Anda di halaman 1dari 12

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaats). Bertitik tolak dari landasan
tersebut, maka di dalam negara hukum terdapat suatu prinsip yaitu menjunjung tinggi
kebebasan memeluk agama dan menganut keyakinan bagi setiap warga negara
Indonesia sesuai dengan agama dan kepercayaannya tersebut.Oleh karenanya, segala
sesuatu yang menyangkut kepentingan warga negara Indonesia, negara harus mampu
menjembataninya. Apalagi di tengah-tengah era otonominasasi dewasa ini, karakteristik
dan kekhasan daerah juga harus turut diperhatikan sebagai sub sistem dari
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bernuansa lokal yang turut memberikan
kontribusi bagi perkembangan khasanah budaya dan iklim pembangunan secara
menyeluruh sebagai cerminan pemberdayaan kearifan lokal tanah air.
Dalam koridor penyelenggaraan Pemeritahan Daerah, desa pada dasarnya
merupakan unsur pemerinahan paling bawah yang langsung berhadapan dengan
rakyat. Sehingga secara realita dapat kita rasakan bawasannya pelaksanaan
pembangunan maupun perkembangan tradisi dan adat budaya khususnya di desa akan
langsung menyentuh dan dirasakan faedah maupun hasilnya oleh rakyat. Di tengahtengah kehidupan masyarakat Bali, diakui adanya Desa Pakraman merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
kahyangan tiga, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri.
Dengan pengertian tersebut, Desa Pakraman merupakan lembaga tradisional
yang bercorak sosial relegius dan mempunyai pemerintahan yang otonom berdasarkan
hak asal usulnya. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan pemerintahan, Desa
Pakraman dapat menetapkan aturan-aturan yang dibuat sendiri yang disebut awigawig. Penyusunan awig-awig desa bersumber dari falsafah Tri Hita karana, yaitu adanya
keharmonisan hubungan antara manusia dengan dengan Tuhan Yang Maha Esa,
hubungan antara manusia dengan sesama manusia, dan hubungan antara manusia
dengan alam.
Di Bali, selain berlaku sistem pemerintahan Desa Pakraman, ada juga
pemerintahan Desa Dinas. Kedua jenis desa tersebut mempunyai fungsi dan tugas yang
berbeda. Desa Pakraman mengatur urusan adat dan agama, sedangkan Desa Dinas

mengatur urusan administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintah desa


dibawah kecamatan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, Desa Pakraman dan
Desa Dinas dapat berjalan secara harmoni, namun dapat juga terjadi konflik, karena
adanya perbedaan kepentingan.
Dengan

berlakunya

Undang-undang

Nomor

22

Tahun

1999

tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun


2004, pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa peraturan daerah wajib mengakui dan
menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa. Yang dimaksud dengan desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah
Kabupaten.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
menentukan sebagai berikut: (1) Keamanan dan ketertiban wilayah Desa Pakraman,
dilaksanakan oleh pecalang. (2) Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan
dalam wilayah Desa pakraman dalam hubungan tugas adat dan agama. (3) Pecalang
diangkat dan diberhentikan oleh Desa Pakraman berdasarkan paruman desa. Maka
masyarakat dalam wadah Desa pakraman mempunyai landasan yang kuat untuk
berperan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, guna mewujudkan ketentraman
dan ketertiban, serta untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, sesuai
dengan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian pecalang adalah alat keamanan
yang dimiliki oleh Desa Pakraman di Bali. Sebagai masyarakat hukum adat yang
otonom, Desa Pakaraman memang mempunyai wewenang membentuk satuan
pengamanan yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan Desa Pakraman.
Dewasa ini, penanganan masalah keamanan bagi masyarakat Bali menjadi
prioritas utama, karena jumlah penduduknya semakin bertambah, semakin heterogen
dan hidupnya semakin kompleks, yang nantinya dapat mengganggu ketenteraman dan
ketertiban masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerawanan sosial. (Sirtha,
2008 : 64).
Dengan mempedomani dan berpegang teguh pada sumber-sumber kepatutan
yang berlaku di Desa Adatnya, (mulai dari awig-awig Desa Adat dan seterusnya),
seorang pecalang harus apacalan, menyalahkan yang bersalah, dan menegur atau
mencela yang patut dicela, baik bagi setiap krama desa adatnya sendiri, maupun krama
Desa Adatnya yang berprilaku, beraktivitas, (masalah maprewerti), yang nyata-nyata

