Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah
atau ziwajdiartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-Jarizi dalam kitabnya Al-Fiqh Ala
Madzahibil Arbaah menyebutkan ada tiga macam makna nikah. Pertama, menurut bahasa nikah
adalah:
Bersenggama atau campur"
Kedua, makna Ushuli atau makna menurut syari, yaitu nikah arti hakikatnya adalah watha
(bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha.
Dan yang ketiga, menurut para ahli fiqih.
Menurut golongan Hanafiah, nikah adalah :
Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja
Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafadz
nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya
Menurut Malikiyah:
Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk
memperbolehkan watha, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang
wanita yang dinikahinya
[1] Hariri Abdurrahman . Fiqh Ala Madzahib al-Arbaah. (Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-Arabi. 1969) hal
3-4
[2] Drs. H. Djamaan Nur. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993. Hal 3-4
[3] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta: Basriepress. 1994). Hal 13-20
[4] H. Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Nikah. Hal 16-21
Hikmah Pernikahan
Hikmah pernikahan dapat kita tinjau dari berbagai segi, baik itu social, kesehatan, kejiwaan
maupun akhlak.
Menjamin kelestarian umat manusia
Menjaga kesinambungan generasi
Menjauhkan masyarakat dari kehancuran moral
Suami istri dapat saling membina kehidupan keluarga
Menghindarkan masyarakat dari penyakit kotor
Menjamin ketenangan jiwa
Memupuk rasa kasih sayang serta mendorong tumbuhnya jiwa keibuan kebapakan.[5]
Rukun Nikah
Agar akad nikah dapat terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun nikah
adalah :
1.Calon Suami Istri
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari
itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi laki-laki yang akan menikah adalah[6][1] :
a) Bukan mahram dari calon istri
b) Tidak terpaksa, tetapi atas kemauan sendiri
c) Orangnya tertentu (jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan yang lainnya, baik yang
menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal lainnya yang berkenaan dengan dirinya).
d) Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji).
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi perempuan yang akan menikah adalah :
a) Tidak ada halangan syariah, seperti bukan mahram, tidak iddah, tidak bersuami.
b) Merdeka, atas kemauan sendiri
c) Jelas orangnya
d) Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji)
2. Wali
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama
mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah
adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu
ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak
atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya
untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Adapun orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu ada 4 kelompok[7]:
1. Wali nasab ; wali yang mempunyai hubungan tali kekeluargaan dengan wanita yang akan
melangsungkan pernikahan.
2. Wali hakim ; wali nikah dari hakim
3. Wali tahkim ; wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.
4. Wali maula
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan
ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak
membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya
menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada
kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali abad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek,
juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali abad adalah sebagai berikut:
a)Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f)Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g)Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)Anak paman seayah,
i)Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
Orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a) Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak
menjadi wali.
b) Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c) Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
d) Orang merdeka.
e) Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa orang yang
berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukanya
sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
f) Tidak sedang melakukan ihram.
g) Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak boleh menjadi
wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama
masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih
dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qaarib. Bila wali qarib
tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka
perwalian berpindah kepada wali abad menurut urutan di atas.[8]
3.Saksi dalam akad nikah
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan
untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[9][3] :
a) Saksi harus berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur
ulama.
b) islam.
c) merdeka.
d) laki-laki.
e) adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan
tetap menjaga muruah (sopan sntun).
f) dapat mendengar, melihat, dan berbicara.
g) ingatannya baik
h) berakal
Dasar hukum saksi
Dari Al-Quran
Allah berfirman dalam surat An-Nisa:135
135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia [361] kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Dari Al-Hadist
Dari Zaid bin Khalid Al-Jauhari r.a bahwasanya Nabi Saw., bersabda: Apakah tidak
kukabarkan kepadamu tentang sebaik-baiknya saksi?;ialah orang memberikan kesaksiannya
sebelum ia diminta untuk mengemukakannya.(HR.Muslim)
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak,
karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Syarat-syarat Mahar
Mahar dapat diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sbb:
1. Harta berharga
2. Barang suci dan bisa diambil manfaatnya
3. Barang bukan barang ghasab
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya[14]
Macam-macam Mahar
Ulama fikih mengatakan bahwa mahar itu ada 2 macam, yaitu:
a. Mahar musamma
Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika
akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[15]
b. Mahar mitsli (sepadan)
Mahar mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan.
