Anda di halaman 1dari 14

A.

Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan
yang berarti kawin. dalam istilah nikah berarti ikatan suami istri yang sah
yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami
isteri.[3] Dalam buku fiqih wanita yang dimaksud Nikah atau perkawinan
adalah Sunnatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah
menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan.
Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku
dikalangan manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala
berfirman:

       

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya


kamu mengingat akan kebersamaan Allah.” (QS. Ad-dzariyat: 49)

Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki


perkembangan dunia berjalan sekehendaknya.Oleh sebab itu diatur-Nya
lah naluri apapun yang ada pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-
prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh,
bahkan semakin baik, suci dan bersih.Demikianlah, bahwa segala sesuatu
yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tak pernah terlepasdari didikan
Allah.
Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah aqad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan
lafadz nikah atau ziwaj atau semakna keduanya. Pengertian ini dibuat
hanya melihat dari satu segi saja ialah kebolehan hukum, dalam hubungan
antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi
dibolehkan. Perkawinan mengandung aspek akibat hukum melangsungkan
perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan
mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena
perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung
adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan
ialah suatu aqad atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian
hidup berkeluarga yang meliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang
dengan cara yang diridhai Allah SWT. [4]

B. Hukum Nikah
1. Jaiz, (diperbolehkan) ini asal hukumnya
2. sunnat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan
tergoda pada kejahatan (zina)
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
5. Haram, bagi orang yang berniat kan menyakiti perempuan yang
dinikahinya.[5]
Bagi orang yang telah mampu kawin, beristeri itu wajib
hukumnya.Karena dengan beristeri itu hati lebih terpelihara dan lebih
bersih dari desakan nafsu. Al-Qurthubi mengatakan: “Bagi orang yang
mampu kawin, sedang dia khawatir dirinya terjerumus kedalam dosa
sehingga agamanya tidak terpelihara akibat membujang, yang rasanyahal
itu hanya bisa disembuhkan dengan perkawinan, maka tak ada perbedaan
pendapat mengenai wajibnya perkawinan dalam keadaan seperti ini.

C. Rukun dan Syarat Nikah


1. Rukun perkawinan
a. Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
b. Adanya wali.
c. Adanya 2 orang saksi
d. Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu. sighat (akad) yaitu
perkataan dari pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah
kecuali dengan lafadz nikah.
2. Syarat dua mempelai
Adapun syarat dua mempunyai ialah :
a. Syarat pengantin pria
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1) Calon suami beragama islam.
2) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan
calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri
serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
6) Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan
perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan
calon istri.
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin perempuan
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1) Calon suami beragama islam.
2) Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3) Wanita itu tertentu orangnya.
4) Halal bagi calon suami.
5) Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih
dalam 'iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c. Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai
perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal dan
adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali
dianggap tidak sah. Hal ini dilandaskan pada hadits Nabi SAW.:

(‫ إال نكاح ال )أنسائى إال الخمسة رواه‬.‫بولى‬

"Tidak ada perkawinan tanpa wali." (HR. Al Khomsah


kecuali An Nasaiy)
Hanafi Tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan.
Perempuan yang telah baligh dan berakal, boleh mengawinkan
dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi, sedang
Malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan
perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan
awam. [6]
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah
oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi saksi
atau wali.tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa
sifat sebagai berikut :
1. Islam. orang yang tidak beragama islam tidak sah
menjdi wali atau saksi.
2. Balig. (sudah berumur 15 tahun)
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan
ialah menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini :
a. Bapaknya
b. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
c. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
d. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak
dengannya.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja
dengannya.
g. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
h. Anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya
i. Hakim[7]
d. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang,
lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta
mengerti (faham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut Hanafi
dan Hambali, boleh juga saksi itu lelaki dan dua orang perempuan.
Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik
(tidak adil).
Selanjutnya orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak
boleh menjadi saksi.Sebagian besar ulama berpendapat saksi
merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan
(akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat
Syafi'i, Hanafi dan Hambali.
Bersifat adil. Menurut imam Hanafi untuk menjadi saksi
dalam perkawinan tidak di syaratkan harus orang yang adil, jadi
perkawinan yang di saksikan oleh dua orang fasik hukumnya sah.
Golongan Syafi’I berpendapat saksi itu harus orang yang
adil, sebagaimana tersebut dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa
wali dan dua orang saksi yang adil’’. Menurut mereka ini bila
perkawinan di saksikan oleh dua orang yang belum di kenal adil
tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi menurut Syafi’I kawin
dengan saksi-saksi yang belum di kenal adil tidaknya, hukumnya
sah.
Perempuan Menjadi Saksi. Golongan Syafi’I dan
Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad nikah dengan
saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah, tetapi
golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.Mereka
berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-
laki dan dua perempuan sudah sah.
Harus Orang Merdeka. Abu Hanifah dan Syafi’I
mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang yang
merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan syarat ini.Dia
berpendapat akad nikah yang di saksikan dua orang budak,
hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam
masalah-masalah lain, dan karena dalam al Qur’an maupun hadist
tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi
saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh
di tolak.
Harus Orang Islam. Para ahli fiqih berbeda pendapat
tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam perkawinan bilamana
pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan muslim,apakah
saksinya harus beragama islam? juga mereka berbeda pendapat jika
yang laki-lakinya beragama islam, apakah yang menjadi saksi
boleh orang yang bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’I dan
Muhammad bin Al-Hasan perkawinannya tidak sah, jika saksi-
saksinya bukan islam, karena yang kawin adalah orang islam,
sedang kesaksian bukan orang islam terhadap orang islam tidak
dapat di terima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila
perkawinan itu antara laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab
maka kesaksian dua orang Ahli Kitab boleh di terima. Dan
pendapat ini di ikuti oleh undang-undang perkawinan mesir.
e. Syarat-syarat ijab qabul

