Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT

Oleh Kelompok 7:
(Fitria Muftihatur R. & M. Rizza Falahul Muna)

A. PENGERTIAN NIKAH
Nikah secara Bahasa berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan
akan sebuah hubungan dan akad sekaligus, yang di dalam syari‟at dikenal
dengan akad nikah. Sedangkan secara syari‟at berarti sebuah akad yang
mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan
berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika
perempuan tersebut bukan termasuk mahrom dari segi nasab, sesusuan, dan
keluarga.1
Rukun pernikahan menurut para ulama hanafiah hanya ijab dan qabul
saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada 4, yaitu sighat (ijab dan qabul),
istri, suami, dan wali. Suami dan wali dua orang yang mengucapkan akad.
Sedangkan hal yang dijadikan adalah al-istimtaa’(bersenang-senang) yang
merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan.
Sedangkan mahar bukan merupakan suatu yang sangat menentukan dalam
akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil yang
bolehnya menikah dengan cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah
merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar
dijadikan rukun menurut istilah yang beredar dikalangan sebagian ahli fiqih.2

B. Rukun Nikah
Berikut rukun (hal wajib) agar terlaksana pernikahan, antara lain:
1. Mempelai laki-laki
Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki. Pernikahan dimulai
pada saat akad nikah.
2. Mempelai Perempuan
Sahnya menikah kedua yakni ada mempelai perempuan yang halal untuk
dinikahi. Dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk
1
Wahbah Az-Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu (Jakarta, 2011), hlm. 38.
2
Wahbah Az-Zu haili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), hlm. 45.

1
dinikahi seperti pertalian darah, hubungan persusuan, atau hubungan
kemertuaan.
3. Wali Nikah Perempuan.
Syarat sah menikah berikutnya adanya wali nikah. Wali merupakan
orangtua mempelai perempuan yakni ayah, kakek, saudara laki-laki
kandung (kakak atau adik), saudara laki-laki seayah, saudara kandung
ayah (pakde atau om), anak laki-laki dari saudara kandung ayah.
4. Saksi Nikah
Menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang bila tidak
ada saksi. Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam, baligh, berakal,
merdeka, lelaki, dan adil. Dua orang saksi ini diwakilkan oleh pihak
keluarga, tetangga, ataupun orang yang dapat dipercaya untuk menjadi
seorang saksi.
5. Ijab dan Qabul
Terakhir, syarat sah nikah yakni ijab dan qabul. Ijab dan qabul adalah janji
suci kepada Allah SWT di hadapan penghulu, wali, dan saksi. Saat kalimat
"Saya terima nikahnya", maka dalam waktu bersamaan dua mempelai laki-
laki dan perempuan sah untuk menjadi sepasang suami istri.

C. SYARAT-SYARAT SAHNYA PERNIKAHAN


1. Beragama Islam. Pengantin pria dan wanita harus beragama Islam. Tidak
sah jika seorang muslim menikahi non muslim dengan menggunakan tata
cara ijab dan qabul Islam.
2. Bukan Laki-laki Mahrom bagi Calon Istri. Pernikahan diharamkan jika
mempelai perempuan merupakan mahrom mempelai laki-laki dari pihak
ayah. Periksa terlebih dulu riwayat keluargasebelum dilakukan
pernikahan.
3. Wali Akad Nikah. Wali akad nikah mempelai perempuan yakni ayah.
Namun jika ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa
diwakilkan oleh kakeknya. Pada syariat Islam, terdapat wali hakim yang
bisa menjadi wali dalam sebuah pernikahan. Meski demikian,
penggunaan wali hakim ini juga nggak sembarangan