[1] MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal 325
2.MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal 325
dan Rasyid, H.Sulaiman,Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo,2010 hal 374-375
[3] HAS. Al-Hamdani, Op.Cit, hlm.8
[4] Rasyid, H.Sulaiman,Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo,2010 hal 374-376
[5] Rasyid, H.Sulaiman,Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo,2010 hal 376-377
5 Nashih Ulwan, Dr.Abdullah,Tata Cara Meminang Dalam Islam,Qisthi Press,2006 hal 5-11
6 Qurroh, Abu, Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui Internet, Jakarta : PT, Golden Terayon Press, 1997
7 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2009, cet.3, hlm. 75
[8] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2009, cet.3, hlm. 75
[9][3] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2009, cet.3, hlm. 83
[10][4] Ibid, hlm 62-63
[11] MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal
332
[12] MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal 332
[13] Tihami, Sahrani, Drs.Sohari, Fikih Munakahat,Rajawali Pers,2010 hal 63-77
[14] Tihami, Sahrani, Drs.Sohari, Fikih Munakahat,Rajawali Pers,2010 hal 39-40
[15] Tihami, Sahrani, Drs.Sohari, Fikih Munakahat,Rajawali Pers,2010 hal 36-47
[5] RifaI, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap. PT Karya Toha Putra, Semarang 2005.Hal 49
MAQASID AL-SYARIAH
Klasifikasi Maqashid
Berikut ini akan ditelaah secara panjang lebar substansi maqashid al-syariah yang
terdapat dalam pemikiran al-Syathibi dan pemikir lainnya. Pembahasan ini terfokus pada
pemikiran maqashid dan dasar-dasar yang membangunnya.
Imam al-Syathibi membahas maqashid al-syariah dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II
sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang
dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.
Dalam pembahasannya, Imam al-Syathibi membagi al-maqashid ini kepada dua bagian
penting yakni maksud syari (qashdu al-syari) dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf).
Maksud syari kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Qashdu al-Syari fi Wadhi al-Syariah (maksud syari dalam menetapkan syariat).
Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan, namun semuanya
mengacu kepada suatu pertanyaan: Apakah sesungguhnya maksud syari dengan
menetapkan syariatnya itu?
Menurut imam al-Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain
selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa
darul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah
tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri (al-Syathibi, t.t; 6). al-Syathibi
kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting
yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat(skunder) dan tahsinat (tersier, lux).
a. Dharuriyyat (primer)
Maqashid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi
terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan
menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum,
shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya (al-Syathibi, Juz II, t.t: 7). Yang
termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-
nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql) (al-Syatibi, Juz II, t.t: 8).[i]
Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu, pertama,
dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-
hal yang dapat melanggengkan keberadaannya, dan kedua, dari segi tidak ada (min
nahiyyati al- adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh:
1) Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan zakat,
2) menjaga agama dari segi al-adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad,
3) menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum,
4) menjaga jiwa dari segi al-adam misalnya hukuman qishash dan diyat,
5) menjaga akal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu,
6) menjaga akal dari segi al-adam misalnya had bagi peminum khamr,
7) menjaga keturunan dari segial-wujud misalnya nikah,
8) Menjaga keturunan dari segi al-adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif,
9) menjaga harta dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki, dan
10) menjaga harta dari segi al-adam misalnya riba, memotong tangan pencuri.
Cara kerja dari kelima dlaruriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan
sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang
lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan alnasl begitu
seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri
(Ing: sucide) atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang
sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau untuk kepentingan
berjihad dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari pada menjaga jiwa. Oleh
kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para pejuang Palestina
dengan pertimbangan hukum di atas.
Akan tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang karena suatu kebutuhan
pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar shalat, bukankah
itu berarti al-nafs lebih didahulukan dari pada al-din?
Persoalan ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. al-Amidy, misalnya, telah
mengulas secara panjang lebar dalam al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (sebagian
membacanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam) juz IV halaman 243-245. Dalam kesempatan ini
penulis akan mengutip pendapat Abdullah Darraz karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa
dalam tataran umum agama harus lebih didahulukan daripada yang lainnya karena ini
menyangkut ushul al-din, sedangakan dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih
didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat). Disinilah dibutuhkan kejelian seorang
mujtahid (Daraz, Juz II, t.t: 154).
b. Hajiyyat (skunder)
Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam
melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia
tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan
mengakibatkan masyaqqah dan kesempitan. (al-Syathibi, t.t: 9). Misalnya, dalam masalah
ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.
c. Tahsinat (tersier, lux).
Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi
sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak
ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan
menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan
tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya
adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis (al-Syathibi, t.t: 9).
