Anda di halaman 1dari 22

Pengertian Nikah

Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah
atau ziwajdiartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-Jarizi dalam kitabnya Al-Fiqh Ala
Madzahibil Arbaah menyebutkan ada tiga macam makna nikah. Pertama, menurut bahasa nikah
adalah:


Bersenggama atau campur"
Kedua, makna Ushuli atau makna menurut syari, yaitu nikah arti hakikatnya adalah watha
(bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha.
Dan yang ketiga, menurut para ahli fiqih.
Menurut golongan Hanafiah, nikah adalah :

Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja

Menurut golongan Asy-Syafiiyah mendefinisikan nikah sebagai:


Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha dengan lafadz
nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya

Menurut Malikiyah:


Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk
memperbolehkan watha, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang
wanita yang dinikahinya

Sedangkan menurut golongan Hanbaliyah, mendefinisikan bahwa:



Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna
memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita[1]

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama masih


memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang semula dilarang berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka
berpendapat bahwa nikah merupakan akad yang ditetapkan oleh syara bahwa seseorang suami
dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh
tubuhnya. Mereka tak memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam
pernikahan terdapat pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek akibat hukum yaitu
termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta bertujuan mengadakan pergaulan yang
dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan termasuk ke dalam syariat agama, maka di
dalamnya terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.[2]

2. Akad Nikah dan SyaratSyaratnya


Para ulama imam madzhab bersepakat bahwa nikah dikatakan sah apabila dilakukan
dengan akad, yang mencakup ijab kabul antara wanita yang dilamar dengan laki-laki yang
melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak
sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. Dalam suatu pernikahan
harus ada dua mempelai, ada wali, ada saksi, dan juga ijab kabul. Seorang
wali dansaksi pun harus mempunyai syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat-syaratnya adalah
beragamaIslam, baligh, berakal, dan seorang laki-laki. Para
ulama madzhab bersepakat bahwapernikahan harus ada akad, yang
mencakup ijab dan qabul antara kedua mempelai.
Para ulama
madzhab juga bersepakat bahwa nikah itu sah apabila dilakukan denganredaksi ( aku meng
awinkan) atau ( aku menikahakan) dari pihak yang dilamar danredaksi( saya terima)
atau
( saya ridho) dari pihak yang melamar atau yang mewakilinya.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang
menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal al-tamlik (pemilikan), al-
hibbah(penyerahan), al-ihlal (penghalalan), al-ibahah
(pembolehan) sepanjang akad tersebut disertaidengan qarinah (kaitan ) yang
menunjukkan arti nikah.
Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah jikamenggun
akan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Sementara itu,Madzhab
Syafii berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata bentukan dari lafal al-
tazwij dan nikah saja, dan selainnya tidak sah.
Dalam hal persaksian akad nikah, Imam Syafii, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa
perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Imam Hanafi memandang cukup dengan
hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan. Namun,
mereka berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita saja tanpa hadirnya seorang laki-
lakidinyatakan tidak sah.
Imam Syafii dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-
laki muslim. Sedangkan Imam Maliki mengatakan bahwa saksi hukumnya tidak wajib dalam
akad tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya (dukhul).
Sementara itu, syarat kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, menurut para ulama
mazhab bersepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan. Juga
disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka
dilarang kawin, baik hubungan keluarga maupun hubungan yang lainnya.[3]

3. Hukum Pernikahan Dalam Islam


Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu
terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa
menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga
hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan
situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah
satu persatu.
1. Pernikahan Yang Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga
sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina
adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi
seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
2. Pernikahan Yang Sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah
mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya
yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya
kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab
masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan
Allah SWT.
3. Pernikahan Yang Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah.
Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual.
Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan
menerima keadaannya.
4. Pernikahan Yang Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya
harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah
meski dengan karahiyah.
5. Pernikahan Yang Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya
untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu
menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada
larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka
hukum nikah baginya adalah mubah.[4]

[1] Hariri Abdurrahman . Fiqh Ala Madzahib al-Arbaah. (Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-Arabi. 1969) hal
3-4
[2] Drs. H. Djamaan Nur. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993. Hal 3-4

[3] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta: Basriepress. 1994). Hal 13-20
[4] H. Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Nikah. Hal 16-21
Hikmah Pernikahan
Hikmah pernikahan dapat kita tinjau dari berbagai segi, baik itu social, kesehatan, kejiwaan
maupun akhlak.
Menjamin kelestarian umat manusia
Menjaga kesinambungan generasi
Menjauhkan masyarakat dari kehancuran moral
Suami istri dapat saling membina kehidupan keluarga
Menghindarkan masyarakat dari penyakit kotor
Menjamin ketenangan jiwa
Memupuk rasa kasih sayang serta mendorong tumbuhnya jiwa keibuan kebapakan.[5]

Rukun Nikah
Agar akad nikah dapat terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun nikah
adalah :
1.Calon Suami Istri
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari
itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi laki-laki yang akan menikah adalah[6][1] :
a) Bukan mahram dari calon istri
b) Tidak terpaksa, tetapi atas kemauan sendiri
c) Orangnya tertentu (jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan yang lainnya, baik yang
menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal lainnya yang berkenaan dengan dirinya).
d) Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji).