2
4. Tidak Sedang melaksanakan haji. Syarat sah menikah berikutnya yakni
tidak sedang berhaji. Seperti dalam hadits Riwayat Muslim:
"Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh
dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah." (HR. Muslim no. 3432)
5. Bukan Paksaan. Syarat sah menikah terakhir yakni menikah bukan
karena paksaan. Pernikahan karena keikhlasan dan pilihan kedua
mempelai untuk hidup bersama.3
Keberadaan wali adalah syarat sahnya pernikahan, sebagaimana
keberadaan saksi, nikah tidak sah tanpa wali laki-laki, mukallaf, merdeka,
muslim, adil, dan berakal sempurna. Namun, perkawinan kafir dzimmi tidak
butuh keislaman wali, dan orang islam tidak bisa menjadi wali baginya,
kecuali pemerintah. Pemerintah boleh menikahkan wanita-wanita kafir
dzimmi jika mereka tidak mempunyai wali senasab, sesuai ketentuan
perwalian yang berlaku.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, meski dengan
izin walinya. Dia juga tidak boleh menikahkan wanita lainnya, meski ditunjuk
sebagai wakil atau diberi kuasa oleh wali wanita tersebut. Dia juga tidak boleh
menerima (atau membaca qabul) atas pernyataan ijab seseorang, demi
menjaga tradisi yang baik dan melestarikan sikap malu. Allah SWT berfirman,
“laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),” (QS. An-Nisa’ [4]:
34)4
Asy-Syafi‟i berkata, “Firman Allah SWT, „maka jangan kalian halangi
mereka menikahkan (lagi) dengan calon suaminya,‟ (QS. AL-Baqarah [2];
232)5 merupakan dalil yang tegas tentang pentingnya wali dalam pernikahan.
Jika tidak demikian, tentu pemboikotan wali tidak ada artinya. Ini dipertegas
lagi dengan sabda Nabi SAW, „tidak ada nikah kecuali dengan wali.6

3
Wahbah Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), hlm. 67.
4
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) ,
hlm. 108.
5
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006),
hlm. 46.
6
Diriwayatkan al-khamsah ( imam ahmad dan empat imam lain penyusun kitab sunan ),
kecuali an-nasa‟i, dari abu musa al-asy‟ari.; juga di riwayatkan ibnu hibban dan al-hakim,
keduanya mushahikannya, al-hakim berkata,” riwayat ini shahih, di riwayatkan dari para istri
rasulullah, aisyah, ummu salamah, dan zainab binti jahsyi, kemudian menyebar ke tiga puluh
sahabat.‟‟

3
Akan tetapi, seandainya wali dan hakim tidak ada, lalu si wanita dan
peminangnya menyerahkan perwalian kepada seorang pria yang mampu
berijtihad untuk menikahkan mereka, perwaliannya sah. Sebab pria tersebut
berposisi sebagai muhakkam, dan muhakkam itu sama dengan hakim. Begitu
pula, seandainya si wanita beserta peminangnya mengangkat sendiri yang adil,
menurut pendapat yang mukhtar, perwalian ini sah, meskipun wali itu tidak
bisa berijtihad. Alasannya karena mempelai dalam kondisi sangat
membutuhkan wali.
Menurut qaul jadid asy-syafi’i, pengakuan wanita baligh dan berakal
bahwa dia telah kawin dan laki-laki itu membenarkannya, walaupun keduanya
tidak sekufu, pengakuan ini bisa diterima, meski wali dan kedua saksinya –
bila wanita itu menunjuk keduanya – membantah pengakuan tersebut.
Alasannya, akad nikah merupakan hak pasangan suami istri. Jadi, akad itu
tetap sah dengan kesepakatan keduannya, seperti halnya akad lain.7
Menurut madzhab Syafi‟i Ada dua jenis perwalian, yaitu perwalian
yang memiliki hak memaksa ( wali ijbar ) dan perwalian sukarela ( ikhtiyar )
dan perwalian ( ijbar ) hanya dimiliki ayah dan kakek saja. Artinya, seorang
ayah boleh mengawinkan putrinya yang perawan, masih kecil maupun sudah
besar, berakal penuh maupun kurang, tanpa seizin wanita tersebut. Namun iya
dianjurkan meminta izin putrinya. Seorang ayah tidak boleh menikahkan
putrinya yang janda dan baligh tanpa seijinnya.
Dalil penetapan perwalian ijbar bagi ayah adalah hadist riwayat ad-
Daruquthni, “wanita janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya;
sedangkan perawan di nikahkan oleh ayahnya,” juga riwayat muslim, “wanita
perawan di pinangkan oleh ayahnya.”riwayat ini di arahkan pada pemahaman
bahwa meminangkan wanita itu hukumnya sunah, dengan pertimbangan
wanita perawan itu sangat pemalu.
Janda yang baligh hanya dapat dinikahkan bila sudah menyatakan
persetujuannya dengan jelas. Sedangkan perawan baligh dan berakal, menurut
pendapat yang ashah, diamnya saja sudah menunjukkan persetujuan,
meskipun di bumbui tangisan. Hal ini sejalan hadist muslim,” janda lebih