Untuk memperjelas maqashid atau maslahah dikaitkan dengan tiga tingkat
kepentingan; dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, maka perlu diterangkan keterkaitan atau cara
kerjanya:
a. Memelihara Agama (hifz al-din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat:
1) Memelihara agama dalam peringkat dlaruriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan
kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat
lima waktu. Bila shalat ini diabaikan, maka terancam eksistensi agamanya
2) Memelihara agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama,
dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi musafir.
Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak mengancam eksistensi agama, cuma
dapat mempersulit pelaksanaannya.
3) Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna
menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya
kepada Tuhan. Misalnya menutup aurat baik di dalam maupun diluar shalat dan
membersihkan pakaian, badan dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak
terpuji. Apabila semua itu tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka tidak
mengamcam eksistensi agama. Namun demikian, tidak berarti tahsiniyat itu dianggap
tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan dlaruriyat dan hajiyat.
b. Memelihara Jiwa (hifz al-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
1) Memelihara jiwa pada peringkat dlururiyat adalah memenuhi kebutuhan pokok
berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu diabaikan
akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia
2) Memelihara jiwa pada peringkat hajiyat adalah dibolehkannya berburu dan menikmati
makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan tidak akan mengancam
eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
3) Memelihara jiwa pada peringkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan
minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika. Sama sekali
tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulitnya.
c. Memelihara Akal (hifz al-aql)
Memelihara akan, dilihat dari kepentingannya dapat dibagi menjadi tiga perinkat:
1) Memelihara akan pada peringkat dlaruriyat, seperti diharamkan minum minuman
keras. Apabila ketentuan ini dilanggar akan berakibat terancamnya eksistensi akal
manusia.
2) Memelihara akal pada peringkat hajiyat, seperti dianjurkan untuk menuntuk ilmu
pengetahuan. Sekirannya kegiatan itu tidak dilakukan tidak akan merusak eksistensi
akal, akan tetapi dapat mempersulit seseorang terkait dengan pengembangan ilmu
pengetahuan dan akhirnya berimbas kesulitan dalam hidup.
3) Memelihar akal pada peringkat tahsiniyat, menghindarkan diri dari kegiatan
menghayal dan mendengarkan atau melihat melihat sesuatu yang tidak berfaedah.
Kegiatan itu semua tidak secara langsung mengancam eksistensi akal manusia.
d. Memelihara Keturunan (hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga:
1) Memelihara keturunan pada peringkat dlaruriyat, seperti disyariatkannya menikah
dan dilarangnya berzina. Apabila hal ini diabaikan dapat mengancam eksistensi
keturunan.
2) Memelihara keturunan pada peringkat hajiyat, seperti ditetapkan menyebut mahar
bagi suami ketika melangsungkan akad nikah dan diberikannya hak talak kepadanya.
Bila penyebutan itu tidak dilakukan maka akan mempersulit suami, karena diharuskan
membayar mahar misl. Juga talak, bila tidak dibolehkan akan mempersulit rumah
tangga yang tidak bisa dipertahankan lagi.
3) Memelihara keturunan pada peringkat tahsiniyat, seperti disyariatkannya khitbah
(peminangan) dan walimah (resepsi) dalam pernikahan. Hal ini dilakukan untuk
melengkapi acara pernikahan. Bila tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi
keturunan dan tidak pula mempersulit.
e. Memelihara Harta (hifz al-maal)
Memelihara harta, ditinjau dari kepentingannya dibagi menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara harta pada peringkat dlaruriyat, seperti disyariatkan tata cara
kepemilikan melalui jual beli dan dilaranganya mengambil harta orang lain dengan
cara tidak benar seperti mencuri. Apabila aturan ini dilanggar akan mengancam
eksistensi harta
2) Memelihara harta pada peringkat hajiyat, seperti disyariatkannya jual beli dengan
cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai tidak akan mengancam eksistensi harta
3) Memelihara harta pada peringkat tahsiniyat, seperti perintah menghindarkan diri dari
penipuan dan spekulatif. Hal ini berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak
mengancam kepemilikan harta apabila diabaikan. (Muallim dan Yusdani, 1999; 58-
61)
2. Qashdu al-Syari fi Wadhi al-Syariah lil Ifham (maksud Syari dalam menetapkan
syariahnya ini adalah agar dapat dipahami).
Bagian ini merupakan pembahasan yang paling singkat karena hanya mencakup 5
masalah. Dalam menetapkan syariatnya, Syari bertujuan agar mukallaf dapat
memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.
Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syariah ini diturunkan
dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat 2; as-Syuara: 195.
Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk
dan uslub Bahasa Arab.
Dalam hal ini imam al-Syathibi berkata: Siapa orang yang hendak memahaminya,
maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu, karena tanpa ini tidak
mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi pokok dari pembahasan
masalah ini (Muallim dan Yusdani, 1999: 50).
Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami
syariat ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti
ushul fiqih, mantiq, ilmu maani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila
bahasa Arab dan ushul fiqih termasuk persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang
mujtahid.
Kedua, bahwa syariat ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak
membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini
dimaksudkan agar syariah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk
memahami syariat ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada
dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal
pemahaman dan dalam pelaksanaan (Muallim dan Yusdani, 1999: 53). Syariah mudah
dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada
konsep maslahah (fahuwa ajraa ala itibari al-maslahah) (Muallim dan Yusdani, 1999:
53)
Di antara landasan bahwa syariat ini ummiyyah adalah karena pembawa syariat itu
sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana ditegaskan dalam
firmanNya surat al-Jumah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut 48 dan keterangan-
keterangan lainnya.
Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan
sifatsyariah ummiyyah ini, lanjut al-Syathibi, yaitu bahwa al-Quran mencakup semua
bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut al-Syathibi, al-Quran
menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun tidak berarti al-Quran
mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua
disiplin ilmu.
Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: Dan Kami
turunkan kepadamu al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu, dan surat al-Anam
ayat 38 yang berbunyi: Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun dari al-Quran. Menurut al-
Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna tertentu. Ayat pertama mengenai
masalah taklif dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh al-
mahfudz (Muallim dan Yusdani, 1999: 53: 61).
3. Qashdu al-Syari fi Wadhi al-Syariah li al-Taklif bi Muqtadhaha
Bagian ini menyatakan bahwa maksud Syari dalam menentukan syariat adalah
untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya. Masalah yang dibahas dalam bagian
ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:
Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq).
Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama
bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia (al-
Ghazali, 1997: 81). Dalam hal ini imam al-Syathibi mengatakan: Setiaptaklif yang di luar
batas kemampuan manusia, maka secara Syari taklif itu tidak sah meskipun akal
membolehkannya (al-Syatibi, t.t: 82).
Apabila dalan teks Syari ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar
kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi
sebelumnya. Misalnya, firman Allah: Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan
muslim. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di
luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan
antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada
yang mengetahui seorangpun.
Begitu juga dengan sabda Nabi: Janganlah kamu marah tidak berarti melarang
marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan
tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau
menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.
Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi
masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh imam al-Syathibi.
Menurut imam al-Syathibi, dengan adanya taklif, Syari tidak bermaksud
menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada
manfaat tersendiri bagi mukallaf (al-Syathibi, t.t: 93). Bila dianalogkan kepada kehidupan
sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti
memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si
pasien itu sendiri pada masa berikutnya.
Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya
tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf nahyil munkar.
Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk
merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain.
Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya ia
bukanlah masyaqah tapikulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan
manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul barang atau bekerja siang
malam untuk mencari kehidupan tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah
satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan
masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut imam Syathibi disebut Masyaqah
Mutadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya
dalam syara tidak dipandang sebagai masyaqah (al-Syathibi, t.t: 94).
Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah
Ghair Mutadah atau Ghair Adiyyah yaitu masaqah yang tidak lazim dan tidak dapat
dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang sakit dan orang jompo. Semua ini
adalah masyaqah ghair mutadah yang dikecam oleh Islam. Untuk
mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau
keringanan.
4. Qashdu al-Syari fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syariah
Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang mencakup
20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: Mengapa mukallaf
melaksanakan hukum Syariah? Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallafdari
tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang dalam
istilah imam al-Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan
yang idthiraran (al-Syathibi, t.t: 128). Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul abd
min daiyatil hawa ila daiyatil ubudiyyah (Zaid, 13 Agustus 2002).
Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada
manfaatnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari dan
bukan mengikuti hawa nafsu.