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi perempuan yang akan menikah adalah :
a) Tidak ada halangan syariah, seperti bukan mahram, tidak iddah, tidak bersuami.
b) Merdeka, atas kemauan sendiri
c) Jelas orangnya
d) Tidak sedang menjalankan ibadah ihram (haji)

2. Wali
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama
mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah
adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu
ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak
atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya
untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Adapun orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu ada 4 kelompok[7]:
1. Wali nasab ; wali yang mempunyai hubungan tali kekeluargaan dengan wanita yang akan
melangsungkan pernikahan.
2. Wali hakim ; wali nikah dari hakim
3. Wali tahkim ; wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.
4. Wali maula
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan
ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak
membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya
menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada
kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali abad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek,
juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali abad adalah sebagai berikut:
a)Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f)Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g)Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)Anak paman seayah,
i)Ahli waris kerabat lainya kalau ada.

Orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a) Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak
menjadi wali.
b) Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c) Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
d) Orang merdeka.
e) Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa orang yang
berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukanya
sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
f) Tidak sedang melakukan ihram.
g) Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak boleh menjadi
wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama
masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih
dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qaarib. Bila wali qarib
tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka
perwalian berpindah kepada wali abad menurut urutan di atas.[8]
3.Saksi dalam akad nikah
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan
untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[9][3] :
a) Saksi harus berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur
ulama.
b) islam.
c) merdeka.
d) laki-laki.
e) adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan
tetap menjaga muruah (sopan sntun).
f) dapat mendengar, melihat, dan berbicara.
g) ingatannya baik
h) berakal
Dasar hukum saksi
Dari Al-Quran
Allah berfirman dalam surat An-Nisa:135
135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia [361] kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Dari Al-Hadist
Dari Zaid bin Khalid Al-Jauhari r.a bahwasanya Nabi Saw., bersabda: Apakah tidak
kukabarkan kepadamu tentang sebaik-baiknya saksi?;ialah orang memberikan kesaksiannya
sebelum ia diminta untuk mengemukakannya.(HR.Muslim)

4.Akad nikah (shigat ijab Kabul)


Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pertama, sedangkan qabul
adalah penerimaan dari pihak kedua.
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya
suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat yang telah disepakati oleh
ulama adalah sebagai beriku[10][4]:
1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2) Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap
dan bentuk mahar yang disebutkan.
3) Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4) Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa
berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selama hidup.
5) Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh
menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat,
sedangkan saksi yang hadir dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang
diniatkan oleh seseorang.

Mahar Dalam Pernikahan


Mahar secara etimologi, artinya maskawin.secara terminologi, mahar ialah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk memuliakan
istrinya.
Pemberian ini sebagai pertanda dimulainya kehidupan berumah tangga.firman Allah :
QS.An-Nisaa Ayat : 4
waaatuu alnnisaa-a shaduqaatihinna nihlatan fa-in thibna lakum 'an syay-in minhu nafsan
fakuluuhu hanii-an marii-aan
4. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan [267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.

Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak,
karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Syarat-syarat Mahar
Mahar dapat diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sbb:
1. Harta berharga
2. Barang suci dan bisa diambil manfaatnya
3. Barang bukan barang ghasab
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya[14]

Macam-macam Mahar
Ulama fikih mengatakan bahwa mahar itu ada 2 macam, yaitu:
a. Mahar musamma
Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika
akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[15]
b. Mahar mitsli (sepadan)
Mahar mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan.
[1] MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal 325
2.MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal 325
dan Rasyid, H.Sulaiman,Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo,2010 hal 374-375
[3] HAS. Al-Hamdani, Op.Cit, hlm.8
[4] Rasyid, H.Sulaiman,Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo,2010 hal 374-376

[5] Rasyid, H.Sulaiman,Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo,2010 hal 376-377
5 Nashih Ulwan, Dr.Abdullah,Tata Cara Meminang Dalam Islam,Qisthi Press,2006 hal 5-11
6 Qurroh, Abu, Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui Internet, Jakarta : PT, Golden Terayon Press, 1997
7 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2009, cet.3, hlm. 75
[8] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2009, cet.3, hlm. 75
[9][3] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2009, cet.3, hlm. 83
[10][4] Ibid, hlm 62-63
[11] MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal
332
[12] MZ, Labib, dan Bil Qisthi Aqis ;Risalah Fiqih Wanita;Surabaya:Bintang Usaha Jaya,2005 hal 332
[13] Tihami, Sahrani, Drs.Sohari, Fikih Munakahat,Rajawali Pers,2010 hal 63-77
[14] Tihami, Sahrani, Drs.Sohari, Fikih Munakahat,Rajawali Pers,2010 hal 39-40
[15] Tihami, Sahrani, Drs.Sohari, Fikih Munakahat,Rajawali Pers,2010 hal 36-47

Hukum Pernikahan dalam Islam


1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga
sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina
adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi
seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya
seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada
dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam
masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :[5]












Artinya :
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki
yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu
untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak
mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
itu.(QS.An-Nur : 33)