7
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), hlm. 461.

4
berhak atas dirinya dari pada walinya. Sedangkan perawan adalah di
pinangkan, dan persetujuannya adalah diamnya.”8
Adapun status perwalian sukarela (ikhtiyar) diberikan kepada saudara
senasab ashabah dari garis keturunan tepi, seperti saudara laki-laki, paman
dari ayah kandung-atau seayah-dan anak laki-laki keduanya. Mereka sama
sekali tidak boleh menikahi wanita dibawah umur, baik masih perawan atau
janda, berakal atau tidak. Sebab, menikahkan mereka harus dengan
persetujuan wanita yang bersangkutan, sedangkan, persetujuan dari kelompok
wanita tersebut (yakni saudara wanita, bibi, dll.) tidak diperhitungkan.
Saudara laki-laki dari garis tepi itu boleh menikahkan wanita baligh dan
berakal. Dalam hal ini, kedudukan pemerintah sama dengan saudara laki-laki.9

D. Al-Muharramat (orang-orang yang tidak boleh dinikahi)


Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga:
pertama karena nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan
ketiga karena penyusuan.
Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab
adalah :
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan).
Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena
mushaharah adalah :
1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus
dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah
dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena
itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun
belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal
8
HR. Abu Daud dan yang lain, Al- Baihaqi berkomentar bahwa para periwatannya
tsiqoh.
9
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), hlm. 463.

5
bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman
Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan
sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian menikahinya.” (An-
Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya
sekedar dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan
sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena
sepersusuan.10Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang
pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa‟:23).11
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang
menjadi haram karena kelahiran.” 12
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung,
dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu
kandung, haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang
menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:
1. Ibu susu (nenek)
2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak susu (kakek)
4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)
5. Saudara perempuan bapak susu
6. cucu perempuan dari Ibu susu
7. Saudara perempuan sepersusuan.13

E. Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Sementara Waktu14


1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau.” (An-Nisaa‟:23).15

10
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), hlm. 493.
11
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006),
hlm. 105.
12
Muttafaqun ‟alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi
II:307 no:1157, ‟Aunul Ma‟bud VI:53 no:2041 dan Nasa‟i VI:99), hlm. 570.
13
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), hlm. 495.
14
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), hlm. 498.

6
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari
pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh
dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah
dan tidak (pula) dari ibunya.”16
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.

‫ث أ َ ْي َواًُ ُن ْن‬
ْ ‫اء ِإ اَّل َها َهلَ َن‬
ِ ‫س‬ َ ‫… َو ْال ُو ْح‬..
َ ٌِّ ‫صٌَاتُ ِهيَ ال‬
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa‟ :24).17
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus
sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang.
Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa
iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu
pada hadits dari Abu Sa‟id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus
pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar
mereka memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan
menangkap sebagian di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari
kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri
para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang
musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan
ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami
kecuali budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri
bila mereka selesai menjalani masa iddahnya.18
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan
orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman,

15
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006),
hlm. 105.
16
(Muttafaqun ‟alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan
lafadz yang sema‟na dan Nasa‟i VI:98).
17
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006),
hlm. 106.
18
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301
no:5005, Nasa‟i 54 VI:110 dan ‟Aunul Ma‟bud VI:190 no:2141).