luncas dari kata-kata dan sesane pada umumnya yang berlaku dilingkungan palemahan
Desa Pakramannya (Supartha, 2001 : 7).
Dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, tugas pecalang tidak
hanya untuk menjaga keamanan desa dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan
dengan upacara adat dan agama , tetapi juga menjaga keamanan dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan.
Desa Pakraman memiliki pecalang dengan angggota orang yang dimana anggota
pecalang itu berasal dari perwakilan dalam setiap banjar di Desa tersebut. Oleh karena
itu, pecalang dituntut agar mampu menjaga keamanan tidak hanya pada saat upacara
dalam bidang adat dan agama saja, tetapi juga harus mempunyai kemampuan untuk
menjaga keamanan wilayah desa dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial.
Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan diatas, maka terdapat
beberapa permasalahan yang layak dikedepankan, yaitu: Apakah terjadi pergeseran
fungsi dan peranan pecalang di Desa Pakraman dan Bagaimana dampak dari terjadinya
pergeseran fungsi dan peranan pecalang terhadap masyarakat desa adat maupun desa
dinas. Dalam makalah ini akan membahas mengenai pergerseran peranan dan nilai
fungsi dari pada pecalang tersebut, agar tidak terjadinya kekeliruan bagi pecalang
dalam melaksanakan tugas.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian Latar Belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1

Apakah yang dimaksud Pacalang ?

1.2.2

Bagaimana peranan pecalang didalam desa pakraman ?

1.2.3

Bagaimana pergeseran fungsi dan peranan Pecalang terhadap pelaksanaan

swadharmanya dalam Desa Pakraman di Bali?


1.3

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk memenuhi tugas dari dosen
1.3.2 Untuk mengetahui pergeseran fungsi dan peranan pecalang terhadap pelaksanaan
Swadharmanya dalam Desa Pakraman di Bali.
1.3.3 Untuk menambah wawasan mengenai pergeseran fungsi dan peranan pecalang
terhadap pelaksanaan Swadharmanya dalam Desa Pakraman di Bali

1.4

Manfaat Penulisan
Adapun Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Bagi

penulis

Penulis

mendapatkan

pengalaman

dalam
Menyusun makalah.

II PEMBAHASAN
2.1 Pengerian Pecalang
Pacalang berasal dari kata calang dan menurut theologinya diambil dari kata
celang yang dapat diartikan waspada. Dari sini dapat artikan secara bebas, Pecalang
adalah seseorang yang ditugaskan untuk mengawasi keamanan desa adatnya. Ibaratnya
sebagai petugas keamanan desa adat. Pecalang telah terbukti ampuh mengamankan
jalannya upacara - upacara yang berlangsung di desa adatnya, bahkan secara luas
mampu mengamankan kegiatan - kegiatan yang berhubungan dengan khalayak ramai.
Pecalang adalah perangkat keamanan yang hadir disetiap desa adat yang secara
tradisi diwarisi turun temurun dalam budaya Bali. Memiliki tugas untuk mengamankan
dan menertibkan desa adat baik dalam keseharian maupun dalam hubungannya dengan
penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan.
Pada Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Caka, para pecalang ini melakukan ronda
dari pagi hingga malam untuk memantau ketertiban pelaksanaan Brata Penyepian.
Pakaian yang dikenakan dari satu daerah ke daerah lainnya bervariasi, namun pada
umumnya tidak menggunakan baju atau atasan, sehingga penampilan Pecalang
sekaligus sebagai ajang pamer kekekaran bidang tubuhnya. Meski demikian, ada juga
pecalang yang mempergunakan baju perang tanpa lengan seperti rompi. Pecalang
menggunakan Destar atau ikat kepala dan kain berwarna hitam, kampuh atau kain
penutup badan bercorak belang khusus atau disebut poleng sudhamala. Setiap Pecalang
biasanya menyungklit keris di bagian pinggang. Satu lagi yang tak kalah perannya
adalah sebuah bunga kembang sepatu berwarna merah menyala yang terselip di
telingan. Pucuk Arjuna.
Warna hitam yang mendominasi penampilan Pecalang melambangkan
pengayoman dan pembinaan. Hal ini berkaitan dengan tugas dan kewajiban Pecalang