2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya


Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah
mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya
yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak
sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam
zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan
dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah
SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba
dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani.
(HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab
orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk
menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan
seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan
menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan
diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah
sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon
pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng
akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk
menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk
menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau
atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram
dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan
niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan
nikah kontrak.[6]
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya
harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah
meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan
menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita.
Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami,
maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi
hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun
juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
B. KHITHBAH (PINANGAN)
Khithbah (pinangan) ialah ajakan kawin kepada seorang perempuan dengan wasilah yang
sudah dikenal oleh masyarakat luas, jika ada kecocokan maka terjadilah perjanjian akan
menikah. Perlu diingat, tidak halal bagi seorang muslim melamar perempuan yang sudah
dipinang saudaranya.
Cara Meminang :
1. Meminang Sendiri
Meminang sendiri perempuan yang hendak dijadikan istri atau kepada wali atau orang
tuanya merupakan salah satu cara meminang yang dibenarkan oleh syari'at Islam. Cara semacam
ini halal kita praktekkan, baik kepada perempuan yang masih perawan atau yang sudah menjadi
janda.
2. Meminang Oleh Orang Tua/Wali
Tradisi orang tua atau keluarga laki-laki datang meminang kepada keluarga atau wali
perempuan, yang merupakan kebiasaan yang berlaku sebelum datangnya Islam ke tengah
masyarakat Arab, sudah diterima oleh Islam. Kebiasaan yang telah diterima oleh Islam berarti
menjadi suatu syari'at yang dibenarkan oleh Islam.
3. Meminang Oleh Utusan
Peminangan bisa dilakukan oleh utusan. Seseorang bisa meminta bantuan kepada orang
lain untuk meminang perempuan yang diinginkan menjadi istri bagi dirinya. Dengan bantuan
utusan yang jujur dan dapat dipercaya ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Syarat utusan yang harus dipenuhi antara lain:
Taat beragama
Bersifat adil dan jujur
Memiliki kedewasaan dalam mempertimbangkan sesuatu;
Tidak memiliki rasa permusuhan atau kebencian terhadap orang yang dipinang
Secara umum dipercaya oleh lingkungan atau masyarakatnya.
4. Meminang Oleh Pemimpin
Adanya tuntunan Rosulullah saw. seperti diungkapkan dalam Hadist di atas hendaknya
menjadi pelajaran bagi seluruh umat Islam bahwa seorang muslim dapat meminang seorang
perempuan melalui pemimpin yang dipercaya. Hal ini telah dicontohkan oleh Rosulullah sebagai
perbuatan yang diridlai.
5. Meminang Langsung Kepada Calon Seperti nomor 1.
Seorang laki-laki yang menginginkan seorang perempuan untuk menjadi istrinya boleh
langsung meminang perempuan bersangkutan tanpa melalui wali atau orang tuanya. Perempuan
yang masih perawan boleh langsung menerima pinangan laki-laki yang
menginginkannya atau boleh juga melalui perantara yang menjadi wakil laki-laki tersebut.
6. Meminang Kepada Orang Tua/Wali
Orang tua atau wali yang menerima pinangan sama sekali tidak berhak memaksa anak
perempuannya untuk menerima kehendaknya. Sebab, pernikahan yang dilakukan bukan atas
dasar saling suka tidak sah.
7. Melihat Yang Dipinang
Setelah menemukan jodoh pilihannya, seorang laki-laki seyogyanya lebih dulu melihat
perempuan yang akan dipinangnya. Hal ini dimaksudkan agar ia dapat mengetahui daya tariknya,
misalnya kecantikannya, yang bisa jadi merupakan salah satu faktor yang
mendorongnya untuk mempersunting perempuan tersebut. Selain itu, melihat calon yang
dipinang dimaksudkan agar laki-laki bersangkutan dapat mengetahui cacat atau aib perempuan
tersebut yang bisa menjadi penyebab ketidaktertarikannya, sehingga ia
membatalkan niatnya untuk meminang.
9. Tidak Menandai Pinangan Dengan Tukar Cincin
Maksudnya, orang yang meniru tradisi yang dilakukan oleh golongan di luar Islam
dikatakan sebagai golongannya. Orang yang meniru hal-hal semacam itu dikategorikan sebagai
orang yang melakukan perbuatan jahiliyah, sedangkan tiap-tiap perbuatan jahiliyah haram
dilakukan.
Bertukar cincin bukan cara Islam dan bukan pula cara bangsa-bangsa Asia, melainkan
cara bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, tukar cincin pada
mulanya bukan cara umat Kristiani, melainkan warisan kebudayaan Romawi. Sering terjadi di
tengah masyarakat kita laki-laki dan perempuan yang telah bertukar cincin bebas bergaul
berduaan, pergi bersama-sama seperti suami istri, berbincang, dan bercengrama sehingga
merusak tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Perbuatan semacam
ini dilarang oleh Islam.
Perempuan Yang Tidak Boleh Dipinang :
Perempuan Yang Bersuami
Perempuan Yang Sedang Dipinang
Perempuan Dalam Masa Iddah
Perempuan Yang Sedang Ihram
Masa Pinangan Dan Pembatalan Pinangan
1. Masa Pinangan
Dalam Islam tidak ada ketentuan tentang jarak waktu atau masa pinangan dengan
pernikahan. Jadi, begitu meminang, saat itu pula keduanya boleh melakukan akad nikah.
Karena jarak meminang dengan pelaksanaan pernikahan sama sekali tidak ada
ketentuannya dalam Islam, kapan pun orang melakukan pernikahan setelah meminang
dibenarkan. Bahkan sebaiknya pernikahan dilakukan sesegera mungkin setelah meminang.
Hukum menyegerakan akad nikah setelah meminang adalah sunnah.
2. Pembatalan Pinangan
Pembatalan pinangan berarti membatalkan perjanjian hendak melakukan akad nikah.
Maksud Hadist di atas ialah bahwa membatalkan suatu perjanjian tanpa suatu alasan yang sah
adalah termasuk perbuatan tercela, bahkan pelakunya dipandang sebagai orang munafik.
Membatalkan pinangan ini menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat
perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, Islam tidak menjatuhkan
hukuman material, sekalipun perbuatan itu dipandang tercela oleh sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang kepada pinangannya berhak diminta kembali,
karena mahar diberikan sebagai ganti dan imbalan perkawinan. Selama perkawinan itu belum
terlaksana, pihak perempuan belum mempunyai hak sedikit pun atasnya dan ia wajib
mengembalikan kepada pemiliknya.
Membatalkan pinangan tidak diharamkan oleh Islam dan menurut hukum Islam, pihak
yang menerima pembatalan tidak dapat menuntut apa pun dari yang bersangkutan. Segala
pemberian kepada yang dipinang tidak boleh diminta secara paksa kecuali maskawin. Selama
tidak ada perjanjian untuk mengembalikan, segala macam pemberian menjadi hak penerima.
C. Walimah
1. Definisi Walimah
Walimah bersala dari kata al walamu yang berarti berkumpul. Hal ini dikarenakan
walimah adalah saat dimana suami dan istri dapat berkumpul. Walimatul urus adalah sebuah
acara yang disusun sedemikian rupa untuk memperingati bertemunya suami istri.
2. Tata Cara Mengadakan Walimah
Setiap masyarakat mempunyai tata cara tersendiri dalam mengdakan walimah. Masing
masing anggota kelompok mempunyai karakteristik tersendiri tentang resepsi pernikahan yang
mereka adakan. Ketetuan acara walimah yang sesuai dengan agam islam adalah:
a). Niat Yang Benar
Hal pertama yang harus kita luruskan adalah niat. Karena sesuatu yang diniatkan dengan baik
akan menjadi amal saleh. Sehingga, harta yang dibelanjakan dan waktu yang diluangkan akan
diganti dengan pahala.
b). Membuat dan menyediakan hidangan sesuai kebutuhan.