7
‫طلاقَ َها فَ ََل ُجٌَا َح‬ َ ‫طلاقَ َها فَ ََل ج َ ِح ُّل لََُ ِه ْي َب ْعد ُ َححاى ج َ ٌْ ِن َح زَ ْو ًجا‬
َ ‫غي َْرٍُ فَئ ِ ْى‬ َ ‫فَئ ِ ْى‬
ِ ‫َّللاِ َوجِ ْل َل ُحد ُودُ ا‬
‫َّللا يُ َب ِيٌُّ َها ِل َق ْى ٍم‬ ‫ظٌاا أ َ ْى يُ ِقي َوا ُحدُودَ ا‬ َ ‫علَ ْي ِه َوا أ َ ْى َيح َ َرا َج َعا ِإ ْى‬
َ
َ‫َي ْعلَ ُوىى‬
”Kemudian jika si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami
yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah :230).19
5. Kawin dengan wanita pezina
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga
tidak halal bagi seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki
pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah
melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan,
ٌ‫زاى أ َ ْو ُه ْش ِرك‬ ‫الساًي َّل َي ٌْ ِن ُح ِإَّلا زا ًِ َيةً أ َ ْو ُه ْش ِر َمةً َو ا‬
ٍ ‫الساًِ َيةُ َّل َي ٌْ ِن ُحها ِإَّلا‬ ‫ا‬
‫علَى ْال ُوؤْ ِهي‬
َ ‫َو ُح ِ ّر َم ذ ِل َل‬
“Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan
berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak
boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.” (An-Nuur : 3).20

F. Putus Perkawinan dan Akibat-Akibatnya.


1. Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami
dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih
mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada

19
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006),
hlm. 46.
20
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006),
hlm. 488.

8
wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan
yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil,
kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di
samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak
pada suami, antara lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari
pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan
dianjurkan membayar uang mu‟tah (pemberian sukarela dari suami
kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia
mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak
ditujukan
2. Khuluk
Talak khuluk (talak tebus) ialah bentuk perceraian atas persetujuan
suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan
tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang
dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk
mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri
dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan
dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri
pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
3. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti
perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang
dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
4. Fasakh
Fasakh adalah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa
perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak
oleh hakim Pengadilan Agama.

9
5. Taklik Talak
Ta‟lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta‟lik talak ialah
suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang
telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih
dahulu. Di Indonesia pembacaan ta‟lik talak dilakukan oleh suami setelah
akad nikah.
6. Ila’
Ila‟ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.
Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila‟ mempunyai arti
khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk
tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu
isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini
berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena
keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
7. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟. Arti
zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya
sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti
suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar
sama dengan ila‟.
8. Li’an
Arti li‟an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-
isteri untuk selama-lamanya.
9. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian
suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain
berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.

10
KESIMPULAN

Nikah adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk hidup berketurunan, yang dilangsungkan menurut ketentuan
syariat islam. Rukun nikah ada 5 yaitu adanya mempelai laki-laki, mempelai
perempuan, wali nikah, saksi nikah, dan ijab qobul. Begitu pula ada syarat-syarat
dalam melakukan nikah antara lain beragama Islam, bukan laki-laki mahrom bagi
Calon Istri, wali akad nikah, tidak sedang melaksanakan haji, bukan paksaan.
Tidak diperbolehkan untukmu melakukan pernikahan kepada ibu-ibumu,
anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara
perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan
dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu
yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, mertua, anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmudari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan
bagimu) menikahi (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali itu semua merupakan
kejadian masa lampau (telah terjadi).
Adapula bentuk-bentuk pemutusan perkawinan, sepert talak, talak khuluk,
shiqak, fashak, taklik talak, ila‟, zhihar, li‟an, dan juga kematian. Itu semua jenis-
jenis perceraian yang dalam sudut pandang berbeda-beda. Seorang laki-laki
ataupun perempuan bisa saja melakukan hal itu, nangudubillahi min dhalik.

11

Anda mungkin juga menyukai