yang diharapkan dapat membina ketertiban dan mengayomi masyarakat. Kain poleng
Sudhamala sendiri yang memiliki tiga warna dasar, hitam, putih dan abu-abu memiliki
arti atau makna ketegasan sikap yang mampu melebur segala kebusukan atau mala
menjadi selaras dan harmonis.

2.2 Syarat dan Pemilihan Pecalang


Syarat-syarat pecalang yang diambil dari lontar purwadigama sudah cukup jelas
dipaparkan, sehingga semakin jelas pengetahuan kita tentang siapa dan apa saja syarat
yang diperlukan untuk menjadi seorang pecalang. Di dalam syarat pecalang ini
ditemukan mengapa hanya orang yang sudah berumah tangga yang dapat menjadi
pecalang. Yang paling penting untuk diketahui orang yang akan menjadi pecalang
ataupun masyarakat umum yang ingin mengetahui, ialah hak dan kewajiban pecalang.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menentukan hak dan kewajiban bagi
pecalang di setiap desa pakraman
Desa Pakraman memiliki pecalang dengan angggota orang yang dimana anggota
pecalang itu berasal dari perwakilan dalam setiap banjar di Desa tersebut. Oleh karena
itu, pecalang dituntut agar mampu menjaga keamanan tidak hanya pada saat upacara
dalam bidang adat dan agama saja, tetapi juga harus mempunyai kemampuan untuk
menjaga keamanan wilayah desa dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial.

2.3 Peranan Pecalang


Pecalang memiliki peran penting dalam fungsi menjaga keamanan desa, sehingga
harus diatur dalam Perda No 3 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perda 3 Tahun
2005, tentang Desa Pakraman.
Berangkat dari makna yang tersurat dalam Perda tersebut, dapatlah dipastikan
bahwa pecalang adalah perangkat desa yang dibentuk dan diatur dengan Hukum Adat.
Dapat diketahui bahwa Hukum Adat yang berlaku di Desa Pakraman di Bali
adalah bersumber dari Hukum Agama Hindu, karena itu pecalang dalam berfikir,
berkata dan bertindak tentulah tidak boleh bertentangan dengan Hukum Adat yang
mengaturnya (Hukum Agama Hindu) dan juga Hukum Nasional yang mampu memberi
kenyamanan, keamanan dan keadilan masyarakat.