( :



Shafiyyah Binti Syaibah Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam mengadakan walimah terhadap sebagian istrinya dengan dua mud sya'ir[7]
c). Hendaknya Mengundang Karib Kerabat, Tetangga dan Rekan-Rekan
Anas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah berdiam selama tiga malam
di daerah antara Khaibar dan Madinah untuk bermalam bersama Shafiyyah (istri baru). Lalu
aku mengundang kaum muslimin menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan
daging. Yang ada ialah beliau menyuruh membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan
di atasnya diletakkan buah kurma, susu kering, dan samin[8]
Mengundang karib kerabat dalam acara walimah akan mempererat tali silaturahim.
Sedangkan, mengundang tetangga dapat mendatangkan kebaikan. Selain itu, mengundang rekan
rekan akan melanggengkan kasih sayang dan menambah rasa cinta.
d). Hindari Perkara Perkara Mungkar
Sebuah perkara sunnah, walimah, akan dapat menjadi perkara haram jika didalamnya disertakan
perkara mungkar.
3. Waktu Walimah
Ketentuan waktu mengadakan walimah:
,

, ( :

,
, , ,


, ,
) .

Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Makanan walimah pada hari pertama adalah layak, pada hari kedua adalah
sunat, dan pada hari ketiga adalah sum'ah (ingin mendapat pujian dan nama baik). Barangsiapa
ingin mencari pujian dan nama baik, Allah akan menjelekkan namanya." Hadits gharib riwayat
Tirmidzi. Para perawinya adalah perawi-perawi kitab shahih Bukhari. [9]
Pada dasarnya waktu mengadakan walimah adalah sewaktu waktu. Karena tidak ada waktu
terlarang untuk menikah. Sehingga, kalau mau mengadakan acara walimah pada jam 12.00
malam jumat kliwon, terserah saja.
Hukum Seputar Walimah
1. Hukum Mengadakan Walimah
Dasar:



(

: .
!

: , ? : ,

,
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: "Apa
ini?". Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan
dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu,
selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing." Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut Muslim[10]
Dalam kalimat Selenggarakanlah acara pernikahan meskipun hanya dengan seekor
kambing, dapat kita ketahui bahwa hokum mengadakan walimah adalah wajib.
Beberapa ulama berpendapat bahwa hokum mengadakan walimah adalah sunnah.
2. Hukum Memenuhi Undangan Walimah
Pendapat terbesar dalam menghadiri walimah
a). Sunnah
Pendapat ini muncul berdasar esensi walimah yang disamakan dengan penerimaan harta.
Dapat kita bayangkan bahwa walimah tak ubahnya seperti bagi bagi rejeki. Bila kita menghadiri,
konsekuesinya pahala. Sedangkan bagi yang menolak, maka konsekuesinya adalah nothing, kita
tidak mendapat apapun.
b). Wajib Kifayah
Pendapat ini muncul dengan mengambil esensi bahwa walimah mengandung dua tujuan.
yaitu:
Mengumumkan pernikahan
Membedakanya dari zina
c). Wajib
Dasar:

