Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Problematika kehidupan manusia senantiasa di mulai sejak manusia
memahami dan dapat mengenal arti kehidupan, begiupun manusia sebagai
subyek maupun obyek dalam mengembang biakkan manusia yang lain dan
media yang di pakai dalam islam adalah dengan adanya sebuah ikatan
pernikahan, tanpa adanya pernikahan hubungan anatara laki-laki dan
perempuan adalah tidak di benarkan, bahkan hasil produkisnya mendapatkan
predikat lebel tidak halal alias haram (zina). Sebelum menginjak lebih jauh
dalam jenjang persoalan pernikahan ada beberapa rukun serta kewajiban yang
harus di lakukan, termasuk wali dan saksi nikah. Ada sebagian ulama'
berpendapat pernikahan tanpa wali dan saksi nikah adalah tidak sah, maka
otomatis wali dan saksi nikah adalah sangat di butuhkan dalam pernikahan
dan argumen ini, di sertai dengan beberapa argumentasi-analitik yang sulit
untuk di bantah. Sedangkan pada sisi mengatakan tanpa wali dan saksi nikah
pun dalam pernikahan tetap sah dengan syarat harus memuhi kriteria lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana wali dalam pernikahan!
2. Bagaiman saksi dalam pernikahan!

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui wali dalam pernikahan.
2. Untuk mengetahui saksi dalam pernikahan.

BAB III PEMBAHASAN

1
A. Wali Dalam Pernikahan 1. Pengertian Wali dalam Pernikahan
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali
dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.
Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang
yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban
anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan
pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya
akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian
bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah
mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan
akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
2. Kedudukan Wali sebagai salah satu Rukun Nikah
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan
tidak sah nikah tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali
nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali
dalam pernikahan. Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para
ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu: a. Jumhur
ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun
perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu
perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai
beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh
perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat
memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini
mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya

2
tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini
benar-benar tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan
berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya
sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali
bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana
kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas
bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka
dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut
kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda)
diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan
campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi
apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak
sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah
perkawinan).
3. Syarat syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan
yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut
adalah :
a. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
b. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
c. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
d. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun
menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang
diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini
sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

3
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW
bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak
boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
e. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak
bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang
tidak membiasakan diri berbuat munkar. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang
dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu
menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-
adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
f. Tidak sedang ihram haji atau umrah.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa
persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah:
merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil
tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak
mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat
untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali
tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi
walinya orang Islam.
4. Macam Macam Wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu: a.
Wali Nasab
Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:

1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas


2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
3. Saudara laki-laki sebapak

4
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
6. Paman (saudara dari bapak) kandung
7. Paman (saudara dari bapak) sebapak
8. Anak laki-laki paman kandung
9. Anak laki-laki paman sebapak.

Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib.

Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai


perempuan yang mempunyai hubungan darah patrinial dengan calon
mepelai perempuan. Wali nasab terbagi menjadi dua

a). wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan


kehendaknya utnuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa
meminta izin kepada wanita yang bersangkutan hak yang di miliki
oleh mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak
ijbar ini menurut imam syafi'ie hanya ayah, kakek dan seterusnya
keatas. Para ulama' berpendapat bahwa wali mujbir dapat
mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi yarat sebagai berikut:

1. Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada


permusuhan.
2. Laki-laki pilihan wali harus sekufu' dengan wanita yang akan
di kawinkan
3. Di antara calon mempelai tidak ada permusuhan
4. Maharnya tidak kurang dari mahar mistsil

5. Laki-laki pilihan wali akan memenuhi kewajiban terhadap istri

dan tidak ada kekawatiran menyengsarakan.

5
b) wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai

kewenangan untuk memaksa menikah tanpa izin/ persetujuan dari

wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wal ini tidak

memunyai kewenangan mempergunakan hak ijbar.1

b. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat
menggantikan wali nasab apabila:
5. Wali nasab memang tidak ada.
6. Wali nasab bepergian jauh atau tidak ditempat, tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada di tempat.
7. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
8. Wali nasab sedang berihram haji/umrah.
9. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.
10. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah
perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang
perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya,kandung atau
seayah.2

Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang


ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA
Kecamatan.

c. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.

1 http://wwwsaliem.blogspot.com/2009/07/wali -dan-saksi-nikah-
dalamislam.html

2 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 42
6
Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain
yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang
munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.3

B. SAKSI DALAM PERNIKAHAN

1. Pengertian Saksi dalam Akad Nikah

Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad


pernikahan, yang berfungsi memberitahukan kepada masyarakat luas
perihal pernikahan tersebut agar tidak timbul kesalahpahaman. Masalah
saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun
saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau
masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan.

2. Kedudukan Saksi

KHI menyatakan dalam pasal 24 ayat 1, saksi dalam perkawinan


merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat


bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat sahnya nikah. Jumhur
ulama berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas
dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali
dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan
atau memberitahukan kepada orang-orang.

Dalam KHI pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di
tempat akad nikah dilangsungkan.

3 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999, cet. Ke-2), hal.
25
7
3. Syarat syarat Saksi

Dalam KHI pasal 25, yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam
akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak
terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Adapun berikut adalah beberapa syarat yang harus ada pada dua
orang saksi, antara lain:

a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Laki-laki
e. Adil.
f. Tidak tuna rungu atau tuli.4

Disini para ulama berbeda pendapat mengenai syarat-syarat dua


orang saksi, dari kalangan jumhur seperti syafi’iyah dan hanabilah
mensyaratkan dalam kesaksian adalah dua orang laki-laki, berdasarkan
hadis Nabi saw, yang artinya: tidak diperbolehkan kesaksian seorang
wanita dalam hukuman, pernikahan dan perceraian.

Tetapi Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu, dan berpendapat


bahwa saksi adalah dua orang laki-laki, atau dengan satu orang laki-laki
dan dua orang wanita, berdasarkan surat al Baqarah ayat 282, yang artinya:

“Persaksian dengan dua orang saksi dari kaum lelaki di antaramu, jika
tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”

Kemudian Imam Hanafi berpendapat bahwa jika pernikahan


dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena maksud saksi di
sini adalah untuk pengumuman. Namun Imam Syafi’i mempunyai
4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 64
8
pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan
penerimaan, jadi disyaratkan saksi yang adil.5

5
http://saveandsound.wordpress.com/2012/02/14/perwalian -dalam-pernikahan-
dan-persaksian-dalam-akad-nikah/

BAB III PENUTUP

9
B. Kesimpulan
Wali dan Saksi merupakan rukun Nikah. Ada 3 macam wali yaitu Wali
nasab, wali hakim dan wali muhakkam. Syarat Wali Dan Saksi Nikah

1. islam
2. baligh
3. berakal
4. laki-lakio
5. adil
6. laki-laki, persyaratan yang terakhir ini sesuai dengan sabda nabi yang
Artinya: Dari abu r.a bahwa rasullullah saw. Bersabda: perempuan
tidak boleh menikah perempuan lainya dan tidak boleh pula menikahkan
dirinya (HR ibnu majah dan daruqutni)

C. saran ketika akan mengadakan perkawinan hendaklah yang menjadi wali


diusahakan dari wali nasab.
wali dan saksi harus terpenuhi syarat-syaratnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ghofur, Abdul Anshori, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2011

Idris, M. Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1999, cet.


Ke-2

Rahman, Abd. Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006

http://saveandsound.wordpress.com/2012/02/14/perwalian-dalam-pernikahan-
danpersaksian-dalam-akad-nikah/

http://wwwsaliem.blogspot.com/2009/07/wali-dan-saksi-nikah-dalam-islam.html

10
11

Anda mungkin juga menyukai