Pecalang sebagai perangkat yang mengemban misi fungsi kepolisian yakni


pengamanan adat dilingkungan wilayah adatnya, harus tunduk dengan hukum adat dan
bersinergi dengan kepolisian dalam mewujudkan pola keamanan swakarsa.
Dikatakannya, secara hakekat pecalang dan kepolisian sesungguhnya sama-sama
pengemban fungsi kepolisian. Perbedaanya, pecalang pengemban fungsi kepolisian
dalam konteks desa adat, sedangkan kepolisian dalam konteks negara kesatuan
Republik Indonesia.
Secara formal hubungan yang terjadi antara kepolisian dan pecalang adalah
hubungan kelembagaan dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, di mana
pecalang berstatus membantu kepolisian dalam mengemban fungsi kepolisian. Sejalan
dengan itu, kepolisian berkewajiban membina pecalang.
Secara informal hubungan pecalang dengan kepolisian dilihat dari hubungan
individu yang ditentukan oleh kepribadian dan kemampuan pihak yang berhubungan
yang kemudian melahirkan kesan terhadap pihak yang berhubungan ini mempengaruhi
hubungan formalnya.
Pecalang pun kemudian menjadi organ alternatif, untuk lebih difungsikan. Perda
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman memberi penegasan eksistensi pecalang.
Dalam Bab X pasal 17 perda tersebut secara khusus diatur perihal pecalang. Untuk
memperkuat eksistensi pecalang berbagai seminar sudah dilakukan.
Seminar di Gianyar pada Juni 2001 menghasilkan sesana (etika) pecalang yang
terdiri dari unduk (perihal), busana, gegawan dan pasuwitraan pecalang. Tujuan utama
dari dibentuknya pecalang adalah guna menjaga keamanan adat dan lingkungan di
banjar setempat.
Perubahan sosial memungkinkan terjadinya peningkatan mobilitas penduduk,
intensitas interaksi sesama manusia dan perekonomian, yang secara umum
berpengaruh pada keteraturan kehidupan masyarakat desa adat di Bali. Lebih dalam,
perubahan sosial juga berpengaruh pada peningkatan intensitas dan ragam kegiatan
sosial yang berimplikasi pada perubahan tugas dan fungsi pecalang yang ada di desa
adat.
Perubahan yang terjadi pada tugas dan fungsi pecalang menimbulkan polemik di
masyarakat sehingga dipertanyakan eksistensi pecalang.

2.4 Tugas dan Wewenang Pecalang

Pecalang atau dengan sebutan lainnya adalah satgas (satuan tugas) keamanan
tradisional masyarakat Bali yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menjaga
keamanan dan ketertiban wilayah, baik ditingkat banjar Pakraman dan atau di wilayah
desa.
Terkait tentang pecalang yang diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 3 tahun 2001
tentang Desa Pekraman. Pada Perda tersebut terutama pada Bab X Pasal 17 disebutkan:
1. Keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman dilaksanakan oleh pecalang.
2. Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa pakraman
dalam hubungan tugas adat dan agama.
3. Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan paruman
desa.

Tugas Pecalang sebagai penjaga rasa aman masyarakat Bali untuk melakukan
ritual, memberikan kesan bahwa pecalang adalah yang unik dan tradisional. Ini karena
adat dan sejarahnya pecalang memang telah ada dari dulu, atau memang diada-adakan
untuk menguatkan latar sejarah kemunculan pecalang. Seperti yang ditegaskan
Santikarma (2003) untuk memberikan gambaran awal tentang pecalang:
Sosok pecalang ini menjadi baru sekaligus klasik. Dengan mendasarkan dirinya
pada akar tradisi masyarakat Bali, pecalang hadir sejalan dengan usaha membangkitkan
kembalinya pariwisata di Bali. Satgas Pecalang muncul dimana-mana, lebih-lebih paska
diatur dalam peraturan daerah yang memberikan dasar hukum bagi pembentukannya.
Secara perlahan, tapi pasti, pecalang mulai ambil bagian dalam kehidupan di Bali.

2.5 Pergeseran Fungsi dan Peranan Pecalang


Belakangan ini sebagaian masyarakat beranggapan pecalang mulai melenceng
fungsi dan tugasnya, misalnya Pecalang dengan seenaknya menghentikan kendaraan
dijalan yang berada didepan/berpapasan dengan rombongannya dengan berteriak
dengan lantangnya menyuruh pengendara menepi, padahal rombongan tersebut masih
jauh.
Sikap dan tindakan Pecalang lainnya yang terkadang terpaksa diterima oleh
masyarakat misalnya saat kegiatan upacara pernikahan maupun ngaben, jalan yang
digunakan ditutup dan dijaga dengan ketat, seenaknya memerintahkan para pengguna
jalan untuk mencari jalan alternatif, tanpa ada penjelasan atau keterangan kepada