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan 'aqad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.

Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedang kabul
dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.

Menurut pendapat Hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai lelaki atau
wakilnya dan kabul dan pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan
itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.

Ijab dan kabul merupakan syarat perkawinan

Ijab kabul ini dilakukan di dalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama
antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan
masing-masing ijab dan kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak
dan dua orang saksi.

Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan kabul asal masih di dalam satu
majelis dan tiada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari
maksud akad itu.

Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang
terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di
dalam Sunnah dan Kitabullah. Demikian Asy-Syafi'i dan Hambali. Sedang Hanafi
membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur'an, misalnya
menggunakan majaz yang biasa digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang
artinya perkawinan.

Akad nikah itu wajib dihindari oleh dua orang saksi lelaki, muslim, baligh,
berakal, melihat (tidak buta), mendengar (tidak tuli) dan mengerti tentang maksud
akad nikah, dan juga adil. Saksi merupakan syarat sah perkawinan.
Menurut Hanafi dan Hambali saksi itu boleh seorang lelaki dan boleh orang
perempuan, sedang menurut Hanafi boleh saksi itu dua orang buta atau dua orang
fasik (tidak adil). [8]

untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hokum pada suami istri
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak harus tamyiz

Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz
( membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.

2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak
boleh di selingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat di anggap ada
penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qobul.

Tetapi dalam ijab dan qobul tak ada syarat harus langsung.Bilamana majlisnya
berjalan lama dan antara ijab dan qobul ada tenggang waktu, tetapi tanpa
menghalangi upacara ijab qobul, maka di anggap satu majlis.Sama dengan ini
pendapat golongan hanafi dan hambali.

Dalam kitab mughni disebutkan: bila ada tenggang waktu antara ijab
qobul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majlis juga tidak di selingi
sesuatu yang mengganggu. Karena di pandang satu majlis selama terjadinya
upacara akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan tunai bagi barang
yang di syaratkan di terima tunai, sedangkan bagi barang yang tidak di syaratkan
tunai penerimaannya, barulah disana di benarkannya hak khiyar ( tetap jadi
membeli atau membatalkan).

Bilamana sebelum di lakukan qobul telah berpisah, maka


ijabnya batal.Karena makna ijab disini telah hilang.Sebab, menghalangi bisa
dilakukan oleh pihak laki-laki dengan jalan berpisah diri, sehingga dengan
demikian tidak terlaksana qobulnya.Begitu pula kalau kedua-duanya sibuk dengan
sesuatu yang mengakibatkan terputusnya ijab qobul, maka ijabnya batal lantaran
upacara qobulnya jadi terhalang.

Sedangkan golongan syafi’I mensyaratkan cara tersebut boleh asal segera.

Mereka ( ahli fiqih) berkata bilamana ijab qabul di selingi oleh khutbah si wali,
umpamanya: bismillah, Alhamdulillah, washshalatu wassalamu’ala rasulillah, aku
terima akad nikahnya. Dalam hal ini ada dua pendapat.

Pertama: syaich Abu Hamid Asfara Yini berpendapat sah. Karena khutbah dan
akad nikah di perintahkan agama.Dan perbuatan ini tidak merupakan halangan
sahnya akad nikah, seperti halnya orang yang bertayamum antara dua shalat yang
di jama’.

Kedua: tidak sah, sebab memisahkan acara ijab qabul , sebagaimana halnya kalau
antara ijab qabul itu di pisahkan oleh hal-hal lain di luar khutbah. Dalam hal ini
berbeda dengan hokum tayamum di antara dua shalat yang di jama’ itu memang
ada di perintahkan agama, sedangkan khutbah nikah di perintahkan sebelum ijab
qabul.

3. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih
baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya
lebih tegas. Jika pengijab mengatakan: aku kawinkan kamu dengan anak
perempuanku anu, dengan mahar Rp 100 umpamanya, lalu qabul menyebut : aku
menerima nikahnya dengan Rp 200 maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat
hal yang lebih baik ( lebih tinggi nilainya) dari yang di nyatakan pengijab.[9]

Kata-kata dalam ijab dan qabul

Di dalam melakukan ijab qabul haruslah di pergunakan kata-kata yang dapat


di pahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai
menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihakuntuk nikah, dan tidak
boleh menggunakan kata-kata yang samara tau kabur.
Jika kata-kata dalam ijab dan qabul dapat dig anti dengan kata-kata kiasan,
maka sahlah hukumnya, seperti halnya dengan menyatakan cerai dengan kata-kata
kiasan.