, ;
:
:



Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Apabila seorang di antara kamu diundang hendaknya ia memenuhi undangan
tersebut, jika ia sedang puasa hendaknya ia mendoakan, dan jika ia tidak puasa hendaknya ia
makan."[11]
Dari keterangan hadist diatas, dapat kita ketahui bahwa hukum mengadakan walimah adalah
wajib. Mutlak, dan bersifat individualis.
Secara rinci, undangan walimah itu wajib dihadiri, apabila memenuhi syarat sebagai
berikut[12]:
Pengundangnya mukalaf, berakal sehat, dan merdeka
Undanganya tidak dikhususkan kepada orang yg kaya saja.
Undanganya tidak dikhususukan kepada orang orang yg disenangi dan dihormati
Belum didahulu oleh undangan lain. Bila didahului oleh undangan lain, maka yang pertama harus
didahulukan. Hal ini sesuai hadist yang berbunyi
, ,
( :



, )

Salah seorang sahabat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Apabila dua orang
mengundang secara bersamaan, maka penuhilah orang yang paling dekat pintu (rumah)nya.
Jika salah seorang di antara mereka mengundang terlebih dahulu, maka penuhilah undangan
yang lebih dahulu[13]
Yang diundang tidak ada uzur syari.
Memperhatikan syarat syarat diatas, dapat kita ketahui bahwa apabila walimah dalam pesta
perkawinan berhukum makruh bila hanya mengundang orang orang kaya saja. Hal ini sesuai
dengan hadist:
: (
:

)



,
,
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Sejahat-jahatnya makanan ialah makanan walimah, ia ditolak orang yang datang
kepadanya dan mengundang orang yang tidak diundang. Maka barangsiapa tidak memenuhi
undangan tersebut, ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya."[14]
Hikmah Walimah
Diadakanya walimah dalam pwsta perkawinan mempunyai beberapa hikmah. Antara lain
sebagai berikut:
1. Merupakan rasa syukur kepada Alloh SWT
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya
3. Sebagai tanda resmi adanya akad nikah
4. Sebagai tanda baru memulai hidup suami istri[15]
D. MAHAR
Mahar atau shadaaq dan shidaaq adalah maskawin yang termasuk wajib dalam
pelaksanaan akad nikah.islam mengangkat derajat wajib dan mewajibkan wanita untuk
menerima masayahnya sendiri maupun orang yang terdekat tidak berhak mengambil apa pun
,kecuali dengan keridhaannya.[16]
Adapun besar kecilnya maskawin ditetapkan atas persetujuan kedua pihak dan harus
diilakukan dengan iklas. Maskawin bukan berarti harga beli atau harga jual seorang wanita.kita
menyadari bahwa baik pria maupun wanita adalah saling membutuhkan. Akan tetapi, adanya
kewajiban pemberian mahar atas pria lebih membutuhkan wanita.
Ketentuan besarnya mahar Islam tidak pernah memberi batasan pada mahar baik banyaknya atau
sedikitnya. Karena kemampuan atau keinginan manusia dalam memberikan mahar berbeda beda
sehingga tidak mungkin diberikan batasan terhadap mereka sebagaimana tidak mungkin pula
diberikan batasan terhadap harga barang branag yang ia sukai dengan batas tertentu. Allah
berfirman :
Artinya : Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka orang yang mampu
menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.
Mahar sebagai ketentuan sahnya Pernikahan Dalam pernikahan merupakan pemberian wajib dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Dengan mahar ini akan terbedakan antara
pernikahan dan perzinaan.

[5] RifaI, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap. PT Karya Toha Putra, Semarang 2005.Hal 49

[6] Ibid hal. 51


[7] Kitab bulughul marom hadist no 1074
[8] Ibid, hadist no 1075
[9] Ibid, hadist no 1072
[10] Ibid, hadist no 1067
[11] Ibid, hadist no 1070
[12] Slamet abidin dkk, Fiqih munakahat 1 Hal 154
[13] Kitab bulughul marom hadist no 1076
[14] Ibid, hadist no 1069
[15] Slamet abidin dkk, Fiqih munakahat 1 hal 156
[16] Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta: 2006 Hal 74

MAQASID AL-SYARIAH
Klasifikasi Maqashid
Berikut ini akan ditelaah secara panjang lebar substansi maqashid al-syariah yang
terdapat dalam pemikiran al-Syathibi dan pemikir lainnya. Pembahasan ini terfokus pada
pemikiran maqashid dan dasar-dasar yang membangunnya.
Imam al-Syathibi membahas maqashid al-syariah dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II
sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang
dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.
Dalam pembahasannya, Imam al-Syathibi membagi al-maqashid ini kepada dua bagian
penting yakni maksud syari (qashdu al-syari) dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf).
Maksud syari kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Qashdu al-Syari fi Wadhi al-Syariah (maksud syari dalam menetapkan syariat).
Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan, namun semuanya
mengacu kepada suatu pertanyaan: Apakah sesungguhnya maksud syari dengan
menetapkan syariatnya itu?
Menurut imam al-Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain
selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa
darul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah
tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri (al-Syathibi, t.t; 6). al-Syathibi
kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting
yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat(skunder) dan tahsinat (tersier, lux).
a. Dharuriyyat (primer)
Maqashid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi
terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan
menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum,
shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya (al-Syathibi, Juz II, t.t: 7). Yang
termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-
nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql) (al-Syatibi, Juz II, t.t: 8).[i]
Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu, pertama,
dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-
hal yang dapat melanggengkan keberadaannya, dan kedua, dari segi tidak ada (min
nahiyyati al- adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh:
1) Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan zakat,
2) menjaga agama dari segi al-adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad,
3) menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum,
4) menjaga jiwa dari segi al-adam misalnya hukuman qishash dan diyat,
5) menjaga akal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu,
6) menjaga akal dari segi al-adam misalnya had bagi peminum khamr,
7) menjaga keturunan dari segial-wujud misalnya nikah,
8) Menjaga keturunan dari segi al-adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif,
9) menjaga harta dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki, dan
10) menjaga harta dari segi al-adam misalnya riba, memotong tangan pencuri.
Cara kerja dari kelima dlaruriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan
sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang
lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan alnasl begitu
seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri
(Ing: sucide) atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang
sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau untuk kepentingan
berjihad dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari pada menjaga jiwa. Oleh
kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para pejuang Palestina
dengan pertimbangan hukum di atas.
Akan tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang karena suatu kebutuhan
pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar shalat, bukankah
itu berarti al-nafs lebih didahulukan dari pada al-din?
Persoalan ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. al-Amidy, misalnya, telah
mengulas secara panjang lebar dalam al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (sebagian
membacanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam) juz IV halaman 243-245. Dalam kesempatan ini
penulis akan mengutip pendapat Abdullah Darraz karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa
dalam tataran umum agama harus lebih didahulukan daripada yang lainnya karena ini
menyangkut ushul al-din, sedangakan dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih
didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat). Disinilah dibutuhkan kejelian seorang
mujtahid (Daraz, Juz II, t.t: 154).
b. Hajiyyat (skunder)
Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam
melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia
tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan
mengakibatkan masyaqqah dan kesempitan. (al-Syathibi, t.t: 9). Misalnya, dalam masalah
ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.
c. Tahsinat (tersier, lux).
Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi
sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak
ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan
menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan
tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya
adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis (al-Syathibi, t.t: 9).
Untuk memperjelas maqashid atau maslahah dikaitkan dengan tiga tingkat
kepentingan; dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, maka perlu diterangkan keterkaitan atau cara
kerjanya:
a. Memelihara Agama (hifz al-din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat:
1) Memelihara agama dalam peringkat dlaruriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan
kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat
lima waktu. Bila shalat ini diabaikan, maka terancam eksistensi agamanya
2) Memelihara agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama,
dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi musafir.
Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, tidak mengancam eksistensi agama, cuma
dapat mempersulit pelaksanaannya.
3) Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna
menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya
kepada Tuhan. Misalnya menutup aurat baik di dalam maupun diluar shalat dan
membersihkan pakaian, badan dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak
terpuji. Apabila semua itu tidak dilakukan karena tidak memungkinkan, maka tidak
mengamcam eksistensi agama. Namun demikian, tidak berarti tahsiniyat itu dianggap
tidak perlu, sebab peringkat ini akan menguatkan dlaruriyat dan hajiyat.
b. Memelihara Jiwa (hifz al-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
1) Memelihara jiwa pada peringkat dlururiyat adalah memenuhi kebutuhan pokok
berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu diabaikan
akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia
2) Memelihara jiwa pada peringkat hajiyat adalah dibolehkannya berburu dan menikmati
makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan tidak akan mengancam
eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya dapat mempersulit hidupnya.
3) Memelihara jiwa pada peringkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan
minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika. Sama sekali
tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulitnya.
c. Memelihara Akal (hifz al-aql)
Memelihara akan, dilihat dari kepentingannya dapat dibagi menjadi tiga perinkat:
1) Memelihara akan pada peringkat dlaruriyat, seperti diharamkan minum minuman
keras. Apabila ketentuan ini dilanggar akan berakibat terancamnya eksistensi akal
manusia.
2) Memelihara akal pada peringkat hajiyat, seperti dianjurkan untuk menuntuk ilmu
pengetahuan. Sekirannya kegiatan itu tidak dilakukan tidak akan merusak eksistensi
akal, akan tetapi dapat mempersulit seseorang terkait dengan pengembangan ilmu
pengetahuan dan akhirnya berimbas kesulitan dalam hidup.
3) Memelihar akal pada peringkat tahsiniyat, menghindarkan diri dari kegiatan
menghayal dan mendengarkan atau melihat melihat sesuatu yang tidak berfaedah.
Kegiatan itu semua tidak secara langsung mengancam eksistensi akal manusia.
d. Memelihara Keturunan (hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga:
1) Memelihara keturunan pada peringkat dlaruriyat, seperti disyariatkannya menikah
dan dilarangnya berzina. Apabila hal ini diabaikan dapat mengancam eksistensi
keturunan.
2) Memelihara keturunan pada peringkat hajiyat, seperti ditetapkan menyebut mahar
bagi suami ketika melangsungkan akad nikah dan diberikannya hak talak kepadanya.
Bila penyebutan itu tidak dilakukan maka akan mempersulit suami, karena diharuskan
membayar mahar misl. Juga talak, bila tidak dibolehkan akan mempersulit rumah
tangga yang tidak bisa dipertahankan lagi.
3) Memelihara keturunan pada peringkat tahsiniyat, seperti disyariatkannya khitbah
(peminangan) dan walimah (resepsi) dalam pernikahan. Hal ini dilakukan untuk
melengkapi acara pernikahan. Bila tidak dilakukan tidak mengancam eksistensi
keturunan dan tidak pula mempersulit.
e. Memelihara Harta (hifz al-maal)
Memelihara harta, ditinjau dari kepentingannya dibagi menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara harta pada peringkat dlaruriyat, seperti disyariatkan tata cara
kepemilikan melalui jual beli dan dilaranganya mengambil harta orang lain dengan
cara tidak benar seperti mencuri. Apabila aturan ini dilanggar akan mengancam
eksistensi harta
2) Memelihara harta pada peringkat hajiyat, seperti disyariatkannya jual beli dengan
cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai tidak akan mengancam eksistensi harta
3) Memelihara harta pada peringkat tahsiniyat, seperti perintah menghindarkan diri dari
penipuan dan spekulatif. Hal ini berupa etika bermuamalah dan sama sekali tidak
mengancam kepemilikan harta apabila diabaikan. (Muallim dan Yusdani, 1999; 58-
61)
2. Qashdu al-Syari fi Wadhi al-Syariah lil Ifham (maksud Syari dalam menetapkan
syariahnya ini adalah agar dapat dipahami).
Bagian ini merupakan pembahasan yang paling singkat karena hanya mencakup 5
masalah. Dalam menetapkan syariatnya, Syari bertujuan agar mukallaf dapat
memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.
Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syariah ini diturunkan
dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat 2; as-Syuara: 195.
Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk
dan uslub Bahasa Arab.
Dalam hal ini imam al-Syathibi berkata: Siapa orang yang hendak memahaminya,
maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu, karena tanpa ini tidak
mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi pokok dari pembahasan
masalah ini (Muallim dan Yusdani, 1999: 50).
Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami
syariat ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti
ushul fiqih, mantiq, ilmu maani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila
bahasa Arab dan ushul fiqih termasuk persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang
mujtahid.
Kedua, bahwa syariat ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak
membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini
dimaksudkan agar syariah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk
memahami syariat ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada
dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal
pemahaman dan dalam pelaksanaan (Muallim dan Yusdani, 1999: 53). Syariah mudah
dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada
konsep maslahah (fahuwa ajraa ala itibari al-maslahah) (Muallim dan Yusdani, 1999:
53)
Di antara landasan bahwa syariat ini ummiyyah adalah karena pembawa syariat itu
sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana ditegaskan dalam
firmanNya surat al-Jumah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut 48 dan keterangan-
keterangan lainnya.
Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan
sifatsyariah ummiyyah ini, lanjut al-Syathibi, yaitu bahwa al-Quran mencakup semua
bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut al-Syathibi, al-Quran
menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun tidak berarti al-Quran
mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua
disiplin ilmu.
Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: Dan Kami
turunkan kepadamu al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu, dan surat al-Anam
ayat 38 yang berbunyi: Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun dari al-Quran. Menurut al-
Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna tertentu. Ayat pertama mengenai
masalah taklif dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh al-
mahfudz (Muallim dan Yusdani, 1999: 53: 61).
3. Qashdu al-Syari fi Wadhi al-Syariah li al-Taklif bi Muqtadhaha
Bagian ini menyatakan bahwa maksud Syari dalam menentukan syariat adalah
untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya. Masalah yang dibahas dalam bagian
ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:
Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq).
Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama
bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia (al-
Ghazali, 1997: 81). Dalam hal ini imam al-Syathibi mengatakan: Setiaptaklif yang di luar
batas kemampuan manusia, maka secara Syari taklif itu tidak sah meskipun akal
membolehkannya (al-Syatibi, t.t: 82).
Apabila dalan teks Syari ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar
kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi
sebelumnya. Misalnya, firman Allah: Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan
muslim. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di
luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan
antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada
yang mengetahui seorangpun.
Begitu juga dengan sabda Nabi: Janganlah kamu marah tidak berarti melarang
marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan
tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau
menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.
Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi
masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh imam al-Syathibi.
Menurut imam al-Syathibi, dengan adanya taklif, Syari tidak bermaksud
menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada
manfaat tersendiri bagi mukallaf (al-Syathibi, t.t: 93). Bila dianalogkan kepada kehidupan
sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti
memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si
pasien itu sendiri pada masa berikutnya.
Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya
tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf nahyil munkar.
Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk
merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain.
Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya ia
bukanlah masyaqah tapikulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan
manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul barang atau bekerja siang
malam untuk mencari kehidupan tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah
satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan
masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut imam Syathibi disebut Masyaqah
Mutadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya
dalam syara tidak dipandang sebagai masyaqah (al-Syathibi, t.t: 94).
Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah
Ghair Mutadah atau Ghair Adiyyah yaitu masaqah yang tidak lazim dan tidak dapat
dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.
Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang sakit dan orang jompo. Semua ini
adalah masyaqah ghair mutadah yang dikecam oleh Islam. Untuk
mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau
keringanan.
4. Qashdu al-Syari fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syariah
Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang mencakup
20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: Mengapa mukallaf
melaksanakan hukum Syariah? Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallafdari
tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang dalam
istilah imam al-Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan
yang idthiraran (al-Syathibi, t.t: 128). Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul abd
min daiyatil hawa ila daiyatil ubudiyyah (Zaid, 13 Agustus 2002).
Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada
manfaatnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari dan
bukan mengikuti hawa nafsu.
Berbicara maqashid al-syariah yang secara sistematis digagas oleh al-Syaithibi
tidak bisa begitu saja dilepaskan dari para pendahulunya hingga imam Malik. Hal ini
karena sebenarnya titik tekan dari ilmu maqashid adalah memberikan manfaat dan
menolak mudharat. Karena itu arti maqashid al-syariah dan teori maslahah bisa dianggap
sama (al-Jasani, 1995: 46), bahkan dikatakan bahwa maqashid al-syariah adalah maslahah
itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghazali menyatakan:
Akan tetapi yang kami maksudkan dengan maslahah adalah memelihara maksud
syariat, sedangkan maksud syariat itu ada lima; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Apabila kelima hal tersebut tidak dipelihara, maka yang terjadi adalah kerusakan
dan menjaganya adalah maslahah (al-Ghazali, 1997: 1/286).
Untuk mencapai maksud syariat dan maslahah yang diinginkan, pengambilan
keputusan tidak bisa hanya disandarkan kepada satu teks al-Quran dan hadits, namun
harus dilakukan dalam bentuk penelitian komprehensif kepada seluruh dalil, baik dalam
bentuk teks maupun lainnya (al-Syathibi, 1982: 2/38). Ketidak pastian hadits ahad sudah
jelas dan kepastian hadits mutawatir juga telah diakui secara universal, namun sebuah
periwayatan dalam jangka waktu yang lama tidak bisa dijamin kepastianya, apalagi bahasa
yang digunakan memiliki struktur yang komplek, metafora dan hanonim yang tidak
mungkin berpindah tanpa adanya distorsi. Karena itu, kebenaran maksud syariat yang
diakui adalah kebenaran yang diambil secara kolektif dari dalil-dalil yang ada. Metode
inilah yang sering disebut sebagai istiqraI (pembuktian induktif) (al-Syathibi, 1982: 1/31).
Pembuktian induktif ini tidak hanya menelaah satu atau dua teks, tapi menelaah
semua sumber, dari al-Quran, hadits, ijma, qiyas dan bukti-bukti kontekstual (al-Qarain
al-ahwal) (Hallaq, 2000: 244). Dia juga tidak boleh melewatkan sejarah kelahiran teks
yang terekam dalam asbab al-nuzul dan asbab al-wurud, baik secara mikro maupun
makro. Dalam pandangan ini, al-Quran dianggap sebagai satu kesatuan. Tidak ada ayat
dan bagian pun yang dapat dipahami dengan semestinya tanpa memperhatikan bagian yang
lain, termasuk perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang umum maupun kusus di mana
al-Quran diturunkan (al-Syathibi, t.t: 347).
Selain itu, maksud syariat atau maslahah umat harus dibuat atas dasar prinsip-
prinsip universal yang oleh al-Syathibi dikatakan al-Kulliyat. Prinsip-prinsip umum (al-
Kulliyat) inilah yang membentuk dasar-dasar syariat. Prinsip-prinsip umum ini terbentuk
dari prinsip-prinsip khusus (al-Juziyah). Al-juziyah merupakan bagian dari al-kulliyah,
karena ketika al-juzaiyah beridiri sendiri ia tidak berarti apa-apa. Begitu juga al-
kulliyah tidak akan berarti apa-apa tanpa al-juziyah. Dalam proses pembuktian induktif
ini, seluruh unsur al-juziyah bergabung dalam satu bentuk al-kulliyah, dan ketika ada al-
juziyah tidak ikut dalam kesatuan tersebut, maka dia dikeluarkan dan menjadi hukum
pengecualian. Untuk kepentingan ini dan dikatikan dengan dalil-dalil, maka al-Syathibi
membahas naskh, am, khas, mutasyabih, amr, nahyi dan lainnya (al-Syathibi, t.t : 3/810).
Satu point penting lainnya bahwa satu sisi, kemaslahatan itu bersifat relatif dan tidak
absolut, tapi pada sisi lainnya kemaslahatan diartikan sebaliknya. Untuk menjawabnya
dapat dikatakan bahwa maslahah memang untuk kepentingan manusia, tetapi dengan cara
yang diatur oleh Tuhan, bukan berdasarkan kesewenang-wenangan manusia. Itulah
sebabnya kewajiban menjalankan hukum yang sebenarnya untuk kemaslahatan manusia
dianggap cukup berat, meskipun dengan cara-cara yang adil dan beralasan. Beratnya
menjalankan hukum juga karena kemaslahan yang terbentuk tidak untuk mengakomodasi
kehendak pribadi dan kesenangan hawa nafsu, karena pertimbangan dua kepentingan
tersebut tidak akan menyebabkan timbulnya maslahah, sebaliknya mudlarat. Dalam hal ini,
maslahah ditujukan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, maka dia harus
ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh hukum sekuler atau kebutuhan hidup manusia yang
pragmatis (Hallaq, 2000: 269-270)

Anda mungkin juga menyukai