pengguna jalan, mereka harus lewat jalan mana. Padahal ada beberapa diantara mereka
yang mungkin akan pulang kerumah dan hanya tinggal sedikit lagi jarak kerumahnya,
terpaksa memutar mencari jalan lain.
Saat ini pecalang sangat identik dengan sikap arogansi, sok jagoan, dan sok
berani. Kesan masyarakat seperti itu bisa saja akibat tidak ada proses seleksi yang baik.
Pecalang melekat fungsi kekuasaan dengan adat sebagai simbol yang
memberikan legitimasi atas tindak koersif yang selama ini hanya di monopoli negara.
Memeriksa, menjaga ketertiban, dan memberikan sanksi tidak lagi semata-mata milik
negara. Dalam ruang-ruang sosial, pecalang hadir menandai hadir kembalinya desa
adat yang selama ini nyaris tenggelam oleh kebijakan pembangunan Orde Baru.
Pecalang adalah jawaban masyarakat dalam arena pertarungan kekuasaan yang
dilakukan masyarakat untuk merebut sumber-sumber dari negara, akibat dari wacana
pembangunan yang dulunya meminggirkan mereka, dimana pembangunan hanya
berdampak signifikan bagi sekelompok kecil elit dan tidak merengkuh bagian besar
masyarakat.
Pengamanan objek-objek kunjungan wisata, tempat hiburan, maupun industri
pariwisata mulai diserahkan pengelolaanya kepada pecalang, disamping polisi sebagai
pihak keamanaan. Peran pecalang tidak lagi terbatas dalam wilayah adat dan tradisi,
tapi memasuki ranah-ranah sosial, wilayah yang dulunya dimonopoli oleh negara.
Dengan perannya yang begitu strategis, dan kemampuannya memobilisasi anggotaanggotanya, menjadikan pecalang tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Pecalang
menjadi tanda hadirnya suatu masyarakat adat, masyarakat Bali yang dikenal luas
tradisi Hindunya. Disinilah kehadiran pecalang dapat dimaknai sebagai produk dari
perebutan ruang politis di masyarakat. Kekuasaan negara mendapatkan tantangannya,
apabila kekuasaan pecalang dapat dilihat sebagai manifestasi dari kekuasaan adat
dalam ruang-ruang sosial politik.
Dalam kesehariannya, praktik pecalang dapat mengambil beragam bentuk.
Semisal sebagai penjaga lalu lintas saat upacara adat, memastikan bahwa wisatawan
yang sembarangan -berpakaian atau berperilaku buruk- tidak diperbolehkan untuk
memasuki pura-pura, dan menjaga sabung ayam yang diselenggarakan sebagai bagian
dari upacara. Mereka juga bertindak sebagai penjaga pada hari raya Nyepi. Mereka
berpatroli di jalan untuk memastikan bahwa setiap orang, Hindu atau tidak, terus
mematikan lampu dan tidak keluar ke jalan-jalan.

