikah?
Pada kondisi seperti diatas, orang tersebut tidak diperbolehkan menikah agar
tidak terjadi penganiayaan dan kenakalan, karena mempergauli istri dengan buruk
tergolong maksiat yang berkaitan dengan hak hamba. Sedangkan khawatir atau
yakin akan terjadi perbuatan zina tergolong maksiat yang berkaitan dengan hak
Allah. Hak hamba didahulukan jika berentangan dengan hak Allah murni. Kami
maksudkan disini, bahwa jika seseorang dikhawatirkan berselingkuh atau
bermaksiat dengan berzina jika tidak menikah dan di sisi lain dikhawatirkan
mempergauli istri dengan buruk jika menkah. Di sini terdapat dua kekhawatiran
yang sama, maka yang utama adalah lebih baik tidak menikah karena khawatir
terjadi maksiat penganiayaan terhadap istri.
5. Fardu, Mandub, dan Mubah
Seseorang dalam kondisi normal, artinya memliki harta, tidak khawatir
dirinya melakukan maksiat zina sekalipun membujang lama dan tidak
dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri. Para ulama dalam hal ini berbeda
pendapat tentang hukum nikahnya:
Pendapat pertama, fardu menurut kaum Zhahiriyah, dengan alasan:
Pertama, zhahirnya teks-teks ayat maupun hadis mengenaiperintah nikah
seperti firman Allah:
13

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. “(QS. An-Nur (24): 32)
Dan hadis Nabi: Wahai para pemuda, siapa yang mampu di antara kalian
akan biaya menikah, hendaklah menikah….
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan menikah dan lahirnya perintah
menunjukan wajib. Pendapat ini diperkuat dengan praktik Nabi dan para sahabat
yang elakukannya dan tidak ada yang memutuskannya. Andaikata mandub atau
sunnah tentu ada yang meninggalkannya.
Kedua, Nabi melarang beberapa sahabat yang membujang, dan tidak menikah
secara berlebih-lebihan. Sebagaimana dalam hadis shahih Al-Bukhari dan
Muslim: Bahwa ada tiga golongan datang kerumah para istri Nabi seraya bertanya
ibadah beliau. Setelah diberitahu, seolah-olah mereka merasa sedikit ibadah
mereka. Mereka berkata: “ Dimana posisi kita dari Nabi padahal beliau telah
diampuni segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang?”
Ketiga, seseorang, walaupun dalam keadaan normal atau tidak akan
melakukan maksiat zina. Akan tetapi yang menjadi wajib adalah berhati-hati
terhadap dirinya dan memeliharanya dengan menikah. Nikah ini, dituntut dengan
tuntutan yang kuat seperti melihat aurat wanita lain hukumnya haram, karena
terkadang mendatangkan perbuatan zina dan mendorong nafsu untuk mencarinya.
Dalam hal ini hukumnya sama, yaitu fardu atau wajib.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam islam dianjurkan untuk Menikah. Sebelum melaksanakan pernikahan
harus memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah adalah
14

permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya,baik


dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak yang dipercayainya
sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-
menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Adapun Rukun nikah sebagai berikut:
1. Sighat (akad)
2. wali (wali si perempuan)
3. Dua orang saksi
4. Calon pengantin
Adapun syarat wali dan dua orang saksi yaitu :
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
Adapun Hikmah nikah yaitu
1. Menyalurkan naluri seks
2. Jalan mendapatkan keturunan yang sah
3. Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan
4. Dorongan untuk bekerja keras
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, D. A. (n.d.).
Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, D. (2009). FIQH MUNAKAHAT: Khitbah,
Nikah, dan Talak. Jakarta: AMZAH.
Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., P. (2009). FIKIH MUNAKAHAT: Kajian Fiqih
15

Nikah Lengkap. Jakarta: RAJAWALI PERS.


Na'im, A. H. (2011). Fiqih Munakahat. Kudus: Stain Kudus.
Sabiq, S. (1980). Fiqih Sunnah. Bandung: PT. Alma'arif.

Anda mungkin juga menyukai