Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan
yang berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah
yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami
isteri.[3] Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah atau perkawinan
adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah
menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku
dikalangan manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala
berfirman:
B. Hukum Nikah
1. Jaiz, (diperbolehkan) ini asal hukumnya
2. sunnat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan
tergoda pada kejahatan (zina)
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
5. Haram, bagi orang yang berniat kan menyakiti perempuan yang
dinikahinya.[5]
Bagi orang yang telah mampu kawin, beristeri itu wajib
hukumnya.Karena dengan beristeri itu hati lebih terpelihara dan lebih
bersih dari desakan nafsu. Al-Qurthubi mengatakan: “Bagi orang yang
mampu kawin, sedang dia khawatir dirinya terjerumus kedalam dosa
sehingga agamanya tidak terpelihara akibat membujang, yang rasanyahal
itu hanya bisa disembuhkan dengan perkawinan, maka tak ada perbedaan
pendapat mengenai wajibnya perkawinan dalam keadaan seperti ini.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan 'aqad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedang kabul
dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Menurut pendapat Hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai lelaki atau
wakilnya dan kabul dan pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan
itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab kabul ini dilakukan di dalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama
antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan
masing-masing ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak
dan dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan kabul asal masih di dalam satu
majelis dan tiada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari
maksud akad itu.
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang
terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di
dalam Sunnah dan Kitabullah. Demikian Asy-Syafi'i dan Hambali. Sedang Hanafi
membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur'an, misalnya
menggunakan majaz yang biasa digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang
artinya perkawinan.
Akad nikah itu wajib dihindari oleh dua orang saksi lelaki, muslim, baligh,
berakal, melihat (tidak buta), mendengar (tidak tuli) dan mengerti tentang maksud
akad nikah, dan juga adil. Saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Menurut Hanafi dan Hambali saksi itu boleh seorang lelaki dan boleh orang
perempuan, sedang menurut Hanafi boleh saksi itu dua orang buta atau dua orang
fasik (tidak adil). [8]
untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hokum pada suami istri
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz
( membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.
2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak
boleh di selingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat di anggap ada
penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qobul.
Tetapi dalam ijab dan qobul tak ada syarat harus langsung.Bilamana majlisnya
berjalan lama dan antara ijab dan qobul ada tenggang waktu, tetapi tanpa
menghalangi upacara ijab qobul, maka di anggap satu majlis.Sama dengan ini
pendapat golongan hanafi dan hambali.
Dalam kitab mughni disebutkan: bila ada tenggang waktu antara ijab
qobul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majlis juga tidak di selingi
sesuatu yang mengganggu. Karena di pandang satu majlis selama terjadinya
upacara akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan tunai bagi barang
yang di syaratkan di terima tunai, sedangkan bagi barang yang tidak di syaratkan
tunai penerimaannya, barulah disana di benarkannya hak khiyar ( tetap jadi
membeli atau membatalkan).
Mereka ( ahli fiqih) berkata bilamana ijab qabul di selingi oleh khutbah si wali,
umpamanya: bismillah, Alhamdulillah, washshalatu wassalamu’ala rasulillah, aku
terima akad nikahnya. Dalam hal ini ada dua pendapat.
Pertama: syaich Abu Hamid Asfara Yini berpendapat sah. Karena khutbah dan
akad nikah di perintahkan agama.Dan perbuatan ini tidak merupakan halangan
sahnya akad nikah, seperti halnya orang yang bertayamum antara dua shalat yang
di jama’.
Kedua: tidak sah, sebab memisahkan acara ijab qabul , sebagaimana halnya kalau
antara ijab qabul itu di pisahkan oleh hal-hal lain di luar khutbah. Dalam hal ini
berbeda dengan hokum tayamum di antara dua shalat yang di jama’ itu memang
ada di perintahkan agama, sedangkan khutbah nikah di perintahkan sebelum ijab
qabul.
3. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih
baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya
lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku kawinkan kamu dengan anak
perempuanku anu, dengan mahar Rp 100 umpamanya, lalu qabul menyebut : aku
menerima nikahnya dengan Rp 200 maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat
hal yang lebih baik ( lebih tinggi nilainya) dari yang di nyatakan pengijab.[9]
Para ahli fiqih sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain
arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakat baik semua atau salah satunya
tidak tahu bahasa arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah
pihak paham pahasa arab dan bisa melaksanakan ijab qbulnya dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab mughni mengatakan bagi orang yang mampu
mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain
bahasa arab. Demikian salah satu pendapat dari imam syafi’i.menurut imam Abu
Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-kata tertentu yang di gunakan
ijab qobul sebagaimana juga dalam bahasa Arab
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat di mengerti,
sebagaimana halnya akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena
isyarat itu mempunyai makna yang dapat di mengerti. Tetapi kalau salah satu
pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabulnya tidak sah,sebab yang
melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja.
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau
melanjutkan aqad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis
surat kepada pihak lainnya meminta di akadnikahkan, dan pihak yang lain ini jika
memang mau menerima hendaklah ia menghadirkan para saksi dan membacakan
isi suratnya kepada mereka atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan
mempersaksikan kepada mereka di dalam majlisnya bahwa akad nikahnya telah di
terimanya. Dengan demikian qabulnya di anggap masih dalam satu majlis.[10]
E. Hikmah Nikah
Naluri seks merupakan naluri terkuat yang selamanya menuntut jlan keluar. orang
yang tidak bisa mencarikan jalan keluar untuk memuaskannya, serin mengalami
goncangan dan kekacauuan bahkan tidak jarang seseorang melakukan kejahatan
karenanya menikah merupakan jalan keluar yang paling aman untuk menyalurkan
naluri seks.
Mereka yang telah menikah dan memperoleh anak, naluri kebapakan dan naluri
keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan. ini
akan menimbulkan perasaan ramh, saling mencintai, dan saling menyayangi
antara satu dengan anggota keluarga lainnya.
Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami isteri secara seimbang,
juga adanya pembagian tugas antara suami istri dalam hubungannya dengan
pengembangan generasi yang baik dimasa mendatang. [11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. sighat (akad)
2. wali (wali si perempuan)
4. calaon pengantin
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
DAFTAR PUSTAKA