Sementara kehadiran pecalang di Bali pada banyak munculnya kelompokkelompok milisi di daerah-daerah lain di Indonesia, kasus Bali menyajikan beberapa
perbedaan penting. Bukannya image buruk dalam pers nasional dan internasional,
seperti kelompok keamanan militan lainnya, terutama mereka yang mempergunakan
agama untuk melegitimasi diri mereka sendiri, pecalang justru menuai pujian. Pecalang
seringkali mendapat kepercayaan untuk terlibat dalam konferensi Internasional yang
diselenggarakan di Bali.
Paling akhir pada November 2011, Bali menjadi tuan rumah dari KTT ASEAN
dan East Asian Summit yang dihadiri sejumlah kepala negara dari perwakilan negara
anggota ASEAN dan East Asian Summit, termasuk diantaranya Presiden Amerika
Serikat Barack Obama, Presiden China Hu Jintao, Presiden Rusia Dmitry Medvedev,
Perdana Mentri Australia Julia Gilard, Perdana Mentri Thailand Yingluck Shinawatra,
dan Presiden Philipina Benigno Aquino. Secara signifikan momen ini sekali lagi
menandai kebangkitan citra Bali sebagai wilayah yang sempat menjadi target sasaran
serangan bom pada tahun 2002 dan 2005 silam dengan pecalang turut serta
didalamnya. Tanpa mengesampingkan peran serta seluruh elemen yang terlibat di
dalam penyelenggaraan even internasional ini, kali ini kehadiran masyarakat desa adat
dapat dipastikan melalui manifestasinya dalam pecalang.
Secara umum memang benar terjadi pergeseran fungsi dan peranan pecalang di
Desa Adat, dikarenakan adanya suatu fenomena bahwa pecalang sangat identik dengan
sikap arogansi, sok jagoan, dan sok berani. Kesan masyarakat seperti itu bisa saja akibat
tidak ada proses seleksi yang baik, maka fungsi dan tugas pecalang mengalami
pergeseran dari fungsi dan tugas pokoknya di wilayah Desa Adat.
Bahwa yang melatar belakangi pergeseran fungsi dan peranan pecalang dari
fungsi dan tugas pokoknya yaitu
(1) bergeser dari menjaga keamanan wilayah dan ketertiban pelaksanaan upacaraupacara menjadi petugas pembantu pemungut distribusi
(2) bertugas untuk mengatur keamanan dan ketertiban kendaraan mermotor yang
berada baik di jalanan dan di parkiran
(3) juga mengatur ketertiban harus wisatawan ketika masuk kekawasan wisata untuk
menikmati kekayaan alam dan budaya yang ada di dalamnya.

Hal ini berdampak dan berpengaruh juga terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas
pokok pecalang itu sendiri. Yang notabena fungsi dan tugas pokonya tidak dapat pokus
dilaksanakan oleh pecalang.
2.6 Dampak Pergeseran Fungsi dan Peranan Pecalang
Dampak yang cukup signifikan yang ditimbulkan dari terjadinya pergeseran
fungsi dan peranan pecalang terhadap Desa Adat. Dampak yang ditimbulkan dari
pergeseran fungsi dan peranan pecalang terhadap masyarakat Desa Adat yaitu dilihat
dari segi pencitraan Desa Adat, kenapa demikian, karena otomatis pecalang akan
mengambil tugas katakanlah mengatur parkir dan menjual distribusi artinya pecalang
sudah berkomunikasi dengan krama diluar krama adat. Jadi pencitraan yang dimaksud
pecalang desa adat dalam suatu bentuk tanda kutip, artinya citra Desa Adat terangkat
dengan pecalang mengalami pergeseran fungsi dan peranan di Desa Adat
Terkai dengan pergeseraan fungsi dan peranan pecalang yang nantinya sebagai
langkah awal pecalang akan lebih diperhatikan artinya pecalang tidak hanya wajib
mendapat perhatian dari Desa Adat, karena pecalang sebagai petugas keamanan desa
adat tetapi juga nantinya bisa mendapat perhatian dari divisi lain. Misalnya dari
pemerintah, karena pecalang berperan membantu tugas-tugas
Dengan adanya dampak dari pergeseran fungsi dan peranan pecalang terhadap
Desa Adat tentunya ada pihak yang kurang setuju dan ada pihak yang setuju. sebagian
besar masyarakat setuju tetapi sebagian kecil ada yang mengatakan tidak setuju, karena
berpengaruh terhadap fungsi dan tugas pokok pecalang. Seperti yang dikatakan diawal
tadi mau tidak mau harapan masyarakat terkait dengan pecalang bisa melaksanakan
tugas pokonya secara fokus, sementara karena ada pergeseran fungsi dan peranan
pecalang tugas pokoknya tidak bisa fokus dapat dilaksanakan oleh pecalang itu sendiri.
Dari adanya pergeseran fungsi dan peranan pecalang terhadap msyarakat Desa
Dinas tidak begitu merasakan adanya dampak yang signifikan, karena Desa Dinas hanya
mengatur