Berbicara maqashid al-syariah yang secara sistematis digagas oleh al-Syaithibi
tidak bisa begitu saja dilepaskan dari para pendahulunya hingga imam Malik. Hal ini
karena sebenarnya titik tekan dari ilmu maqashid adalah memberikan manfaat dan
menolak mudharat. Karena itu arti maqashid al-syariah dan teori maslahah bisa dianggap
sama (al-Jasani, 1995: 46), bahkan dikatakan bahwa maqashid al-syariah adalah maslahah
itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghazali menyatakan:
Akan tetapi yang kami maksudkan dengan maslahah adalah memelihara maksud
syariat, sedangkan maksud syariat itu ada lima; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Apabila kelima hal tersebut tidak dipelihara, maka yang terjadi adalah kerusakan
dan menjaganya adalah maslahah (al-Ghazali, 1997: 1/286).
Untuk mencapai maksud syariat dan maslahah yang diinginkan, pengambilan
keputusan tidak bisa hanya disandarkan kepada satu teks al-Quran dan hadits, namun
harus dilakukan dalam bentuk penelitian komprehensif kepada seluruh dalil, baik dalam
bentuk teks maupun lainnya (al-Syathibi, 1982: 2/38). Ketidak pastian hadits ahad sudah
jelas dan kepastian hadits mutawatir juga telah diakui secara universal, namun sebuah
periwayatan dalam jangka waktu yang lama tidak bisa dijamin kepastianya, apalagi bahasa
yang digunakan memiliki struktur yang komplek, metafora dan hanonim yang tidak
mungkin berpindah tanpa adanya distorsi. Karena itu, kebenaran maksud syariat yang
diakui adalah kebenaran yang diambil secara kolektif dari dalil-dalil yang ada. Metode
inilah yang sering disebut sebagai istiqraI (pembuktian induktif) (al-Syathibi, 1982: 1/31).
Pembuktian induktif ini tidak hanya menelaah satu atau dua teks, tapi menelaah
semua sumber, dari al-Quran, hadits, ijma, qiyas dan bukti-bukti kontekstual (al-Qarain
al-ahwal) (Hallaq, 2000: 244). Dia juga tidak boleh melewatkan sejarah kelahiran teks
yang terekam dalam asbab al-nuzul dan asbab al-wurud, baik secara mikro maupun
makro. Dalam pandangan ini, al-Quran dianggap sebagai satu kesatuan. Tidak ada ayat
dan bagian pun yang dapat dipahami dengan semestinya tanpa memperhatikan bagian yang
lain, termasuk perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang umum maupun kusus di mana
al-Quran diturunkan (al-Syathibi, t.t: 347).
Selain itu, maksud syariat atau maslahah umat harus dibuat atas dasar prinsip-
prinsip universal yang oleh al-Syathibi dikatakan al-Kulliyat. Prinsip-prinsip umum (al-
Kulliyat) inilah yang membentuk dasar-dasar syariat. Prinsip-prinsip umum ini terbentuk
dari prinsip-prinsip khusus (al-Juziyah). Al-juziyah merupakan bagian dari al-kulliyah,
karena ketika al-juzaiyah beridiri sendiri ia tidak berarti apa-apa. Begitu juga al-
kulliyah tidak akan berarti apa-apa tanpa al-juziyah. Dalam proses pembuktian induktif
ini, seluruh unsur al-juziyah bergabung dalam satu bentuk al-kulliyah, dan ketika ada al-
juziyah tidak ikut dalam kesatuan tersebut, maka dia dikeluarkan dan menjadi hukum
pengecualian. Untuk kepentingan ini dan dikatikan dengan dalil-dalil, maka al-Syathibi
membahas naskh, am, khas, mutasyabih, amr, nahyi dan lainnya (al-Syathibi, t.t : 3/810).
Satu point penting lainnya bahwa satu sisi, kemaslahatan itu bersifat relatif dan tidak
absolut, tapi pada sisi lainnya kemaslahatan diartikan sebaliknya. Untuk menjawabnya
dapat dikatakan bahwa maslahah memang untuk kepentingan manusia, tetapi dengan cara
yang diatur oleh Tuhan, bukan berdasarkan kesewenang-wenangan manusia. Itulah
sebabnya kewajiban menjalankan hukum yang sebenarnya untuk kemaslahatan manusia
dianggap cukup berat, meskipun dengan cara-cara yang adil dan beralasan. Beratnya
menjalankan hukum juga karena kemaslahan yang terbentuk tidak untuk mengakomodasi
kehendak pribadi dan kesenangan hawa nafsu, karena pertimbangan dua kepentingan
tersebut tidak akan menyebabkan timbulnya maslahah, sebaliknya mudlarat. Dalam hal ini,
maslahah ditujukan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, maka dia harus
ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh hukum sekuler atau kebutuhan hidup manusia yang
pragmatis (Hallaq, 2000: 269-270)