Ijab qabul Bukan dengan Bahasa Arab

Para ahli fiqih sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain
arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakat baik semua atau salah satunya
tidak tahu bahasa arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah
pihak paham pahasa arab dan bisa melaksanakan ijab qbulnya dengan bahasa ini.

Ibnu Qudamah dalam kitab mughni mengatakan bagi orang yang mampu
mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain
bahasa arab. Demikian salah satu pendapat dari imam syafi’i.menurut imam Abu
Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-kata tertentu yang di gunakan
ijab qobul sebagaimana juga dalam bahasa Arab

Ijab qabulnya Orang Bisu

Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat di mengerti,
sebagaimana halnya akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena
isyarat itu mempunyai makna yang dapat di mengerti. Tetapi kalau salah satu
pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabulnya tidak sah,sebab yang
melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja.

Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)

Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau
melanjutkan aqad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis
surat kepada pihak lainnya meminta di akadnikahkan, dan pihak yang lain ini jika
memang mau menerima hendaklah ia menghadirkan para saksi dan membacakan
isi suratnya kepada mereka atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan
mempersaksikan kepada mereka di dalam majlisnya bahwa akad nikahnya telah di
terimanya. Dengan demikian qabulnya di anggap masih dalam satu majlis.[10]
E. Hikmah Nikah

Islam menganjurkan menikah.itu merupakan kabar gembira, sebagaimana dalam


Al-Qur’an dan As-Sunnah karena nikah berpengaruh besar (secara positif) baik
bagi pelakunya, masyarakat maupun seluruh umat manusia. jadi, banyak sekali
hikmah yang terkandung dalam nikah, baik ditinjau aspek sosial,psikologi,
maupun kesehatan. adapun hikmah pernikhan sebagai berikut :

1. Menyalurkan Naluri seks

Naluri seks merupakan naluri terkuat yang selamanya menuntut jlan keluar. orang
yang tidak bisa mencarikan jalan keluar untuk memuaskannya, serin mengalami
goncangan dan kekacauuan bahkan tidak jarang seseorang melakukan kejahatan
karenanya menikah merupakan jalan keluar yang paling aman untuk menyalurkan
naluri seks.

2. Jalan mendapatkan keturunan yang sah

Nikah merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan keturunan mulia (terhormat).


melalui pernikahan, keturunan menjadi banyak, kehidupan menjadi lestari, dan
keturunan terpelihara sehingga kelangsungan hidup suatu negara atau bangsa
dapat terwujud.

3. Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan

Mereka yang telah menikah dan memperoleh anak, naluri kebapakan dan naluri
keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan. ini
akan menimbulkan perasaan ramh, saling mencintai, dan saling menyayangi
antara satu dengan anggota keluarga lainnya.

4. Dorongan untuk bekerja keras


Orang telah menikah dan memperoleh anak akan terdorong menunaikan tanggung
jawab dan kewajibannya dengan baik sehingga dia akan bekerja keras untuk
melaksanakan kewajibannya.

5. Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga

Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami isteri secara seimbang,
juga adanya pembagian tugas antara suami istri dalam hubungannya dengan
pengembangan generasi yang baik dimasa mendatang. [11]

6. Membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cintaantar


keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.

7. Pembagian tugas dan tanggung jawab suami istri dengan adil.[12]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam islam dianjurkan untuk Menikah. sebelum melaksanakan pernikahan harus


memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah adalah
permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya,baik
dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak yang dipercayainya
sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-
menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Adapun Rukun nikah sebagai berikut:

1. sighat (akad)
2. wali (wali si perempuan)

3. Dua orang saksi

4. calaon pengantin

Adapun syarat wali dan dua orang saksi yaitu :

1. Islam

2. Baligh

3. Berakal

4. Merdeka

5. Laki-laki

6. Adil

Adapun Hikmah nikah yaitu

1. Menyalurkan naluri seks

2. Jalan mendapatkan keturunan yang sah

3. Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan

4. Dorongan untuk bekerja keras

5. Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga

DAFTAR PUSTAKA

Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf.


Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.

Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.

Supiana-Karman Muhammad.Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT


Remaja Rosdakarya

Sabiq,sayyid,fiqih sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif,1980

[1]Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 380

[2]Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.Hal 31-35

[3]Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat.Kudus:Stain Kudus.Hal 17

[4]Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 37

[5]Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 381-382

[6]Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 77

[7]Rasjid, Sulaiman.Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algesindo.Hal 383-384

[8]Darajdat,Zakiah.Ilmu Fiqih.Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf. Hal 82

[9] Sabiq,sayyid.1980.Fiqih Sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif.Hal 53-59

[10] Sabiq,sayyid.1980.Fiqih Sunnah 6.Bandung:PT Alma’arif.Hal 90-92

[11]Supiana-Karman Muhammad.Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT


Remaja Rosdakarya. Hal 129-130

[12]Na’im,Abdul Haris.Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus.Hal 26.

Anda mungkin juga menyukai