dan

mengurus

masalah-masalah

administrasi

pemerintahan

dan

pembangunan dalam lingkup dibawah kecamatan. Terkait dengan pecalang tentunya


merupakan tupoksi dari Desa Adat. Akan tetapi antara Desa Dinas dan Desa Adat selalu
adanya sebatas kordinasi dalam mengambil suatu keputusan terkait dengan keamanan
di Desa
Tampaknya pergeseran fungsi dan peranan pcecalang hendaknya dapat di
dikordinasikan dengan baik bahwa sudah tertuangnya peraturan-peraturan mengenai

pecalang dalam perda yang sudah diterapkan pemerintah daerah, hal ini demi tetap
menjaga dua bentuk Desa yang lazim disebut dualisme desa di Bali. Keduanya tidak
mungkin dipisahkan sama sekali, tetapi hidup berdampingan dan saling melengkapi.
Menanggapi

hal

tersebut

Desa

Dinas

dalam

pengamanannya

hanya

mengandalkan hansip sebagai pengamanan Desa Dinas. Akan tetapi pecalang pun
dalam lingkup kebersamaan akan bergabung dengan hansip bersama-sama menjalan
yang namanya ketertiban dan keamanan dalam lingkup Desa Pakraman.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan tugas dan
fungsi pecalang untuk mengimbangi peningkatan intensitas dan ragam kegiatan sosial,
kendatipun peraturan daerah menentukan bahwa pecalang merupakan satuan tugas
tradisional yang bertugas mengamankan kegiatan yang berkaitan dengan adat dan
agama di wilayah desa adat.

III PENUTUP
3.1 Simpulan
Sesuai dengan pembahasan pokok permasalahan tersebut diatas, maka dapat
ditarik simpulan bahwa Terjadi pergeseran fungsi dan peranan pecalang di Desa Adat,
karena adanya tiga faktor yang mempengaruhi yaitu
(1) pecalang selain mengemban fungsi dan tugas pokoknya juga menjadi petugas
pembantu pemungut distribusi.
(2) bertugas untuk mengatur keamanan dan ketertiban kendaraan mermotor yang
berada baik di jalanan maupun di parkiran
(3) juga mengatur ketertiban harus wisatawan ketika masuk kekawasan wisata.
Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya pergeseran fungsi dan peranan
pecalang terhadap masyarakat Desa Adat yaitu dilihat dari segi pencitraan Desa Adat,
karena otomatis pecalang akan mengambil tugas katakanlah contohnya mengatur
parkir dan menjual distribusi artinya pecalang sudah berkomunikasi dengan krama
diluar krama adat. Sedangkan untuk Desa Dinas tidak begitu merasakan adanya
dampak yang signifikan dari adanya pergeseran fungsi dan peranan pecalang, karena
Desa

Dinas

hanya

mengatur

dan

mengurus

masalah-masalah

administrasi

pemerintahan dan pembangunan dalam lingkup dibawah kecamatan. Terkait dengan


pecalang tentunya merupakan tupoksi dari Desa Adat. Akan tetapi antara Desa Dinas

dan Desa Adat selalu adanya sebatas kordinasi dalam mengambil suatu keputusan
terkait dengan keamanaan di Desa.
Diharapkan peran dari pemuka desa dapat lebih memperhatikan pecalang dari
sarana dan prasarana yang lengkap dalam menjalankan tugasnya. Agar nantinya
pecalang tidak mempunyai pemikiran yang kurang baik kepada Desa Adat,

3.2 Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua. Yang baik datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa, dan yang buruk datangnya
dari kami. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih
banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang
bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai