BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Nikah menurut Empat Mazhab?
2. Bagaimana perbedaan hukum, syarat dan rukunnya nikah antara empat mazhab tersebut?
3. Apa saja perempuan-perempuan yang haram dinikahi dan bagaimana hukumnya menikahi
mertua yang fasid itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERBEDAAN DEFINISI NIKAH MENURUT EMPAT MAZHAB
1. Definisi nikah dalam mazhab Hanafi
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berakibat pada
“pemilikan” seks secara sengaja.
Yang dimaksud dalam pemilikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta
seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat hakiki,
karena kepemilkan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
2. Definisi nikah dalam mazhab Maliki
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad untuk mendapatkan
kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.
Secara sederhana mazhab malikiyah mengatakan bahwa nikah adalah kepemilikan
manfaat kelamin dan seluruh badan istri.
3. Definisi nikah dalam mazhab Syafi’i
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berdampak
akibat kepemilikan seks.
Inti dari definisi ini adalah kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mengambil manfaat
seksual dari alat kelamin perempuan, sebagian ulama syafi’iyah berpendapat bahwa nikah
adalah akad yang memperbolehkan seks, bukan akad atas kepemilikan seks.
4. Definisi nikah dalam mazhab Hanbali
Ulama dalam mazhab ini tampak praktis dalam mendefinisikan pengertian dari nikah.
Menurut ulama Hanbaliyah, nikah adalah akad yang diucapkan dengan menggunakan
kata ankah atau tazwij untuk kesenangan seksual.1[1]
Sedangkan dalam Hukum Perkawinan Islam, definisi Nikah adalah melakukan suatu akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan
kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu
rasa kasih sayang.2[2]
Artinya : dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.3[3]
Ø LIMA HUKUM NIKAH
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukum asal nikah adalah mubah.
Namun, hukum mubah ini bisa tetap mubah dan bisa pula berubah menjadi wajib, haram,
sunnah dan makruh, sesuai dengan situasi serta kondisi. Namun, dalam hal ini, ada beberapa
perbedaan pandangan diantara para ulama dalam memberikan syarat dan kriteria lima hukum
nikah.
1. Versi Imam Hanafi
a. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu:
1. Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah.
2. Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak bisa menolak terjadinya
zina.
3. Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai ganti dari isteri.
4. Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.
b. Sunnah Muakkadah
Hukum nikah akan menjadi sunnah muakkadah apabila terpenuhi syarat-syarat
berikut:
1. Ada keinginan menikah.
2. Memiliki biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah.
3. Mampu untuk ijma’
c. Haram
Hukum nikah menjadi haram apabila berkeyakinan kalau setelah menikah akan
memenuhi kebutuhan nafkah dengan jalan yang haram, seperti dengan berbuat dzalim pada
orang lain.
d. Makruh Tahrim
4[4] Ponpes...,Ibid,hal.5-6
5[5]Ponpes.. Ibid,hal.6-7.
Hukumnya menikah menjadi sunnah apabila ada keinginan menikah dan ada biaya
(mahar dan nafkah) dan mampu untuk melaksanakan hal-hal yang ada di dalam pernikahan.
d. Makruh
Hukum menikah menjadi makruh apabila tidak ada keinginan untuk menikah, tidak
ada biaya dan ia hawatir tidak bisa melaksanakan hal-hal yang ada dalam pernikahan.
e. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila ia menikah hanya semata-mata menuruti
keinginan syahwatnya saja.
4. Versi Imam Hambali
a. Wajib
Hukum menikah menjadi wajib aoabila ada kehawatiran berbuat zina bila tidak
menikah, baik dia mampu menanggung biayanya (mahar dan nafkah) maupun tidak.
b. Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila menikah di tempat yang sedang terjadi
peperangan.
c. Sunnah
Hukum nikah menjadi sunnah apabila seseorang berkeinginan menikah, dan juga ia
tidak hawatir berzina andaikan tidak menikah.
d. Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila seseorang tidak berkeinginan menikah.6[6]
Ø RUKUN DAN SYARAT NIKAH
Rukun adalah sesuatu yang harus ada, dan juga merupakan bagian integral dari suatu
ibadah ataupun mu’amalah.
Adapun syarat adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk integral dari suatu
ibadah ataupun mu’amalah, seperti adanya dua saksi dalam nikah menurut mazhab Hanafi.
Berikut adalah rukun dan syarat nikah menurut madzahib al arba’ah.
· Versi Imam Hanafi
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki
- Pihak perempuan
- Dua saksi
6[6] Ibid,hal.8-9
· Versi Imam Maliki
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki
- Pihak Perempuan
- Mahar
- Dua saksi
· Versi Imam Syafi’i
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki
- Pihak perempuan
- Dua saksi
· Versi Imam Hambali
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki dan pihak perempuan tertentu
- Perempuan dan laki-laki saaling ridlo
- Dua saksi.7[7]
7[7] Ibid,hal.9-10.
8[8]Ponpes..Ibid,hal.180
1. Sebab yang mengharamkan untuk selamanya9[9]
Sebab atau faktor yang berakibat pada haram dinikahi untuk selamanya ada tiga:
· Hubungan kerabat (qarãbah)
Perempuan yang haram untuk dinikahi karena hubungan kerabat ada empat:
Ø Garis nasab orang tua, yakni ibu, nenek dan nasab di atasnya.
Ø Garis nasab anak, yakni anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki atau perempuan,
dan urutan nasab di bawahnya.
Ø Anak dari ayah atau ibu, yaitu semua kerabat perempuan (sanak saudara), baik saudara
kandung, saudara seayah atau seibu.
Ø Anak dari kakek atau nenek, yakni paman dan bibi dari garis ayah atau dari garis ibu.
· Hubungan mertua (mushãharah)
Perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya karena hubungan mertua ada tiga:
Ø Anak perempuan dari istri yang telah dijima’. Artinya ketika istri belum pernah dijima’, maka
anak perempuan tersebut halal untuk dinikahi.
Ø Orang tua istri dan urutan nasab di atasnya, yakni ibu mertua, nenek dan kerabat di atasnya,
meskipun istri belum dijima’
Ø Setiap perempuan yang pernah dinikahi dan pernah dijima’ oleh ayah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengertian nikah yaitu melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah
pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu rasa kasih sayang.
2. Hukum, rukun dan syarat nikah
a. Hukum nikah.
ü Hukum nikah menurut mazhab hanafi
- Wajib
- Sunnah muakkadah
- Haram
- Makruh takrim
- Mubah
ü Versi Maliki
- Wajib
- Haram
- Sunnah
- Mubah
ü Versi Syafi’i
- Wajib
- Sunnah
- Haram
- Makruh
- Mubbah
ü Versi Hambali
- Wajib
- Sunnah
- Haram
- Mubah
b. Rukun dan syarat nikah
· Versi Imam Hanafi
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki
- Pihak perempuan
- Dua saksi
· Versi Imam Maliki
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki
- Pihak Perempuan
- Mahar
- Dua saksi
· Versi Imam Syafi’i
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki
- Pihak perempuan
- Dua saksi
· Versi Imam Hambali
- Shighat (ijab dan qobul)
- Wali
- Pihak laki-laki dan pihak perempuan tertentu
- Perempuan dan laki-laki saaling ridlo
- Dua saksi
3. Masalah Wanita Yang Tidak Sah Untuk Dinikahi Dan Mertua Dalam Nikah Yang Fasid
a. Masalah wanita yang tidak sah untuk dinikahi
Sebab yang menjadikan haram untuk menikah seseorang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
- Sebab yang berakibat pada haram untuk dinikahi untuk selamanya.
- Sebab yang berakibat haram secara temporer (haram dalam jangka waktu, sementara), yakni
selama sebab itu masih ada.
b. Mertua dalam nikah yang fasid
Akibat dari sebuah akad pernikahan yang fasid dan istri belum dijima’ tidak
menyebabkan haram untuk menikahi seorang mertua. Dengan demikian, ketika seorang laki-
laki menikahi seorang perempuan akan tetapi akad nikahnya tidak sah, maka tidak haram
bagi laki-laki tersebut untuk menikahi ibu perempuan yang ia nikahi dengan akad nikah yang
fasid itu.
B. SARAN
Kami sebagai penyusun makalah ini menyarankan agar pembaca makalah ini lebih mengkaji
atau mencari referensi yang relevan apabila dalam penulisan makalah ini kurang lengkap
dalam menjelaskan masalah pernikahan.
C. HARAPAN
Harapan kami sebagai penyusun makalah ini adalah semoga bermanfaat bagi pembaca yang
budiman.
DAFTAR RUJUKAN
http://www.rizkyonline.com/barat/pengertian-nikah-menurut-empat-mazhab.html#ixzz2fnoeGoqJ
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta :
Liberty,1999)